Wanita pembela hak asasi manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Wanita pembela hak asasi manusia merupakan para perempuan yang melakukan pembelaan mengenai hak asasi manusia (HAM), terutama hak perempuan dan juga hak yang berkaitan dengan gender dan seksualitas.[1] Mengenai jati diri dan juga fokus kerja para wanita pembela HAM ada beberapa macam yang bisa diketahui yaitu para perempuan adat yang melakukakan perjuangan akses para masyarakat atas berbagai sumber daya alam yang diambil oleh pengusaha. Selain itu ada guru yang melawan intervensi penguasa demi mengajarkan kebenaran, para tokoh masyarakat perempuan yang menyuarakan keadilan dan pembebasan perempuan dari kekerasan, para perempuan yang mendampingi istri dari korban kekerasan dalam rumah tangga serta perempuan yang menegakkan HAM secara umum ataupun hak perempuan secara khusus.[2] Hari pembela HAM wanita Internasional diperingati setiap tanggal 29 November.[3]

Pengertian[sunting | sunting sumber]

Wanita pembela hak asasi manusia pada acara Hari Hak Asasi Manusia Internasional yang diadakan di Kantor Luar Negeri & Persemakmuran di London, 10 Desember 2018.

Istilah mengenai pembela HAM mulai dikenalkan resmi semenjak 9 Desember 1998 melalui resolusi Sidang Umum PBB yang mengesahkan Deklarasi Hak dan tanggung Jawab dari Para Individu, Kelompok, dan anggota Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental yang Diakui secara Universal (Declaration on the Right and Responsbility of Individuals and Organs of Society to promote and Protect Universally Recognized Human Rights and Fundamental Freedoms); yang lebih populer dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM.[4] Dalam deklarasi ini disebutkan secara khusus mengenai pembela HAM pada pasal 1 yang memiliki bunyi:

“Setiap orang punya hak secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan yang lain, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional.”'[5]

Maka berdasarkan pasal ini dapat diketahui bahwa baik itu individu maupun kolektif yang melakukan perjuangan dan melakukan pembelaan HAM maka bisa disebut dengan pembela HAM. Seseorang juga bisa disebut dengan pembela HAM apabila mengakui terhadap derajat universitas dari HAM,tidak melakukan pembedaan antara satu golongan dengan golongan yang lainnya .Sehingga saat ada seseorang yang hanya mengakui beberapa dan menolak hak lainnya maka tidak bisa dikatakan sebagai pembela HAM.[6] Selanjutnya definisi mengenai pembela HAM diperkuat dengan adanya panduan tentang pembela HAM yang dikeluarkan oleh Uni Eropa yang menyatakan bahwa:

...mereka yang merupakan individu-individu, kelompok, dan bagian dari masyarakat yang melakukan promosi dan perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan dasar yang diakui secara universal. Pembela HAM berupaya mempromosikan dan melindungi hak-hak sipil dan politik dan juga promosi, perlindungan, dan realisasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Pembela HAM juga mempromosikan dan melindungi hak-hak anggota suatu kelompok seperti komunitas masyarakat adat (indigenous people). Definisi ini tidak mencakup mereka, individu-individu atau kelompok, yang melakukan atau mempropagandakan kekerasan.”[6]

Dalam panduan ini juga dijabarkan secara terperinci mengenai aktifitas yang dilakukan oleh para pembela HAM seperti upaya dokumentasi pelanggaran HAM, mencari pemulihan (remedy) bagi para korban pelanggaran HAM melalui jalur hukum, psikologis, kesehatan, dan lain sebagainya, serta melakukan narasi tandingan atas kultur imunitas.[4]

Beradasarkan Fact Sheet No. 29, Human Rights Defenders: Protecting the Right to Defend Human Rights oleh PBB (selanjutnya disebut Fact Sheet PBB No.29), terdapat standar minimum untuk menentukan seorang Pembela HAM, yaitu menerima keuniversalitasan HAM yang diatur dalam Universal Declaration of Human Rights (selanjutnya disebut UDHR), dalam artian seseorang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai Pembela HAM apabila memperjuangkan suatu aspek HAM namun menolak beberapa aspek HAM lain dalam UDHR. Lebih ringkasnya seorang pembela HAM setidak ialah seorang yang harus menerima HAM secara universal tidak mengesampingkan aspek HAM yang lain, tidak memperdulikan salah atau benarnya terhadap suatu kasus, yang paling penting adalah aktivitas yang mereka lakukan adalah aktivitas HAM, dan dilakukan secara damai.[7]

