Wikipedia:Artikel pilihan/Usulan/Ditolak/Juli 2020

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
CATATAN PENUTUP

Artikel ini dikembalikan kepada pengusulnya karena isinya masih harus disesuaikan dengan literatur ilmiah terkini. Terima kasih atas kerja keras @Alteaven dalam mengembangkan artikelnya. Danu Widjajanto (bicara) 21 Juli 2020 08.26 (UTC)

Diskusi di bawah adalah arsip dari pengusulan artikel pilihan. Terima kasih atas partisipasi Anda. Mohon untuk tidak menyunting lagi halaman ini. Komentar selanjutnya dapat diberikan di halaman pembicaraan artikel.

Pencalonan artikel ini dikembalikan kepada pengusulnya.


Aksara Jawa[sunting sumber]

Pengusul: Alteaven (b • k • l)
Status:    Tidak akan dilanjutkan

Sudah berstatus AB, mohon tanggapannya agar bisa ditingkatkan menjadi AP Alteaven (bicara) 13 Juli 2020 08.22 (UTC)[balas]

@Alteaven salah satu kriteria AP adalah konsistensi rujukan. Mengingat saudara sudah memakai sistem sfn, mungkin rujukan-rujukan buku yang masih dikutip secara utuh di catatan kaki bisa disfnkan juga? Terima kasih. Danu Widjajanto (bicara) 13 Juli 2020 12.24 (UTC)[balas]
Tag yang kemungkinan tertarik meninjau : Masjawad99, Meursault2004. HaEr48 (bicara) 13 Juli 2020 22.28 (UTC)[balas]

Komentar dari Meursault2004[sunting sumber]

Terima kasih Mas Danu Widjajanto. Secara kesan pertama, artikel ini panjang dan lengkap. Namun saya sebenarnya kurang sreg dengan artikel ini. Banyak bentuk huruf yang merupakan karangan dan tidak ditemukan di buku pedoman baku atau naskah. Misalnya seperti bentuk untuk 'ḍa' itu secara baku tidak demikian. Lalu bentuk untuk 'ḍha' juga didapat dari mana? Begitu pula untuk 'ṭha'. Lantas ada beberapa istilah yang tidak diberi rujukan seperti pancawalimukha. Istilah ini didapat dari mana? Kemudian untuk pranala luar itu tidak perlu menyenaraikan naskah-naskah digital. Mungkin baiknya di artikel lain, sebab tidak semua tidak berhubungan langsung dengan aksara Jawa. Jangan sampai artikel ini terkesan original research. Suwun. Meursault2004ngobrol 15 Juli 2020 22.31 (UTC)[balas]

@Meursault2004 saya paham kekhawatiran anda, namun bentuk-bentuk tersebut ada rujukannya. Semoga penjelasan saya memadai

  • ḍa sekarang seringkali diajarkan bentuknya meruncing, namun dalam pernaskahan ini bukan satu-satunya cara dan anda bisa lihat sendiri di serat mardi kawi yang saya beri di referensi bahwa dalam menulis sansekerta, ḍa punuk kanannya tumpul sementara dha punuk kanannya runcing (Mardi Kawi halaman ꧑꧐). Hal ini valid dan nyatanya digunakan dalam buku-buku cetak aksara Jawa yang isinya sastra Kawi, seperti Bharatayuddha yang ada di wikimedia commons. Let say bentuk semacam itu dipertahankan di tabel yang deret kuno, kemudian di tabel deret modern yang ḍa nya meruncing? Karena ya saya juga akui bahwa memang yang dijarkan sekarang kebanyakan yang meruncing dan di naskah berbahasa Jawa baru juga banyak meruncing (meski saya kira tidak universal juga)
  • ḍha dan ṭha (juga cha) memang bentuknya adalah rekaan modern yang diusulkan dan disetujui dalam standar unicode. Jika perlu, bisa diberi catatan kaki pula bahwa bentuk tepat dari aksara-aksara ini agak ambigu, namun ada dan dijelaskan fungsinya seperti dalam panduan unicode RS Wihananto untuk menulis kata-kata Sansekerta dan nyatanya font-font unicode modern juga menyertakan ketiga huruf ini (meski again, bentuknya bisa jadi agak ambigu)
  • pancawalimukha itu istilah sansekerta untuk grup bunyi itu, di komunitas pemakai seperti Segajabung di Yogyakarta dipakai. Namun jika memang tidak sreg, istilah itu bisa didelete karena esensi deret sansekertanya masih ada.
  • Saya pikir tidak masalah jika beberapa naskah asli aksara Jawa ditunjukkan sebagai contoh aksara Jawa dalam native text enviromentnya, apalagi naskah2 jawa terdigitalisasi agak tercecer di internet dan akan bermanfaat bagi pembaca yang tertarik untuk menelusuri lanjut linknya langsung ada di paling bawah. Jika permasalahannya yang sekarang adalah terlalu banyak dan ada beberapa tautan menuju repositori naskah general yg mengandung selain aksara Jawa, bisa dikurangin menjadi beberapa pilihan naskah saja

