Weaponisasi keuangan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Weaponisasi keuangan adalah strategi kebijakan luar negeri yang memanfaatkan insentif (akses ke pasar modal) dan penalti (berbagai jenis sanksi) sebagai alat diplomasi koersif.[1][2]

Istilah ini diciptakan oleh ilmuwan politik Ian Bremmer dan Cliff Kupchan.[1] Weaponisasi keuangan menjadi salah satu tema utama laporan Eurasia Group’s Top Risks 2015.

Mereka menggunakan istilah ini untuk menyebut berbagai cara yang dipakai Amerika Serikat untuk memengaruhi peristiwa global. Bukannya bergantung pada keunggulan keamanan yang menjadi ciri khas AS, termasuk aliansi pimpinan AS seperti NATO dan lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional, AS kini 'menjadikan keuangan sebagai senjata' dengan membatasi akses ke pasar dan bank-bank AS. Menurut mereka, keuangan telah menjadi instrumen kebijakan luar negeri dan keamanan AS.[1]

Alasan[sunting | sunting sumber]

Menurut Menteri Keuangan Amerika Serikat Jack Lew, weaponisasi keuangan memberikan AS “medan pertempuran baru...yang memungkinkan [AS] melawan negara-negara yang ingin mencederai [AS] tanpa mengerahkan tentara [AS] atau menggunakan serangan mematikan.” [3] Alih-alih mengerahkan militer, sekarang AS bisa "mengerahkan sektor keuangan”.[4] Contoh weaponisasi keuangan adalah sanksi ekonomi terhadap Rusia, Iran, dan Korea Utara.[4] Contoh lainnya adalah program sanksi AS bertujuan menghukum peretas siber dan mata-mata siber yang diluncurkan bulan April 2015.[5] Contoh tuntutan perubahan sosial terhadap negara lain adalah sanksi AS terhadap Afrika Selatan agar negara tersebut menghapus hukum apartheid melalui pengesahan Comprehensive Anti-Apartheid Act tahun 1986.[6]

Dalam pembahasan tentang weaponisasi keuangan, Bremmer berpendapat bahwa dengan menutup akses negara-negara musuh dan pejabat pemerintahannya ke pasar keuangan Barat, Washington dan sekutu-sekutunya “dapat menjalankan diplomasi koersif.”[7] Ia menjelaskan perubahan wujud weaponisasi keuangan dari strategi luar negeri dan keamanan sebelumnya: “George Washington menenteng senapan. Franklin Roosevelt mengirim pesawat pengebom. Akan tetapi, bagi Barack Obama, presiden yang harus meredam kekhawatiran rakyat Amerika Serikat dan memenuhi tuntutan dunia yang semakin labil, pilihan senjatanya adalah ancaman keuangan.”[7] Karena itu, sanksi ekonomi bisa dianggap sebagai "pedang yang dapat diandalkan".[7] Sejak 2015, Amerika Serikat telah mengambil berbagai tindakan finansial sepihak yang berdampak kepada negara-negara lain. Ini disebabkan oleh cara AS mengurus kebijakan dalam dan luar negerinya.[8]

Sejarah sanksi dalam hukum internasional[sunting | sunting sumber]

Prinsip yang berlaku sebelum Perang Dunia I adalah keseimbangan kekuasaan militer harus dipertahankan bersama. Prinsip ini kemudian diganti untuk menciptakan sistem kerja sama internasional. Pembentukan Liga Bangsa-Bangsa tahun 1919 menjadi awal sistem baru ini. Sistem ini kemudian menjadi penggerak utama sanksi dan sangat memengaruhi cara sanksi diterapkan saat ini. Sistem ini dibuat atas kesepakatan negara-negara anggota LBB untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka. Sanksi terhadap Italia era Mussolini tahun 1945 merupakan salah satu sanksi pertama yang diterapkan LBB, tetapi menjadi tidak berguna karena kekuasaan militer Adolf Hitler terus bertambah. Usai Perang Dunia II, Liga Bangsa-Bangsa digantikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lebih besar pada tahun 1945. Sanksi telah menjadi alat kebijakan luar negeri yang paling sering digunakan pada abad ke-21 dalam berbagai situasi, mulai dari sengketa kecil sampai konfrontasi besar.[9]