Sedangkan kaitannya dengan wanita pembela HAM yang dimaksud di sini ialah perempuan yang berperilaku aktif melakukan pembelaan, penegakan, dan kemajuan untuk hak asasi manusia.[8] Secara luas wanita pembela HAM bisa diartikan sebagai semua perempuan yang bekerja pada masalah hak asasi manusia dan juga orang-orang dari semua jenis kelamin yang bekerja untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan hak-hak yang terkait dengan kesetaraan gender.[9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Konvensi wanita merupakan hasil perjuangan para pembela HAM untuk mewujudkan perlindungan dan juga persamaan bagi wanita. Konvensi terhadap pembatasan berbagai bentuk diskriminasi pada perempuan ini akhirnya sukses diterima dalam sidang PBB tanggal 18 Desember 1979. Deklarasi ini diawali dengan kegiatan aktif penyusunan beberapa instrumen internasional dengan cara pengumpulan data dan informasi mengenai tindakan diskriminasi terhadap wanita dalam peraturan-peraturan maupun kehidupan nyata. Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan kesetaraan yang harus didapatkan antara laki-laki dan perempuan. Selain itu komisi kedudukan wanita juga aktif menyebarkan survei global yang akhirnya mendapatkan respon baik dari berbagai negara. Para anggota komisi kedudukan wanita yang merupakan kelanjutan dari konvensi wanita pada bulan Juni 1946 mendapatkan mandat untuk mempersiapkan laporan dan juga rekomendasi-rekomendasi untuk dilaporkan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai pemajuan wanita dalam ranah sosial, ekonomi, pendidikan dan sipil.[10]

Indonesia melakukan ratifikasi pada konvensi ini dengan adanya UU no. 7 tahun 1984 dan diundangkan di Jakarta. Setelah itu pada tahun 1994 mulai banyak para wanita yang aktif mengajar dan menjadi aktifis pembela HAM di berbagai LSM dan lembaga sosial lainnya serta lembaga pendidikan. Pada akhirnya para pejuang LSM tersebut dan para pengajar studi kajian wanita program pascasarjana UI dan Yayasan lembaga konsumen serta LBH di Jakarta bergerak bersama untuk aktif menyelenggarakan siaran, seminar dan publikasi untuk menyuarakan konvensi wanita terutama dalam ketenagakerjaan. Perjuangan ini akhirnya mampu melahirkan Komnas Perempuan berdasarkan Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 yang diketuai oleh Prof.Saparinah Sadli tahun 1998. Institusi ini sampai sekarang selalu aktif melakukan pembelaan dan pendampingan untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang dialami oleh wanita.[11]

Perjuangan para perempuan pembela HAM telah dimulai jauh sebelum Indonesia merdeka. Mereka melakukan pembelaan yang dilakukan berkaitan dengan isu gender dengan berbagai perjuangan seperti pembelaan HAM secara umum, isu perempuan, masyarakat, kasus lingkungan, keberagaman serta minoritas.[12]

Dasar Hukum[sunting | sunting sumber]

Perundang-undangan yang mengatur mengenai pengakuan dan perlindungan yang secara spesifik kepada wanita pembela HAM saat ini masih belum terwujudkan. Padahal para wanita ini rentan dan kerap mengalami diskriminasi maupun kekerasan karena perbuatan pembelaan yang dilakukan. Namun ada instrumen hukum baik internasional maupun nasional yang mengatur mengenai pembela HAM. Diantara instrumen internasional yang ada ialah:[13]

Deklarasi HAM tahun 1948 pada pasal 19 dan 20[sunting | sunting sumber]

Dalam deklarasi ini dinyatakan mengenai hak seseorang atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Selain itu juga disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat secara damai dan tidak seorang pun boleh dipaksa untuk ikut dalam suatu perkumpulan.[14]

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966)[sunting | sunting sumber]

