Diskriminasi warna kulit: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Gpangestujati (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Gpangestujati (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 30: Baris 30:
Banyak literatur terkini tentang masyarakat Asia menyoroti peran klasisme dan estetika dalam pembentukan preferensi warna awal, sebelum kontak Barat, yang sering didasarkan pada status dan paparan sinar matahari. Orang-orang dalam pekerjaan berstatus rendah bekerja di bawah sinar matahari, sedangkan orang-orang berstatus tinggi cenderung bekerja di dalam ruangan. Selain itu, untuk wanita khususnya, kulit yang terang telah dikaitkan tidak hanya dengan kelas rekreasi, tetapi juga dengan feminitas, kecantikan, dan kemurnian.<ref>{{Cite book|last=Hall|first=Ronald E.|date=2010-03-10|url=https://books.google.com/books?id=o_FGvL1ZQ3IC&newbks=0&printsec=frontcover&hl=en|title=An Historical Analysis of Skin Color Discrimination in America: Victimism Among Victim Group Populations|publisher=Springer Science & Business Media|isbn=978-1-4419-5505-0|language=en}}</ref>
Banyak literatur terkini tentang masyarakat Asia menyoroti peran klasisme dan estetika dalam pembentukan preferensi warna awal, sebelum kontak Barat, yang sering didasarkan pada status dan paparan sinar matahari. Orang-orang dalam pekerjaan berstatus rendah bekerja di bawah sinar matahari, sedangkan orang-orang berstatus tinggi cenderung bekerja di dalam ruangan. Selain itu, untuk wanita khususnya, kulit yang terang telah dikaitkan tidak hanya dengan kelas rekreasi, tetapi juga dengan feminitas, kecantikan, dan kemurnian.<ref>{{Cite book|last=Hall|first=Ronald E.|date=2010-03-10|url=https://books.google.com/books?id=o_FGvL1ZQ3IC&newbks=0&printsec=frontcover&hl=en|title=An Historical Analysis of Skin Color Discrimination in America: Victimism Among Victim Group Populations|publisher=Springer Science & Business Media|isbn=978-1-4419-5505-0|language=en}}</ref>


=== Jepang ===
Misalnya, di Jepang, keputihan selama berabad-abad, jika tidak lebih dari satu milenium, memiliki makna simbolis dan asosiasi dengan hak istimewa kelas, kemurnian spiritual, dan kecantikan feminin. Seni Jepang sering menggambarkan orang Jepang lebih putih daripada orang Eropa, yang terkadang digambarkan abu-abu atau berdaging. Gagasan orang Jepang dan orang Asia Timur lainnya sebagai "kuning" baru muncul pada abad kesembilan belas, ketika kuning dikaitkan dengan ras mongoloid. Berkenaan dengan India, ada perdebatan ilmiah yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara warna kulit dan sistem kasta. Ayyar & Khandare (2013) berpendapat bahwa warna kulit berimplikasi pada dewa-dewa Hindu kuno dan teks-teks yang merumuskan hierarki kasta dan hegemoni Brahmana. Sarjana lain berpendapat bahwa sistem kasta pada awalnya tidak terfokus pada kategorisasi berdasarkan warna kulit. Sebaliknya, setiap kelas memiliki warna terkait yang bukan sekadar gradasi pada kontinum linier putih-ke-hitam; warna tidak deterministik, karena individu berkulit gelap juga anggota kasta yang lebih tinggi dan beberapa dewa digambarkan dengan kulit gelap. Meskipun asal usulnya mungkin terpisah, seiring waktu sistem kasta dan warna kulit menjadi terkait saat kulit terang tumbuh untuk mengembangkan konotasi kasta dan kelas, karena fakta bahwa individu kelas atas yang dapat menghindari pekerjaan di luar ruangan seringkali lebih ringan; Gagasan ras Barat, yang menyertai pedagang Eropa dan kemudian pemerintahan Inggris, memperkuat asosiasi ini. Filipina, di sisi lain, memberikan contoh rasisme Barat (baik dalam varian Iberia dan Amerika Utara) yang berubah dengan warna Timur yang lebih baru. Selama periode kolonial, penjajah Spanyol memberlakukan sistem kasta warna yang mirip dengan sistem di Amerika Latin kepada penduduk asli Filipina; diikuti oleh kolonisasi Amerika yang dipengaruhi Jim Crow. Baru-baru ini, sistem ini diperparah oleh pengaruh yang berkembang dari ide-ide Asia Timur tentang kesuksesan dan keindahan dan oleh preferensi estetika yang ditransplantasikan oleh diaspora global Filipina pada abad kedua puluh. Saat ini, banyak orang Filipina mengidealkan "keindahan Asia Timur," yang didefinisikan oleh kekuatan ekonomi yang biasanya berkulit lebih terang dari Jepang, Cina, dan Korea.
Di Jepang, kata benda ''iro'' menunjukkan 'warna kulit' ketika kata itu digunakan untuk orang. Misalnya, '''Kobayashi-san wa iro ga shiroi''<nowiki/>' (secara harfiah, 'warna kulit Tuan Kobayashi adalah putih') berarti 'Tuan Kobayashi adalah pria berkulit pucat'. Namun, bukan berarti 'Tuan Kobayashi adalah seorang bule'. Satu-satunya kata yang menunjukkan kulit terang seseorang adalah ''shiro'' (warna putih), sedangkan kata yang menunjukkan kulit gelap adalah ''kuro'' (hitam). Warna kulit orang Jepang dikenal dan diekspresikan sebagai dikotomi 'putih' dan 'hitam' dan dikotomi warna kulit ini biasanya diekspresikan dengan mengacu pada banyak dikotomi lainnya.<ref name=":8">{{Cite journal|last=Ashikari|first=Mikiko|date=2005-03-01|title=Cultivating Japanese Whiteness: The ‘Whitening’ Cosmetics Boom and the Japanese Identity|url=https://doi.org/10.1177/1359183505050095|journal=Journal of Material Culture|language=en|volume=10|issue=1|pages=73–91|doi=10.1177/1359183505050095|issn=1359-1835}}</ref> Secara umum, kulit putih memiliki implikasi yang positif. Biasanya, kulit putih termasuk dalam pujian. Sementara itu, warna kulit hitam dianggap penghinaan. Ketika ada orang yang mengatakan "kulit Anda hitam" itu berarti ia sedang menghina<ref>Ashikari, M. (1995) ‘Artificial Light Skin as the Sign of Femininity and of National Identity in Contemporary Japan’, unpublished MA thesis, University of California, Davis</ref>.


