Depresi pasca-skizofrenia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Depresi pasca-skizofrenia adalah episode depresi yang muncul setelah penyakit skizofrenia terlewati. Dalam kondisi ini, beberapa gejala alam perasaan (suasana hati) khas skizofrenia masih terjadi di bawah kadar normal. Seseorang yang mengalami depresi pasca-skizofrenia dapat mengalami gejala-gejala depresi dan juga gejala-gejala skizofrenia dalam kadar yang lebih rendah. Sayangnya, depresi sebagai gejala-gejala yang umum ditemukan pada pasien dengan skizofrenia tidak dikenali selama bertahun-tahun sebelum orang lain menyadari kehadiran depresi pada diri sang pasien.[1]

Tidak terdapat banyak riset dalam bidang ini, artinya hanya ada sedikit jawaban tentang bagaimana seharusnya depresi pasca-skizofrenia didiagnosa, diobati, atau bagaimana ciri khas dari penyakit ini.[2] Sejumlah ilmuwan membantah keberadaan depresi pasca-skizofrenia ini, dan hanya mengakui bahwa ini adalah sebuah tahap dalam penyakit skizofrenia Akhir-akhir ini, depresi pasca-skizofrenia secara resmi dikenali sebagai satu sindrom dan dianggap sebagai salah satu subjenis dari skizofrenia.

Gejala[sunting | sunting sumber]

Karena ciri khas dari skizofrenia akut mirip dengan depresi, membedakan kadar normal dari depresi pada pasien dengan skizofrenia dengan kadar depresi pasca-skizofrenia merupakan hal yang sulit. Dua gejala khas yang paling membantu dalam membedakan skizofrenia dan depresi adalah alam perasaan di bawah normal secara subjektif dan alam perasaan yang datar.[1] Sejumlah peneliti percaya bahwa depresi sebenarnya adalah gejala skizofrenia yang tertutupi oleh psikosis.[3] Meskipun demikian, kedua ciri-ciri ini biasanya mulai muncul setelah episode psikosis pertama, jika ada.[4]

Secara resmi, diagnosa akan depresi pasca-skizofrenia pada seorang pasien membutuhkan sang pasien tersebut untuk mengalami sebuah episode depresi, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang setelah menangani gangguan skizofrenia. Sang pasien harus menunjukkan beberapa gejala skizofrenia akan tetapi gejala skizofrenia itu tidak lagi merupakan fokus dari penyakit tersebut. Biasanya gejala-gejala depresi tidak cukup parah untuk digolongkan sebagai episode depresi yang berat. Secara resmi, diagnosa memerlukan sang pasien mengalami skizofrenia dalam satu tahun terakhir, sejumlah gejala skizofrenia, dan depresi yang hadir selama jangka dua minggu berturut-turut atau lebih lama dari itu.[5] Tanda-tanda skizofrenia yang lebih ringan mungkin terdiri dari penarikan diri dari pergaulan sosial, rasa tergugah/terhasut atau terserang secara verbal terhadap orang lain, serta tidur yang tidak teratur — seperti insomnia atau hipersomnia.

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Tidak ada sebab yang jelas tentang bagaimana pasien dengan skizofrenia mengembangkan depresi pasca-skizofrenia sementara yang lainnya melewati tahapan ini. Akan tetapi, ada beberapa teori tentang sebab-sebab yang mungkin. Mereka yang mengalami depresi pasca-skizofrenia sering kali mengalami isolasi sosial karena penyakit mereka, yang justru menambah kadar depresi mereka.[6] Terdapat bukti kuat bahwa isolasi karena stigma terjadi pada mereka yang mengalami penyakit kejiwaan dalam berbagai jenis masyarakat. Isolasi ini terjadi terutama pada mereka yang mengalami skizofrenia yang dipandang sebagai berbahaya dan perilakunya tidak dapat diprediksi.[6]

Karena isolasi ini dan juga penelitian yang mengaitkan antara isolasi sosial dan depresi ini, terbuka kemungkinan bahwa pasien-pasien yang berada di bawah tekanan stigma akhirnya mengembangkan depresi pasca-skizofrenia.[7] Depresi pada pasien dengan skizofrenia dapat juga disebabkan oleh penyalahgunaan bahan, yang cukup umum di antara orang yang mengalami skizofrenia; karena bahan-bahan seperti alkohol dan ganja dipakai sebagai penekan sistem saraf pusat (depressant) agar merilekskan sang pasien.[8] Selain itu, karena minimnya informasi yang diketahui tentang depresi pasca-skizofrenia, awal (onset) skizofrenia mungkin disebabkan karena pasien dengan skizofrenia tersebut tidak diberikan antipsikotik.[9] Setelah obat-obatan antipsikotik berhenti diberikan, dosis antidepresan untuk pasien dengan skizofrenia harus mulai ditingkatkan. Adapun mereka yang diberikan pengobatan antipsikotik dilaporkan mengalami lebih sedikit gejala-gejala depresi. Karena itu, dipercaya bahwa kurangnya penggunaan antipsikotik pada tahap awal skizofrenia dapat mengakibatkan orang tersebut untuk mengalami depresi pasca-skizofrenia.[10]

Akan tetapi, beberapa profesional dalam bidang psikologi masih memaksakan pengurangan penggunaan obat-obatan neuroleptik, sejalan dengan kepercayaan populer bahwa depresi pasca-skizofrenia disebabkan oleh pengobatan neuroleptik. Para terapis juga diyakini untuk [turut] terlibat dalam [penanganan] depresi pada orang dengan skizofrenia, dengan banyak memberikan terapi wicara setelah sang pasien mengatasi gejala-gejala skizofrenianya.[3] Skizofrenia itu sendiri dapat pula dilihat sebagai salah satu penyebab depresi pasca-skizofrenia ini. Penelitian yang dilakukan selama dua tahun yang mengamati pasien dengan skizofrenia serta memantau depresi mereka gagal untuk menemukan penyebab potensial seperti yang telah disebutkan di atas, maka terdapat kemungkinan bahwa merupakan karakter (nature) dari skizofrenia itu sendirilah yang menjadi sebab utama depresi ini.[11]