Perserikatan Bangsa-Bangsa[sunting | sunting sumber]

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan keuangan sebagai alat untuk mencapai perubahan politik sejak 1966. Weaponisasi keuangan termaktub dalam Pasal 41 Bab VII Piagam PBB.[10] PBB telah menetapkan 26 sanksi sejak berdiri, 13 di antaranya masih berlaku.[11] Setiap sanksi diatur oleh sebuah dewan pengawas. Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Irak, Iran, Korea Utara, dan Somalia adalah negara-negara yang terdampak oleh sanksi ini.[12] Sanksi PBB bertujuan menyelesaikan konflik secara politis, non-proliferasi nuklir, dan kontra-terorisme. Sanksi-sanksi ini mencakup pemutusan hubungan ekonomi dan komunikasi antarnegara. Keuangan juga dimanfaatkan sebagai insentif untuk mendorong perubahan, contohnya perlindungan spesies terancam punah seperti dugong.[13] Insentif-insentif ini mencakup bantuan dana untuk keperluan khusus di sebuah negara.

Sanksi ekonomi[sunting | sunting sumber]

Sanksi ekonomi adalah praktik menghambat keunggulan ekonomi negara lain untuk kepentingan politis. Sanksi ekonomi memiliki dua bentuk, perdagangan dan keuangan. Sanksi dagang bisa berupa pengurangan atau penolakan ekspor ke sebuah negara atau penolakan impor dari sebuah negara.[14] Sanksi keuangan lebih mengarah ke isu-isu moneter, misalnya memblokir aset pemerintah negara lain serta membatasi akses ke pasar keuangan.[15] Pendekatan-pendekatan ini sering digunakan demi meningkatkan efektivitas sanksi. Pengaruh sanksi sangat bergantung kepada kekuasaan ekonomi negara pemberi sanksi. Karena itu, kelompok negara seperti PBB mampu menerapkan sanksi yang lebih efektif karena memiliki pengaruh besar terhadap ekonomi dunia. Sanksi biasanya berfungsi sebagai tekanan eksternal terhadap sebuah negara, biasanya untuk memaksa sebuah negara menghapus kebijakan kontroversial atau menerapkan kebijakan yang dianggap menguntungkan bagi negara pemberi sanksi. Namun, penerapan sanksi kadang-kadang berdampak negatif di luar perkiraan, misalnya melemahkan ekonomi semua negara yang terlibat karena berkurangnya arus perdagangan dan menurunkan kesejahteraan penduduk negara yang terlibat sekaligus mempertegang hubungan antarnegara.[15]

Kritik[sunting | sunting sumber]

Sedikit sekali bukti yang menunjukkan bahwa weaponisasi keuangan berhasil memengaruhi perilaku aktor-aktor geopolitik. Selain itu, perusahaan-perusahaan Barat dirugikan oleh dampak aktivitas AS. Misalnya, BNP Paribas didenda $8,9 miliar karena melanggar sanksi AS terhadap Kuba, Sudan, dan Iran.[16] Bremmer berpendapat bahwa meski politikus AS menilai tindakan ini efektif, weaponisasi keuangan melemahkan hubungan Amerika Serikat dengan Eropa.[4]

Konsekuensi moral[sunting | sunting sumber]

Melalui weaponisasi keuangan, sanksi menjadi salah satu cara memanfaatkan kekuasaan terhadap negara-negara lain. Menurut Dursen Peksen, sanksi adalah salah satu metode paling intrusif, contohnya menerapkan hambatan dagang bagi negara-negara lain supaya mereka memenuhi tuntutan pemberi sanksi. Konsekuensi moralnya banyak karena sanksi juga merugikan rakyat jelata. Peksen mengatakan bahwa sanksi dapat menggerus hak asasi manusia di negara yang disanksi.[17]