Topik warna kulit cukup sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Bukan warna rambut, atau warna mata, tetapi warna kulit yang menjadi salah satu perhatian utama orang ketika mereka berbicara tentang penampilan di Jepang. Banyak informan, baik laki-laki maupun perempuan, yang bersikeras bahwa kulit putih idealnya hanya untuk wanita dan kulit gelap adalah ideal pria. Namun dalam banyak kesempatan, kulit gelap pria Jepang, dan juga wanita Jepang, dianggap negatif, dibandingkan dengan kulit putih yang 'ideal'<ref name=":8" />.
Di seluruh Asia, orang Asia Timur yang berkulit lebih terang, terutama individu campuran yang memiliki ciri-ciri Eropa, diidealkan dan dikontraskan dengan orang Filipina, Kamboja, dan Vietnam yang berkulit lebih gelap. Keistimewaan fenotipe campuran Eropa/Asia—termasuk fitur tubuh lain selain warna kulit, seperti bibir, mulut, hidung, mata, dan, terutama, kelopak mata—menghasilkan apa yang Rondilla (2009, hlm. 64) ) menyebut "kecantikan Asia menurut imajinasi kulit putih." Penggunaan bedah kosmetik untuk mencapai fitur Anglo menyebar dengan cepat tidak hanya di Asia Tenggara tetapi juga secara global, memungkinkan konsumen sebagai sarana untuk “membeli modal rasial”.

=== India ===
Berkenaan dengan India, ada perdebatan ilmiah yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara warna kulit dan sistem kasta. Warna kulit berimplikasi pada dewa-dewa Hindu kuno dan teks-teks yang merumuskan hierarki kasta dan hegemoni Brahmana<ref>{{Cite book|last=Ayyar|first=Varsha|last2=Khandare|first2=Lalit|date=2013|url=https://doi.org/10.1007/978-94-007-4608-4_5|title=Mapping Color and Caste Discrimination in Indian Society|location=Dordrecht|publisher=Springer Netherlands|isbn=978-94-007-4608-4|editor-last=Hall|editor-first=Ronald E.|pages=71–95|language=en|doi=10.1007/978-94-007-4608-4_5}}</ref>. Dalam epos ''Ramayana'' versi India pun digambarkan adanya dikotomi antara hitam dan putih. Putih atau warna yang lebih terang dianggap sesuatu yang cantik dan ideal<ref name=":9">{{Cite book|last=Saraswati|first=L. Ayu|date=2013-03-31|url=https://books.google.com/books?id=sVgEEAAAQBAJ&newbks=0&printsec=frontcover&hl=en|title=Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia|publisher=University of Hawaii Press|isbn=978-0-8248-3787-7|language=en}}</ref>. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa sistem kasta pada awalnya tidak terfokus pada kategorisasi berdasarkan warna kulit. Sebaliknya, setiap kelas memiliki warna terkait yang tidak sekadar gradasi pada kontinum linier putih-ke-hitam. Hal ini disebabkan, individu berkulit gelap juga anggota kasta yang lebih tinggi dan beberapa dewa digambarkan dengan kulit gelap. Meskipun asal usulnya mungkin terpisah, seiring waktu sistem kasta dan warna kulit menjadi terkait saat kulit terang tumbuh untuk mengembangkan konotasi kasta dan kelas karena fakta bahwa individu kelas atas yang dapat menghindari pekerjaan di luar ruangan sering kali lebih ringan. Gagasan ras Barat, yang menyertai pedagang Eropa dan kemudian pemerintahan Inggris, memperkuat asosiasi ini<ref name=":3" />.

=== Filipina ===
Filipina, di sisi lain, memberikan contoh rasisme Barat (baik dalam varian Iberia dan Amerika Utara) yang berubah dengan warna Timur yang lebih baru. Selama periode kolonial, penjajah Spanyol memberlakukan sistem kasta warna yang mirip dengan sistem di Amerika Latin kepada penduduk asli Filipina. Kemudian, langkah ini diikuti oleh kolonisasi Amerika yang dipengaruhi Jim Crow. Baru-baru ini, sistem ini diperparah oleh pengaruh yang berkembang dari ide-ide Asia Timur tentang kesuksesan dan keindahan oleh preferensi estetika yang ditransplantasikan oleh diaspora global Filipina pada abad kedua puluh. Saat ini, banyak orang Filipina mengidealkan "keindahan Asia Timur," yang didefinisikan oleh kekuatan ekonomi yang biasanya berkulit lebih terang dari Jepang, Cina, dan Korea.

