Adipati Malayakusuma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Maulana Syarif Adipati Malayakusuma
Adipati Malang ke-1
Berkuasa1751 - 1768
Informasi pribadi
KelahiranLumajang
KematianPegunungan Tengger
WangsaAnggawi al-Hasani
AyahTumenggung Kartonegoro
AnakTejo Kusumo
Onggo Kusumo

Malayakusuma adalah seorang Adipati yang berkuasa di Kota Malang sejak tahun 1751 hingga 1768. Ayahnya adalah Adipati Mas Prabujaka yang menjabat sebagai seorang adipati Surabaya setelah Jayapuspita. Mertuanya adalah Tumenggung Kartonegoro yang menjabat sebagai Bupati Lumajang. Bersama keturunan Untung Suropati , Adipati Malayakusuma berperang melawan VOC yang hendak menguasai Jawa Timur. Adipati Malayakusuma tertangkap di Malang Selatan dan gugur di tengah perjalanan menuju Surabaya. Ia diduga dimakamkan di pinggiran Kali Brantas di sekitar Balaikota Malang. Putranya yang masih kecil yaitu Tejo Kusumo berhasil diselamatkan oleh Pandita Tengger bernama Amongdharmo.

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Maulana Syarif Adipati Malayakusuma adalah seorang adipati di Kota Malang yang berkuasa setelah wafatnya Maulana Syarif Adipati Prabujaka. Adipati Malayakusuma gugur ketika mempertahankan Kota Malang dari serbuan VOC.

Perang Melawan VOC[sunting | sunting sumber]

Pasukan VOC yang tidak ingin anak keturunan Untung Suropati menguasai Jawa Timur kemudian melakukan serangkaian penaklukan mulai tahun 1762. Berbagai ekspedisi penaklukan dikerahkan untuk menguasai Malang. VOC juga merekrut pasukan bayaran dari kalangan pribumi. Pasukan pribumi itu dikerahkan karena jumlah pasukan eropa tidak memadai. Awalnya Adipati Malayakusuma tidak berniat untuk berperang. Ia mengirimkan duta perdamaian untuk merundingkan jalan terbaik bagi penyelesaian konflik agar tidak meluas. Ia juga menyanggupi permintaan VOC untuk memenuhi kebutuhan kompeni. Tetapi karena VOC memang berniat untuk mengalahkan keturunan Suropati maka proposal perdamaian itu ditolak. Perang akhirnya tidak bisa dihindarkan.

Untuk mempertahankan Kota Malang, Adipati Malayakusuma dibantu oleh adiknya yaitu Tirtanegara. Tirtanegara membawahi pasukan kavaleri yang mempunyai persenjataan modern. Pasukan inti Tirtanegara berjumlah 800 orang yang semuanya dilengkapi dengan kuda perang pilihan. Pasukan kavaleri ini konon menjadi momok tersendiri bagi pasukan VOC. Malayakusuma sendiri membawahi pasukan penjaga kota sebanyak 1500 pasukan inti. Ia juga memperkuat pasukan infanteri dengan 200 pasukan kavaleri.

Dalam mempertahankan Kota Malang Adipati Malayakusuma juga dibantu oleh Prabujaka. Keturunan Raja Majapahit ini mempunyai ribuan (kurang lebih 2000 prajurit) pasukan yang beberapa diantaranya dipimpin oleh anaknya yaitu Raden Mas. Prabujaka menjadi target utama penaklukan VOC karena dianggap berbahaya.

Perang besar terjadi di kaki gunung Gunung Mandaraka (Arjuno) pada tahun 1767. Pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Tropponegro dihadang oleh 800 pasukan kavaleri yang dipimpin oleh Tirtanegara. Pasukan VOC kocar-kacir menghadapi serangan kilat itu. Kartawijaya yang mempimpin pasukan Surabaya bahkan dilaporkan terluka parah atas serangan Tirtanegara itu. Ia bahkan kehilangan 200 prajurit dan banyak dari amunisinya yang dirampas oleh pasukan Tirtanegara. Karena VOC kalah telak maka serbuan atas Kota Malang ditangguhkan sampai permintaan tambahan pasukan disetujui. Untuk sementara Kota Malang aman dari gangguan VOC.