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik mengatur mengenai hak seseorang untuk berkumpul termasuk membentuk atau bergabung pada suatu serikat secara damai dan tidak ada pembatasan dalam tindakannya. Kecuali diatur dalam hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan politik publik, atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral masyarakat, atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.[15]

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966)[sunting | sunting sumber]

Pada kovenan ini mengukuhkan mengenai HAM dibidang ekonomi, sosial dan budaya, yaitu atas pekerjaan, menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan. Setiap rakyat juga memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Selain itu dinyatakan mengenai persamaan antara laki-laki dan perempuan. Seseorang juga dilarang dalam melakukan pembatasan dan penyimpangan HAM.[16]

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial[sunting | sunting sumber]

Kovenan yang ditetapkan oleh majelis umum PBB pada tanggal 21 Desember 1965 ini mengatur mengenai segala bentuk diskriminasi rasial. Pada pasal-pasalnya mengatur mengenai hak yang seharusnya didapatkan seseorang.Kaitannya dengan wanita pembela HAM yang sering mendapatkan diskriminasi maka kovenan ini menyajikan perlindungan dari segala bentuk kekerasan maupun kerentanan yang dialami wanita pembela HAM dan menjamin hak-hak yang seharusnya dimiliki.[17]

Deklarasi Pembela HAM, Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 53/144 tanggal 9 Desember 1998[sunting | sunting sumber]

Deklarasi ini berisi mengenai pernyataan umum dan juga pengakuan hak-hak dari pembela HAM namun tidak mengatur dengan spesifik mengenai mekanisme bagaimana deklarasi ini bisa diratifikasi. Sehingga deklarasi ini tidak mengikat secara umum bagi seluruh anggota PBB namun bisa menjadi acuan dan pedoman dalam pembentukan perundang-undangan bagi pembela HAM.[16]

Sedangkan beberapa instrumen nasional yang mengatur diantaranya ialah:

  • UUD 1945 Pasal 28 C ayat 2
  • Peraturan Komnas HAM nomor 5 tahun 2015 mengenai Prosedur Perlindungan Pembela HAM
  • Nota Kesepahaman antara Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM dan Pelanggaran HAM Berat, serta Mekanisme Pelapor Khusus Komnas HAM
  • Undang-undang HAM No. 39/1999
  • UU Pers No. 40/1999 yang menjamin kemerdekaan pers sebagai hak asasi warga negara
  • Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dan Polisi Republik Indonesia, serta Pasal 66 UU Lingkungan Hidup[13]

Aktor Penting Pendorong Perubahan Sosial[sunting | sunting sumber]

Aksi yang dilakukan oleh para wanita pembela HAM baik itu secara individu maupun secara kolektif mampu mengatasi tindakan diskriminasi dan juga ketidaksetaraan pada korban pelanggaran HAM maupun yang sedang didampingi. Selain itu juga mampu memajukan hak-hak sipil,ekonomi,sosial dan budaya. Perempuan pembela HAM membawa keamanan dan perdamaian untuk menuju perubahan sosial yang bermanfaat bagi banyak orang.[18]

Tantangan yang Dihadapi Wanita Pembela HAM[sunting | sunting sumber]

Wanita pembela HAM mengalami berbagai hambatan,risiko dan juga pelanggaran serta dampak lainnya yang dibentuk berdasarkan siapa wanita itu,dan perannya dalam suatu bagian kegerakan tertentu seperti feminisme dan sebagainya,serta apa yang diusahakan seperti pembelaan terhadap hak asasi manusia. Berbagai tantangan yang dijumpai diantaranya yaitu diskriminasi yang berbasis gender,ancaman dan kekerasan berbasis gender,penargetan pada anggota keluarga atau orang yang dicintai,permusuhan yang dibuat oleh masyarakat maupun pihak yang berwenang,narasi anti-gender yang berbahaya, kampanye pencemaran nama baik,eksklusi, marginalisasi, pengurangan pengakuan dan dana, menghambat untuk mengakses ruang dan platform pengambilan keputusan, stigmatisasi dan pengucilan oleh tokoh masyarakat, kelompok berbasis agama, keluarga dan masyarakat serta tantangan dan kekerasan spesifik gender secara online dan di ruang digital.[18]

