Lompat ke isi

Kerusuhan rasial Jawa Tengah 1980: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Membuat artikel baru
(Tidak ada perbedaan)

Revisi per 12 November 2017 18.06

Kerusuhan rasial Jawa Tengah 1980 merupakan serentetan peristiwa kerusuhan rasial yang terjadi di kota-kota dan kabupaten-kabupaten yang ada di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 1980 (20 November 1980). Awal mula penyebab kerusuhan rasial ini adalah masalah sepele yang terjadi di kota Surakarta.[1] [2][3]

Awal Mula Peristiwa

Berawal dari perselisihan siswa SGO (Sekolah Guru Olah Raga) di Surakarta bernama Pipit Supriyadi yang menyerempet pemuda keturunan Tionghoa bernama Kicak atau Ompong. Suatu Rabu,19 November 1980, pukul 12:00, tiga siswa Sekolah Guru Olahraga (SGO) Solo, Jawa Tengah, pulang sekolah dengan menunggang sepeda. Di Jalan Oerip Sumohardjo sepeda Pipit Supriyadi, seorang siswa, menyenggol seorang pemuda keturunan Tionghoa bernama Kicak alias Ompong yang tengah menyeberang. Kicak dikenal sebagai preman yang cukup punya nama di Surakarta. Kicak yang dikeroyok mengambil batu dan memukulkannya ke kepala Pipit. Sejurus kemudian ia melarikan diri, masuk ke Toko Orlane yang dikenal milik keluarga Kingkong, yang masih ada pertalian darah dengannya. Kingkong dikenal sebagai tokoh preman tua kota itu.[4]

Pipit yang kebetulan ketua OSIS kembali ke sekolahnya dengan luka di kepala. Di sekolah yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari lokasi kejadian, ia mengajak sekitar 50 temannya untuk mendatangi Toko Orlane. Namun, Kicak tak ditemukan. Mereka mengancam pemilik toko Orlane agar segera menyerahkan Kicak. Malamnya, Pipit menghimpun lagi para siswa SGO, guna menyiapkan aksi berikutnya. Paginya, bersama hampir seluruh siswa SGO, ia kembali mendatangi Toko Orlane untuk menyerahkan Kicak. Pulang dengan tangan hampa, mereka kembali ke sekolah seraya melampiaskan amarah. Para siswa melempari rumah-rumah dan toko di pinggir jalan dengan batu.

Persoalan mereka sebetulnya sudah selesai setelah ditengahi oleh Kodim dan mereka telah membuat surat kesepakatan damai.[5][6] Aparat segera bertindak. Pasukan diturunkan di sepanjang Jalan Oerip Sumohardjo. Pipit dibawa ke kantor Kodim 0735. Ia diminta menandatangani perjanjian tertulis yang isinya tidak akan mengulangi aksi anarkis. Tapi ia meminta aparat juga menangkap Kicak.

Sepulang dari Kodim, tiga mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) menguntit Pipit. Mereka memprovokasi untuk meneruskan aksi anarkis seperti sebelumnya. Gayung bersambut. Jumat, 21 November 1980, di dekat Jembatan Jurug, para mahasiswa, sejumlah pimpinan ormas dan para ketua OSIS se-Kota Solo bertemu. Perhelatan yang diprakarsai Hari Mulyadi dan Endu Marsono[7][8] itu menghasilkan kesepakatan, di antaranya mengadakan aksi anti-Tionghoa anarkis yang dipimpin Eddy Wibowo, mahasiswa tingkat II Fakultas Sastra Budaya UNS. Setelah terjadinya pertemuan Pipit dan mahasiswa UNS tersebut, kemudian beredar issue bahwa Pipit meninggal. Issue berkembang semakin liar dan disebutkan bahwa ada orang pribumi dibantai oleh pemuda keturunan Tionghoa. Hanya dalam waktu beberapa hari issue tersebut telah menyebar ke berbagai kota.[6]