Di seluruh Asia, orang Asia Timur yang berkulit lebih terang, terutama individu campuran yang memiliki ciri-ciri Eropa, diidealkan dan dikontraskan dengan orang Filipina, Kamboja, dan Vietnam yang berkulit lebih gelap. Keistimewaan fenotipe campuran Eropa/Asia—termasuk fitur tubuh lain selain warna kulit, seperti bibir, mulut, hidung, mata, dan, terutama, kelopak mata—menghasilkan apa yang disebut "kecantikan Asia menurut imajinasi kulit putih".<ref>{{Cite book|last=Glenn|first=Evelyn|date=2009-01-23|url=https://books.google.co.id/books?id=WewhspE2Q9UC&pg=PA63&lpg=PA63&dq=Filipinos+and+the+color+complex:+ideal+Asian+beauty&source=bl&ots=nM7WiLtrw7&sig=ACfU3U3m-7lvENQClhnIY0qQkLxIGuKHYQ&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwiwioaD1YjyAhVTdCsKHeZwDVIQ6AEwBXoECAsQAw#v=onepage&q=Filipinos%20and%20the%20color%20complex:%20ideal%20Asian%20beauty&f=false|title=Shades of Difference: Why Skin Color Matters|publisher=Stanford University Press|isbn=978-0-8047-5998-4|language=en}}</ref>

=== Indonesia ===
Banyak dokumen di Indonesia yang menunjukkan adanya hasrat untuk memiliki kulit putih. Hasrat ini bahkan sudah ada dalam berbagai epos Nusantara. Sebut saja epos ''Ramayana.'' Dalam epos yang diadaptasi pada akhir abad ke-9 dari sumber aslinya di India, perempuan berkulit terang adalah norma kecantikan yang paling dominan pada masa itu. Sama seperti ''Ramayana'' versi India, di dalam ''Ramayana'' versi Indonesia juga mengagungkan perempuan cantik. Hal ini terlihat dalam penggambaran perempuan cantik yang "berwajah putih bercahaya bak bulan purnama". Pengagungan ini pun terus berlanjut sampai seribu tahun kemudian, tepatnya pada awal abad ke-20. Saat itu, kolonialisme Belanda sudah bercokol di Indonesia. Citra cantik ala Kaukasian pun menjadi kiblat kecantikan yang ada di Indonesia. Iklan-iklan majalah perempuan yang diterbitkan memperlihatkan hal tersebut. Kemudian, ketika Jepang berkuasa, citra ini pun lagi-lagi berpengaruh. Meskipun singkat, pendudukan Jepang berhasil menyebarkan hasrat kecantikan ideal yang disebut kecantikan Asia baru yang juga mengagungkan kulit terang sebagai standar cantik. Kemudian, berlanjut pada zaman pascakolonial, tepatnya ketika Soeharto berkuasa, budaya populer yang berasal dari Amerika Serikat berhasil memberikan pengaruh tentang cantik ideal yang melestarikan preferensi terhadap kulit terang sebagai standar kecantikan yang ada<ref name=":9" />.


==Referensi==
==Referensi==

Revisi per 29 Juli 2021 16.10

Diskriminasi warna kulit atau juga disebut sebagai colorism dapat didefinisikan sebagai sistem yang memberikan hak istimewa kepada orang yang berkulit lebih terang di atas orang yang berkulit lebih gelap dalam suatu komunitas. Diskriminasi warna kulit secara definitif berbeda dengan rasisme. Namun, keduanya saling berhubungan karena diskriminasi warna kulit merupakan produk dari rasisme. Ras umumnya mengacu pada kategori orang yang dibagi berdasarkan tipe fisik, penampilan, keturunan, dan karakteristik nyata atau stereotipe yang ditentukan oleh ideologi rasial Eropa di abad kedelapan belas dan kesembilan belas. ideologi ini menempatkan orang kulit putih di puncak hierarki sosial dan orang kulit hitam dan orang bukan kulit putih lainnya di bawah. Sementara itu, warna kulit umumnya mengacu pada gradasi karakteristik fisik (diurutkan dari terang ke gelap atau putih ke hitam) yang, di dunia Barat, juga didasarkan pada gagasan ras dan ierarki warna.[1] Dengan demikian, keduanya berkelindan satu sama lain, sebab tidak akan ada diskriminasi warna kulit apabila tidak ada rasisme.

Diskriminasi warna kulit bertumpu pada pengistimewaan warna ras putih (whiteness) dalam hal fenotipe, estetika, dan budaya. Namun, pengalaman diskriminasi warna kulit dari satu ras dengan ras lain berbeda-beda.[2][3] Sejarah panjang stratifikasi warna kulit pada dasarnya berakar pada kolonisasi dan perbudakan oleh orang Eropa. Orang Eropa kulit putih menciptakan hierarki rasial untuk membenarkan perlakuan tidak manusiawi mereka terhadap orang kulit berwarna yang mereka jajah. Inilah awal mula ideologi supremasi kulit putih, yakni ideologi yang menganggap ras kulit putih sebagai superior. Hal ini ditandai dengan pemberian hak istimewa terhadap kulit putih dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, pekerjaan, dan representasi media.[4][5] Ideologi yang menyebabkan adanya diskriminasi warna kulit ini dalam praktiknya tidak hanya beroperasi pada ras kulit putih atau ras yang lebih terang. Namun, ideologi ini juga beroperasi di dalam komunitas kulit berwarna yang mendapat diskriminasi.[5][6][7]

