Tahlilan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tahlilan adalah kegiatan doa yang dilakukan sebagian umat Islam, khususnya suku Jawa yang berada di Indonesia dan ada juga di Malaysia, Brunai darussalam. untuk memperingati dan mendoakan orang yang telah meninggal yang biasanya dilakukan pada hari pertama kematian hingga hari ketujuh, dan selanjutnya dilakukan pada hari ke-40, ke-100, kesatu tahun pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ada pula yang melakukan tahlilan pada hari ke-1000.

NU organisasi islam di Indonesia yang berdakwah melalui tahlilan. Nu menyebutkan bahwa tahlilan bukanlah hal yang wajib dilakukan umat Islam.[1][2] akan tetapi sunnah ghoir mahdhoh[3] selain sunah tahlilan adalah metode dakwah yang telah dilakukan sejak wali songo. Tahlilan juga dilakukan oleh nabi Muhammad seperti pada ketika para sahabat nabi dan pamannya (Hamzah) meninggal dunia.[4]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Tahlilan merupakan kegiatan membaca serangkaian ayat Alquran dan zikir-zikir dengan maksud menghadiahkan pahala bacaannya kepada orang yang telah meninggal.[5] "Tahlilan" berasal dari kata bahasa Arab tahlīl (تهليل) yang berarti membaca kalimat Lā ilāh(a) illa Allāh (لا إله إلا الله “Tidak ada sesembahan yang berhak untuk disembah selain Allah”), salah satu yang dibaca pada kegiatan tahlilan.[6][7] tahlilan biasa diselenggarakan setiap malam Jumat atau pada hari-hari kesekian setelah meninggalnya seseorang, meskipun tidak terbatas pada dua kesempatan tersebut.[8]

Tahlilan juga digunakan pada hari bersyukur dan juga meminta didoakan ketika akan melakukan kegiatan besar atau berperfian jauh seperti hari kelahiran anak, akan berangkat haji dll.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Upacara tahlilan ditengarai merupakan praktik pada abad-abad transisi yang dilakukan oleh masyarakat yang baru memeluk Islam, tetapi tidak dapat meninggalkan kebiasaan mereka yang lama. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit bukan hanya terjadi pada masyarakat pra-Islam di Indonesia saja, tetapi di berbagai belahan dunia, termasuk di jazirah Arab. Oleh para dai (yang dikenal Wali Songo) pada waktu itu ritual yang lama diubah menjadi ritual yang bernafaskan Islam. Di Indonesia tahlilan masih membudaya sehingga istilah "tahlilan" dikonotasikan dengan memperingati dan mendoakan orang yang sudah meninggal.

Tahlilan dilakukan bukan sekadar kumpul-kumpul karena kebiasaan zaman dulu. Generasi sekarang tidak lagi merasa perlu dan sempat untuk melakukan kegiatan sekadar kumpul-kumpul seperti itu. Tahlilan yang masih diselenggarakan sampai sekarang itu karena setiap anak menginginkan orang tuanya yang meninggal masuk surga. Sebagaimana diketahui oleh semua kaum muslim, bahwa anak saleh yang berdoa untuk orang tuanya adalah impian semua orang. Oleh karena itu, setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang saleh dan mendoakan mereka. Dari sinilah, keluarga mendoakan mayit dan beberapa keluarga merasa lebih senang jika mendoakan orang tua mereka yang meninggal dilakukan oleh lebih banyak orang (berjamaah). Diundanglah orang-orang untuk itu.

Menyuguhkan sedekah sekadar suguhan kecil bukanlah hal yang aneh, apalagi tabu, apalagi haram. Suguhan (sedekah) itu hanya berhak untuk orang miskin, yatim piatu ,orang cacat, orang yang kesulitan. Berkaitan dengan menghargai tamu yang mereka undang sendiri dan orang yang berhak mendapat sedekah, yaitu fakir miskin, orang cacat, anak yatim, orang lanjut usia. Maka, jika ada anak yang tidak ingin atau tidak senang mendoakan orang tuanya, maka dia (atau keluarganya) tidak akan melakukannya, dan itu tidak berakibat hukum syareat. Namun di sisi mazhab syafie bahkan mazhab Maliki, Hanbali, dan juga Hanafi berpendapat ritual tahlilan sebagai satu bentuk perbuatan makruh yang dibenci disisi agama.

Catatan kaki dan referensi[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]