Paragede Alek

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Paragede Alek (perkedel alek) adalah sejenis makanan tradisional semacam sambal yang dibuat oleh masyarakat Jorong Matua Katik Nagari Matua Hilia pada acara-acara bernuansa adat, seperti perhelatan perkawinan, acara peresmian gelar penghulu, acara tahlilan rambut, khatam Quran dan sebagainya. Peralatan untuk membuat paragede alek adalah kentang goreng digiling, ubi rebus masak, telur, bawang prei, seledri, bawang merah, bawang putih, roiko, dan garam secukupnya. Proses membuatnya, seluruh bahan yang berjumlah cukup diaduk menjadi satu, selanjutnya dibulatkan menjadi ukuran sekira dua sendok makan. Terakhir, bulatan paragede digoreng hingga masak dan bisa dihidangkan bersama dendeang ragi dan gulai bukek. Secara sosial budaya, paragede alek adalah samba adat. Artinya, makanan sejenis sambal ini harus tersedia ketika hidangan terletak di tengah perjamuan. Masyarakat Jorong Matua Katik dapat menilai aneh ketika ibu-ibu pada suatu acara bernuansa adat yang tidak membuat sambal paragede.[1]

Berdasarkan keterangan narasumber, makanan tradisional paragede alek (perkedel alek) merupakan pelengkap makanan pada acara-acara yang bernuansa adat. Biasanya makanan sejenis sambal ini dihidangkan bersama dendeang ragi dan gulai bukek. Sebab itu, masyarakat Jorong Matua Katik Nagari Matua Hilia dapat menilai kurang marwah suatu acara apabila tuan rumah tidak menghidangkan paragede, sekalipun berjenis makanan lainnya terhidang secara lengkap, seperti randang, kalio, goreang lauak, goreang ayam dan sebagainya. Dalam kesibukan kaum ibu-ibu di dapur seorang warga yang mengadakan acara menggambarkan sebegitu pentingnya paradege sebagai makanan yang mesti ada. Biasanya banyak kaum ibu-ibu menjadi sibuk bertanya, “Bilo paragede ka dibuek”.

Hingga masa kini, masyarakat di Joroang Matua Katik tetap menilai perlu adanya paragede di tengah hidangan. Akan muncul pembicaraan tidak enak di tengah masyarakat, terutama di kaum ibu-ibu, apabila sebuah keluarga yang mengadakan acara tidak membuat paragede, apabila pada acara-acara bernuansa adat. Menurut narasumber pula, sikap dan perilaku masyarakat tersebut merupakan sebentuk kepedulian kepada kekuatan nilai-nilai kegotongroyongan masyarakat ke bentuk kerja sebuah keluarga yang mengadakan hajatan.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hasanadi dkk (2013). Warisan Budaya Takbenda di Provinsi Sumatera Barat. Jl. Raya Belimbing No. 16 A Kuranji, Padang, Sumatera Barat. Telp/Faks: 0751-496181: Balai Pelestarian Nilai Budaya Padang. hlm. 61–62. ISBN 978-602-8742-67-2.