Iman kepada Allah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Iman kepada Allah adalah rukun iman yang pertama dalam ajaran Islam yang menjadi asas dan dasar bagi akidah Islam. Kedudukan iman kepada Allah dinyatakan oleh Muhammad melalui periwayatan hadis. Pembuktian iman kepada Allah ialah dengan akhlak mulia. Kondisi keimanan kepada Allah dalam ajaran Islam menjadi penentu bagi individu di Hari Pembalasan untuk masuk surga atau masuk neraka.

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Kedudukan iman kepada Allah ialah sebagai asas dan dasar akidah Islam. Keyakinan yang terkandung dalam iman kepada Allah sangat kuat karena kedudukan Allah sebagai Tuhan dan pemilik atas segala sesuatu.[1] Iman kepada Allah menjadi bagian akidah Islam berkaitan dengan tauhid. Di antara enam jenis iman dalam rukun iman, iman kepada Allah adalah yang paling utama dan paling mendasar. Keimanan yang benar dan baik kepada Allah berdampak terhadap keimanan atas kelima jenis iman lainnya.[2]

Dalil[sunting | sunting sumber]

Iman kepada Allah merupakan ruang lingkup keimanan sesuai dengan yang disampaikan oleh Muhammad. Hadis yang meriwayatkannya berasal dari Imam Muslim. Dalam hadis ini, Muhammad diminta untuk menceritakan tentang iman.  Iman kepada Allah disebutkan pertama kali kemudian dilanjutkan iman kepada malaikat, kitab, hari akhir serta takdir baik dan takdir buruk.[2]

Cakupan keimanan[sunting | sunting sumber]

Iman kepada wujud Allah[sunting | sunting sumber]

Tauhid rububiyah[sunting | sunting sumber]

Tauhid rububiyah adalah bentuk pengesaan Allah atas segala urusan alam semesta. Allah dalam tauhid rububiyah merupakan satu-satunya pencipta dan pengatur segala makhluk yang ada di dalam alam semesta.[3]

Penggambaran[sunting | sunting sumber]

Iman kepada Allah dapat dibuktikan dengan akhlak mulia. Penggambaran iman melalui akhlak bersifat kuat karena akhlak hanya dapat terbentuk melalui hati manusia.[4]

Tawakal[sunting | sunting sumber]

Tawakal merupakan landasan awal dalam beribadah kepada Allah. Karena itu, tawakal merupakan landasan utama bagi iman kepada Allah.[5] Kaitan antara tawakal dengan Islam dikisahkan dalam Al-Qur'an pada Surah Yunus ayat 84. Ayat ini mengisahkan seruan Musa kepada kaumnya untuk bertawakal sebagai bukti bahwa kaumnya beriman kepada Allah.[6]

Seruan[sunting | sunting sumber]

Seruan Musa kepada Fir'aun[sunting | sunting sumber]

Allah memerintahkan Musa untuk menyeru kepada Fir'aun untuk beriman kepada Allah. Perintah ini disertai dengan seruan untuk membebaskan Bani Israil. Musa menerima perintah Allah setelah melakukan suatu kesalahan atas kaum Fir'aun dan ketika dirinya belum fasih dalam percakapan. Namun, Musa tawakal kepada Allah atas perintah tersebut. Dalam kisah penyeruan Musa kepada Fir'aun, Allah memberikan kemampuan kepada Musa untuk melakukan mukjizat di hadapa para penyihir yang mendukung Fir'aun. Karena melihat mukjizat Musa, para penyihir Fir'aun memilih beriman kepada Allah dan menentang Fir'aun.[7]   

Penerimaan dan penolakan[sunting | sunting sumber]

Penerimaan dan penolakan untuk beriman kepada Allah secara nyata dikaitkan dengan penempatan manusia surga dan neraka pada Hari Pembalasan.[8] Orang-orang yang beriman kepada Allah akan menerima balasan berupa surga, sedangkan yang menolak akan menerima balasan berupa neraka. Di surga, orang-orang yang beriman kepada Allah dan orang-orang saleh akan mendapatkan kenikmatan yang tidak terhingga. Sementara di neraka, orang-orang yang menolak untuk beriman kepada Allah akan menerima kehinaan dan kesengsaraan yang tidak dapat digambarkan oleh indra.[9]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ al-Fauzan 2021, hlm. 31.
  2. ^ a b Bakhtiar 2018, hlm. 87.
  3. ^ al-Fauzan 2021, hlm. 32.
  4. ^ Bakhtiar 2018, hlm. 134.
  5. ^ Basri 2008, hlm. 54.
  6. ^ Basri 2008, hlm. 31.
  7. ^ Basri 2008, hlm. 113.
  8. ^ Gholib 2016, hlm. 93-94.
  9. ^ Gholib 2016, hlm. 94.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

  • al-Fauzan, Shalih bin Fauzan (2021). Panduan Lengkap Membenahi Akidah Berdasarkan Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah [Al-Irsyad Ila Shahih al-I’tiqad wa ar-Radd Ala Ahli asy-Syirki wa al-Ilhad]. Diterjemahkan oleh Karimi, Izzudin. Jakarta: Darul Haq. ISBN 978-979-1254-98-4. 
  • Basri, Muh. Mu'inudinillah (2008). Raudina, ed. Indahnya Tawakal. Surakarta: Indiva Pustaka.