Bunuh diri[sunting | sunting sumber]

Mereka yang mengalami depresi pasca-skizofrenia juga umum untuk punya risiko untuk bunuh diri.[1] Ada tren yang mengaitkan bunuh diri dengan depresi pasca-skizofrenia berdasarkan penelitian Mulholland dan Cooper dalam riset mereka yang berjudul The Symptoms of Depression in Schizophrenia and its Management (Gejala-Gejala Depresi pada Skizofrenia dan Pengelolaannya). Selain itu, depresi dan skizofrenia telah diteliti secara mandiri oleh berbagai pihak agar ditemukan kaitan antara keduanya, dan berbagai penelitian telah mengindikasikan bahwa ada kecenderungan untuk pasien dengan depresi atau dengan skizofrenia untuk bunuh diri.[12]

Menurut statistik, dari keseluruhan pasien dengan skizofrenia, 10% meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Pasien depresi pasca-skizofrenia punya risiko yang tinggi untuk bunuh diri pada bulan-bulan pertama setelah diagnosa dan setelah pulang dari rawat-inap di rumah sakit.[13] Faktor risiko yang meningkatkan kecenderungan bunuh diri adalah – dari yang tertinggi ke yang terendah – riwayat depresi sebelumnya, riwayat percobaan bunuh diri, penyalahgunaan bahan, dan beberapa faktor lainnya.[14] The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders (Panduan Penggolongan Gangguan Jiwa dan Perilaku) yang diterbitkan oleh WHO secara resmi mengenali bunuh diri sebagai aspek yang menonjol pada depresi pasca-skizofrenia. Karena peningkatan yang tajam dalam hal bunuh diri ini, merupakan hal yang sulit untuk mempelajari depresi pasca-skizofrenia seiring dengan banyak korbannya yang meninggal karena hal ini.

Pengobatan[sunting | sunting sumber]

Selama bertahun-tahun, para ahli berdebat apakah antipsikotik memiliki kecenderungan untuk meningkatkan depresi atau sebaliknya membantu pasien mengelola penyakit kejiwaan mereka. Akan tetapi, bukti-bukti penelitian mengarahkan pada kesimpulan bahwa antipsikotik pada kenyataannya membantu pasien untuk mengatasi depresi bersamaan dengan manfaat lainnya dalam menekan episode skizofrenia.[11] Secara spesifik: risperidon, olanzapin, quetiapin, flufenazin, haloperidol, dan L-sulpiride telah terbukti merupakan obat terbaik berdasarkan uji klinis dalam kaitannya dengan gangguan skizofrenia.[13]

Bersama dengan pemberian antipsikotik, pasien mungkin saja juga diberikan antidepresan untuk secara aktif mengobati depresinya.[4] Obat-obatan tentu saja bukan jawaban satu-satunya. Pada dasarnya, baik pada depresi maupun skizofrenia, penarikan diri dari pergaulan sosial adalah gejala yang muncul di kedua penyakit tersebut. Orang dengan skizofrenia membutuhkan sistem dukungan yang kuat untuk tetap sehat, sebagaimana anggota masyarakat lainnya. Kesempatan untuk menjadi anggota masyarakat yang setara adalah cara lain untuk mengenyahkan depresi pada pasien dengan skizofrenia, maka bantulah mereka untuk menciptakan ikatan sosial dan membuat perasaan telah berhasil mencapai sesuatu.[1]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d “The symptoms of depression in schizophrenia and its management”. Advances in Psychiatric Treatment. 1 May 2000.
  2. ^ Jeczmien, P; Levkovitz, Y; Weizman, A; Carmel, Z (August 2001). “Post-psychotic depression in schizophrenia.”. The Israel Medical Association Journal. 3: 589–92. PMID11519384.
  3. ^ a b “Post-schizophrenic depression”. Annales Medico-Psychologiques. Jun 1975.
  4. ^ a b Ivanets, NN; Kinkul’kina, MA (2008). “Depression in schizophrenia”. Vestnik Rossiiskoi akademii medistinskikh nauk (10): 55–63. PMID19140400.
  5. ^ The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders. World Health Organization.
  6. ^ a b “Attitudes of mental health professionals toward people with schizophrenia and major depression”. Schizophrenia Bulletin.
  7. ^ “Stigmatisation of people with mental illnesses”. The British Journal of Psychiatry. July 2000.
  8. ^ “Substance abuse in first-episode schizophrenic patients: A retrospective study”. Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health.
  9. ^ “Outpatient maintenance of chronic schizophrenic patients with longterm fluphenazine: double-blind placebo trial”. British Medical Journal.
  10. ^ “Dysphoric and depressive symptoms in chronic schizophrenia”. Schizophrenic Research. 1989.
  11. ^ a b Johnson, D. (1981). “Studies of depressive symptoms in schizophrenia”(PDF). British Journal of Psychiatry.
  12. ^ “Depressive, suicidal behaviour and insight in adolescents with schizophrenia”. European Child & Adolescent Psychiatry. 15: 352–359. 7 April 2006. doi:1007/s00787-006-0541-8.
  13. ^ a b Samuel, Siris (August 2012). “Treating ‘depression’ in patients with schizophrenia”. Current Psychiatry.
  14. ^ “Schizophrenia and suicide: systematic review of risk factors”. The British Journal of Psychiatry. June 2005.
Klasifikasi