Setelah pertempuran besar di Gunung Mandaraka, Adipati Malayakusuma memutuskan untuk mengosongkan Kota Malang. Ia kemudian membagi pasukannya menjadi beberapa batalyon. Batalyon-batalyon itu kemudian diperintahnya untuk melakukan perang gerilya. Ia juga memerintahkan untuk membumihanguskan Kota Malang dan merusak akses jalan. Malayakusuma kemudian memimpin 500 pasukan kavaleri dan bergegas meninggalkan Kota Malang. Ia memilih selatan Gunung Semeru sebagai markas perang gerilyanya. Kebetulan di tempat itu telah berkumpul sisa-sisa pasukan Lumajang yang dipimpin oleh Tumenggung Kartayuda.

Akhir Hidup Malayakusuma[sunting | sunting sumber]

Pada bulan November tahun 1768, Letnan Gondelag berhasil menangkap Adipati Malayakusuma. Ia ditangkap di Blitar tepatnya di daerah Lodalem. Tanpa perlawanan berarti Adipati Malayakusuma dan pasukannya meletakkan senjata. Mereka kemudian digiring ke Surabaya. Di tengah perjalanan, Adipati Malayakusuma melawan dan sempat membunuh Kopral Smit Van Stam. Seorang punakawan asal Surabaya kemudian menikamnya. Adipati Malayakusuma kemudian gugur sementara jasadnya dibuang ke laut.

Pada tahun 1778, Gubernur VOC menerima laporan tentang keberadaan mantan Adipati Malang yaitu Malayakusuma. Malayakusuma diberitakan masih hidup dan tinggal di Pegunungan Tengger. Ia juga dikabarkan dilindungi oleh seorang pandita terkemuka bernama Amongdharma. Mereka dikabarkan hidup di pertapaan Selarawa (Situs Selogending). Mata-mata yang diutus untuk mencari tahu kebenaran informasi itu bahkan dilarang mendekati pertapaan itu oleh penguasa Pasuruan yaitu Adipati Nitiadiningrat.

Dikemudian hari dilaporkan bahwa orang yang disebut sebagai Malayakusuma itu adalah Pangeran Serang. Diceritakan bahwa tokoh ini menggalang kekuatan untuk memerangi orang-orang Eropa di Pasuruan. Pangeran Serang tersebut kemungkinan besar adalah putra dari Adipati Malayakusuma yaitu Tedjo Kusumo yang kelak menjadi Demang Tengger.

Lokasi Makam[sunting | sunting sumber]

Makam Adipati Malayakusuma kemungkinan besar terletak di depan Taman Rekreasi Kota (Tarekot) Malang. Dugaan ini muncul ditunjang keberadaan makam misterius di pinggir Sungai Brantas tepatnya di Kelurahan Kauman, Kecamatan Klojen. Keberadaan makam di depan Taman Rekreasi Kota (Tarekot) sekaligus menjadi kunci asal-usul nama Malayakusuma. Malayakusuma kemungkinan bukan nama asli tetapi sebuah sebutan yang mengingatkan orang Jawa pada Sunan Kalijaga atau Syekh Malaya yang ditugasi oleh gurunya untuk menjaga tongkat di pinggiran sebuah sungai.

Anak Keturunan[sunting | sunting sumber]

Adipati Malayakusuma mempunyai dua anak laki-laki yaitu Tejokusumo dan Onggokusumo. Mas Panji Tejokusumo memimpin pemberontakan pada tahun 1813 sehingga ditangkap dan menjalani hukum buang ke Rembang. Beberapa anak keturunannya yaitu: Ratu Mas Tejowati (istri Sayyid Abdurrahman/Mbah Sambu), Sumo Diwirjo (Wedana Sengguruh), Prawiro Diwirjo (Jaksa di Tulungagung) dan Sastro Diwirjo (Wedana di Soemoroto, Ponorogo).

Onggokusumo kemungkinan besar menjadi penasehat/mertua/menantu dari Adipati Malang dan dimakamkan di kawasan Kayutangan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. Margana, Sri (2007). "Java's Last Frontier : The struggle for hegemony of Blambangan, c. 1763-1813". The Leiden University Scholarly Repository. 
  2. Lantini, Endah Susi dan Tim Penulis (1996). Refleksi Nilai-Nilai Budaya Jawa Dalam Serat Suryaraja. Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan