Sujud (Buddhisme)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ilustrasi perbedaan praktik sujud untuk laki-laki dan perempuan.

Sujud (Pali: namakkāra atau paṇipāta; Sanskerta: namaskara; Tionghoa: 禮拜 li-pai; Romaji: raihai) merupakan gerakan yang dipraktikan dalam Buddhisme untuk menghormati Tiga Mustika, yakni Buddha, Dhamma, dan Sangha. Praktik ini adalah salah satu bentuk dari beberapa cara untuk menghormati suatu objek penghormatan.

Di kalangan umat Buddha, sujud diyakini bermanfaat bagi praktisi karena beberapa alasan, termasuk:

  • pengalaman memberi atau penghormatan
  • suatu tindakan untuk memurnikan kekotoran batin, terutama kesombongan
  • praktik persiapan untuk meditasi
  • suatu tindakan yang mengumpulkan kebajikan

Dalam aliran Theravāda, lima bagian tubuh perlu menyentuh permukaan lantai saat sedang bersujud. Praktik tersebut disebut sebagai "sujud lima titik" (Pāli: pañca-patiṭṭhita) atau "penghormatan lima bagian tubuh" (Pali: pañcaṅga-vandana). Lima titik tersebut adalah kedua telapak tangan dan siku, dua pasang jari kaki dan lutut, serta dahi. Secara lebih rinci:[1]

... Dalam posisi berlutut, tangan dalam keadaan añjali [telapak tangan rapat, jari-jari mendatar dan mengarah ke atas] diangkat ke dahi lalu diturunkan ke lantai sehingga seluruh lengan bawah hingga siku berada di tanah, siku menyentuh lutut. Kedua tangan, telapak tangan menghadap ke bawah, berjarak empat hingga enam inci (15 cm) dengan ruang yang cukup untuk meletakkan dahi di antara keduanya. Kaki diam seperti posisi berlutut dan lutut berjarak sekitar satu kaki (30 cm)....

— Bhante Khantipalo (1995)

Beberapa bacaan juga dilantunkan sebelum bersujud. Dalam tradisi Myanmar, pembacaan teks okāsa dilakukan sebelum praktik sujud. Dalam tradisi Sri Lanka, ketika seseorang menghadap gurunya, untuk "membuka pikirannya untuk menerima instruksi", seseorang perlu membungkuk dan melafalkan kalimat, "Okāsa ahaṃ bhante vandāmi" ("Saya memberi penghormatan kepada Anda, Bhante").[2] Dalam tradisi Thailand dan Saṅgha Theravāda Indonesia, secara tradisional, masing-masing dari tiga sujud tersebut disertai dengan syair Pali berikut ini:[1]

Sujud Pertama Arahaṁ sammā-sambuddho bhagavā;

Buddhaṁ bhagavantaṁ abhivādemi.

Sang Bhagavā, Yang Maha Suci, Yang Telah Mencapai Penerangan Sempurna;

Aku bersujud di hadapan Sang Buddha, Sang Bhagavā.

Sujud Kedua Svākkhāto bhagavatā dhammo;

Dhammaṁ namassāmi.

Dhamma telah sempurna dibabarkan oleh Sang Bhagavā;

Aku bersujud di hadapan Dhamma.

Sujud Ketiga Supaṭipanno bhagavato sāvakasaṅgho,

Saṅghaṁ namāmi.

Saṅgha, siswa Sang Bhagavā, telah bertindak sempurna;

Aku bersujud di hadapan Saṅgha.

Dalam Buddhisme Barat kontemporer, beberapa guru menggunakan sujud sebagai praktik tersendiri,[3] sementara guru-guru lain menganggap sujud sebagai ritual liturgi adat, sebagai pelengkap meditasi.[4]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Lay Buddhist Practice: The Shrine Room, Uposatha Day, Rains Residence". www.accesstoinsight.org. Diakses tanggal 2024-05-19. 
  2. ^ Bhikkhu Bodhi (2006), Sn 2.9 Kiṃsīla Sutta — Right Conduct (lecture) pada 25:20, tersedia sebagai "Sn032" (mp3) dari "Bodhi Monastery" di http://www.bodhimonastery.net/bm/about-buddhism/audio/903-audio/84-sutta-nipata.html Diarsipkan 2011-09-30 di Wayback Machine. Untuk rahib perempuan (bukan rahib laki-laki), digunakan ayye alih-alih bhante.
  3. ^ See, for instance, Tromge (1995), pp. 87-96.
  4. ^ See, for example, Aitken (1982), pp. 29-31, where he discusses such rituals as having a twofold purpose: "First, ritual helps to deepen our religious spirit and to extend its vigor to our lives. Second, ritual is an opening for the experience of forgetting the self as the words or the actions become one with you, and there is nothing else." (p. 29).