Sejarah diskriminasi warna kulit

Karena diskriminasi warna kulit adalah produk dari rasisme, asal-usulnya dapat ditelusuri kembali dalam sejarah awal rasisme. Baik rasisme dan diskriminasi warna kulit berakar pada kolonialisme awal yang dilakukan oleh orang Eropa. Kolonialisme dimulai dengan Perang Salib pada 1095 ketika orang-orang Kristen dibujuk oleh Paus untuk membela diri melawan Muslim. Selama periode ini, penguasa Eropa merasa sangat terancam oleh musuh asing mereka. Dengan pesan Gereja Katolik mendesak mereka untuk mengambil bagian dalam pembunuhan dan penjarahan umat Islam, Gereja, raja-raja, dan orang-orang menjadi bersatu dalam misi mereka untuk merebut kembali kejayaan dan kekuasaan Eropa. Perang Salib memperkuat perasaan superioritas orang Eropa atas ras lain dan karena mereka menggunakan agama untuk membenarkan tindakan, mereka merasa melakukan hal yang dibenarkan oleh Tuhan.[8]

Klaim supremasi ras dan agama ini terus digunakan untuk membenarkan penjajahan Amerika pada abad ke-15 dan genosida penduduk asli Amerika. Dengan penaklukan lebih lanjut ke benua Afrika, Perdagangan Budak Atlantik dimulai. Tanah, sumber daya, dan orang-orang Afrika dieksploitasi oleh orang Eropa. Rasisme memicu Perdagangan Budak Atlantik dan kolonisasi Afrika. Orang kulit hitam dianggap terkait dengan kejahatan dan dipandang nilainya kurang manusia. Misalnya, penjajah menggunakan teks agama untuk membenarkan kebencian mereka terhadap orang kulit hitam. Koloni Kristen akan mengutip pengasingan Kain dan dengan sengaja salah menafsirkan kutukan yang diberikan kepada siapa pun yang menyakitinya sebagai kutukan yang hanya diberikan pada keturunan kulit hitamnya[7]. Selama berabad-abad, kolonisasi meluas ke luar Amerika dan Afrika hingga mencakup negara-negara Asia dan Amerika Latin. Di semua tempat ini dan lebih banyak lagi di seluruh dunia, orang Eropa tanpa henti menggunakan rasisme dan superioritas yang mereka klaim sendiri untuk melakukan kejahatan mereka.[3]

Setelah kolonisasi Amerika dan Afrika, warna kulit berkembang dari rasisme melalui praktik perbudakan. Perbudakan dilakukan secara sistemik, dirancang untuk menciptakan perpecahan tidak hanya antara orang kulit hitam dan kulit putih, tetapi antara orang kulit hitam yang berkulit lebih gelap dan orang kulit hitam yang lebih terang. Willis Lynch, seorang pemilik budak Inggris dari Hindia Barat, menulis bahwa cara paling efektif untuk memisahkan orang kulit hitam adalah dengan “menggunakan budak kulit gelap vs budak kulit terang dan budak kulit terang vs budak kulit gelap.” Mengikuti ajaran Lynch, pemilik budak di Amerika memisahkan budak berkulit terang dari budak berkulit gelap. Budak yang ditugaskan pekerjaan rumah tangga sering kali merupakan anak-anak birasial dari pemilik budak dan budak. Jadi mereka adalah ras campuran dan berkulit terang. Sebaliknya, budak yang berkulit gelap dibatasi untuk bekerja di ladang, dianiaya, dan disiksa tanpa henti. Praktik perbudakan sistemik ini membantu mewujudkan warna kulit dalam komunitas Afrika-Amerika.[7] Selanjutnya, diskriminasi warna kulit pun menjadi strategi yang efektif dalam menjajah dan membagi orang-orang di benua dan negara lain di seluruh dunia.[3]

Namun, di beberapa tempat, kondisi ini diskriminasi kulit putih tidak disebabkan oleh kolonisasi Eropa. Para cendekiawan yang berfokus meneliti diskriminasi warna kulit di Timur Tengah lebih sering menunjuk pada serangkaian kekuatan berbeda yang berputar di sekitar status kelas dan perbudakan Arab.[1] Dalam sosiologi, sebagian besar penelitian empiris tentang diskriminasi warna kulit telah berkembang sebagai konsep yang terpisah dari rasisme. Meskipun penelitian tersebut telah menetapkan standar yang sangat baik untuk analisis empiris, gagasan ini tidak bisa digunakan begitu saja secara global. Gagasan bahwa diskriminasi warna kulit dan rasisme bergantung pada sejarah dan pemahaman linguistik mengenai ras dan warna kulit.[1] Di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama mungkin akan mudah membedakan ras dan warna kulit. Namun, di beberapa tempat yang tidak menggunakan bahasa Inggris, hal ini cukup sulit dilakukan.[9][10][11] Selain itu, dalam konteks hubungan sosial dan kekuasaan di Barat, warna kulit dan ras merupakan konsep yang sangat erat hubungannya, tetapi hubungan di antara keduanya sangat berbeda di tempat lain. Sebagai contoh, di Amerika Latin sering menyamakan antara ras dan warna kulit. Kondisi ini menyebabkan adanya persamaan secara konseptual antara rasisme dan diskriminasi warna kulit.[12]