Perlakuan Kekerasan pada Perempuan Pembela HAM[sunting | sunting sumber]

Para perempuan pembela HAM banyak yang rentan mengalami kekerasan. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan diperoleh data bahwa ada 58 perempuan pembela HAM yang menegaskan bahwa ada 436 kasus pelanggaran HAM dalam bentuk kerentanan dan kererasan sejumlah 19 macam. Sepuluh dari bentuk kerentanan dan kekerasan ini hanya dialami oleh perempuan,sedangkan 9 diantaranya juga dialami oleh laki-laki pembela HAM juga. Para wanita juga sering mengalami kekerasan tersebut dalam beberapa bentuk hingga terjadi tumpang tindih. Ada dua pengelompokan kekerasan yang dialami oleh perempuan yaitu kekerasan dan kerentanan umum serta khusus. Berikut tabel bentuk dari kedua macam tersebut.[19][20]

Kerentanan dan Kekerasan Umum Kerentanan dan Kekerasan Khusus
Pembunuhan Perkosaan
Penyiksaan Penyiksaan Soeksual
Pengaiayaan Teror Seksual
Pengrusakan Properti Pelecehan Seksual
Kriminalisasi,penangkapan dan penahanan secara Sewenang-wenang Stigmatisasi Seksual
Penghancuran sumber Mata pencaharian Serangan kepada Peran Ibu,Istri dan Anak
Pencemaran Nama Baik Pengucilan dan Pengusiran atas dasar moralitas,agama,adat,Budaya dan nama baik Keluarga
Intimidasi lainnya Pengerdilan Kapasitas dan Isu Perempuan
Eksploitasi Identitas Perempuan

Pelaku Kekerasan[sunting | sunting sumber]

Kekerasan atau kerentanan sering dilakukan terhadap wanita pembela HAM. Mulai dari hambatan secara prosedural,ancaman ringan yang didapatkan maupun tindakan nyata yang membuat trauma atau bahkan sampai kematian. Dari data yang didapatkan bisa diketahuI bahwa pelaku kekerasan terhadap wanita pembela HAM adalah aktor negara mapun non negara dan individu maupun kelompok.[21]

Aktor Negara[sunting | sunting sumber]

Pihak yang memiliki peran sebagai pelaku kekerasan pada wanita pembela HAM salah satunya ialah aktor negara. Seorang aktor negara dalam melakukan tindakannya bisa dalam berbagai bentuk seperti pembiaran, menyusun kebijakan dan mebuat perundang undangan dan semua itu dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Berdasarkan data yang dirilis oleh Komnas HAM ditemukan 97 kasus mengenai kerentanan dan kekerasan yang dilakukan oleh para aktor negara.[22]

Keterlibatan negara dalam kasus kerentanan dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM (Dalam prosentase, n=97 kasus)
Tindak dan ancaman kekerasan (fisik, psikis dan seksual) 90,72%
Tindak diskriminasi 7,22%
Penciptaan wacana yang menambah kerentanan Perempuan Pembela HAM 2,06%

Pada suatu negara para wanita pembela HAM bisa mengalami pelanggaran atas hak asasinya yang dilakukan oleh aktor negaranya sendiri. Aparat dan polisi pada negara yang cenderung otoriter dan juga represif yang kerap melakukan pelanggaran ini. Berbagai tekanan banyak diberikan pada aktifitas yang dilakukan oleh para pembela HAM atas nama kemanan dan keselamatan negara. Tidak jarang tuduhan separatis, provokatif, dan dianggap menimpulkan konflik dituduhkan kepada para pendamping korban kekerasan guna membungkam pembela HAM. Selain itu juga dilakukan tindakan penangkapan secara sewenang-wenang serta penyiksaan hingga kekerasan seksual pada pembela HAM.[23]

Aktor Non Negara[sunting | sunting sumber]

Saat para wanita pembela HAM melakukan pendampingan pada korban pelanggaran HAM maka pihak yang melakukan kekerasan tidak hanya dari pelaku yang menganiaya korban namun juga dari keluarga korban itu. Keluarganya menganggap justru wanita pembela HAM telah membuka aib keluarga yang seharusnya ditutupi. Selain itu juga ada orang yang tidak dikenal maupun preman yang melakukan kekerasan pada wanita pembela HAM. Kerentanan juga dialami oleh wanita pembela HAM melalui media massa.[19] Media massa menciptakan wacana maupun opini yang bisa membunuh dan menghancurkan karakter dari wanita pembela HAM dengan memprovokasi dan mengeksploitasi pemberitaan dari kasus yang sedang didampingi.[24]

