Kabupaten/Kota HAM

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Kabupaten/Kota HAM[1] adalah adalah proses masyarakat lokal dan proses sosial politik dalam konteks lokal dimana hak asasi manusia (HAM) memainkan peran utama sebagai nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasar.

Pengantar[sunting | sunting sumber]

Hak asasi manusia (HAM) menekankan pada negara selaku pemangku kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM. Pada aras national, kewajiban ini utamanya dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan pada tingkat lokal, maka kewajiban tersebut juga disandang oleh Pemerintah Daerah (Pemda) – berperan komplementer - dengan memperhatikan pembagian kewenangan pusat dan daerah. Dalam hal pembangunan daerah, Pemda berperan penting sebagai aktor utama. Oleh karena itu menjadi penting bagi Pemda untuk memiliki pemahaman konsep pembangunan berbasis HAM yang menganut prinsip-prinsip partisipasi, pemberdayaan, akuntabilitas, non diskriminasi dan saling terkait. Kesadaran memahami pembangunan berbasis HAM oleh Pemda pun telah mendapatkan pengakuan internasional.

Mengapa Kabupaten/Kota HAM Mengemuka[sunting | sunting sumber]

Piagam Dunia tentang Hak atas Kota menyatakan bahwa pada sekitar Tahun 2050 diperkirakan tujuh puluh persen (70%) manusia akan bertempat tinggal di kota. Selain itu, Laporan Perkembangan Komite Penasehat untuk Peran Pemerintah Daerah menyebutkan alasan utama yang menyebabkan munculnya Human Rights Cities[2][3] yaitu:

  1. Pergeseran dari penetapan standar ke implementasi, terutama pada tingkat pemerintahan, yaitu pemerintah daerah, yang berada pada posisi terbaik untuk mewujudkan HAM, khususnya hak ekonomi, sosial dan budaya.
  2. Tren global sejak 1980an, terjadinya desentralisasi kekuasaan pemerintah – dimana sebagian besar negara di dunia dalam beberapa dekade terakhir telah mengalihkan kekuasaan ke pemerintah daerah.
  3. Perubahan demografi global, pada 2008, untuk pertama kalinya dalam sejarah, lebih dari separuh penduduk dunia hidup di daerah perkotaan, dan jumlah ini diperkirakan meningkat, menjadi hampir 5 milyar orang pada 2030 yang akan datang.

Sejak dicanangkan pada 2011, Human Rights Cities merupakan respon lokal terhadap tantangan global, istilah glocalisation (global + local) dan glurbanization (Global + urban) menjadi isu yang berkembang dalam rangka respon tersebut. Human Rigts Cities juga sebuah konsep yang merupakan respon HAM terhadap tantangan lokal (urban-rural challenges). Konsep-konsep tentang Human Rights Cities ini kemudian, tercantum dalam beberapa dokumen antara lain; European Charter for the Safeguarding of Human Rights in the City, The World Charter on The Right to The City, Charter of Rights and Responsibilities of Montreal, The Mexico City Charter for the Rights, dan Gwangju Human Rights Charter. Dokumen-dokumen tersebut menunjukkan adanya upaya para kepala daerah ditingkat lokal untuk menerapkan konsep human rights cities dalam pembangunan daerahnya. Deklarasi Gwangju merumuskan bahwa yang dimaksud Kota adalah pemerintah daerah dalam berbagai ukuran: daerah, pengelompokan perkotaan, metropolis, kotamadya dan otoritas daeah lainnya yang dikelola secara bebas sesuai dengan Piagam Global tentang HAM di Kota. Dalam konteks Indonesia, Human Rights Cities berlaku untuk Kotamadya/Kabupaten

Definisi Kabupaten/Kota HAM[sunting | sunting sumber]

Piagam dunia mendefinsikan Hak atas Kota sebagai hak pakai hasil kota yang setara dalam prinsip-prinsip keberlanjutan, demokrasi, kesetaraan dan keadilan sosial. Selain itu Piagam Dunia juga menyebutkan Hak atas Kota adalah hak kolektif penduduk kota, termasuk didalamnya kelompok rentan dan yang terpinggirkan. Hak atas kota ini yang kemudian menjadi salah satu dasar perkembangan konsep HAM di Kota (Human Rights in the Cities), yang kini dipahami sebagai Human Rights Cities.

Definisi Human Rights Cities yang tertuang dalam Deklarasi Gwangju adalah proses masyarakat dan proses sosial politik dalam konteks lokal dimana HAM memainkan peran utama sebagai nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasar. Human Rights Cities memiliki arti praktis bahwa semua penduduk, tanpa memandang ras, jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, latar belakang etnis dan status sosial, khususnya kaum minoritas dan kelompok rentan lainnya yang secara sosial rentan dan terpinggirkan, dapat berpartisipasi secara penuh dalam pengambilan keputusan dan proses implementasi kebijakan yang mempergaruhi kehidupan mereka sesuai dengan prinsip-prinsip HAM seperti non diskiriminasi, supremasi hukum, partisipasi, pemberdayaan, transparansi dan akuntabilitas.

Konteks Indonesia[sunting | sunting sumber]

Dalam konteks Indonesia, adanya otonomi daerah membuat Pemda memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengelola wilayahnya sendiri, seperti pengelolaan sumber daya yang dimilikinya untuk kesejahteraan warganya. Pemda juga memiliki kewajiban dalam pemenuhan hak asasi manusia. Adanya kebijakan Pemda antara lain dalam bentuk Peraturan Daerah atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan sebuah acuan bagi Pemda beserta seluruh aparaturnya untuk melaksanakan agenda pembangunan. Pemda diberbagai provinsi di Indonesia mulai berusaha untuk menerapkan konsep Human Rights Cities – yang dalam bahasa Indonesia ditafsirkan menjadi Kota HAM – sebagai salah satu tujuan pembangunannya. Beberapa pemerintah daerah yang berkomitmen untuk menerapkan konsep Human Rights Cities antara lain: Kabupaten Wonosobo, Kota Palu, Kota Bandung, Kabupaten Bantaeng dan lain-lain.

Prinsip-Prinsip Kabupaten/Kota HAM[sunting | sunting sumber]

  1. Prinsip hak atas kota
  2. Non diskriminasi
  3. Akuntabilitas
  4. Demokrasi partisipatoris
  5. Keadilan sosial
  6. Solidaritas
  7. Keberpihakan pada kelompok rentan
  8. Inklusi sosial dan keragaman budaya
  9. Keberlanjutan
  10. Pemulihan korban

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ HAM, Komnas (2020). "Kertas Posisi Kabupaten/Kota HAM" (PDF). Kertas Posisi Kabupaten/Kota HAM. Diakses tanggal 23 Februari 2022. 
  2. ^ "Human Rights City". Wikipedia (dalam bahasa Inggris). 2021-10-26. 
  3. ^ "Human Rights Cities Network". HRCN (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-02-23.