Negara-negara Tentara Salib: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 61: Baris 61:
* {{cite book|last=Tyerman|first=Christopher|title=The World of the Crusades|url=https://books.google.com/books?id=GIOVDwAAQBAJ|year=2019|publisher=[[Yale University Press]]|isbn=978-0-300-21739-1}}
* {{cite book|last=Tyerman|first=Christopher|title=The World of the Crusades|url=https://books.google.com/books?id=GIOVDwAAQBAJ|year=2019|publisher=[[Yale University Press]]|isbn=978-0-300-21739-1}}
{{refend}}
{{refend}}

== Bahan bacaan lanjutan ==
* {{cite book|last=Holt|first=Peter Malcolm|author-link=Peter Holt (historian)|title=The Crusader States and Their Neighbours, 1098-1291|url=https://books.google.com/books?id=A0qLHVGgH7AC&pg=PA8|year=2004|publisher=[[Pearson Longman]]|isbn=978-0-582-36931-3|ref=none}}
* {{cite book |last1=Riley-Smith |first1=Jonathan |title=The Feudal Nobility and the Kingdom of Jerusalem, 1174–1277 |date=1973 |publisher=[[The Macmillan Press]] |isbn=978-1-349-15498-2|ref=none}}

== Pranala luar ==
* {{commons category-inline|Crusader states|Negara-negara Tentara Salib}}
{{Negara-negara Tentara Salib}}


[[Kategori:Sejarah Timur Tengah]]
[[Kategori:Sejarah Timur Tengah]]

Revisi per 11 April 2023 03.00

Negara-negara Tentara Salib pada tahun 1135

Negara-negara Tentara Salib, yang juga dikenal dengan sebutan Outremer, adalah empat negara Kristen Katolik di Timur Tengah yang berdiri dari tahun 1098 sampai 1291. Negara-negara feodal ini didirikan oleh para Panglima Tentara Salib Katolik Latin pada Perang Salib I melalui penaklukan dan intrik politik. Keempat negara tersebut adalah Kabupaten Edesa (tahun 1098–1150), Kepangeranan Antiokhia (tahun 1098–1287), Kabupaten Tripoli (tahun 1102–1289), dan Kerajaan Yerusalem (tahun 1099–1291). Kerajaan Yerusalem berdaulat atas kawasan yang kini menjadi wilayah negara Israel dan Palestina, daerah Tepi Barat, daerah Jalur Gaza, dan daerah-daerah sekitarnya. Tiga negara selebihnya berada di utara, dan berdaulat atas kawasan pesisir yang kini menjadi wilayah negara Suriah, kawasan tenggara wilayah Turki, dan wilayah negara Libanon. Sebutan "negara-negara Tentara Salib" bisa saja menimbulkan kesalahpahaman, karena dari tahun 1130 hanya segelintir dari populasi orang Peringgi yang menjadi anggota pasukan Tentara Salib. Istilah "Outremer", yang digunakan para penulis Abad Pertengahan maupun zaman modern sebagai sinonimnya, berasal dari istilah Prancis yang berarti tanah seberang.

Pada tahun 1098, rombongan ziarah bersenjata ke Yerusalem bergerak melintasi Suriah. Tentara Salib yang bernama Balduinus, putra bungsu Bupati Boulogne, merebut tampuk pemerintahan Edesa dengan mengudeta penguasanya yang beragama Kristen Ortodoks Yunani, dan Tentara Salib yang bernama Bohemundus, Pangeran Taranto, menjadi Pangeran Antiokhia sesudah Tentara Salib berhasil merebut kota itu. Pada tahun 1099, Yerusalem berhasil direbut sesudah sebulan lebih dikepung. Konsolidasi wilayah kemudian dilakukan, antara lain dengan merebut Tripoli. Pada masa jayanya, wilayah kedaulatan negara-negara ini meliputi kawasan pesisir yang kini menjadi kawasan selatan wilayah Turki, wilayah Suriah, wilayah Libanon, serta wilayah Israel dan Palestina. Edesa direbut seorang panglima perang Turki pada tahun 1144, tetapi tiga negara selebihnya terus berdaulat sampai akhirnya ditumbangkan Kesultanan Mamluk pada abad ke-13. Antiokhia jatuh ke tangan musuh pada tahun 1268, dan Tripoli mengalami nasib yang sama pada tahun 1289. Sesudah Ako, ibu kota Kerajaan Yerusalem, jatuh ke tangan musuh pada tahun 1291, wilayah kedaulatan yang tersisa pun sirna dalam waktu singkat, dan warganya mengungsi ke Kerajaan Siprus (didirikan seusai Perang Salib III).

