Jurnalisme media sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jurnalisme Media Sosial merupakan pelaporan berita yang dilakukan jurnalis melalui media sosial. Jurnalisme media sosial dikenal juga dengan istilah social media journalism. Jurnalisme media sosial muncul karena khalayak sering mengakses media sosial. Para jurnalis mempublikasikan berita di media sosial supaya khalayak dapat menerima berita selagi mengakses media sosial.[1]

Jurnalisme media sosial dan jurnalisme warga[sunting | sunting sumber]

Jurnalisme media sosial merupakan salah satu dampak perkembangan teknologi yang pesat, sehingga berpengaruh kepada penyampaian alur informasi. Namun, perbedaan mendasar antara jurnalisme media sosial dengan jurnalisme warga (citizen journalism) bukan terletak pada penyampaian informasinya.

Kedua jenis jurnalisme itu dapat sama-sama menggunakan teknologi atau media online sebagai sarana dalam penyampaian informasi, yaitu dapat melalui website atau media sosial.

Letak pembeda paling dasar terletak pada kemampuan dari jenis jurnalisme tersebut, jurnalisme warga menurut Duffy, Thorson, dan Jahng merupakan seorang individu yang bukan ahli di bidang jurnalistik, tetapi dapat mencari dan mengolah berita yang kemudian dapat dipublikasikan. Sedangkan, jurnalisme media sosial merupakan seseorang yang ahli di bidang jurnalistik, yang kemudian membagikan kontennya melalui media daring.[2]

Karakteristik[sunting | sunting sumber]

Kegiatan jurnalisme media sosial yang memanfaatkan media sosial sebagai platform menunjukkan karakteristik-karakteristik jurnalisme yang interaktif. Menurut Hamna, karakteristik tersebut meliputi:[3]

  • Aktualitas (immediacy): Karakteristik tersebut merujuk pada konten berita yang meliputi peristiwa yang sedang terjadi dan disajikan aktual atau terkini.
  • Transparansi (transparency): Karakteristik ini merujuk pada penyajian berita yang tidak memanipulasi fakta, atau sudah melalui tahap verifikasi oleh jurnalis melalui narasumber berita.
  • Jurnalisme Partisan: Karakteristik jurnalisme partisipan merujuk pada kegiatan jurnalisme yang melibatkan penonton untuk melakukan interaksi dalam sebuah pemberitaan melalui media sosial.
  • Anonimitas (anonymity): Karakteristik di atas merujuk pada kebebasan dalam menciptakan identitas dunia maya dalam sebuah media sosial. Karakteristik ini perlu untuk dihindari dalam jurnalisme media sosial dikarenakan jika sumber berita tersebut anonim, maka pada umumnya berita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  • Saling berbagi konten (sharing): Karakteristik ini merujuk pada fitur media sosial yang dapat menyebarkan konten-konten orang lain kepada khalayak yang luas. Selain itu, dalam jurnalisme media sosial, para jurnalis dapat membagikan berbagai macam konten berita.

Pelaporan berita[sunting | sunting sumber]

Garcia de Torres mengemukakan bahwa terdapat 2 media sosial pada tahun 2011 yakni Twitter dan Facebook yang digunakan oleh para jurnalis untuk membagikan dan menyebarluaskan berita. Pada umumnya berita yang diunggah pada media sosial tersebut merupakan berita yang sedang terjadi (aktual) seperti kejadian bencana alam. Menurut Fahri mengemukakan bahwa kegiatan mengunggah berita pada media sosial Twitter merupakan kegiatan yang dilakukan secara rutin. Bahkan berita yang hanya meliputi bencana alam, saat ini telah mencakup banyak peristiwa seperti acara pidato, pertemuan dan konferensi.[4]

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa media sosial saat ini dapat memfasilitasi para jurnalis untuk mengunggah berita secara instan dan aktual. Selain itu jurnalisme media sosial juga merupakan jenis jurnalisme yang melibatkan lebih banyak penonton atau interaktif. Media sosial memungkinkan para jurnalis untuk dapat mengkombinasikan teks, foto, atau video dalam sebuah konten berita . Hal tersebut membuat sebuah dampak baru dalam jurnalisme media sosial terutama dalam bagian proses jurnalisme.

Proses tersebut mencakup proses penyebarluasan berita yang lebih aktual, dahulu para jurnalis mengamati dan melakukan verifikasi terhadap suatu peristiwa kemudian menerbitkan berita tersebut sehari setelah proses tersebut terjadi. Saat ini jurnalis dapat melakukan hal tersebut dengan menggabungkan komponen teks, foto atau video dalam pembuatan berita di media sosial dan dapat segera diunggah secara terkini. Selain itu jurnalisme media sosial juga memberikan ruang bagi penonton untuk berinteraksi yang terwujud dalam kolom komentar.[4]

Pengumpulan berita[sunting | sunting sumber]

Jurnalis media sosial dapat mendapat data mentah berita dari berbagai sumber. Kantor berita merupakan salah satu sumber data berita. Kantor berita milik negara Indonesia, yaitu ANTARA menjadi acuan berita bagi wartawan di Indonesia. Cara pengumpulan berita seperti ini tidak hanya diterapkan dalam jurnalisme media sosial saja.

Selain itu, wartawan juga dapat memperoleh data dari berita-berita yang sudah beredar. Media sosial sendiri juga menjadi lahan jurnalis dalam mencari data. Rekaman video, foto, dan bentuk dokumentasi lainnya merupakan suatu data yang nantinya akan diolah jurnalis menjadi berita. Cara pengumpulan berita seperti membuat para wartawan tidak perlu terjun langsung ke lapangan.[4]

Contoh kasus[sunting | sunting sumber]

Media berita, baik konvensional maupun alternatif, kini dapat menyampaikan berita melalui sosial media. Hal itu merupakan dampak dari semakin berkembangnya teknologi. Salah satu contohnya ialah harian kompas.

Harian kompas dalam akun Instagramnya, yakni hariankompas, mengunggah berbagai macam foto dan video yang menampilkan berita-berita yang dimuat di surat kabar Kompas. Tentu saja, tidak semua berita ditampilkan di akun tersebut. Hanya berita-berita terpilih yang ditampilkan. Hal itu bertujuan untuk menarik minat pengikut akun hariankompas untuk membaca surat kabar media itu.

Selain KOMPAS, media Kumparan juga memanfaatkan media sosial dengan tujuan serupa. Media tersebut mengunggah video mengenai berita yang kini sedang hangat di masyarakat.

Ada pula jurnalis yang mengunggah kegiatan liputannya ke sosial media. Salah satu contohnya ialah jurnalis KOMPAS TV Ferry Irawan. Ia mengunggah kegiatan liputannya ke akun instagramnya yang bernama “ferry.irawan_”. Unggahan tersebut berupa foto maupun video.

Analisis[sunting | sunting sumber]

Contoh-contoh di atas merupakan jurnalisme sosial media. Berbeda dengan jurnalisme warga yang dapat disampaikan oleh siapapun, jurnalisme sosial media merupakan laporan yang dilaporkan oleh seseorang atau media yang sudah terverifikasi sebagai jurnalis. Hanya saja, laporan atau berita itu dilaporkan melalui media sosial.

Berita yang dimuat pun tidak lengkap. Akan tetapi, media atau jurnalis akan memberi tautan supaya pembaca bisa membaca berita versi lengkap. Selain itu, pengunggah pun menyediakan informasi dimana berita tersebut dimuat, apabila berita yang disebarkan bukan versi online.

Dampak yang dirasakan audiens adalah peningkatan transparansi. Audiens bisa langsung menilai kebenaran berita tersebut. Audiens juga dapat langsung berinteraksi dengan media atau jurnalis mengenai berita yang disebarkan. Artinya, terjadi perubahan komunikasi, yang dulu hanya searah, kini menjadi dua arah. Audiens kini menjadi penikmat aktif, bukan penikmat pasif.

Di sisi lain, jurnalisme media sosial juga dapat memberi dampak negatif. Salah satunya berkaitan dengan transparansi. Meski berita dapat lebih cepat diperiksa kebenarannya, kehadiran media abal-abal membiaskan hal ini. Media abal-abal dapat dengan mudah masuk kepada pembaca melalui media sosial. Hal ini tentu berakibat buruk. Berita palsu hoaks mudah tersebar melalui media ini. Oleh karena itu, penting bagi pembaca untuk mengecek dan memastikan akun yang menyebarkan berita merupakan akun yang tepercaya.

