Pinde Rume

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pinde Rume atau minde rume (dalam bahasa Betawi) adalah salah satu upacara adat Orang Betawi ketika meninggalkan rumah lama untuk masuk menempati rumah yang baru. Upacara Pinde Rume pada orang Betawi sangat lekat dengan ajaran agama Islam. Biasanya bukan hanya alim ulama yang diundang, prosesinya diwarnai shalawatan dari kumpulan pengajian ataupun qori.[1]

Persiapan[sunting | sunting sumber]

Dalam prosesi Pinde Rume keluarga yang hendak pindahan rumah biasanya mengundang para tetangga, tokoh masyarakat, alim ulama, kelompok pengajian atau qori, bahkan sampai pawang hujan.[1] Masyarakat Betawi kebanyakan melibatkan Pawang Hujan dalam setiap hajatan mereka, mulai dari pernikahan, sunatan, syukuran rumah baru dan lain-lain. Mereka percaya sang dukun punya kemampuan menggagalkan hujan di lokasi hajatan, dengan memindahkan energi hujan dari satu tempat ke tempat lainnya.

Orang Betawi tempo dulu menyebut nya sebagai Dukun Rangkeng atau Dukun Duduk Sajen. Hal ini karena ketika si dukun melaksanakan tugasnya, dia duduk di dalam sebuah kerangkeng bambu, biasanya di dalam kamar yang tertutup rapat. Siapa yang punya hajat wajib menyajikan sesajen.[2] Setelah itu yang mesti dipersiapkan adalah mengumpulkan tanah dari halaman rumah lama, untuk kemudian dibungkus dengan kain putih. Tanah bagi Orang Betawi sangatlah penting, karena bagi mereka di dalam tanah rumah lama itulah (pernah) ditanami (dikubur) ari-ari (placenta) anak yang baru dilahirkan.[1]

Orang Betawi menyebut ari-ari sebagai saudara tuanya si bayi. Untuk itu harus diperlakukan dengan baik, tidak boleh dibuang sembarangan, tetapi harus dipelihara. Caranya dikubur di tanah atau dihanyutkan ke sungai/laut.[3] Setelah tanah dibungkus, dipersiapkan juga alat-alat rumah tangga seadanya yang wajib dibawa saat prosesi Pinde Rume dilakukan: pendaringan, lampu gembreng, tempayan, bumbu dapur, kaca dan tempat sirih.[1]

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Upacara Pinde Rume dilakukan di lokasi rumah yang akan ditempati. Tanah yang tadi dibungkus kain putih langsung ditebarkan ke sekeliling rumah sambil mengucapkan bismilah.[1] Maksud dari menebarkan tanah dari rumah lama adalah agar suasana rumah yang ditinggalkan tetap terasa di rumah yang baru. Diharapkan seluruh anggota keluarga betah mendiami rumah baru seperti di rumah sebelumnya. Selanjutnya di depan pintu rumah yang baru dilantunkan shalawat dustur oleh grup ngaji atau qori tadi. Usai shalawat diucapkanlah Bismillah sebanyak tiga kali.

Upacara Pinde Rume diakhiri dengan acara makan bersama, menyantap nasi kebuli atau nasi uduk, juga kue-kue khas Betawi,[1]seperti misalnya kue gemblong, talam, geplak, pancong, rangi atau bandros, kue mangkuk Betawi dan masih banyak lagi.[4] Ketika para undangan pulang, tidak lupa mereka masing-masing diberikan bungkusan nasi berkat.[1] Alat-alat rumah tangga yang tadi dipersiapkan memiliki makna filosofis masing-masing:

Pendaringan adalah tempat menyimpan beras. Benda ini dianggap sebagai pusaka, makanya Orang Betawi tidak main-main terhadap benda ini. Orang Betawi zaman dulu pantang melihat langsung pendaringan, terlebih lagi pendaringan milik orang lain.[5]

Lampu Gembreng di ibaratkan sebagai penerangan hati dalam mempelajari segala macam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu Agama Islam. Jika dipelajari dengan benar Orang Betawi yakin mampu menyeimbangkan hidupnya dan tidak akan kehilangan pegangan hidup. Orang Betawi sering menyebutnya dengan blendes atau cempor.

Tempayan atau Kendi. Bagi orang Betawi benda ini tidak sekadar untuk menyimpan air minum saja, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka adalah masyarakat yang sangat peduli (menolong) orang lain. Dahulu selalu ada tempayan atau kendi di depan rumah Orang Betawi. Hal ini agar orang (musafir) yang membutuhkan, bebas menggunakannya (misal, untuk diminum, mencuci muka atau kaki).

Bumbu Dapur. Orang Betawi memandang dirinya sebagai orang yang mandiri, tetapi mereka sadar hidup bersama-sama orang (suku) lainnya yang digambarkan sebagai bumbu dapur yang beraneka ragam.

Kaca. Tidak hanya untuk berhias, kaca atau cermin juga sekaligus melambangkan kerendahan hati Orang Betawi.

Tempat Sirih. Dipakai sebagai pengobatan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g "Pinde Rume". jakarta. 3 Agustus 2017. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-27. Diakses tanggal 27 Maret 2019. 
  2. ^ "Jakarta Zaman Baheula, Pawang Hujan Dikerangkeng". tempo online. 31 Desember 2013. Diakses tanggal 27 Maret 2019. 
  3. ^ Yunus, Ahmad; Kartikasari, Tatiek; Rosyadi (1993). "Arti Dan Fungsi Upacara Tradisional Daur Hidup Pada Masyarakat Betawi" (PDF). kemdikbud. Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Penelitian Pengkajian dan Pembinaan Nilai•Nilai Budaya. Diakses tanggal 27 Maret 2019. 
  4. ^ T. Erwin, Lilly; Erwin, Abang (2008). Peta 100 Tempat Makan Makanan Khas Betawi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 
  5. ^ Swadarma, Dodi; Aryanto, Yunus (2013). Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Griya Kreasi (Penebar Swadaya Grup).