Pondok Pesantren Nurul Jadid

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pondok Pesantren Nurul Jadid
Alamat
Jl. Kyai Haji Mun'im, Dusun Tj. Lor, Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton

,
Indonesia
Situs webnuruljadid.net
Informasi
JenisPondok pesantren
AfiliasiNahdlatul Ulama, Aswaja
Didirikan1948; 76 tahun lalu (1948)
PendiriK.H. Zaini Mun'im
PengasuhK.H. Moh. Zuhri Zaini, BA
Lain-lain
JulukanTanjhung
AlumniIKANJ (Ikatan Keluarga Alumni Nurul Jadid)
P4NJ (Pembantu Pengurus Pondok Pesantren Nurul Jadid)
Moto
Moto"Mondok Untuk Mengaji dan Membina Akhlakul Karimah"


Pondok Pesantren Nurul Jadid adalah salah satu Pesantren Modern terbesar di Desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur. yang didirikan oleh Hadratussyaikh K.H. Zaini Mun'im. pada tahun 10 Muharam 1368 Hijriyah atau 12 November 1948 Masehi.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Kedatangan Pendiri[sunting | sunting sumber]

Di tengah situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung yang demikian, KH. Zaini Mun’im setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah KH. As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo—memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarga di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH. Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lain dengan membawa contoh tanah pada KH. Syamsul Arifin. Daerah yang pernah diajukan oleh KH. Zaini Mun’im, selain tanah desa Karanganyar, adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat, Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, dan dusun Sumberkerang. Setelah contoh-contoh tanah diseleksi oleh KH. Syamsul Arifin, akhirnya pilihan jatuh pada tanah dari Karanganyar. Setelah itu, oleh KH. Syamsul Arifin, KH. Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Karanganyar.

Disamping itu, ada isyarat lain yang menyebabkan pilihan jatuh pada Karanganyar. Pertama, ketika KH. Zaini Mun’im mengambil contoh tanah di Desa Karanganyar, tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Sarang lebah dipahami sebagai isyarat jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar, maka akan banyak santrinya. Kedua, isyarat yang datang dari KH. Hasan Sepuh Genggong. Diceritakan, saat KH. Hasan Sepuh mendatangi sebuah pengajian dan melewati desa Karanganyar, beliau berkata kepada kusir dokarnya, “Di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini (Desa Karanganyar), kelak pondok tersebut akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya akan melebihi santri saya.” Ketiga, isyarat dari alam. Kondisi tanah yang bagus serta persediaan air yang memadai, turut menjadi alasan mengapa Desa Karanganyar menjadi pilihan. Pun demikian, letak Desa Karanganyar yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sangat cocok untuk dijadikan tempat pendidikan.

Awal Mula Berdirinya Pesantren[sunting | sunting sumber]

Awalnya, kedatangan KH. Zaini Mun’im pada tanggal 10 Muharram 1948 ke Desa Karanganyar  bukan bermaksud untuk mendirikan Pondok Pesantren. Beliau sengaja mengisolir diri dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Sejatinya, beliau ingin melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta untuk bergabung dengan teman-temanya.

Sebenarnya, KH. Zaini Mun’im bercita-cita menyiarkan agama Islam melalui Departemen Agama (Depag). Namun, cita-cita tersebut tidak tersampaikan sebab, sejak beliau menetap di Karanganyar, ada dua orang santri yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri tersebut bernama Syafi’uddin, berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo, dan Saifuddin, dari Sidodadi, Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan, mulai saat itu, beliau menetap bersama kedua santrinya.

Selang beberapa lama, KH. Zaini Mun’im ditangkap Belanda dan dipenjarakan di LP. Probolinggo. Sejak di Madura, beliau memang termasuk orang yang sangat dicari dan diwaspadai oleh Belanda. Pengaruh yang beliau miliki membuat Belanda khawatir sepak terjangnya akan mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan mereka (penjajah Belanda).