Dukungan dan Perlindungan yang dibutuhkan Wanita Pembela HAM[sunting | sunting sumber]

Pihak yang berperan dalam memberikan perlindungan dan dukungan ialah dari negara. Negara bertanggung jawab memberikan kepastian mengenai perlindungan dari ancaman,intimidasi maupun serangan kepada pembela HAM. Selain itu ada juga lembaga Internasional seperti PBB yang turut memberikan naungan perlindungan hukum. Setiap pembela HAM yang mendapatkan intimidasi,ancaman,kekerasan dan pelanggaran HAM harus dilakukan investigasi dengan segera. Maka dukungan yang berupa pengakuan atas tanggungjawab yang diambil para wanita pembela HAM serta memperkuat mekanisme perlindungan baik itu dalam ranah nasional maupun internasional perlu untuk diperdalam.[9]

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Indonesia pada tanggal 28 oktober 2020 yang bertepatan dengan hari lahir Komisi Nasional Perempuan memberikan penghargaan kepada 11 wanita pembela HAM. Mereka adalah para aktifis wanita yang selama hidupnya melakukan perjuangan untuk perempuan,menjadi pendamping dan memperjuangkan keberagamaan serta keberagaman. Para wanita itu ialah Estu Fanani (wafat, 2020), dr. Ratih Purwarini (Wafat, 2020), Rosniati (Wafat, 2020), Nurhidayah Arsyad (wafat, 2019), Ibu Den Upe Rambelayuk (Wafat di Toraja, Maret 2019), Lily Dorianty Purba (Wafat, 9 Februari 2019), Mama yusan yeblo (Wafat, 2019), Tapiomas Ihromi Simatupang (wafat, 2018), Sri Sulistyawaty (Wafat, 2018), Cut Risma Aini (Wafat, 2018), Christina Sumarmiaty (Wafat, 2019) [1][25][26]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku

  • Yuri Cahyani, Dewi (2007). PEREMPUAN PEMBELA HAM: Berjuang dalam Tekanan. Indonesia: Publikasi Komnas Perempuan.  }

