Tetangga menurut Islam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tetangga menurut Islam terbagi menjadi tetangga dekat dan tetangga jauh. Pembahasan mengenai tetangga terdapat dalam Surah Al-Mumtahanah Ayat 8. Islam mengatur hubungan individu dengan tetangganya sebagai bagian dari ibadah. Hak-hak tetangga menurut Islam antara lain: menerima perlakuan yang baik disertai dengan penghormatan atasnya, menerima perhatian, dan menerima kabar gembira.    

Dalil[sunting | sunting sumber]

Al-Qur'an[sunting | sunting sumber]

Hubungan antar tetangga merupakan salah satu topik dan persoalan yang dibahas dalam Al-Qur'an. Kajiannya dalam Al-Qur'an sebagai salah satu aspek kehidupan yang dinilai mempunyai manfaat.[1] Dalam Al-Qur'an pada Surah Al-Mumtahanah Ayat 8 diisyaratkan tentang hubungan pertetanggaan sebagai salah satu bagian terkait masalah sosial.[2]

Kedudukan[sunting | sunting sumber]

Islam mengatur hubungan dengan tetangga sebagai bagian dari hubungan antar manusia dalam skala masyarakat.[3] Ajaran Islam telah menetapkan tetangga bagi tiap individu adalah keluarga dekat.[4] Berbuat baik kepada tetangga merupakan salah satu bagian dari serangkaian ibadah dalam ajaran Islam yang pelaksanaannya memperoleh ridha dari Allah serta dicintai-Nya.[5]

Jenis[sunting | sunting sumber]

Para Sahabat Nabi memiliki dua pendapat mengenai pengertian tetangga dekat dan tetangga jauh. Pendapat pertama menyatakan bahwa tetangga dekat adalah tetangga yang memiliki hubungan kekerabatan dan tetangga jauh adalah yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sementara pendapat yang kedua menyatakan bahwa tetangga dekat adalah tetangga yang beragama Islam. Sedangkan tetangga jauh adalah yang beragama Yahudi dan Nasrani. Pendapat pertama disampaikan oleh Ali bin Abu Thalha dari Abdullah bin Abbas. Pendapat ini juga disampaikan oleh `Ikrimah, Mujahid, Maimun bin Mahran, adh-Dhahhak, Zaid bin Aslam, Muqatil bin Hayyan, dan Qatadah. Sedangkan pendapat kedua disampaikan oleh Nauf Al-Bakkali yang kemudian diriwayatkan oleh Abu Ishaq.[6]

Sebagian ahli tafsir menetapkan bahwa orang yang disebut sebagai tetangga adalah sejauh 40 rumah dari segala arah dari rumah seorang muslim. Ada pula yang berpendapat bahwa tetangga adalah semua orang yang mendengar azan.[7]   

Hak-hak[sunting | sunting sumber]

Menerima perbuatan baik dan penghormatan[sunting | sunting sumber]

Dalam ajaran Islam, setiap muslim wajib berbuat baik kepada tetangganya. Tindakan ini harus menjadi salah satu bagian dari kepribadian seorang muslim berkaitan dengan ajaran moral.[8] Berbuat baik kepada tetangga merupakan perintah langsung dari Allah yang disebutkan dalam Surah An-Nisa' Ayat 36.[9] Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim menyebutkan bahwa penghormatan kepada tetangga merupakan salah satu bentuk keimanan kepada Allah dan Hari Akhir. Hadis ini melalui jalur periwayatan Abu Hurairah. Salah satu makna dari hadis ini adalah perintah untuk berbuat baik kepada tetangga. Perbuatan ini menjadi bagian dari tata krama dalam bertetangga.[10]