Alteaven (bicara) 16 Juli 2020 00.29 (UTC)[balas]

Sementara ini tanggapan saya dulu.
ḍa yang meruncing seperti yang Anda katakan itulah yang baku dan digunakan secara luas. Juga dalam naskah-naskah dan buku-buku cetak. Kiranya harus dibedakan antara naskah dan buku cetak. Naskah itu artinya "teks yang belum diterbitkan". Buku Serat Mardi Kawi tersebut hanyalah deskriptif saja. Setahu saya yang menggunakan hanya cetakan Kakawin Ramayana oleh Kern dan Bharatayuddha oleh Gunning. Dua buku, meskipun berbentuk cetak dan penting, tidak bisa diambil patokan. Saya sendiri sudah meneliti ratusan naskah Jawa dan Bali, dan mayoritas naskah tidak membedakannya . Memang ada, tapi itu minoritas dan bentuknya lain. Kalau mau pakai urutan ka ga nga, harus diberi catatan. Selain itu urutan modern yang baku memang sebaiknya dimunculkan.
Nah ḍha dan ṭha (juga cha) sebagai rekaan modern harus dibedakan dari yang berasal dari tradisi. Harus diberi catatan dan dibedakan.
Saya tidak menemukan istilah ini di kamus-kamus Jawa dan Sanskerta yang saya miliki. Walimukha artinya menurut kamus Monier-Williams (1899) adalah muka monyet. Mereka mengambilnya dari mana?
Mendingan bikin halaman tersendiri untuk menyenaraikan teks-teks yang didigitalisasi ini. Satu contoh dari setiap jenis font aksara sudah cukup.
Suwun Meursault2004ngobrol 16 Juli 2020 23.37 (UTC)[balas]

Menurut saya ini problem yang cukup serius karena artikel Wikipedia harus melambangkan konsensus akademis. Minta pendapat @Masjawad99 sama @HaEr48 Danu Widjajanto (bicara) 17 Juli 2020 13.32 (UTC)[balas]

@Danu Widjajanto: Secara garis besar saya setuju dengan apa yang dikemukakan Pak Meursault2004. Kemarin waktu saya setuju jadi artikel bagus jujur juga masih belum begitu memahami literatur akademis mengenai aksara Jawa. Kalau berdasarkan pembahasan di atas, berarti masalah utama artikel ini adalah pembahasan yang kurang berimbang bagi tiap-tiap sudut pandang yang ada, terutama soal perbedaan bentuk aksara dan urutan aksara. Juga artikelnya sepertinya terlalu bergantung pada sumber primer dalam menjelaskan ragam aksaranya (btw yang saya maksud sumber primer dalam hal ini adalah Poerwadarminta 1930, Darusuprapta 2002, dan Everson 2009). Ini sebetulnya tidak masalah kalau penulisnya bisa tahu mana yang penting untuk dimasukkan, mana yang tidak perlu, mana yang lazim dan sebagainya. Tapi yang lebih baik lagi adalah mencari sumber sekunder atau tersier sebagai panduan memilah informasi dari sumber primer. Saya sendiri jujur juga seringkali ketemu masalah seperti ini dalam menulis artikel. Seringkali saya merasa sudah banyak membaca sumber primer untuk sebuah topik, tapi tetap saja perlu sumber sekunder atau tersier sebagai panduan untuk meringkas topik tersebut dalam bentuk tulisan.
Soal pranala luar, saya juga setuju untuk tidak memasukkan teks-teks, karena memang tidak secara langsung berhubungan dengan aksara Jawa. Artikel tentang alfabet Latin atau abjad Arab juga tidak menyertakan pranala luar ke teks-teks yang menggunakan kedua sistem tulisan tersebut. Coba pelajari halaman pedoman untuk pranala luar di WP bahasa Inggris, terutama bagian en:WP:ELMIN dan en:WP:RICHMEDIA.
Mungkin itu saja, mohon maaf akhir-akhir ini agak sibuk di dunia nyata (walaupun sibuknya juga di rumah sih, ahahah) jadi belum sempat memberi komentar menyeluruh untuk usulan-usulan AP. Masjawad99💬 17 Juli 2020 15.31 (UTC)[balas]

Sepertinya masalah kurangnya sumber sekunder dan lain-lain cukup problematik... jika berkenan, saya ingin menarik usulan AP ini selagi mencari sumber-sumber memadai terlebih dahulu agar ke depannya tidak masalah.Alteaven (bicara) 21 Juli 2020 03.10 (UTC)[balas]


Diskusi di atas adalah arsip. Terima kasih atas partisipasi Anda. Mohon untuk tidak menyunting lagi halaman ini. Komentar selanjutnya dapat diberikan di halaman pembicaraan artikel.