Amerika Serikat

Sejarah diskriminasi warna kulit di Amerika Serikat telah terjadi sepanjang sejarah, Banyak cendekiawan melacak bahwa telah ada perlakuan istimewa terhadap orang-orang dengan kulit terang (bukan kulit putih) pada masa perbudakan di Amerika Serikat.[13] Orang kulit hitam berkulit lebih terang diistimewakan oleh orang kulit putih dan dianggap lebih menarik secara estetis dan secara intelektual lebih unggul daripada orang kulit hitam berkulit gelap. Kulit hitam berkulit lebih terang, yang disebut sebagai Mulatt,o dianggap kurang Afrika dan lebih Eropa sehingga dianggap lebih unggul daripada orang kulit hitam lainnya. Pemikiran tersebut memberikan keuntungan bagi orang kulit hitam yang berkulit lebih terang dalam memperoleh pendidikan, properti, dan bahkan kebebasan mereka. Orang kulit hitam berkulit terang lebih cenderung menjadi pekerja terampil, profesional, dan bahkan memiliki pertanian sendiri. Keuntungan-keuntungan ini, terutama kekayaan mereka yang jauh lebih besar dibandingkan dengan semua orang kulit hitam lainnya dan status mereka yang lebih tinggi, diturunkan secara selektif dari generasi ke generasi, karena banyak orang kulit hitam berkulit terang mempraktikkan homogami, yakni pernikahan yang dilakukan oleh sesama mulatto.[14][15] Orang kulit hitam yang berkulit terang ini biasanya adalah keturunan perempuan kulit hitam yang diperkosa oleh pemiliknya, yakni kulit putih.[16]

Bahkan gereja bukanlah zona netral. Banyak gereja Afrika-Amerika beroperasi dalam "sistem kasta warna", baik selama dan setelah perbudakan, dengan denominasi tertentu yang hanya mengizinkan orang kulit hitam dari kulit paling cantik untuk beribadah di sana. Misalnya, beberapa gereja menggunakan tes kantong kertas cokelat untuk menentukan siapa yang memenuhi syarat untuk masuk. Mereka yang berkulit lebih gelap dari kantong kertas cokelat ditolak masuk. Beberapa gereja bahkan mengecat pintu mereka dengan warna cokelat muda dan siapa pun yang lebih gelap dari pintu itu diperintahkan untuk beribadah di tempat lain.[17] Di lingkup pergaulan pun demikian, mereka yang memiliki kulit hitam lebih gelap menjadi tersisihkan dan dianggap tidak menarik.[18] Berkaitan dengan gender, banyak literatur menunjukkan bahwa wanita kulit hitam lebih gelap harus menghadapi hukuman yang lebih keras daripada pria kulit hitam. Hal ini dberkaitan dengan pentingnya estetika dan kecantikan yang luar biasa bagi peluang hidup wanita. Oleh karena itu, warna kulit merupakan prediktor signifikan pencapaian pendidikan, status pekerjaan, dan pendapatan keluarga di antara wanita kulit hitam saja.[13] Warna kulit terang, khususnya, sangat terkait dengan gagasan kecantikan yang benar-benar rasial dan terjalin erat dengan standar estetika Eropa. Kecantikan, yang dikonseptualisasikan sebagai bentuk modal[2], dapat memberikan keuntungan yang cukup besar bagi perempuan dalam hidup mereka, mulai dari mendapatkan pekerjaan, upah di tempat kerja, dan perlakuan mereka dalam sistem peradilan pidana. Tidak hanya itu, perempuan kulit hitam berkulit lebih terang cenderung menikah dengan pasangan berstatus lebih tinggi daripada semua wanita kulit hitam lainnya.[19]

Amerika Latin

Negara-negara Amerika Latin memiliki sejarah yang sama dengan Amerika Serikat tentang kolonisasi, perbudakan, dan rasisme Eropa. Sejumlah besar literatur melacak perkembangan hierarki berdasarkan ras dan warna kulit di seluruh Amerika Latin.[20] Penjajah Spanyol dan Portugis mengadopsi hierarki ras/warna kulit yang menempatkan penduduk asli dan kulit hitam di bagian bawah dan penjajah Eropa di atas. Tidak adanya undang-undang klasifikasi rasial dan campuran ras yang tersebar luas di antara populasi kulit putih, pribumi, dan kulit hitam mengakibatkan batas-batas ras yang kabur dan populasi kulit putih yang relatif kecil di sebagian besar Amerika Latin.[1] Sebagai hasil dari ide-ide ilmiah tentang superioritas kulit putih yang menjadi terkenal pada akhir abad kesembilan belas, banyak negara Amerika Latin berusaha untuk "memutihkan" populasi mereka melalui imigrasi Eropa. Namun, dengan menurunnya rasisme ilmiah, elit progresif Amerika Latin di tempat-tempat seperti Brasil dan Meksiko menggunakan campuran ras mereka (mestizaje) sebagai cara untuk membedakan diri mereka dari Amerika Serikat dan masyarakat rasis lainnya dan menyatakan bahwa mereka bersatu dan tidak mementingkan warna.