Kajian negara-negara Tentara Salib sebagai suatu bidang kajian mandiri, alih-alih sebagai cabang kajian Perang Salib, muncul pada abad ke-19 di Prancis sebagai analogi kiprah kolonial Prancis di Levans. Para sejarawan abad ke-20 menolak kajian tersebut. Menurut pandangan konsensus mereka, orang Peringgi, yakni orang-orang Eropa Barat, merupakan golongan minoritas yang tinggal di kota-kota, terisolasi dari masyarakat pribumi, dan memiliki tatanan kehakiman maupun keagamaan sendiri. Masyarakat pribumi, adalah masyarakat Kristen dan Islam penutur bahasa Arab, Yunani, dan Suryani.

Warisan sejarah

Mengingat kebiasaan orang Peringgi yang terus mengamalkan adat-istiadat negeri asal mereka, yakni adat-istiadat Eropa Barat, dapat dimaklumi jika hanya segelintir inovasi mereka yang sanggup bertahan menyintasi zaman. Tiga kekecualian yang menonjol adalah tarekat-tarekat militer, inovasi di bidang peperangan, dan inovasi di bidang perbentengan. Tidak ada penyair, teolog, sarjana, maupun sejarawan besar Eropa yang menetap di Levans, kendati citraan-citraan dan gagasan-gagasan baru di bidang seni puisi Barat dapat ditelusuri asal-usulnya sampai kepada beberapa tokoh yang berkunjung ke Levans dalam rangka berziarah. Sekalipun mereka sendiri tidak bermigrasi ke Timur, karya-karya mereka kerap menggugah orang-orang lain untuk berkunjung ke Levans sebagai peziarah.[1] Para sejarawan yakin bahwa arsitektur Tentara Salib memperlihatkan suatu sintesis dari tradisi Eropa, tradisi Romawi Timur, dan tradisi Islam, juga bahwasanya arsitektur Tentara Salib merupakan capaian artistik Tentara Salib yang paling memukau.[2]

Sesudah Ako jatuh ke tangan Mamluk, tarekat Kesatria Penyantun pertama-tama memindahkah markasnya ke Siprus, kemudian menaklukkan dan memerintah Rodos (tahun 1309–1522) dan Malta (tahun 1530–1798). Tarekat Militer Berdaulat Malta masih bertahan sampai sekarang. Kemungkinan besar alasan-alasan keuangan dan politiklah yang mendorong Raja Philippe Rupawan untuk menentang tarekat Kesatria Haikal. Akibat tekanannya pula Paus Klemens V membubarkan tarekat Kesatria Haikal pada tahun 1312 lantaran terbukti bersalah melakukan tindak pidana semburit, sihir, dan bidat, yang kemungkinan besar hanyalah dalih belaka yang direkayasa untuk menjatuhkan nama baik mereka.[3] Pembentukan dan pengangkutan pasukan, serta penyelenggaraan perbekalan untuk angkatan bersenjata mendorong munculnya perniagaan antara Eropa dan negara-negara Tentara Salib. negara-negara kota Genova dan Venesia di Italia menjadi makmur berkat komune-komune dagang penghasil laba.[4][5] Banyak sejarawan berpendapat bahwa interaksi antara umat Kristen Barat dan kebudayaan Islam adalah pengaruh penting dan positif yang turut andil dalam perkembangan peradaban Eropa dan Renaisans.[6] Perhubungan antara orang Eropa dan Dunia Islam merentang sepanjang bentangan Laut Tengah, sehingga menyulitkan para sejarawan untuk mengidentifikasi mana saja hasil kawin-silang budaya yang berasal dari negara-negara Tentara Salib, yang berasal dari Sisilia, dan yang berasal dari Spanyol.[7]

