Bratalegawa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Bratalegawa, Dewa Bratalegawa, Haji Purwa atau Haji Baharudin Al-Jawi adalah orang Sunda pertama yang tercatat memeluk agama Islam.[1] Ia adalah seorang pangeran dan saudagar dari Kerajaan Galuh, putra dari raja Bunisora. Keterangan ini tercantum dalam Carita Parahyangan.[1] Sumber-sumber lain mengenai Bratalegawa dan tokoh Islam di tatar Sunda terdahulu berasal dari Carita Purwaka Caruban Nagari, juga naskah-naskah tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan Babad Cirebon.

Riwayat Hidup[sunting | sunting sumber]

Silsilah[sunting | sunting sumber]

Bratalegawa adalah putra kedua dari Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata, atau lebih dikenal dengan nama Bunisora (berkuasa 1357-1371), penguasa kerajaan Galuh sekitar abad ke-13. Ia juga merupakan sepupu dari Dyah Pitaloka Citraresmi, putri Galuh yang gugur dalam insiden Perang Bubat antara kerajaan Galuh dan Majapahit di tahun 1357. Bunisora menggantikan kakaknya yang bernama Prabu Maharaja Linggabuana (berkuasa 1350-1357), yang juga gugur saat terjadi insiden Perang Bubat. Dikarenakan anak Linggabuana, Anggalarang, masih sangat muda saat Linggabuana gugur, takhta kerajaan Galuh dipegang sementara oleh Bunisora sampai ia menyerahkan takhta kembali kepada keponakannya.[2]

Interaksi Awal dengan Islam[sunting | sunting sumber]

Sebagai seorang saudagar, Bratalegawa banyak melakukan perjalanan perdagangan ke luar daerah Nusantara. Ia mulai mengenal Islam saat melakukan perjalanan ke India (Kesultanan Delhi), di mana ia mulai berinteraksi dengan para pedagang Arab yang juga berdagang di sana. Ia lalu masuk Islam dan menikah dengan seorang muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad.[3] Keduanya lalu berangkat ke Mekkah untuk beribadah haji, di mana Bratalegawa kemudian mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi.[4] Sebagai orang dari Galuh yang pertama kali menjalankan ibadah haji, ia selanjutnya dikenal dengan julukan haji purwa (purwa dalam bahasa sunda berarti awal-mula atau terdahulu).[5][6]

Penyebaran Islam di Tatar Sunda[sunting | sunting sumber]

Bratalegawa dan keluarganya pulang ke Kawali, ibukota Galuh di tahun 1337, di mana ia mencoba untuk menyebarkan Islam di kalangan istana. Ia mencoba untuk mengislamkan kedua saudara kandungnya, Giri Dewanti dan Ratu Banawati, namun ajakannya tersebut ditolak oleh kedua saudara kandungnya.[1] Dikarenakan pengaruh Hindu yang masih sangat kuat di lingkungan kerajaan Galuh, Bratalegawa memutuskan untuk keluar dari Kawali dan menetap di Caruban Girang (sekarang Kab. Cirebon) yang masih bagian dari wilayah Galuh, di mana penyebaran Islam yang dilakukan olehnya di sana cukup berhasil.[3] Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Bratalegawa di Caruban Girang menghasilkan terbentuknya komunitas muslim pesisir pertama di wilayah tatar Sunda, di mana Caruban Girang atau Cirebon sepeninggalnya menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah Kerajaan Sunda dan Galuh.[7]

Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c "Dewa Bratalegawa Orang Islam Pertama di Jawa Barat | Republika Online". Republika Online. Diakses tanggal 2018-04-03. 
  2. ^ "West Java Investment Partnership". investasi.jabarprov.go.id. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  3. ^ a b "Muslim Pertama di Tatar Sunda". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia. Diakses tanggal 2020-11-01. 
  4. ^ A. Sobana Hardjasaputra, Islam di Tatar Sunda dan Hubungan Bupati dengan Ulama Zaman Hindia Belanda, makalah disampaikan dalam seminar Islam di Tatar Sunda Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda 30 September. Diselenggarakan oleh MSI Komisariat UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
  5. ^ "Penyebaran Islam di Tanah Sunda (2): Para Perintis – Gana Islamika" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-01. 
  6. ^ Atja Carita Purwaka Caruban Nagari: Karya Sastra Sebagai Sumber Pengetahuan Sejarah, Proyek Permuseuman Jawa Barat, Bandung, 1986 Hal.47
  7. ^ Bisri, Cik Hasan; Heryati, Yeti; Rufaidah, Eva (2005). Pergumulan Islam dengan kebudayaan lokal di Tatar Sunda. Kaki Langit. ISBN 978-979-99081-1-7.