Sanksi terhadap Afrika Selatan yang dikuasai kulit putih sangat ditentang oleh pemerintah AS sejak zaman Kennedy sampai Reagan. Mereka menekankan berulang-ulang bahwa sanksi mengancam penduduk kulit hitam Afrika Selatan. Alasan sanksi tersebut adalah kebutuhan sumber daya mentah Amerika Serikat. Dengan rasisme sistemik di Afrika Selatan, weaponisasi keuangan dipandang sebagai tindakan berbahaya yang dapat memicu bahaya moral (moral hazard).[9]

Pemberlakuan embargo memiliki dampak negatif yang membekas bagi ekonomi negara yang diembargo sekaligus ekonomi global. Usai embargo minyak oleh OPEC terhadap negara-negara yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur, harga minyak naik empat kali lipat sehingga harga makanan ikut naik. Efeknya lebih terasa di negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Afrika Sub-Sahara. Ini memicu krisis kemanusiaan dan ekonomi yang bertahan puluhan tahun setelah embargo OPEC dicabut.[18]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c Bremmer, Ian and Kupchan, Cliff. [1] Diarsipkan 2015-01-28 di Wayback Machine., January 2015.
  2. ^ Holodny, Elena. [2], "Business Insider", January 5, 2015.
  3. ^ Chemali, Hagar. [3], US Dept. of Treasury, June 4, 2014.
  4. ^ a b c Campione, Joanna. [4], "Yahoo! Finance," January 14, 2015.
  5. ^ Bertrand, Natasha and Kelley, Michael B. [5], "Business Insider." April 1, 2015.
  6. ^ "Executive Order 12571 -- Implementation of the Comprehensive Anti-Apartheid Act". reaganlibrary.archives.gov. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-16. Diakses tanggal 2017-09-15. 
  7. ^ a b c Bremmer, Ian. Obama pushes power of weaponised finance to its limits, "Financial Times," March 3, 2015.
  8. ^ "U.S. use of unilateral "weaponization of finance" makes top ten geopolitical risks of 2015". www.unitedliberty.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-09-16. Diakses tanggal 2017-09-16. 
  9. ^ a b Lutfallah, Manji; Cortright, David (1998). ""Sanctions: An Instrument of U.S Foreign Policy"". Pakistan Horizon. 51: 29–35. 
  10. ^ Section, United Nations News Service (2016-05-04). "UN News - UN sanctions: what they are, how they work, and who uses them". UN News Service Section (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-27. 
  11. ^ United Nations News Service (2017-08-03). "UN sanctions 'formidable instrument for global peace and security,' Security Council told". UN News Centre. Diakses tanggal 2017-10-06. 
  12. ^ "Category:UN Embargoed Countries - Sanctions Wiki". www.sanctionswiki.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-27. Diakses tanggal 2017-10-27. 
  13. ^ Section, United Nations News Service (2011-03-14). "UN News - New UN project uses financial incentives to try to save the dugong". UN News Service Section (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-27. 
  14. ^ Miroslav., Nincic, (1988). United States foreign policy : choices and tradeoffs. Washington, D.C.: CQ Press. ISBN 0871874490. OCLC 17264286. 
  15. ^ a b Administrator. "The Adverse Consequences of Economic Sanctions". www.globalpolicy.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2017-10-26. 
  16. ^ Stothard, Michael and Arnold, Martin. [6], "Financial Times,' February 15, 2015.
  17. ^ Peksen, Dursen (2009). ""Better or Worse?": The Effect of Economic Sanctions on Human Rights."". Journal of Peace Research. 46: 59–77. doi:10.1177/0022343308098404. 
  18. ^ Dambisa,, Moyo,. Dead aid : why aid is not working and how there is a better way for Africa (edisi ke-First American paperback). New York. ISBN 9780374532123. OCLC 429024670.