Penghormatan kepada tetangga berlaku baik kepada tetangga muslim maupun non-muslim. Batasan untuk pemberian penghormatan hingga kepada norma-norma adat dan budaya selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.[11] Berbuat baik kepada non-muslim diperintahkan oleh Allah kepada muslim melalui Surah Al-Mumtahanah Ayat 8. Muslim dapat berbuat baik kepada non-muslim yang mengadakan peperangan karena agama dan tidak mengusir muslim dari negerinya sendiri. Bagi non-muslim yang demikian, Allah memerintahkan umat muslim untuk berbuat adil dan berlaku baik kepada mereka.[2] Salah satu bentuk berbuat baik oleh muslim kepada non-muslim khususnya kepada Ahli Kitab. Allah membolehkan umat muslim untuk mengonsumsi makanan halal buatan Ahli Kitab dan menikahi para wanitanya secara halal. Kebolehan ini disebutkan dalam Surah Al-Ma'idah Ayat 5.[12]

Menerima perhatian[sunting | sunting sumber]

Perlakuan baik seorang muslim kepada tetangganya dapat dalam bentuk pemberian perhatian. Seorang muslim dianjurkan untuk menjenguk tetangganya yang sedang sakit atau kelaparan dan memberikan bantuan kepadanya. Bantuan ini diberikan kepada tetangga sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh muslim sebagai individu. Salah satu bentuk perhatian kepada tetangga oleh seorang muslim adalah memperhatikan ketersediaan makanan tetangga dengan cara berbagi makanan secara baik.[13]

Menerima kabar gembira[sunting | sunting sumber]

Seorang muslim harus memberitahu tetangganya mengenai kelahiran anak di dalam rumahnya, Kemudian, seorang muslim harus mengadakan akikah dan menyampaikannya kepada tetangganya. Kabar ini disampaikan untuk menggembirakan tetangganya atas kelahiran anak.[14] Tetangga berhak untuk memperoleh kabar mengenai akad pernikahan yang telah dilangsungkan oleh sepasang pengantin muslim.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

Catatan kaki[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Maimun dan Kosim, M. (2019). Haris, Faidi, ed. Moderasi Islam di Indonesia (PDF). Bantul: LKiS. hlm. 40. ISBN 978-623-7177-30-2. 
  2. ^ a b Niam 2020, hlm. 125.
  3. ^ Maidin, Sabir (2017). "Keutamaan Hidup Bertetangga (Suatu Kajian Hadis)". Al-Qad{a>u. 4 (2): 200. 
  4. ^ Hambali, Muh. (2017). Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari: Dari Kandungan hingga Kematian. Yogyakarta: Laksana. hlm. 26–27. ISBN 978-602-407-185-1. 
  5. ^ Imawan, Dzulkifli Hadi (2020). Pendidikan Agama Islam. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. hlm. 117. ISBN 978-602-450-440-3. 
  6. ^ Lismayana (2019). "Analisis Etika Bertetangga dalam Pendidikan Akhlak Berdasarkan Al-Qur'an (Kajian Surah An-Nisa Ayat 36 Dan Surah Al-Ahzab Ayat 60–61)". Jurnal PENDAIS. 1 (2): 132. 
  7. ^ Niam 2020, hlm. 160.
  8. ^ Pahrudin, A., Syafrimen, dan Sada, H. J. (2017). Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural: Perjumpaan Berbagai Etnis dan Budaya. Lampung selatan: Pustaka Ali Imron. hlm. 21–22. ISBN 978-602-5857-30-0. 
  9. ^ Saproni (2015). Panduan Praktis Akhlak Seorang Muslim. Bogor: CV. Bina Karya Utama. hlm. 45. ISBN 978-602-72023-0-6. 
  10. ^ Abdussyukur 2020, hlm. 60-61.
  11. ^ Abdussyukur 2020, hlm. 63.
  12. ^ Niam 2020, hlm. 125-126.
  13. ^ Abdussyukur 2020, hlm. 62-63.
  14. ^ Niam 2020, hlm. 186.
  15. ^ Rajafi, Ahmad (2015). Maulana, ed. Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Yogyakarta: Istana Publishing. hlm. 175. ISBN 978-602-712-884-2. 

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]