Kebijakan Bahasa Mandarin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kebijakan Bahasa Mandarin adalah kebijakan bahasa nasional yang menjadikan bahasa Mandarin sebagai bahasa tunggal di Taiwan. Penetapan dan penerapan Kebijakan Bahasa Mandarin dilakukan oleh partai Kuomintang pada masa darurat militer di Taiwan.[1] Kebijakan tersebut memiliki tujuan politis yakni menyatukan Taiwan.[2] Namun kebijakan tersebut mendapat tentangan karena dinilai menurunkan derajat bahasa-bahasa lainnya menjadi sebatas "dialek" di ranah budaya dan pendidikan. Kebijakan tersebut akhirnya ditinggalkan seiring berjalannya demokratisasi di Taiwan.[3]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Kebijakan Bahasa Mandarin bukanlah kebijakan bahasa tunggal pertama di Taiwan. Antara tahun 1895 dan 1945, Taiwan merupakan koloni Jepang di mana pemerintahan kolonial menerapkan kebijakan "menjepangkan" Taiwan, salah satunya melalui kebijakan bahasa tunggal. Kebijakan penggunakan bahasa Jepang awalnya tidak bersifat wajib tetapi berubah menjadi wajib seiring dengan perubahan lanskap geopolitik dunia di penghujung Perang Dunia II dan upaya Jepang untuk mengubah Taiwan sebagai pangkalan militernya. Kebijakan tersebut hanya diterapkan selama beberapa tahun selama Perang Dunia II dan meski bahasa-bahasa non-Jepang sempat dilarang, masyarakat Taiwan tidak terlalu terdampak dan mayoritas tetap menguasai setidaknya dua bahasa.[4]

Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Taiwan diserahkan kepada pemerintahan Kuomintang di Tiongkok. Namun pada tahun 1949, Kuomintang melarikan diri ke Taiwan setelah kalah Perang Saudara Tiongkok melawan Partai Komunis Tiongkok.[5] Mayoritas pegawai negeri sipil dan pejabat dalam jajaran pemerintahan Taiwan yang baru merupakan pengungsi dari Tiongkok yang menutur bahasa Mandarin. Namun mayoritas orang Tionghoa yang telah menetap di Taiwan sebelum Kuomintang berkuasa di Taiwan tidak menutur bahasa Mandarin akibat kebijakan "Penjepangan" selama masa kolonial Jepang. Ketegangan antara elite politik dan warga masyarakat biasa pun terjadi akibat perbedaan bahasa.[4]

Penerapan Kebijakan[sunting | sunting sumber]

Kebijakan Bahasa Mandarin dikeluarkan oleh Kuomintang untuk mengurangi sisa-sisa pengaruh kolonial Jepang dan menyatukan Taiwan. Kuomintang tidak memercayai dan melarang elite-elite yang sebelumnya mendapat keistimewaan saat era kolonial Jepang dari politik. Sementara masyarakat asli Taiwan sendiri lebih dipengaruhi oleh budaya Jepang daripada Tiongkok karena durasi kekuasaan Jepang yang lebih lama yakni 50 tahun.[6] Masyarakat asli Taiwan terdiri atas tiga kelompok besar yakni penduduk asli Taiwan, Minnan, dan Hakka.[6][7] Kuomintang dan para pengungsi dari Tiongkok tidak menyukai pengaruh-pengaruh Jepang di Taiwan karena di Tiongkok mereka berperang melawan Jepang.[6]

Melalui Kebijakan Bahasa Mandarin, bahasa-bahasa asli Taiwan, bahasa Hakka, bahasa Hokkien, dan bahasa Jepang dilarang digunakan di ranah publik.[6] Kebijakan ini dapat dikatakan rasis mengingat kelompok-kelompok belajar sengaja didirikan untuk mengajar penduduk asli Taiwan yang dicap 'primitif' serta pembingkaian bahasa-bahasa selain Mandarin sebagai bahan olokan di televisi nasional.[6][8] Di sekolah-sekolah, pelajar yang tertangkap basah menggunakan bahasa-bahasa daerah dikenakan denda, dipukuli atau disuruh mengenakan plakat.[1] Bahasa-bahasa daerah turun kelas menjadi "dialek" dan penggunaannya dicap sebagai tindakan yang tidak patriotis.[6]

Para pengungsi dari Tiongkok pun tidak terlalu berupaya mempelajari bahasa-bahasa lain di Taiwan karena mereka tinggal terpisah dari masyarakat asli Taiwan dan tidak sering berinteraksi dengan mereka. Kebijakan Bahasa Mandarin bertujuan menyatukan masyarakat asli Taiwan dengan pengungsi dari Tiongkok. Selain itu, kebijakan tersebut juga bertujuan untuk membuktikan bahwa Republik Tiongkok jauh lebih baik dan kompak daripada Republik Rakyat Tiongkok.[8]

