Utang tidur

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Dampak kesehatan utama dari kurang tidur,[1] mengindikasikan gangguan perawatan yang biasanya dilakukan dengan tidur

Utang tidur atau defisit tidur adalah dampak kumulatif dari kurang tidur. Utang tidur yang besar dapat menyebabkan kelelahan mental atau fisik, serta dapat mempengaruhi suasana hati, tenaga, dan kemampuan seseorang untuk berpikir jernih.

Ada dua jenis utang tidur, yakni hasil dari kurang tidur parsial dan hasil dari kurang tidur total. Kurang tidur parsial terjadi saat seseorang atau hewan uji coba tidur terlalu singkat selama beberapa hari atau minggu. Sementara kurang tidur total terjadi saat seseorang atau hewan uji coba tidak tidur selama setidaknya 24 jam. Namun masih terdapat perdebatan di komunitas ilmiah mengenai definisi dari utang tidur itu sendiri (lihat Utang tidur § Debat ilmiah), dan utang tidur tidak dianggap sebagai sebuah kelainan.[butuh rujukan]

Fosforilasi protein[sunting | sunting sumber]

Pada tikus, terdapat 80 protein di otak, yang disebut sebagai "sleep need index phosphoprotein" (SNIPP), yang makin terfosforilasi selama terbangun, dan terdefosforilasi selama tertidur. Fosforilasi tersebut dibantu oleh gen Sik3. Sebuah jenis tikus laboratorium (yang disebut Sleepy) memiliki versi terbalik dari protein tersebut, yang disebut SLEEPY, dan lebih aktif daripada versi reguler. Hasilnya adalah tikus tersebut menunjukkan lebih banyak aktivitas tidur gelombang lambat selama tidur non-gerak mata cepat, yang menunjukkan bahwa lebih banyak tidur tercapai. Inhibisi gen Sik3 mengurangi fosforilasi dan aktivitas gelombang lambat pada tikus normal maupun di tikus yang telah dimodifikasi.[2]

Dampak fisiologis[sunting | sunting sumber]

Utang tidur kronis memberi dampak kesehatan yang cukup besar pada tubuh manusia, terutama pada fungsi metabolik dan endokrin.[3] Sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet menginvestigasi dampak fisiologis dari utang tidur dengan menilai keseimbangan simpatovagal (indikator aktivitas sistem syaraf simpatik), fungsi tirotropik, aktivitas poros HPA, serta metabolisme karbohidrat dari sebelas pria dewasa yang waktu tidurnya selama enam malam diatur antara 4 jam per malam hingga 12 jam per malam.[4] Hasilnya adalah pada kondisi utang tidur, konsentrasi tirotrofin berkurang, sementara penurunan glukosa dan insulin menyebabkan gangguan yang jelas terhadap toleransi karbohidrat, turun sebanyak 30% dari kondisi cukup tidur.[4] Di sisi lain, pria yang kurang tidur menunjukkan peningkatan konsentrasi kortisol malam (hormon "stress") dan peningkatan aktivitas sistem syaraf simpatik jika dibandingkan dengan pria yang cukup tidur selama enam malam.[4][5] Utang tidur kronis berdampak buruk terhadap fungsi (neuro)fisiologis dari manusia dan dapat mengganggu imun, endokrin, dan fungsi metabolik, serta dapat meningkatkan keparahan dari penyakit yang terkait dengan kardiovaskular dan usia di masa depan.[4]

Dampak neurofisiologis pada emosi[sunting | sunting sumber]

