Inflasi imajinasi: Perbedaan antara revisi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Konten dihapus Konten ditambahkan
Hrara (bicara | kontrib)
Dibuat dengan menerjemahkan halaman "Imagination inflation"
Tag: halaman dengan galat kutipan Terjemahan Konten Terjemahan Konten v2
(Tidak ada perbedaan)

Revisi per 28 Maret 2022 07.23

Inflasi imajinasi (Inggris: Imagination inflation) ialah suatu jenis distorsi memori yang terjadi ketika membayangkan suatu peristiwa yang tidak pernah terjadi. tetapi meningkatkan kepercayaan terhadap memori peristiwa tersebut.[1]

Sejumlah faktor terbukti meningkatkan efek inflasi imajinasi.Dengan membayangkan peristiwa palsu maka akan terjadi peningkatan keeratan atas peristiwa. Keeratan ini ditafisrkan secara keliru oleh individu sebagai bukti bahwa mereka telah mengalami peristiwa tersebut.[2] [3] Inflasi imajinasi juga bisa terjadi karena kebingungan sumber atau kekeliruan pemantauan sumber. Saat membayangkan peristiwa palsu, orang menghasilkan informasi tentang peristiwa tersebut yang kerap disimpan dalam ingatan. Kemudian, orang itu mungkin mengingat isi memorinya, tetapi bukan sumbernya. Sehingga, orang tersebut secara keliru akan mengaitkan informasi yang diingat dengan pengalaman nyata mereka.[2]

Bias ini relevan dengan studi memori dan kognisi, khususnya memori palsu. Inflasi imajinasi kerap terjadi selama upaya mengingat memori yang ditekan (repressed memories) melalui terapi pemulihan memori dan mengembangkan ingatan yang keliru atau terdistorsi.[2] Dalam peradilan pidana, inflasi imajinasi terkait dengan pengakuan palsu. Hal ini terjadi akibat praktik interogasi polisi yang melibatkan tersangka untuk dapat membayangkan apa yang dilakukannya atau merencanakan kejahatannya.[1] [4]

Riset

Riset awal

Pada tahun 1996, Elizabeth Loftus, Maryanne Garry, Charles Manning, dan Steven Sherman, menyelidiki inflasi imajinasi. Studi ini mempelajari efek membayangkan peristiwa masa kecil dalam memori masa kecil.[1] Studi ini merupakan studi perdana yang mengulas efek membayangkan kejadian palsu pada memori tanpa adanya faktor penganggu, seperti tekanan sosial.[1] [2] Studi tersbeut menunjukan bahwa tindakan membayangkan peristiwa yang belum pernah dialami di masa kecil (misal, diselamatkan oleh penjaga pantai atau memecahkan jendela dengan satu tangan) terbukti meningkatkan kepercayaan diri bahwa peristiwa tersebut telah terjadi. Orang awalnya memiliki kepercayaan yang rendah terkait peristiwa yang belum pernah dialami, tetapi dengan membayangkan akan membuat orang llebih yakin bahwa peristiwa itu terjadi dibandingkan dengan yang tidak terbayangkan.[1]

Mengingat memori bersifat unreliable, maka pemastian bahwa seseorang telah mengalami peristiwa tertentu tidak semata-mata hanya berdasarkan pada laporan diri.[5] Kondisi tersebut membuka kemungkinan bahwa imajinasi tak berpengaruh secara nyata atas kekeliruan memori masa lalu. Sebaliknya, kondisi ini justru memulihkan memori aktual individu atas pengalaman nyata. Lyn Goff dan Henry Roediger (1998) menggunakan metode yang berbeda untuk mengetahui efek inflasi imajinasi pada peristiwa yang dapat dikonfirmasi. Studi ini juga melihat efek imajinasi pada laporan pengakuan daripada peringkat kepercayaan. Peserta melakukan tindakan tertentu (seperti mematahkan tusuk gigi), tetapi tidak yang lain. Mereka kemudian diminta membayangkan melakukan tindakan lain di keseluruhan set dan akhirnya diberi daftar tindakan lama (di dua bagian pertama percobaan) dan tindakan baru. Peserta lebih cenderung keliru mengatakan bahwa mereka telah melakukan tindakan yang dibayangkan dibandingkan dengan tindakan yang tidak terbayangkan.[5]