Saat dipenjara di LP. Probolinggo, beliau dipaksa untuk membocorkan keberadaan teman-temannya. Meski dipaksa, dengan jiwa besar beliau lebih memilih melindungi mereka. Semboyan “liberty or dead”—merdeka atau mati, beliau pegang dengan teguh. Setelah menghuni penjara kurang lebih tiga bulan, kemudian beliau dipulangkan kembali ke Desa Karanganyar.

Sejak saat itu, santri KH. Zaini Mun’im  mulai bertambah. Tak hanya dari Probolinggo, santri beliau juga berasal dari daerah lain seperti Madura, Situbondo, Malang, dan Bondowoso. Di antara nama-nama santri beliau saat itu adalah Muyan, Abd. Mu’thi, Arifin, Makyar, Baidlawi, dan Jufri. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH. Zaini Mun’im merasa berkewajiban untuk mendidik mereka. Dan, mulai saat itu, beliau memutuskan untuk tidak bergabung dengan teman-temannya di pedalaman Yogyakarta.

Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH. Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH. Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasihat jama’ah haji Indonesia. Tawaran tersebut beliau terima. Selain untuk memenuhi tugas, tawaran tersebut sesuai dengan cita-cita beliau yang ingin menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tanah air Indonesia melalui Depag. Ini juga sesuai dengan semboyan beliau, “Hidup saya akan diwaqafkan untuk penyiaran dan meninggikan agama Allah”.

Selama KH. Zaini Mun’im berada di Mekkah, untuk sementara waktu pengelolaan pesantren dipasrahkan kepada KH. Sufyan. KH. Sufyan adalah santri yang ditugaskan oleh KH. Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH. Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau.

Pada saat itu, santri yang menetap di pesantren berjumlah sekitar 30 orang, di bawah bimbingan KH. Munthaha dan KH. Sufyan. KH. Sufyan membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu (cangkruk) untuk tempat tinggal para santri.

Sepulangnya dari tanah suci, KH. Zaini Mun’im melihat beberapa gubuk (cangkruk) sudah berdiri. Tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan santri-santrinya. Bersama para santri, KH. Zaini Mun’im membabat hutan yang ada di sekitar pesantren, hingga akhirnya berdirilah sebuah Pesantren yang cukup besar seperti pembaca lihat sekarang. Sejak saat itu, nama KH. Zaini Mun’im mulai dikenal oleh masyarakat karena keuletan, keberanian serta ketabahannya.

Nama Nurul Jadid[sunting | sunting sumber]

Adua nama yang disodorkan kepada KH. Zaini Mun’im untuk dipilih sebagai nama pesantren yang beliau rintis. Dua nama tersebut Nurul Jadid dan Nurul Hadis. Nama Nurul Jadid, muncul saat KH. Zaini  didatangi seorang tamu bernama KH. Baqir, putera gurunya di Madura, KH. Abd. Majid. Beliau mengharap KH. Zaini  memberi nama Pesantren yang diasuhnya dengan nama “Nurul Jadid” (Cahaya Baru). Di saat yang lain, KH. Zaini  juga menerima surat dari Habib Abdullah bin Faqih. Surat tersebut berisi masukan agar Pesantren yang diasuh beliau diberi nama “Nurul Hadis”.

Dari dua nama yang diajukan kepada KH. Zaini, akhirnya nama Nurul Jadid yang dipilih. Nurul Jadid, yang berarti cahaya baru, kehadirannya cukup memberi arti dalam dinamika perkembangan zaman. Peran dan kontribusi Nurul Jadid sudah diakui oleh berbagai pihak. Terbukti dari semakin pesatnya perkembangan pesantren ini, baik dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Bahkan, atas peran dan kontribusi pesantren ini, Dr. KH. Idham Cholid, Ketum PBNU saat itu, memberi predikat Nurul Jadid sebagai “Cahaya Modern”.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Sejarah Pesantren – nuruljadid.net". www.nuruljadid.net. Diakses tanggal 2024-05-27.