Funazushi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Funazushi adalah jenis sushi dari Jepang yang bukan menggunakan daging mentah, namun hasil fermentasi ikan funa (ikan emas Carassius auratus) dengan cara dibaluri garam selama satu tahun dan kemudian diganti dengan beras yang terfermentasi selama empat tahun. Ikan yang sudah terfermentasi ini bisa diiris tipis atau digunakan sebagai bahan dari hidangan lain. Secara umum, funazushi termasuk dalam narezushi.[1]

Rasa[sunting | sunting sumber]

Meskipun dianggap olahan ikan paling menjijikkan di seluruh dunia, sebenarnya funazushi memiliki rasa dan tekstur yang lembut, jauh berbeda dengan baunya yang dianggap setara dengan keju busuk. Beberapa penikmatnya membandingkan rasanya dengan rasa cairan amonia.[2]

Cairan yang meresap ke dalam funazushi dideskripsikan memiliki rasa asam seperti yoghurt. Sementara baunya digabarkan mirip bau air comberan. Semakin busuk baunya, maka dianggap semakin berkualitas. Untuk mengimbangi bau dan rasanya yang tajam, biasanya funazushi dimakan bersama sake. Untuk mengurangi bau dan rasanya yang tajam, bisa pula direndam dalam air teh dan jahe.[1]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Funazushi sudah ada sejak periode Nara. Funazushi sebenarnya dibuat untuk mengawetkan tangkapan ikan funa (ikan emas Carassius auratus). Ikan ini hanya tersedia dalam waktu yang singkat untuk ditangkap di Danau Biwa, Perfektur Shiga,[3] sementara penggemarnya banyak. Karena itulah pengawetan melalui fermentasi dilakukan.[4]

Pembuatan[sunting | sunting sumber]

Funazushi dibuat dengan cara membersihkan sirip dan isi perutnya terlebih dahulu. Darah yang keluar dari ikan harus dicuci sampai bersih. Setelahnya, garam dibalurkan ke seluruh tubuh ikan, termasuk insangnya. Ikan ini kemudian disimpan di gentong kayu dan diberati dengan batu. Setelah beberapa bulan, ikan dikeluarkan dan garamnya dicuci bersih, lalu dikeringkan. Setelah kering, balurannya diganti dengan beras terfermentasi, termasuk di bagian insang ikan. Ikan funa kemudian dikembalikan ke gentong kayu dan ditutup rapat dan disimpan beberapa bulan atau tahun. Setelah mendapat funazushi yang diharapkan, beras yang menempel kemudian dibuang.[4]

Rasa asam yang ada di funazushi berasal dari bakteri asam laktat dan berbagai mikroorganisme lainnya. Sementara melunaknya daging ikan dan tulangnya juga akibat fermentasi dan pemeraman yang lama, sehingga muncul pula aroma, rasa, dan rasa pahit yang berbeda.[3]

Penyajian[sunting | sunting sumber]

Seperti juga sashimi, funazushi disajikan dalam bentuk irisan tipis yang disusun melingkar, lalu kemudian dinikmati bersama nasi.[5] Bila tidak kuat dengan rasanya, bisa pula direndam dengan air teh dan jahe untuk menyamarkan bau busuknya. Funazushi dianggap terbaik dimakan saat musim dingin.[6]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Funazushi, bagian dari narezushi, adalah pengaruh budaya kuliner dari Asia Tenggara yang lebih dahulu mengenal fermentasi ikan. Pengaruh ini masuk pada periode Nara and Heian. Engishiki, manuskrip dari dari periode Heian sudah menjelaskan masuknya budaya kuliner fermentasi ikan kepada kaisar di Kyoto dari Kota Maibara sejak 1200 tahun lalu. Bahkan 400 tahun lalu, Nobunaga Oda dari periode Sengoku, sudah menggunakan funazush sebagai hadiah untuk Ieyasu Tokugawa, pendiri periode Edo.[7]

Budaya[sunting | sunting sumber]

Funazushi bukan sekedar makanan biasa. Ia pernah menjadi persembahan untuk dewa-dewi di Jepang. Ikan Funa dipercaya sebagai pelindung sawah dan nasi merupakan suatu karunia dari Tuhan, sehingga kombinasi keduanya akan menjadi persembahan yang ideal bagi dewa mereka.[3]

Kini funazushi tidak hanya bisa dinikmati di Jepang. Beberapa pengusaha makanan di Malaysia dan Thailand juga menyajikan masakan ini. Bahkan diperkirakan sebenarnya teknik pembuatan funazushi berasal dari Asia Tenggara yang kemudian mempengaruhi cara pengolahan ikan di Jepang.[8]

Dengan semakin berkurangnya populasi ikan nigorobuna di Perfektur Shiga, kini perburuan ikan ini semakin berkurang dengan berkembangnya kesadaran masyarakat setempat. Pembuatan dan konsumsi funazushi pun ikut menurun.[8]

Referensi[sunting | sunting sumber]