Utang tidur yang berkelanjutan terbukti dapat meningkatkan dan mengintensifkan reaksi psikofisiologis manusia terhadap stimuli emosional.[6] Amigdala memainkan peran penting dalam ekspresi emosi negatif, seperti ketakutan, dan melalui koneksi anatomis dengan korteks prefrontal medial, amigdala berfungsi penting dalam penekanan subjektif serta pembingkaian ulang dan penilaian kembali terhadap emosi negatif.[6] Sebuah studi yang menilai defisit tidur pada pria muda asal Jepang selama lima hari (di mana mereka hanya tidur selama 4 jam per malam) menunjukkan bahwa terdapat aktivasi amigdala kiri yang lebih besar terhadap wajah ketakutan, bukan wajah gembira, serta penurunan semangat subyektif secara umum.[6] Sebagai hasilnya, bahkan utang tidur yang sebentar namun berkelanjutan, terbukti mengurangi hubungan fungsional antara amigdala dan korteks prefrontal medial, sehingga memperkuat perubahan semangat negatif melalui peningkatan ketakutan dan kegelisahan terhadap stimuli dan kejadian emosional yang tidak menyenangkan.[7] Sehingga, tidur selama 7 jam penuh sangat penting agar amigdala dapat berfungsi dengan baik dalam mengatur kondisi semangat seseorang, dengan mengurangi intensitas emosional negatif dan meningkatkan reaktivitas terhadap stimuli emosional positif.[6]

Utang tidur dan obesitas[sunting | sunting sumber]

Riset epidemiologis telah menegaskan hubungan antara utang tidur dan obesitas sebagai hasil dari peningkatan indeks massa tubuh melalui berbagai macam cara, seperti gangguan hormon leptin dan ghrelin yang mengatur nafsu makan, konsumsi makanan yang lebih banyak, dan pola makan yang buruk, serta penurunan pembakaran kalori secara umum.[5] Namun baru-baru ini, penggunaan multimedia seperti Internet dan televisi yang berkontribusi terhadap defisit tidur juga telah dikaitkan dengan obesitas dengan mendorong gaya hidup dan kebiasaan yang tidak sehat, serta konsumsi makanan yang lebih tinggi.[5] Lebih lanjut, kebiasaan terkait kerja, seperti jam kerja yang panjang, jam komuter, dan jadwal kerja yang tidak menentu, juga menjadi faktor yang berkontribusi meningkatkan berat badan, sebagai hasil dari tidur yang lebih pendek.[5] Jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak menunjukkan hubungan yang lebih konsisten antara utang tidur dan obesitas.[5]

Utang tidur dan kematian[sunting | sunting sumber]

Sejumlah studi menunjukkan bahwa kurangnya durasi tidur, dapat menyebabkan kematian.[8] Pada orang berusia 65 tahun ke bawah, durasi tidur harian kurang dari 5 jam selama akhir pekan berkorelasi dengan 52% tingkat kematian lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tidur selama 7 jam.[8] Utang tidur mingguan yang berkelanjutan menunjukkan hubungan dengan kematian dan morbiditas, namun hal tersebut dapat dikompensasi dengan tidur panjang selama akhir pekan.[8][9] Namun, konsekuensi berbahaya dari utang tidur selama hari kerja dan akhir pekan tidak tampak pada orang yang berusia 65 tahun ke atas.[8]

Debat ilmiah[sunting | sunting sumber]

Terdapat debat di antara periset mengenai konsep utang tidur sebagai sebuah fenomena yang dapat diukur. Terbitan September 2004 dari jurnal Sleep menunjukkan editorial yang berlawanan dari dua periset tidur terkemuka, yakni David F. Dinges[10] dan Jim Horne.[11] Sebuah eksperimen tahun 1997 yang diadakan oleh psikiater di Fakultas Kedokteran Universitas Pennsylvania menunjukkan bahwa utang tidur kumulatif menyebabkan kantuk di siang hari, terutama pada hari pertama, kedua, keenam, dan ketujuh dari kurang tidur selama seminggu.[12]

