Etika informasi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Etika informasi merupakan salah satu cabang etika yang berfokus pada hubungan antara penciptaan, pengorganisasian, penyebaran, dan penggunaan informasi serta standar etis dan ketentuan moral yang mengatur perilaku manusia dalam bermasyarakat.[1] Etika adalah suatu cabang ilmu filsafat yang mempelajari tentang sebuah nilai ataupun kualitas (norma). Etika juga menjadi sebuah studi mengenai suatu standar dan penilaian tentang moralitas. Etika merupakan suatu kebiasaan tata cara dalam berperilaku, baik itu dalam keseharian maupun dalam lingkungan masyarakat.[2] Bahasannya mencakup etiket mengenai informasi sebagai sumber daya, sasaran, dan produk informasi. Kajian tersebut membantu merancang kerangka awal untuk mengatasi masalah-masalah moral yang terkait dengan privasi informasi, agen-agen moral, masalah lingkungan baru (terutama bagaimana agen-agen moral bersikap dalam infosphere), dan masalah yang timbul dari siklus hidup informasi (terutama mengenai kepemilikan dan hak cipta, kesenjangan digital, dan hak digital).[3]

Seorang pustakawan, arsiparis, maupun pegiat di bidang informasi lainnya dituntut untuk memiliki pemahaman yang baik dalam mengelola maupun menyebarluaskan informasi secara tepat serta bertanggung jawab terhadap tindakan mereka saat menangani informasi. Peran etika informasi telah berkembang dan merambah ke dalam berbagai bidang seperti etika komputer, etika sistem informasi, masalah etika dalam manajemen sistem informasi, dan kebijakan informasi.[4]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Istilah etika informasi mulai digunakan pada tahun 1980-an oleh penulis seperti Koenig (1981) dan Hauptmann (1989).[5] Robert Hauptman memuat istilah etika informasi dalam bukunya yang berjudul Ethical Challenges in Librarianship,[4] kemudian Hauptmann menerbitkan jurnal akademik (Journal of Information Ethics) pada tahun 1992 yang membahas kerahasiaan, keandalan (reliability), kualitas dan penggunaan informasi atau data.[5] Kajian etika informasi berkembang sekitar tahun 1980-an yang mencakup etika komputer; bersamaan dengan muncul masalah etika di bidang jurnalisme, ilmu perpustakaan dan informasi, kajian bisnis dan manajemen hingga bidang teknologi informasi seperti internet.[6]

Salah satu sekolah pertama yang memperkenalkan studi etika informasi adalah Universitas Pittsburgh pada tahun 1990. Studi tersebut merupakan studi tingkat magister tentang konsep etika informasi. Di tahun yang sama Universitas Negeri Kent juga membuka studi tingkat magister mengenai etika dengan perhatian khusus pada ahli profesi di perpustakaan dan bagian informasi. Setelahnya, istilah etika informasi menjadi lebih terkait dengan disiplin ilmu kompter dan teknologi informasi di universitas tertentu. Dengan munculnya internet, konsep etika informasi kini telah menyebar ke bidang lain selain kepustakawanan karena ketersediaan informasi yang dapat diakses dengan mudah.[4]

Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan etika informasi berkaitan dengan aspek etika, hukum, dan sosial dalam penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Prinsip-prinsip yang menjadi dasar etika informasi berasal dari Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, dan termasuk hak atas kebebasan berbicara, akses universal terhadap informasi, hak atas pendidikan, hak atas privasi dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya.[7]

Penyensoran[sunting | sunting sumber]

Masalah penyensoran sering menjadi topik utama dalam pembicaraan mengenai etika informasi, karena penyensoran sendiri membatasi seseorang dalam mengekspresikan maupun mengakses informasi berdasarkan anggapan bahwa hal tersebut tidak baik untuk dimuat atau disiarkan ke publik. Sumber-sumber yang biasanya sering disensor diantaranya buku, artikel, pidato, karya seni, data, musik, atau foto.[8] Kelompok masyarakat menilai penyensoran merupakan hal etis yang didasari atas keyakinan bahwa hal tersebut dapat mencegah pembaca atau pemirsa dari materi yang menyinggung dan tidak menyenangkan. Topik-topik seperti seksisme, rasisme, homofobia, dan antisemitisme hadir dalam pekerjaan umum dan secara luas dipandang tidak etis di mata publik. Dikhawatirkan topik-topik tersebut akan mempengaruhi generasi muda.