Riset lanjutan

Studi lanjutan menggunakan metode serupa dengan cara melakukan pra-tes untuk peringkat serangkaian peristiwa, tes kognitif intervensi menggunakan peristiwa, dan peringkat kepercayaan pasca tes. Studi tersebut menunjukkan bahwa ketika efek inflasi imajinasi yang timbul, maka orang hanya akan menjelaskan bagaimana peristiwa bisa terjadi [6] atau memparafrasekannya.[7] Temuan ini menjadi bukti bahwa imajinasi yang begitu jelas tidak selalu diperlukan untuk menghasilkan "inflasi imajinasi". Justru parafrase akan membuat peristiwa palsu lebih mengalir dan erat, tanpa adanya gambaran rinci yang dihasilkan.[7]

Studi lain meneliti jenis peristiwa yang dapat menimbulkan efek inflasi imajinasi. Studi ini menggunakan metode yang mirip dengan Goff dan Roediger,[5] di mana peserta diminta melakukan beberapa tindakan dan membayangkan beberapa di antaranya. Hasil studi ini menunjukkan bahwa mereka keliru dalam mempercayai bahwa tindakan yang mereka bayangkan itu pernah terjadi dan mereka tidak menghiraukan peristiwa yang tidak mereka bayangkan. Contoh kasus efek inflasi imajinasi yang serupa dalam penelitian Goff dan Roediger, misalnya tindakan "pecahkan tusuk gigi" dan versi yang diubah dari tindakan tersebut "cium kaca pembesar".[8] Inflasi imajinasi juga dijumpai saat orang membayangkan hal yang tidak biasa, seperti mencium mesin penjual otomatis atau berbaring di sofa dan berbicara dengan Sigmund Freud.[9] Beberapa orang mendapati keyakinan yang keliru bahwa mereka melakukan tindakan aneh [9] atau mengalami peristiwa yang lebih biasa [2] bahkan setelah membayangkan orang lain, daripada diri mereka sendiri yang melakukannya.

Penyebab

Penyebab dari efek inflasi imajinasi masih diperdebatkan. Sejumlah bukti menyebutkan bahwa kerangka pemantauan sumber, teori misatribusi keeratan peristiwa, dan efek elaborasi sensorik menyebabkan pembentukan ingatan palsu melalui inflasi imajinasi. Faktor tersebut dan faktor lain yang belum diketahui kemungkinan berkontribusi dalam kemunculan efek inflasi imajinasi.[10]

Kerangka pemantauan sumber

Thomas dkk dalam teori kerangka pemantauan sumber, menyatakan bahwa ingatan tidak digolongkan sebagai sesuatu nyata atau imajiner. Oleh sebab itu, di bawah kerangka ini, setelah membayangkan suatu peristiwa, sulit untuk membedakan apakah memori itu nyata atau tidak.[10]

Teori misatribusi keeratan

Dalam teori misatribusi keeratan, efek inflasi imajinasi diduga muncul sebagai akibat membayangkan suatu peristiwa sehingga meningkatkan keeratan dengan peristiwa tersebut. Keeratan ini kemudian disalahartikan sebagai bukti bahwa peristiwa itu nyata terjadi.[11]

Elaborasi sensorik

Thomas dkk. berargumen bahwa persepsi yang timbul saat membayangkan peristiwa akan membuat bingung memori sebenarnya dikarenakan adanya elaborasi. Saat peserta memasukkan detail sensorik sembari mengingat peristiwa yang dibayangkan, peserta akan lebih condong untuk salah mengingat peristiwa yang dibayangkan. Peserta menjadi bingung atas peristiwa yang dibayangkannnya dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi karena sifat imajinasi mereka yang spesifik dan rumit. Hasil studi menyimpulkan bahwa elaborasi (dalam bentuk detail sensorik yang jelas) mengarah pada peningkatan pembentukan ingatan palsu.[12]