Namun, perbedaan warna kulit yang lebar di antara populasi mestizo dan gagasan hierarki rasial yang terus-menerus menghasilkan hierarki status dengan mestizo berkulit terang di bagian atas dan mestizo yang lebih gelap di bagian bawah.[21] Namun, tidak seperti yang terjadi di Amerika Serikat, di Amerika Latin rasialisasi sebagian besar bergantung pada penampilan fenotipik dan corak warna kulit. Meskipun ideologi nasional Amerika Latin menolak rasisme, literatur empiris yang berkembang pesat menunjukkan bahwa individu yang lebih gelap telah mengalami kerugian terus-menerus di seluruh wilayah terkait dengan pendidikan, pendapatan, kesehatan, kemampuan menikah, dan diskriminasi.[20]

Timur Tengah dan Afrika Selatan

Berbeda dengan diskriminasi warna kulit di Amerika Serikat dan Amerika Latin, diskriminasi warna kulit di Timur Tengah dan Afrika Selatan tidak disebabkan oleh kolonialisasi kulit putih. Namun, diskriminasi warna kulit di sana dihubungkan dengan orang-orang Mesir Kuno, Yunani, dan Romawi. Ketiga kelompok ini pada dasarnya telah menyadari adanya perbedaan warna kulit. Di antara orang Yunani dan Romawi, teori iklim tentang perbedaan manusia, yang dikembangkan oleh Hippocrates dan Herodotus dan disempurnakan oleh Aristoteles, menjelaskan variasi warna kulit sebagai akibat dari lingkungan fisik. Pandangan ini tidak mengarah pada hierarki warna dari kulit yang paling terang ke kulit paling gelap, tetapi untuk mengunggulkan warna kulit Yunani dan kemudian Romawi, sebagai yang lebih unggul dari yang lainnya. Namun, bahkan dengan gagasan ini, kewarganegaraan, bukan warna kulit, menentukan status dan nilai seseorang.[22]

Kemudian, perdagangan Arab di Afrika kulit hitam yang diperbudak memengaruhi penyebaran preferensi warna kulit di seluruh Samudera Hindia dan Afrika Utara.[22] Sebelum awal kehadiran Eropa, Ibnu Sina, seorang filsuf Islam terkemuka, telah mengadopsi versi teori iklim Yunani. Di samping itu, perdagangan budak Arab telah menyebarkan gagasan tentang warna kulit gelap yang dianggap rendah dan primitif. Selama berabad-abad, para penulis Arab terkemuka menganut teori iklim atau lingkungan yang berpendapat bahwa geografi menghasilkan perbedaan peradaban sehingga menghasilkan inferioritas ekstrem. Fitur Arab, termasuk kulit yang lebih cerah, dikaitkan dengan status, hak istimewa, dan superioritas budaya.[22] Kemudian, kolonisasi Eropa di Afrika Timur dan Timur Tengah mencangkokkan rasisme Barat ke dalam kesadaran warna masyarakat Arab. Dua hal ini pun bersatu, tetapi kadarnya bervariasi di setiap tempat.[23] Sebagian besar Timur Tengah juga dijajah atau memiliki kontak dengan Eropa. Hal ini mengarah pada sejarah yang akrab dengan rezim supremasi kulit putih sehingga membentuk pemahaman tentang ras dan warna kulit.[24]

Asia

Banyak literatur terkini tentang masyarakat Asia menyoroti peran klasisme dan estetika dalam pembentukan preferensi warna awal, sebelum kontak Barat, yang sering didasarkan pada status dan paparan sinar matahari. Orang-orang dalam pekerjaan berstatus rendah bekerja di bawah sinar matahari, sedangkan orang-orang berstatus tinggi cenderung bekerja di dalam ruangan. Selain itu, untuk wanita khususnya, kulit yang terang telah dikaitkan tidak hanya dengan kelas rekreasi, tetapi juga dengan feminitas, kecantikan, dan kemurnian.[25]

Jepang

Di Jepang, kata benda iro menunjukkan 'warna kulit' ketika kata itu digunakan untuk orang. Misalnya, 'Kobayashi-san wa iro ga shiroi' (secara harfiah, 'warna kulit Tuan Kobayashi adalah putih') berarti 'Tuan Kobayashi adalah pria berkulit pucat'. Namun, bukan berarti 'Tuan Kobayashi adalah seorang bule'. Satu-satunya kata yang menunjukkan kulit terang seseorang adalah shiro (warna putih), sedangkan kata yang menunjukkan kulit gelap adalah kuro (hitam). Warna kulit orang Jepang dikenal dan diekspresikan sebagai dikotomi 'putih' dan 'hitam' dan dikotomi warna kulit ini biasanya diekspresikan dengan mengacu pada banyak dikotomi lainnya.[26] Secara umum, kulit putih memiliki implikasi yang positif. Biasanya, kulit putih termasuk dalam pujian. Sementara itu, warna kulit hitam dianggap penghinaan. Ketika ada orang yang mengatakan "kulit Anda hitam" itu berarti ia sedang menghina[27].

Topik warna kulit cukup sering muncul dalam percakapan sehari-hari. Bukan warna rambut, atau warna mata, tetapi warna kulit yang menjadi salah satu perhatian utama orang ketika mereka berbicara tentang penampilan di Jepang. Banyak informan, baik laki-laki maupun perempuan, yang bersikeras bahwa kulit putih idealnya hanya untuk wanita dan kulit gelap adalah ideal pria. Namun dalam banyak kesempatan, kulit gelap pria Jepang, dan juga wanita Jepang, dianggap negatif, dibandingkan dengan kulit putih yang 'ideal'[26].