Pada studi lain, orang diuji dengan menggunakan uji kewaspadaan psikomotor. Tiap kelompok diuji dengan waktu tidur yang berbeda selama dua minggu, yakni 8 jam, 6 jam, 4 jam, dan kurang tidur total. Tiap hari mereka diuji untuk mengetahui jumlah penyimpangan pada uji kewaspadaan psikomotor. Hasilnya menunjukkan bahwa seiring berjalannya waktu, performa tiap kelompok menurun, tanpa ada tanda-tanda berhenti memburuk. Utang tidur yang tidak terlalu banyak pun ternyata cukup berdampak, di mana orang yang tidur selama 6 jam per malam selama 10 hari memiliki hasil yang serupa dengan orang yang tidak tidur selama seharian penuh.[13][14]

Evaluasi[sunting | sunting sumber]

Utang tidur telah diuji dalam sejumlah studi dengan menggunakan uji latensi tidur.[15] Uji tersebut berupaya mengukur seberapa mudah seseorang untuk tertidur. Jka uji tersebut dilakukan sebanyak beberapa kali dalam sehari, maka uji tersebut disebut sebagai uji latensi tidur ganda. Subyek uji diminta untuk tidur dan dibangunkan setelah menentukan waktu yang mereka butuhkan untuk tertidur. Skala Kantuk Epworth, kuesioner sebanyak delapan pertanyaan dengan skor bervariasi dari 0 hingga 24, adalah alat lain yang digunakan untuk melihat potensi utang tidur.

Sebuah studi pada bulan Januari 2007 dari Universitas Washington di St. Louis menunjukkan bahwa uji saliva dari enzim amilase dapat digunakan untuk mengindikasikan utang tidur, karena aktivitas enzim tersebut makin meningkat seiring dengan bertambahnya utang tidur dari seseorang.[16][17]