Jurnal ilmiah

Perjanjian dan Deklarasi

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Komnas Perempuan Beri Penghormatan 11 Perempuan Pembela HAM". www.borneonews.co.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-21. 
  2. ^ Yuri Cahyani 2007, hlm. 8, Jati diri dan fokus kerja para perempuan pembela HAM berbeda-beda, antara lain : perem- puan adat yang memperjuangkan akses masya- rakat atas sumber daya alamnya yang diambil alih oleh pengusaha; guru yang melawan intervensi penguasa demi mengajarkan kebenaran pada anak didiknya; tokoh agama yang menghadapi intimidasi dari kekuatan konservatif/fundamentalis karena menyuarakan ajaran yang membebaskan perempuan dari kekerasan dan ketidakadilan (....).
  3. ^ "International Women Human Rights Defenders Day". United Nations Human Rights Office of the High Commissioner. Diakses tanggal 22 Juni 2021. 
  4. ^ a b Firdaus (2017). "Pembela Hak Asasi Manusia pada Isu Sumber Daya Alam". Jurnal HAM. 8 (2): 85–90. 
  5. ^ Pasal 1 Deklarasi Pembela HAK Asasi Manusiahttps://www.ohchr.org/Documents/Issues/Defenders/Declaration/declarationBahasa.pdf
  6. ^ a b "Ensuring Protection–EuropeanUnionGuidelines on Human Rights Defenders" (PDF). Diakses tanggal 22 Juni 2021. 
  7. ^ "Human Rights Defenders: Protecting the Right to Defend Human Rights Fact Sheet No. 29" (PDF). 
  8. ^ Mawardi, Isal. "Komnas Perempuan: Perempuan Pembela HAM Rentan Kekerasan, Perlu Perlindungan". detikcom. Diakses tanggal 2021-06-21. 
  9. ^ a b "OHCHR | Women human rights defenders". www.ohchr.org. Diakses tanggal 2021-07-31. 
  10. ^ Setiawati, Trias (2002). "Perempuan dan HAM: Peta Permasalahan dan Agenda Aksi". Unisia. 25 (44): 96–99. 
  11. ^ "Komnas Perempuan". Komnas Perempuan | Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-06-20. 
  12. ^ developer, mediaindonesia com (2021-03-18). "Kampanyekan Perempuan Pembela HAM Lewat Film". mediaindonesia.com. Diakses tanggal 2021-06-20. 
  13. ^ a b "Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pembela HAM di Indonesia". Masalah-Masalah Hukum. 39 (2): 90–91. 2010. 
  14. ^ "Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia" (PDF). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. 10 Desember 1948. Diakses tanggal 29 Maret 2023. 
  15. ^ Presiden Republik Indonesia (2005). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)" (PDF). Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-06-25. Diakses tanggal 29 Maret 2023. 
  16. ^ a b Silalahi, Ryan Abraham (2021-02-24). "Tinjauan Normatif Pembela Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional". Jurnal Hukum, Politik dan Kekuasaan. 1 (2): 99–111. doi:10.24167/jhpk.v1i2.3045. ISSN 2722-970X. 
  17. ^ "Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial" (PDF). 
  18. ^ a b "OHCHR | Women human rights defenders". www.ohchr.org. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  19. ^ a b "OHCHR | Women human rights defenders face worsening violence, warns UN human rights expert". www.ohchr.org. Diakses tanggal 2021-07-30. 
  20. ^ Cahyani 2007, hlm. 14-15, Perempuan pembela HAM berhadapan dengan kerentanan dan kekerasan khusus yang muncul dalam 2 bentuk. Pertama, serangan terhadap tubuh dan seksualitas perempuan yang merupakan elemen utama penilaian kesucian dan harga diri perempuan di dalam masyarakat yang patriarkal. Karenanya tubuh dan seksualitas ini tidak henti-hentinya dijadikan sebagai objek kekerasan. Kedua, serangan terhadap perempuan atas dasar stereotipi dan atas dasar peran jendernya (...).
  21. ^ Yuri Cahyani 2007, hlm. 36, Dokumentasi Komnas Perempuan menemukan 436 kasus kerentanan dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM, baik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara. Tindak kekerasan dan pelanggaran HAM lainnya ini dilakukan secara individu maupun berkelompok, baik di ranah negara, publik, maupun domestik..
  22. ^ Yuri Cahyani 2007, hlm. 36-37, Otoritas negara merupakan pelaku pelanggaran terhadap perempuan pembela HAM, baik sebagai pelaku langsung maupun tidak langsung melalui pembiaran dan menyusun berbagai kebijakan dan perundang-undangan..
  23. ^ Yuri Cahyani 2007, hlm. 37-38, Pelanggaran HAM oleh negara secara langsung biasanya terjadi di dalam sistem politik negara yang otoriter dan represif. Polisi dan militer merupakan elemen negara yang sering melakukan pelanggaran ini......
  24. ^ Yuri Cahyani 2007, hlm. 39 - 41, Perempuan pembela HAM menghadapi kerentanan dan kekerasan dari aktor non-negara, mulai dari yang merasa kepentingannya terusik oleh aktivisme perempuan pembela HAM, yang memiliki pemikiran yang berbeda dari cara pandang perempuan pembela HAM, yang menuntut mereka untuk sesuai dengan citra ideal perempuan hasil konstruksi masyarakat, sampai dengan yang sekedar khawatir atas diri perempuan pembela HAM. Aktor-aktor non negara ini terdapat di ranah publik dan juga domestik..
  25. ^ admin (2020-10-30). "Ini 11 Wanita Peraih Penghormatan Pembela HAM dari Komnas Perempuan". INNEWS.CO.ID. Diakses tanggal 2021-06-20. 
  26. ^ Adytama, Egi (Sabtu, 31 Oktober 2020). "Komnas Perempuan Beri Penghormatan 11 Perempuan Pembela HAM". Tempo.co. Diakses tanggal 22 Juni 2021.  [pranala nonaktif permanen]