Kerusuhan yang Meluas

Sabtu, 22 November 1980, ratusan pelajar bergerak mengendarai sepeda motor. Mereka melempari rumah dan toko-toko milik warga keturunan Tionghoa. Para pelajar juga membawa poster dan meneriakkan yel-yel anti-Tionghoa. Aksi kian membesar dengan isu meninggalnya Pipit. Hari-hari berikutnya, aksi-aksi serupa segera merembet ke kota-kota lain. Aksi anarkis ini merembet cepat ke Boyolali, Ambarawa, Salatiga, Banyubiru, Candi, dan Semarang. Setiap ditemukan orang Tionghoa, mereka langsung memukuli dan meludahinya. Peristiwa paling parah terjadi di Semarang pada 25 November 1980.[2][9]

Semarang

Saat itu massa bagai dikomando. Bergerak menjarah, merusak, serta membakar rumah, toko, dan pabrik yang ditengarai milik orang Tionghoa. Massa juga menganiaya warga keturunan yang ditemui di jalan-jalan. Huru-hara tak hanya terjadi di pusat kota seperti Jalan Imam Bonjol, Siliwangi, Mataram, Dr. Cipto, dan Depok, tetapi juga sampai pinggiran kota seperti Mrican dan Kedungmundu. Pecinan dan Kranggan yang menjadi konsentrasi permukiman warga Tionghoa di Semarang sempat menjadi sasaran amuk massa. Namun, sebelum berlanjut, aparat buru-buru mengamankan kawasan itu. Dibanding kota-kota lain, kerusuhan di Semarang merupakan yang terparah. Jam malam diberlakukan selama hampir sepekan. Untuk menghindarkan serangan perusuh, warga membuat tulisan mencolok di depan toko, rumah, dan aset-aset mereka: “Milik pribumi asli”, “Ini toko wong Jowo”, “Milik Haji Fulan”, dan lain-lain.

Tindakan Pasca-Kerusuhan

Pangkopkamtib saat itu, Sudomo yang bergerak cepat untuk segera melakukan tindakan pemulihan keamanan di Jawa Tengah

Aparat bertindak tegas. Mereka melokalisir agar huru-hara tak meluas. Pangkopkamtib Laksamana Soedomo bahkan mengeluarkan instruksi tembak di tempat terhadap pelaku kerusuhan. Kerugian material ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah. Kerugian terbesar adalah kebangkrutan sosial, hancurnya relasi sosial antara masyarakat pribumi dengan warga Tionghoa.[10]

Referensi

  1. ^ "Takkan Pernah Kulupa; Kerusuhan Rasial 1980". Redaksi Indonesia | Jernih - Tajam - Mencerahkan. 2016-03-18. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  2. ^ a b "Mengancam Ahok dengan sejarah kelam Tionghoa". Rappler. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  3. ^ Indonesia, Sri Lestari Wartawan BBC. "Toleransi antar etnis di "Kota Cina Kecil" Lasem". BBC Indonesia. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  4. ^ 1957-, Haris, Syamsuddin,; Indonesia., Lembaga Ilmu Pengetahuan (2007). Partai dan parlemen lokal era transisi demokrasi di Indonesia : studi kinerja partai-partai di DPRD kabupaten/kota. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. ISBN 9789797990527. OCLC 225655544. 
  5. ^ Hirose,, Nishihara, Ayano; Masaei,, Matsunaga,; 1935-, Nonaka, Ikujirō,; 1952-, Yokomichi, Kiyotaka,. Knowledge creation in community development : institutional change in Southeast Asia and Japan. Cham, Switzerland. ISBN 9783319574813. OCLC 1002899282. 
  6. ^ a b Rochmi, Muhammad Nur (2016-03-20). "Diskriminasi ras yang tak tuntas". https://beritagar.id/ (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-12.  Hapus pranala luar di parameter |newspaper= (bantuan)
  7. ^ "Endu Marsono Alumni UNS yang Terus Berkarya | Joglosemar". edisicetak.joglosemar.co. Diakses tanggal 2017-11-12. 
  8. ^ Yonathan, Ronny. "KBR :: KENALI CALEG - ENDU MARSONO". Diakses tanggal 2017-11-12. 
  9. ^ "Belajar dari Geger Brondongan (Semarang) | KPS – Komunitas Pegiat Sejarah Semarang". pegiatsejarah.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-11-12. 
  10. ^ 1944-, Widyatmadja, Yosef P. (Yosef Purnama), (2010). Yesus & wong cilik : praksis diakonia transformatif dan teologi rakyat di Indonesia (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: BPK Gunung Mulia. ISBN 9789796877546. OCLC 649930085.