Berdasarkan Jurnal Perpustakaan Australia, orang-orang yang pro terhadap penyensoran di perpustakaan, khususnya para pustakawan menyatakan bahwa tindakan penyensoran adalah metode yang pantas untuk memberikan informasi kepada publik yang dianggap sehat secara moral. Menurut mereka, pustakawan memiliki "tanggung jawab etis" untuk melindungi pembaca, terutama generasi muda, agar tidak mengadopsi nilai-nilai yang tidak pantas yang mungkin tertulis dalam buku tersebut.[9] Namun, ahli filsafat Inggris, John Stuart Mill berbeda pendapat mengenai penyensoran karena tindakan tersebut bertentangan langsung dengan konsep moral utilitarianisme. Pengamat etika informasi lain juga berpendapat bahwa melakukan penyensoran di berbagai sumber informasi adalah hal yang tidak etis karena tidak dapat memberikan informasi yang tersedia kepada publik secara menyeluruh.[10]

Etika mengunduh[sunting | sunting sumber]

Masalah etika informasi juga terjadi pada kasus pengunduhan ilegal. Dalam sebuah penelitian mengungkapkan bahwa responden yang mengunduh musik secara gratis menganggap hal tersebut karena faktor kemajuan teknologi semata.[11] Masalah mendasarnya adalah sebagian besar masyarakat umum gagal melihat berbagi berkas via internet sebagai pencurian, atau jika mereka melakukannya, mereka tidak menganggapnya salah.[12]

Menurut ahli filsafat Amerika Serikat, Christian Barry, titik masalah dalam pengunduhan ilegal ialah karena masyarakat menganggap hal tersebut sebagai masalah sepele atau seperti pencurian biasa. Ia juga menilai bagi masyarakat umum, sebagai penikmat karya orang lain, semestinya juga menghargai hak kekayaan intelektual dari pencipta karya tersebut.[13]

Keamanan dan Privasi[sunting | sunting sumber]

Peran etika informasi dalam keamanan dan privasi juga menjadi perhatian penting. Privasi adalah hak seseorang untuk mengendalikan atau menentukan informasi mengenai dirinya yang boleh atau tidak boleh disiarkan tanpa seizin orang tersebut. Dalam hal ini terdapat data yang boleh dketahui oleh publik seperti nama, jenis kelamin, dan sebagainya, dan umumnya hal yang tidak boleh diketahui orang lain menyangkut kesehatan, hubungan seks, dan keuangan. Tetapi hal tersebut kini semakin terbuka untuk konsumsi publik karena adanya perkembangan teknologi informasi seperti internet dan jejaring media sosial.[14]

Rekam medis[sunting | sunting sumber]

kecenderungan dewasa ini dari perekaman medis ialah mengubahnya kedalam bentuk digital, sehingga informasi sensitif yang tercatat dalam rekam medis membuat tindakan pengamanan menjadi sangat penting.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Reitz, Joan M (2020). "ABC-CLIO > ODLIS > odlis_I". products.abc-clio.com. Diakses tanggal 2021-11-18. 
  2. ^ Sukoco, Heru; Widiastuti, Ida (2021). MSIM4408 – Etika Profesi (PDF). Tangerang Selatan: Universitas Terbuka. hlm. 1.4. ISBN 9786234806670. 
  3. ^ Carbo, Toni; Almagno, Stephen (2001). "Information Ethics: The Duty, Privilege and Challenge of Educating Information Professionals" (PDF). Library Trends. 49 (3): 510–518. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-09-10. Diakses tanggal 2021-11-18. 
  4. ^ a b c "A brief history of information ethics". BiD: textos universitaris de biblioteconomia i documentació. 2004-12. Diakses tanggal 2021-11-14. 
  5. ^ a b Sulistyo 2019, hlm. 5.
  6. ^ Sulistyo 2019, hlm. 6.
  7. ^ UNESCO (2013-06-21). "Information Ethics". UNESCO (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-18. 
  8. ^ Mathiesen 2008, hlm. 574.
  9. ^ Duthie, Fiona (2013). "Libraries and the Ethics of Censorship". The Australian Library Journal. 59 (3): 85–94. doi:10.1080/00049670.2010.10735994. 
  10. ^ Fallis, Don (2007). "Information Ethics for 21st Century Library Professionals". Library Hi Tech. 25 (1): 7. doi:10.1108/07378830710735830. 
  11. ^ Levin, Aron M.; Dato-on, Mary Conway; Rhee, Kenneth (2004-01-01). "Money for Nothing and Hits for Free: The Ethics of Downloading Music from Peer-to-Peer Web Sites". Journal of Marketing Theory and Practice. 12 (1): 48. doi:10.1080/10696679.2004.11658512. ISSN 1069-6679. 
  12. ^ Roberts, Eric (2003). "Is it ethical to download music for free?". cs.stanford.edu. Diakses tanggal 2021-11-18. 
  13. ^ Barry, Christian. "Is downloading really stealing? The ethics of digital piracy". The Conversation (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-11-18. 
  14. ^ Sulistyo 2019, hlm. 8.
  15. ^ Kruse, Clemens Scott (2017). "Security Techniques for the Electronic Health Records" (PDF). Journal of Medical Systems. 41 (8): 1. doi:10.1007/s10916-017-0778-4. 

Daftar Pustaka[sunting | sunting sumber]