Historiografi

Pada abad ke-19, negara-negara Tentara Salib dijadikan sebuah bidang studi tersendiri, terpisah dari bidang studi Perang Salib, terutama di Prancis. Narasi-narasi hebat dari Joseph François Michaud secara khusus mengulik topik-topik perang, penaklukan, dan pemukiman, secara terang-terangan dikait-kaitkan dengan ambisi-ambisi kolonial Prancis di Levans. Les colonies franques de Syrie aux XIIme et XIIIme siècles karya Emmanuel Rey menyifatkan permukiman-permukiman Peringgi di Levans sebagai koloni, tempat anak-anak hasil kawin campur mengadopsi adat-istiadat setempat. Sejarawan Perang Salib pertama dari Amerika, Dana Carleton Munro, memaparkan jerih payah orang Peringgi untuk ‘’memikat hati bumiputra’’. Para sejarawan menolak pendekatan ini pada abad ke-20. menurut R. C. Smail, pendekatan tersebut mengidentifikasi sebuah masyarakat teritegrasi yang tidak pernah maujud demi membenarkan kolonialisme Prancis. Menurut konsensus baru, masyarakat Peringgi di Levans sesungguhnya tersegregasi, dengan pertukaran sosial dan budaya yang terbatas. Berfokus pada bukti kerangka kerja sosial, hukum, dan politik di Yerusalem, Joshua Prawer dan Jonathan Riley-Smith menyajikan pandangan yang berterima luas, yakni pandangan bahwa masyarakat Peringgi di Levans adalah masyarakat yang sangat bersifat perkotaan, terisolasi dari masyarakat pribumi, dengan tatanan kehakiman dan keagamaannya sendiri. Karya tulis Prawer yang terbit tahun 1972, The Latin Kingdom of Jerusalem: European Colonialism in the Middle Ages, memperluas analisis tersebut dengan mengatakan bahwa ketiadaan integrasi berpangkal pada bidang ekonomi, manakala kedudukan orang Peringgi bergantung kepada masyarakat bumiputra yang tertaklukkan dan ternafikan hak-haknya. Motivasi-motivasi utama orang Peringgi adalah motivasi-motivasi ekonomi. Menurut sejarawan agama Islam, Carole Hillenbrand, masyarakat Islam menanggapinya dengan rasa dongkol, curiga, dan penolakan terhadap orang Peringgi.[8] Pandangan tersebut belakangan ini disanggah para sejarawan semisal Ronnie Ellenblum dengan menggunakan penelitian arkeologis, tetapi belum ada model alternatif yang diterima.[9] Christopher Tyerman menunjukkan bahwa langkah tersebut bukanlah tindakan berbalik kepada teori-teori lama karena sumber-sumber yang sama jua yang digunakan dan arkeologi tidak dapat dipastikan kebenarannya. Di mata spesialis Denys Pringle, langkah ini tidak berkontradiksi dengan pandangan sebelumnya. Hans Eberhard Mayer sebelumnya sudah menganjurkan supaya jumlah orang Peringgi yang tinggal di daerah pedesaan jangan disepelekan.[10] Teori-teori tersebut mendukung gagasan bahwa negara-negara Tentara Salib merupakan bagian dari ekspansi Eropa Barat yang lebih besar, didorong oleh gerakan pembaruan agamawi dan kekuasaan paus yang kian menanjak. Meskipun demikian, para sejarawan berpendapat bahwa tidak ada gerakan pembaruan Gereja di Timur maupun aniaya terhadap orang Yahudi dan Ahli bidat sebagai konsekuensinya. Sejumlah pihak menganggap regulasi-regulasi Konsili Nablus tahun 1120 sebagai kekecualian, dan Benjamin Z. Kedar yakin bahwa regulasi-regulasi tersebut mengikuti preseden yang ada di Gereja Bizantin, alih-alih preseden yang ada di Gereja Barat pascapembaruan.[11] Perdebatan telah mendorong para sejarawan semisal Claude Cahen, Jean Richard, dan Christopher MacEvitt untuk berpendapat bahwa sejarah negara-negara Tentara Salib pada hakikatnya berbeda dari sejarah Perang Salib, sehingga terbuka ruang bagi penerapan teknik-teknik analisis lain yang menempatkan negara-negara Laskar Salib di dalam konteks percaturan politik Timur Dekat. Gagasan-gagasan ini masih sedang diartikulasikan oleh para sejarawan modern.[12]

Keterangan

Rujukan

  1. ^ Prawer 1972, hlm. 252, 468.
  2. ^ Prawer 1972, hlm. 280–281.
  3. ^ Davies 1997, hlm. 359.
  4. ^ Housley 2006, hlm. 152–154.
  5. ^ Davies 1997, hlm. 359–360.
  6. ^ Nicholson 2004, hlm. 96.
  7. ^ Asbridge 2012, hlm. 667–668.
  8. ^ MacEvitt 2008, hlm. 14–17.
  9. ^ MacEvitt 2008, hlm. 13–14.
  10. ^ Tyerman 2011, hlm. 174–176.
  11. ^ MacEvitt 2008, hlm. 18–21.
  12. ^ Tyerman 2011, hlm. 177–178.

Kepustakaan

Bahan bacaan lanjutan

Pranala luar