Hukum adat di Sulawesi Selatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Hukum adat di Sulawesi Selatan menjadi bagian dari hukum adat di Indonesia. Wilayah pemberlakuannya pertama kali diperkenalkan oleh Cornelis van Vollenhoven dan melingkupi suku Makassar dan suku Bugis. Prinsip utama pada hukum adat di Sulawesi Selatan adalah kesatuan masyarakat dalam pemerintahan. Masyarakat adat di Sulawesi selatan memiliki hak ulayat dan membentuk persekutuan adat.

Hukum adat di Sulawesi Selatan ditetapkan berdasarkan kitab kuno, misalnya kitab Amanna Gappa. sementara peradilannya oleh pemimpin adat ataupun kepala desa terutama kasus hukum perdata yang mudah. Dalam era modern, hukum adat tidak dominan diterapkan oleh masyarakat Sulawesi Selatan. Beberapa tradisi yang berkaitan dengan hukum adat di Sulawesi Selatan telah dijadikan sebagai objek pariwisata.

Penetapan wilayah[sunting | sunting sumber]

Wilayah hukum adat di Sulawesi Selatan pertama kali ditetapkan oleh Cornelis van Vollenhoven. Ia menetapkannya sebagai salah satu dari 19 wilayah hukum adat di Indonesia menurut pendapatnya.[1] Kesembilan belas wilayah ini disebutkannya dalam buku hasil tulisannya yang berjudul Adatrecht 1.[2] Dalam ketetapannya ini, wilayah hukum adat di Sulawesi Selatan dibagi menjadi dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat dari suku Makassar dan suku Bugis.[3]

Prinsip[sunting | sunting sumber]

Kesatuan[sunting | sunting sumber]

Masyarakat adat di Sulawesi Selatan membentuk suatu kesatuan dalam berbagai hal termasuk kesatuan hukum adat. Kesatuan ini hadir bersama dengan kesatuan penguasa dan pengelolaan bersama atas lingkungan hidup oleh seluruh anggata masyarakat adat. Kesatuan-kesatuan ini membuat masyarakat adat di Sulawesi Selatan mampu hidup secara mandiri.[4] Salah satu bentuk kesatuannya adalah wanua.[5]

Hak ulayat[sunting | sunting sumber]

Hak ulayat di dalam masyarakat Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah "Limpo".[6] Dalam hak ini, terdapat pengelola yang memiliki hak untuk memperoleh hasil pengelolaannya atas kawasan adat. Hak ini dimilikinya selama menjabat. Di Sulawesi Selatan, lahan yang dikelolanya dan diperoleh haknya dinamakan Galung Arajang.[7] Hak ulayat juga ada dalam masyarakat adat di Sulawesi Selatan untuk wilayah perikanan dan sumber dayanya. Istilahnya adalah rompong.[8]

Persekutuan adat[sunting | sunting sumber]

Kabupaten Maros merupakan bekas wilayah sebuah kerajaan bernama Kerajaan Marusu. Di Kabupaten Maros terdapat tiga masyarakat hukum adat yang membentuk persekutuan. Masing-masing yaitu Pemerintahan Adat Todde Limae, Pemerintahan Adat Gallarrang Appaka, dan Pemerintahan Adat Lebbo Tengngae.[9]

Kitab hukum[sunting | sunting sumber]

Amanna Gappa[sunting | sunting sumber]

Amanna Gappa merupakan kitab yang berisi peraturan-peraturan tentang pelayaran dan pengangkutan laut.[10] Kitab ini dijadikan pedoman oleh penduduk di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.[11]

Hukum yang hidup dalam masyarakat[sunting | sunting sumber]

Hukum yang hidup dalam masyarakat di Sulawesi Selatan telah terbagi menjadi tiga. Masing-masing yaitu hukum modern yang berasal dari dunia Barat, hukum yang berasal dari syariat Islam, dan hukum adat. Dominasi hukum terletak pada syariat Isalm dan hukum modern dari dunia Barat. Sementara hukum adat hanya diterapkan dalam beberapa aspek dalam kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. Hukum dunia Barat salah satunya tampak pada penggunaan kartu kredit. Penduduk Sulawesi Selatan sebagian besar beragama Islam sehingga syariat Islam mendominasi pada hukum pernikahan. Sementara hukum adat umumnya hanya menempatkan dirinya pada hak ulayat.[12]

Peradilan[sunting | sunting sumber]

Di Sulawesi Selatan dikenal peradilan atas hukum perdata yang disebut hudat. Peradilan ini berlaku dalam lingkup desa dan umumnya keputusannya diputuskan oleh kepala desa ataupun kepala hukum adat. Pemberlakuannya hanya dalam perkara-perkara perdata yang sifatnya mudah diselesaikan.[13]

Pengembangan[sunting | sunting sumber]

Di Kabupaten Gowa terdapat banyak tradisi adat yang dijadikan objek pariwisata. Dua diantaranya adalah Accera' Kalompoang dan Pesta Adat Maulid.[14]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Warjiyati, Sri. Ulinnuha, N., dan Roqib, A., ed. Panduan Advokasi (Bagi Para legal) (PDF). hlm. 46. 
  2. ^ Rudi, Wijaya, R., dan Putra, M. A. (2022). Hayati, Yayat Sri, ed. Rekognisi Hukum Adat dan Masyarakat Hukum Adat dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (PDF). Depok: PT Rajawali Pers. hlm. 18. ISBN 978-623-372-243-8. 
  3. ^ Soetoto, dkk. 2021, hlm. 26-27.
  4. ^ Jamaluddin, dkk. (2016). Sulaiman dan Manfarisyah, ed. Adat dan Hukum Adat Nagan Raya (PDF). Lhokseumawe: Unimal Press. hlm. 169. ISBN 978-602-1373-77-4. 
  5. ^ Zuhraini (2014). Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Dinamika Politik Hukum Indonesia (PDF). Bandar Lampung: Harakindo Publishing. hlm. 95. ISBN 978-602-1689-35-6. 
  6. ^ Togatorop, Marulak (2020). Perlindungan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dalam Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (PDF). Sleman: STPN Press. hlm. 149–150. ISBN 978-602-7894-18-1. 
  7. ^ Ismi, Hayatul (2017). Tinjauan Hukum atas Hak Ulayat dalam Sistem Hukum Pertanian di Indonesia (PDF). Forum Kerakyatan. hlm. 107. ISBN 978-623-7195-01-6. 
  8. ^ Yulianti, Rina (2019). "Relasi Sistem Formal dan Informal dalam Pengelolaan Sumber Daya Laut dan Pesisir oleh Masyarakat Hukum Adat" (PDF). Seminar Nasional : Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Pada Kearifan Lokal Masyarakat Adat Dan Eksistensinya Dalam Hukum Nasional. Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda: 424. ISBN 978-623-90705-1-9. 
  9. ^ Ubbe, dkk. 2005, hlm. 25.
  10. ^ Syamsuddin, R., dan Aris, I. (2014). Pabbu, Amiruddin, ed. Merajut Hukum di Indonesia (PDF). Jakarta: Mitra Wacana Media. hlm. 242. ISBN 978-602 -1353-35-6. 
  11. ^ Soetoto, dkk. 2021, hlm. 15.
  12. ^ Ubbe, dkk. 2005, hlm. 36.
  13. ^ Soetoto, dkk. 2021, hlm. 172.
  14. ^ Ubbe, dkk. 2005, hlm. 31.

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]