Implikasi

Pengakuan palsu

Inflasi imajinasi berimplikasi pada sistem peradilan pidana, khususnya yang terkait dengan prosedur interogasi dan wawancara. Tindakan interogator yang meminta terdakwa untuk membayangkan dirinya melakukan kejahatan secara berulang akan membuat terdakwa mempercayai bahwa dirinya adalah pelakunya. Hal tersebut selanjutnya akan menghasilkan pengakuan palsu dari terdakwa yang tidak bersalah.[1] Dalam satu kasus di Amerika Serikat pada 1990-an, setelah dilakukan interogasi polisi yang intens, seorang pria yang awalnya menyangkal tuduhan pemerkosaan atas putrinya mengakui kejahatan yang bahkan dibantah oleh penuduhnya, termasuk melecehkan anak-anaknya dan memimpin sekte setan yang mengorbankan bayi. Richard Ofshe selaku psikolog berpendapat bahwa pengakuan itu adalah ingatan palsu yang diciptakan oleh sugesti berulang.[13] [14]

Dalam teknik interogasi lain, interogator meminta tersangka untuk menjelaskan bagaimana suatu kejahatan mungkin telah dilakukan atau bagaimana mereka sendiri dapat melakukannya. Praktik seperti ini dianggap menjadi penyebab pengakuan palsu yang melibatkan narasi yang dapat dipercaya tentang kesalahan terdakwa yang tidak bersalah.[4] [15] Hal ini didukung oleh sebuah studi yang menemukan betapa peristiwa masa kanak-kanak palsu bisa tercipta dan bahkan setelahnya orang-orang tersebut menjadi lebih yakin bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi.[15]

Kritik

Regresi ke mean

Sebuah kritik tahun 2001 berargumen bahwa temuan studi inflasi imajinasi tahun 1996 sebetulnya tidak mencerminkan perubahan keyakinan akan memori masa lalu melalui imajinasi, melainkan hanyalah hasil dari regresi ke mean.[16] Kritik itu menyatakan bahwa peristiwa dengan peringkat keyakinan pada skala ekstrim (rendah atau tinggi) terjadi karena kesalahan pengamatan, sehingga skor yang muncul pasca-tes terlihat lebih moderat.[16] Peneliti studi tahun '96 tidak setuju dengan interpretasi ini[17] dan menunjukkan beberapa isu yang muncul atas penjelasan Pezdek. Secara khusus, mereka setuju bahwa regresi ke mean hadir dalam data mereka sendiri dan berkontribusi pada perubahan keseluruhan dalam kepercayaan pada tes kedua. Namun, regresi ke mean tidak dapat menjelaskan temuan bahwa membayangkan peristiwa yang rendah kepercayaan menyebabkan peningkatan peringkat yang lebih besar daripada peristiwa kepercayaan rendah yang tidak terbayangkan. Hal ini dilandasi karena regresi ke mean harus mempengaruhi semua peristiwa secara setara.[17]