India

Berkenaan dengan India, ada perdebatan ilmiah yang sedang berlangsung mengenai hubungan antara warna kulit dan sistem kasta. Warna kulit berimplikasi pada dewa-dewa Hindu kuno dan teks-teks yang merumuskan hierarki kasta dan hegemoni Brahmana[28]. Dalam epos Ramayana versi India pun digambarkan adanya dikotomi antara hitam dan putih. Putih atau warna yang lebih terang dianggap sesuatu yang cantik dan ideal[29]. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa sistem kasta pada awalnya tidak terfokus pada kategorisasi berdasarkan warna kulit. Sebaliknya, setiap kelas memiliki warna terkait yang tidak sekadar gradasi pada kontinum linier putih-ke-hitam. Hal ini disebabkan, individu berkulit gelap juga anggota kasta yang lebih tinggi dan beberapa dewa digambarkan dengan kulit gelap. Meskipun asal usulnya mungkin terpisah, seiring waktu sistem kasta dan warna kulit menjadi terkait saat kulit terang tumbuh untuk mengembangkan konotasi kasta dan kelas karena fakta bahwa individu kelas atas yang dapat menghindari pekerjaan di luar ruangan sering kali lebih ringan. Gagasan ras Barat, yang menyertai pedagang Eropa dan kemudian pemerintahan Inggris, memperkuat asosiasi ini[1].

Filipina

Filipina, di sisi lain, memberikan contoh rasisme Barat (baik dalam varian Iberia dan Amerika Utara) yang berubah dengan warna Timur yang lebih baru. Selama periode kolonial, penjajah Spanyol memberlakukan sistem kasta warna yang mirip dengan sistem di Amerika Latin kepada penduduk asli Filipina. Kemudian, langkah ini diikuti oleh kolonisasi Amerika yang dipengaruhi Jim Crow. Baru-baru ini, sistem ini diperparah oleh pengaruh yang berkembang dari ide-ide Asia Timur tentang kesuksesan dan keindahan oleh preferensi estetika yang ditransplantasikan oleh diaspora global Filipina pada abad kedua puluh. Saat ini, banyak orang Filipina mengidealkan "keindahan Asia Timur," yang didefinisikan oleh kekuatan ekonomi yang biasanya berkulit lebih terang dari Jepang, Cina, dan Korea.

Di seluruh Asia, orang Asia Timur yang berkulit lebih terang, terutama individu campuran yang memiliki ciri-ciri Eropa, diidealkan dan dikontraskan dengan orang Filipina, Kamboja, dan Vietnam yang berkulit lebih gelap. Keistimewaan fenotipe campuran Eropa/Asia—termasuk fitur tubuh lain selain warna kulit, seperti bibir, mulut, hidung, mata, dan, terutama, kelopak mata—menghasilkan apa yang disebut "kecantikan Asia menurut imajinasi kulit putih".[30]

Indonesia

Banyak dokumen di Indonesia yang menunjukkan adanya hasrat untuk memiliki kulit putih. Hasrat ini bahkan sudah ada dalam berbagai epos Nusantara. Sebut saja epos Ramayana. Dalam epos yang diadaptasi pada akhir abad ke-9 dari sumber aslinya di India, perempuan berkulit terang adalah norma kecantikan yang paling dominan pada masa itu. Sama seperti Ramayana versi India, di dalam Ramayana versi Indonesia juga mengagungkan perempuan cantik. Hal ini terlihat dalam penggambaran perempuan cantik yang "berwajah putih bercahaya bak bulan purnama". Pengagungan ini pun terus berlanjut sampai seribu tahun kemudian, tepatnya pada awal abad ke-20. Saat itu, kolonialisme Belanda sudah bercokol di Indonesia. Citra cantik ala Kaukasian pun menjadi kiblat kecantikan yang ada di Indonesia. Iklan-iklan majalah perempuan yang diterbitkan memperlihatkan hal tersebut. Kemudian, ketika Jepang berkuasa, citra ini pun lagi-lagi berpengaruh. Meskipun singkat, pendudukan Jepang berhasil menyebarkan hasrat kecantikan ideal yang disebut kecantikan Asia baru yang juga mengagungkan kulit terang sebagai standar cantik. Kemudian, berlanjut pada zaman pascakolonial, tepatnya ketika Soeharto berkuasa, budaya populer yang berasal dari Amerika Serikat berhasil memberikan pengaruh tentang cantik ideal yang melestarikan preferensi terhadap kulit terang sebagai standar kecantikan yang ada[29].