Pengendalian keterjagaan ditemukan sangat dipengaruhi oleh protein oreksin. Sebuah studi pada tahun 2009 dari Universitas Washington di St. Louis pun menegaskan hubungan penting antara utang tidur, oreksin, dan amiloid beta, dengan dugaan bahwa perkembangan penyakit Alzheimer dapat dihasilkan dari utang tidur kronis.[18]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Daftar referensi dapat ditemukan di Commons: Commons:File:Effects of sleep deprivation.svg#References
  2. ^ Wang Z, Ma J, Miyoshi C, Li Y, Sato M, Ogawa Y, et al. (June 2018). "Quantitative phosphoproteomic analysis of the molecular substrates of sleep need". Nature. 558 (7710): 435–439. Bibcode:2018Natur.558..435W. doi:10.1038/s41586-018-0218-8. PMC 6350790alt=Dapat diakses gratis. PMID 29899451. 
  3. ^ Leproult, Rachel; Van Cauter, Eve (2009), Loche, S.; Cappa, M.; Ghizzoni, L.; Maghnie, M., ed., "Role of Sleep and Sleep Loss in Hormonal Release and Metabolism", Endocrine Development (dalam bahasa Inggris), KARGER, 17: 11–21, doi:10.1159/000262524, ISBN 978-3-8055-9302-1, PMC 3065172alt=Dapat diakses gratis, PMID 19955752 
  4. ^ a b c d Spiegel K, Leproult R, Van Cauter E (October 1999). "Impact of sleep debt on metabolic and endocrine function". Lancet (dalam bahasa English). 354 (9188): 1435–9. doi:10.1016/S0140-6736(99)01376-8. PMID 10543671. 
  5. ^ a b c d e Bayon V, Leger D, Gomez-Merino D, Vecchierini MF, Chennaoui M (August 2014). "Sleep debt and obesity". Annals of Medicine. 46 (5): 264–72. doi:10.3109/07853890.2014.931103. PMID 25012962. 
  6. ^ a b c d Motomura Y, Kitamura S, Oba K, Terasawa Y, Enomoto M, Katayose Y, Hida A, Moriguchi Y, Higuchi S, Mishima K (2013). "Sleep debt elicits negative emotional reaction through diminished amygdala-anterior cingulate functional connectivity". PLOS ONE. 8 (2): e56578. Bibcode:2013PLoSO...856578M. doi:10.1371/journal.pone.0056578alt=Dapat diakses gratis. PMC 3572063alt=Dapat diakses gratis. PMID 23418586. 
  7. ^ Minkel JD, Banks S, Htaik O, Moreta MC, Jones CW, McGlinchey EL, et al. (October 2012). "Sleep deprivation and stressors: evidence for elevated negative affect in response to mild stressors when sleep deprived". Emotion. 12 (5): 1015–20. doi:10.1037/a0026871. PMC 3964364alt=Dapat diakses gratis. PMID 22309720. 
  8. ^ a b c d Åkerstedt T, Ghilotti F, Grotta A, Zhao H, Adami HO, Trolle-Lagerros Y, Bellocco R (February 2019). "Sleep duration and mortality - Does weekend sleep matter?". Journal of Sleep Research. 28 (1): e12712. doi:10.1111/jsr.12712alt=Dapat diakses gratis. PMC 7003477alt=Dapat diakses gratis. PMID 29790200. 
  9. ^ Grandner, Michael A.; Hale, Lauren; Moore, Melisa; Patel, Nirav P. (June 2010). "Mortality associated with short sleep duration: The evidence, the possible mechanisms, and the future". Sleep Medicine Reviews (dalam bahasa Inggris). 14 (3): 191–203. doi:10.1016/j.smrv.2009.07.006. PMC 2856739alt=Dapat diakses gratis. PMID 19932976. 
  10. ^ Dinges DF (September 2004). "Sleep debt and scientific evidence". Sleep. 27 (6): 1050–2. PMID 15532196. 
  11. ^ Horne J (September 2004). "Is there a sleep debt?". Sleep. 27 (6): 1047–9. PMID 15532195. 
  12. ^ Dinges DF, Pack F, Williams K, Gillen KA, Powell JW, Ott GE, et al. (April 1997). "Cumulative sleepiness, mood disturbance, and psychomotor vigilance performance decrements during a week of sleep restricted to 4-5 hours per night". Sleep. 20 (4): 267–77. PMID 9231952. 
  13. ^ Walker, M.P. (2009, October 21). *Sleep Deprivation III: Brain consequences – Attention, concentration and real life.* Lecture given in Psychology 133 at the University of California, Berkeley, CA.
  14. ^ Knutson KL, Spiegel K, Penev P, Van Cauter E (June 2007). "The metabolic consequences of sleep deprivation". Sleep Medicine Reviews. 11 (3): 163–78. doi:10.1016/j.smrv.2007.01.002. PMC 1991337alt=Dapat diakses gratis. PMID 17442599. 
  15. ^ Klerman EB, Dijk DJ (October 2005). "Interindividual variation in sleep duration and its association with sleep debt in young adults". Sleep. 28 (10): 1253–9. doi:10.1093/sleep/28.10.1253. PMC 1351048alt=Dapat diakses gratis. PMID 16295210. 
  16. ^ Fisher, Mark. "Sleeping well isn't easy, but it doesn't have to be hard either". supplementyoursleep.com. Diakses tanggal 19 October 2015. 
  17. ^ "First Biomarker for Human Sleepiness Identified". Washington University in St. Louis. January 25, 2007. 
  18. ^ Kang JE, Lim MM, Bateman RJ, Lee JJ, Smyth LP, Cirrito JR, et al. (November 2009). "Amyloid-beta dynamics are regulated by orexin and the sleep-wake cycle". Science. 326 (5955): 1005–7. Bibcode:2009Sci...326.1005K. doi:10.1126/science.1180962. PMC 2789838alt=Dapat diakses gratis. PMID 19779148. 

Bacaan lebih lanjut[sunting | sunting sumber]

  • Dement, William C. (1999). The Promise of Sleep. New York: Delacorte Press, Random House Inc. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]