Adanya jurnalisme media sosial juga dapat mengurangi anonimitas berita. Artinya, semua pembaca atau penonton tahu siapa yang menyebarkan berita. Apabila demikian, tentu tidak menutup kemungkinan berkurangnya berita bohong yang tersebar. Akan tetapi, kembali lagi pada pembaca apakah berita yang mereka nikmati merupakan berita dari sumber tepercaya atau tidak.

Di sisi lain, jurnalis pun tidak bisa membuat dan memuat berita bohong. Alasan utama ialah apabila jurnalis menyebarkan berita bohong, maka kredibilitasnya akan turun dan dipertanyakan. Selain itu, kredibilitas media di mana tempat jurnalis itu bekerja akan semakin dipertanyakan. Hal ini tentu akan merugikan jurnalis dan media itu sendiri. Lebih jauh lagi, hal ini didukung dengan komunikasi dua arah ketika jurnalis memanfaatkan jurnalisme media sosial.

Dampak berita palsu[sunting | sunting sumber]

Seiring berubahnya era dari media konvensional menjadi media online, semakin maraknya jurnalis warga. Kemunculan internet, semakin mempermudah jurnalis warga untuk membagikan kontennya ke khalayak luas, seperti dibantu dengan adanya media sosial. Namun, semakin banyaknya jurnalis warga juga mendorong semakin banyak bermunculan media palsu yang memproduksi berita palsu juga.

Menurut Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo ciri-ciri dari media palsu yaitu: menggunakan nama yang aneh-aneh, bisa juga menggunakan nama dan lambang institusi negara; media palsu tidak berbadan hukum; tidak mencantumkan nama penanggung jawab; tidak memiliki alamat redaksi yang jelas, kalaupun mencantumkan, alamat yang digunakan adalah alamat palsu; media hanya menerbitkan berita ketika ada momen tertentu saja, tidak secara berkala; tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar; tidak memperhatikan kode etik jurnalistik.[5]

Dalam situs Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia (2016) tercatat ada 43.000 situs media online yang beredar di internet, tetapi hanya 234 yang terverifikasi menurut syarat Undang-Undang Pers. Hal itu menunjukkan, sisanya merupakan media palsu yang belum terverifikasi dan masih dipertanyakan kredibilitas beritanya.[6]

Dampak dari adanya berita palsu pun juga beragam dan cenderung merugikan banyak pihak. Salah satu dampak terbesar dari adanya berita palsu dirasakan oleh anak-anak. Anak-anak cenderung menerima berita dari sumber manapun secara mentah-mentah tanpa diolah dan divalidasi terlebih dahulu. Menurut Joanne Orlando (2017) seorang pakar dari Western Sydney University mengatakan berita palsu bahkan dapat menjadi dasar pembenaran bagi anak-anak untuk melakukan tindakan yang membahayakan ataupun tindakan yang menyimpang lainnya.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Burzynski, Bullard, Sue (2013). "SOCIAL MEDIA AND JOURNALISM: WHAT WORKS BEST AND WHY IT MATTERS". DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln (dalam bahasa Inggris). 
  2. ^ "Citizen Journalism vs. Legacy News: The Battle for News Supremacy - Missouri School of Journalism". Missouri School of Journalism (dalam bahasa Inggris). 2010-07-08. Diakses tanggal 2018-11-13. 
  3. ^ Hamna, Dian Muhtadiah (2017-05-01). "EKSISTENSI JURNALISME DI ERA MEDIA SOSIAL". Jurnal Jurnalisa (dalam bahasa Inggris). 3 (1). doi:10.24252/jurnalisa.v3i1.3090. ISSN 2460-6766. 
  4. ^ a b c Siapera, Eugenia dan Andreas Veglis. (2012). The Handbook of Global Online Journalism. West Sussex: Wiley-Blackwell
  5. ^ Tobing, Sorta (2017-02-16). "Yosep Adi Prasetyo: Media abal-abal akan tersingkir". https://beritagar.id/ (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-13. Diakses tanggal 2018-11-13.  Hapus pranala luar di parameter |newspaper= (bantuan)
  6. ^ KOMINFO, PDSI. "Kemenkominfo: Ada 43 Ribu Situs Media Abal-Abal di Indonesia". Website Resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-11-13. 
  7. ^ "How to help kids navigate fake news and misinformation online". ABC News (dalam bahasa Inggris). 2017-06-26. Diakses tanggal 2018-11-13.