Pencabutan Kebijakan[sunting | sunting sumber]

Penurunan kelas terhadap bahasa-bahasa daerah di Taiwan oleh Kuomintang menyulut sentimen anti-Kuomintang di kalangan masyarakat asli Taiwan.[8] Meski generasi-generasi muda mulai tidak menguasai bahasa-bahasa daerah sebagai akibat Kebijakan Bahasa Mandarin, pertemuan-pertemuan rahasia digelar oleh masing-masing kelompok untuk mengajarkan bahasa-bahasa daerah.[6][8] Bukannya menyatukan, kebijakan ini malah menjadi bumerang dengan meningkatkan ketegangan antara masyarakat asli Taiwan dengan pengungsi dari Tiongkok.[8] Kebijakan Bahasa Mandarin akhirnya mulai dicabut secara perlahan pasca-Insiden Kaohsiung.[2]

Revitalisasi Bahasa-Bahasa Daerah[sunting | sunting sumber]

Proses demokratisasi di Taiwan yang dimulai pada tahun 1987 membuat para politikus berupaya untuk menjaring suara sebanyak-banyaknya, salah satunya dengan menggunakan bahasa daerah seperti yang dilakukan Lee Teng-hui yang menggunakan bahasa Hokkien saat menjadi calon presiden menjelang pemilihan presiden 1996.[8]

Pandangan terhadap bahasa-bahasa daerah di Taiwan pun mulai berubah dan bilingualisme mulai dijawantahkan sebagai bagian dari identitas Taiwan.[6]

Pada tahun 1993, Kementerian Dalam Negeri Taiwan meminta maaf atas penerapan Kebijakan Bahasa Mandarin selama pemerintahan Kuomintang.[2]

Pada tahun 2003, Kementerian Pendidikan Taiwan mengajukan rancangan undang-undang kesetaraan bahasa.[7][9] Sementara itu upaya-upaya untuk meningkatkan visibilitas bahasa-bahasa daerah di ranah publik terus digencarkan.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Sandel, Todd L. (2003-10). "Linguistic capital in Taiwan: The KMT's Mandarin language policy and its perceived impact on language practices of bilingual Mandarin and Tai-gi speakers". Language in Society (dalam bahasa Inggris). 32 (4): 523–551. doi:10.1017/S0047404503324030. ISSN 1469-8013. 
  2. ^ a b c Klöter, Henning (2004-12-01). "Language Policy in the KMT and DPP eras". China Perspectives (dalam bahasa Inggris). 2004 (6). doi:10.4000/chinaperspectives.442. ISSN 2070-3449. 
  3. ^ Wei, Jennifer M. (2008). Language choice and identity politics in Taiwan. Lanham: Lexington Books. ISBN 978-0-7391-2352-2. OCLC 190596933. 
  4. ^ a b Liu, Ruey-Ying (2012-06). "Language Policy and Group Identification in Taiwan". Mind, Brain, and Education (dalam bahasa Inggris). 6 (2): 108–116. doi:10.1111/j.1751-228X.2012.01143.x. 
  5. ^ Wang, Horng-luen (2004-10). "National Culture and Its Discontents: The Politics of Heritage and Language in Taiwan, 1949–2003". Comparative Studies in Society and History (dalam bahasa Inggris). 46 (4): 786–815. doi:10.1017/S0010417504000362. ISSN 0010-4175. 
  6. ^ a b c d e f g h Hubbs, Elizabeth (2013-12-31). "TAIWAN LANGUAGE-IN-EDUCATION POLICY: SOCIAL, CULTURAL, AND PRACTICAL IMPLICATIONS". Journal of Second Language Acquisition and Teaching (dalam bahasa Inggris). 20 (0): 76–95. ISSN 2377-1704. 
  7. ^ a b c Chiung, Wi-vun Taiffalo (2001). "Language and Ethnic Identity in Taiwan" (PDF). Diakses tanggal 2022-05-14. 
  8. ^ a b c d e f Shih, Cheng-feng; Chen, Mumin (2010). "TAIWANESE IDENTITY AND THE MEMORIES OF 2-28: A CASE FOR POLITICAL RECONCILIATION". Asian Perspective. 34 (4): 85–113. ISSN 0258-9184. 
  9. ^ Wu, Ming-Hsuan (2009-10-01). "Language Planning and Policy in Taiwan: Past, Present, and Future". Working Papers in Educational Linguistics (WPEL). 24 (2). ISSN 1548-3134.