Referensi

  1. ^ a b c d e Dixon, Angela R.; Telles, Edward E. (2017-07-31). "Skin Color and Colorism: Global Research, Concepts, and Measurement". Annual Review of Sociology. 43 (1): 405–424. doi:10.1146/annurev-soc-060116-053315. ISSN 0360-0572. 
  2. ^ a b HUNTER, MARGARET L. (2002-04-01). ""If You're Light You're Alright": Light Skin Color as Social Capital for Women of Color". Gender & Society (dalam bahasa Inggris). 16 (2): 175–193. doi:10.1177/08912430222104895. ISSN 0891-2432. 
  3. ^ a b c Rahman, Mahima (2020-12-14). "The Causes, Contributors, and Consequences of Colorism Among Various Cultures". Honors College Theses. 
  4. ^ "Colourism: How skin-tone bias affects racial equality at work". World Economic Forum (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-07-09. 
  5. ^ a b L., Hunter, Margaret (2012). Race Gender and the Politics of Skin Tone. Taylor and Francis. ISBN 978-1-136-07482-0. OCLC 823389287. 
  6. ^ Hunter, Margaret L. (1998-10). "Colorstruck: Skin Color Stratification in the Lives of African American Women". Sociological Inquiry (dalam bahasa Inggris). 68 (4): 517–535. doi:10.1111/j.1475-682X.1998.tb00483.x. ISSN 0038-0245. 
  7. ^ a b c Anekwe, Obiora (2015). "Global Colorism: An Ethical Issue and Challenge in Bioethics". Voices in Bioethics (dalam bahasa Inggris). ISSN 2691-4875. 
  8. ^ Bulhan, Hussein A. (2015-08-21). "Stages of Colonialism in Africa: From Occupation of Land to Occupation of Being". Journal of Social and Political Psychology. 3 (1): 239–256. doi:10.5964/jspp.v3i1.143. ISSN 2195-3325. 
  9. ^ Banton, Michael (2012-07-01). "The colour line and the colour scale in the twentieth century". Ethnic and Racial Studies. 35 (7): 1109–1131. doi:10.1080/01419870.2011.605902. ISSN 0141-9870. 
  10. ^ Glenn, Evelyn (2009-01-23). Shades of Difference: Why Skin Color Matters (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-5998-4. 
  11. ^ Monk, Ellis P., Jr. (2016-08-01). "The Consequences of "Race and Color" in Brazil". Social Problems. 63 (3): 413–430. doi:10.1093/socpro/spw014. ISSN 0037-7791. 
  12. ^ Telles, Edward Eric; America, Project on Ethnicity and Race in Latin (2014). Pigmentocracies: Ethnicity, Race, and Color in Latin America (dalam bahasa Inggris). UNC Press Books. ISBN 978-1-4696-1783-1. 
  13. ^ a b Keith, Verna M.; Herring, Cedric (1991). "Skin Tone and Stratification in the Black Community". American Journal of Sociology. 97 (3): 760–778. ISSN 0002-9602. 
  14. ^ Monk, Ellis P., Jr. (2014-06-01). "Skin Tone Stratification among Black Americans, 2001–2003". Social Forces. 92 (4): 1313–1337. doi:10.1093/sf/sou007. ISSN 0037-7732. 
  15. ^ Bodenhorn, Howard (2006). "Colorism, Complexion Homogamy, and Household Wealth: Some Historical Evidence". The American Economic Review. 96 (2): 256–260. ISSN 0002-8282. 
  16. ^ Drake, Saint C.; Drake, St Clair; Cayton, Horace R. (1970). Black Metropolis: A Study of Negro Life in a Northern City (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-16234-8. 
  17. ^ Frazier, E. Franklin (1974). The Negro Church in America (dalam bahasa Inggris). Schocken Books. ISBN 978-0-8052-0387-5. 
  18. ^ Drake, Saint C.; Drake, St Clair; Cayton, Horace R. (1970). Black Metropolis: A Study of Negro Life in a Northern City (dalam bahasa Inggris). University of Chicago Press. ISBN 978-0-226-16234-8. 
  19. ^ Hunter, Margaret L. (2005). Race, Gender, and the Politics of Skin Tone (dalam bahasa Inggris). Routledge. ISBN 978-0-415-94607-0. 
  20. ^ a b Andrews, George Reid (2004-07-15). Afro-Latin America, 1800-2000 (dalam bahasa Inggris). OUP USA. ISBN 978-0-19-515232-6. 
  21. ^ Flores, René; Telles, Edward (2012-06-01). "Social Stratification in Mexico: Disentangling Color, Ethnicity, and Class". American Sociological Review (dalam bahasa Inggris). 77 (3): 486–494. doi:10.1177/0003122412444720. ISSN 0003-1224. PMC 4222073alt=Dapat diakses gratis. PMID 25382861. 
  22. ^ a b c Jablonski, Nina G. (2012-09-27). Living Color: The Biological and Social Meaning of Skin Color (dalam bahasa Inggris). University of California Press. ISBN 978-0-520-25153-3. 
  23. ^ Barkey, Karen (2008-06-23). Empire of Difference: The Ottomans in Comparative Perspective (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-47288-3. 
  24. ^ Grewal, Zareena A. (2009-02-01). "Marriage in colour: race, religion and spouse selection in four American mosques". Ethnic and Racial Studies. 32 (2): 323–345. doi:10.1080/01419870801961490. ISSN 0141-9870. 
  25. ^ Hall, Ronald E. (2010-03-10). An Historical Analysis of Skin Color Discrimination in America: Victimism Among Victim Group Populations (dalam bahasa Inggris). Springer Science & Business Media. ISBN 978-1-4419-5505-0. 
  26. ^ a b Ashikari, Mikiko (2005-03-01). "Cultivating Japanese Whiteness: The 'Whitening' Cosmetics Boom and the Japanese Identity". Journal of Material Culture (dalam bahasa Inggris). 10 (1): 73–91. doi:10.1177/1359183505050095. ISSN 1359-1835. 
  27. ^ Ashikari, M. (1995) ‘Artificial Light Skin as the Sign of Femininity and of National Identity in Contemporary Japan’, unpublished MA thesis, University of California, Davis
  28. ^ Ayyar, Varsha; Khandare, Lalit (2013). Hall, Ronald E., ed. Mapping Color and Caste Discrimination in Indian Society (dalam bahasa Inggris). Dordrecht: Springer Netherlands. hlm. 71–95. doi:10.1007/978-94-007-4608-4_5. ISBN 978-94-007-4608-4. 
  29. ^ a b Saraswati, L. Ayu (2013-03-31). Seeing Beauty, Sensing Race in Transnational Indonesia (dalam bahasa Inggris). University of Hawaii Press. ISBN 978-0-8248-3787-7. 
  30. ^ Glenn, Evelyn (2009-01-23). Shades of Difference: Why Skin Color Matters (dalam bahasa Inggris). Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-5998-4.