Referensi

  1. ^ a b c d e f Garry, Maryanne; Manning, Charles G., Loftus, Elizabeth F., Sherman, Steven J (1996). "Imagination inflation: imagining a childhood event inflates confidence that it occurred". Psychonomic Bulletin & Review. 3 (2): 208–214. doi:10.3758/bf03212420. PMID 24213869.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Garry" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b c d e Garry, Maryanne; Polaschek, Devon L.L. (2000). "Imagination and memory". Current Directions in Psychological Science. 9 (1): 6–10. doi:10.1111/1467-8721.00048.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Devon" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  3. ^ Loftus, Elizabeth F. (2001). "Imagining the past". The Psychologist. 14 (11): 584–587. ProQuest 619639001. 
  4. ^ a b Davis, D.; Donohue, J. (2004). O'Donohue, W.T.; Laws, P.R.; Hollin, C., ed. The road to perdition: Extreme influence tactics in the interrogation room. Handbook of Forensic Psychology. NY: Elsevier, Academic Press. hlm. 897–996. doi:10.1016/B978-012524196-0/50037-1. ISBN 978-0471177715.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "false" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  5. ^ a b c Goff, Lyn M.; Roediger III, Henry L. (1998). "Imagination inflation for action events: Repeated imaginings lead to illusory recollections". Memory & Cognition. 26 (1): 20–33. doi:10.3758/BF03211367. PMID 9519694.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "Goff" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  6. ^ Sharman, Stefanie J.; Manning, Charles, G., Garry, Maryanne (2005). "Explain this: explaining childhood events inflates confidence for these events". Applied Cognitive Psychology. 19 (1): 67–74. doi:10.1002/acp.1041. 
  7. ^ a b Sharman, Stefanie J.; Garry, M., Beurke, C.J. (2004). "Imagination or exposure causes imagination inflation". The American Journal of Psychology. 117 (2): 157–168. doi:10.2307/4149020. JSTOR 41409020. PMID 15209367. 
  8. ^ Thomas, Ayanna K.; Loftus, Elizabeth F. (2002). "Creating bizarre false memories through imagination". Memory & Cognition. 30 (3): 423–431. doi:10.3758/BF03194942. PMID 12061762. 
  9. ^ a b Seamon, John G.; Philbin, M.M., Harrison, Liza G. (2006). "Do you remember proposing marriage to the Pepsi machine? False recollections from a campus walk". Psychonomic Bulletin & Review. 13 (5): 752–756. doi:10.3758/bf03193992. PMID 17328368. 
  10. ^ a b Johnson, Marcia K.; Hashtroudi, Shahin; Lindsay, D. Stephen (1993). "Source monitoring". Psychological Bulletin (dalam bahasa Inggris). 114 (1): 3–28. doi:10.1037/0033-2909.114.1.3. ISSN 1939-1455. PMID 8346328.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama ":0" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  11. ^ Jacoby, Larry L.; Dallas, Mark (1981). "On the relationship between autobiographical memory and perceptual learning". Journal of Experimental Psychology: General. 110 (3): 306–340. doi:10.1037/0096-3445.110.3.306. ISSN 1939-2222. 
  12. ^ Thomas, Ayanna K.; Bulevich, John B.; Loftus, Elizabeth F. (June 2003). "Exploring the role of repetition and sensory elaboration in the imagination inflation effect". Memory & Cognition. 31 (4): 630–640. doi:10.3758/bf03196103. ISSN 0090-502X. PMID 12872878. 
  13. ^ Ofshe, Richard (1992). "Inadvertent hypnosis during interrogation: False confession due to dissociative state: Mis-identified multiple personality and the satanic cult hypothesis". International Journal of Clinical and Experimental Hypnosis. 40 (3): 125–156. doi:10.1080/00207149208409653. PMID 1399152. 
  14. ^ McNally, Richard (2003). Remembering Trauma. Cambridge, M.A: Belknap Press/Harvard University Press. ISBN 9780674018020. Diakses tanggal February 14, 2014. 
  15. ^ a b Sharman, Stefanie J.; Manning, Charles G., Garry, Maryanne (2005). "Explain this: Explaining childhood events inflates confidence for those events". Applied Cognitive Psychology. 19: 67–74. doi:10.1002/acp.1041. 
  16. ^ a b Pezdek, Kathy; Eddy, Rebecca M. (2001). "Imagination inflation: A statistical artifact of regression toward the mean". Memory & Cognition. 29 (5): 707–718. doi:10.3758/BF03200473. PMID 11531226. 
  17. ^ a b Garry, Maryanne; Sharman, Stefanie J., Wade, Kimberly A., Hunt, Maree J., Smith, Peter J. (2001). "Imagination inflation is a fact, not an artifact: A reply to Pezdek and Eddy". Memory & Cognition. 29 (5): 719–729. doi:10.3758/BF03200474.