Menyongsong Badai

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Menyongsong Badai (1970) merupakan novel karya Luwarsih Pringgoadisuryo yang diterbitkan pertama kali tahun 1970 oleh Pembangunan, Jakarta. Pada tahun itu juga novel tersebut memperoleh Hadiah Utama Sayembara Unesco/Ikapi. Cetakan kedua Menyongsong Badai diterbitkan tahun 1982 oleh Pustaka Jaya. Sebelum Menyongsong Badai, Luwarsih telah menghasilkan dua novel, yaitu Tati Takkan Putus Asa (Pustaka Jaya, 1957) dan Lain Sekarang Lain Esok (Pustaka Jaya, 1973). Novel terakhirnya adalah Yang Muda yang Menentukan yang diterbitkan oleh Grafiti Press tahun 1989.[1]

Menyongsong Badai menceritakan kisah seorang gadis, Damayanti (Dai) yang berusia sekitar 16—17 tahun. Ia adalah anak dokter Mokhtar. Sebagai seorang anak sulung yang sudah tidak beribu lagi, Dai benar-benar menghadapi suatu persoalan yang berat ketika ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Meskipun ibu tirinya, Bu Sam, baik dan penuh pengertian, Dai tetap merasa bahwa kehadiran perempuan tersebut adalah penyebab kehancuran hubungannya dengan ayahnya. Ayah Dai, yang menyadari situasi jiwa anaknya, memindahkan sekolah anaknya ke kota dan dikoskan di rumah Bu Sri. Tindakan ayahnya itu dianggap Dai sebagai pengusiran terhadap dirinya. Ia sangat kecewa kepada ayahnya yang selama ini sangat dihormati dan juga dianggapnya sebagai sahabat. Dai yang sedang galau pikirannya itu sulit berhubungan dengan teman-teman kosnya, Lili, Ida, dan Yan. Namun, berkat penanganan Bu Sri sebagai ibu kos yang bijaksana, Dai dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan teman-teman kosnya.

Dai yang sedang dalam masa puber, mulai tertarik dengan lawan jenisnya. Dua pemuda, Hariadi dan Pramono, menarik perhatiannya. Dari kedua pemuda itu, Dai lebih tertarik kepada Pramono karena ia dan Pram mempunyai hobi yang sama. Sementara itu, hubungan Dai dengan ayahnya mulai mencair setelah Dai diberi pengertian oleh Bu Sri bahwa tindakan ayahnya yang mengirimkannya ke kota dan keputusan ayahnya untuk menikah lagi itu bukanlah hal yang salah. Sebelum Dai mendengar hasil ujiannya, Dai mendapat kabar bahwa ayahnya sakit keras. Dai pulang ke desa. Sampai di rumah orang tuanya, ia bertemu dengan ibu tirinya, Bu Sam. Namun, rasa bencinya terhadap wanita itu telah sirna. Ia berkumpul kembali dengan ayah dan adik-adiknya.

Novel Menyongsong Badai dibicarakan oleh Maman S. Mahayana dalam bukunya yang berjudul Ringkasan dan Ulasan Novel Indonesia Modern (1992). Dalam bukunya itu, Maman menyatakan bahwa novel itu berbicara tentang wanita dan ditulis oleh pengarang wanita. Persoalannya juga datang dari wanita. Oleh karena itu, lengkaplah novel itu bercerita tentang dunia wanita. Jakob Sumardjo dalam bukunya Novel Indonesia Mutakhir: Sebuah Kritik (1979) mengatakan bahwa novel itu boleh dikatakan tanpa cacat sebagai bentuk. Pengarang berhasil menyampaikan masalah dengan cukup padat. Isi kalimat yang dituangkannya bening dan benar. Gaya penyampaiannya sederhana meskipun kesederhanaan yang dipakainya tidak mencapai tingkat kesederhanaan seorang Idrus pada tahun 40-an atau seorang Elscot yang indah.

Referensi[sunting | sunting sumber]