Tun Sri Lanang

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tun Seri Lanang)

Tun Sri Lanang memiliki nama lengkap Tun Muhammad (lahir di Selayut Batu Sawar, pada tahun 1565) adalah Uleebalang pertama Samalanga yang juga merupakan seorang sastrawan Melayu. yang berasal dari negeri seberang Semenanjung Malaya (Sekarang Malaysia) pada abad ke 16 atau sekitar tahun 1613 yang di gelar dengan Datok Bendahara (Perdana Menteri) Negeri Johor yang dibawa ke Aceh setelah Johor berhasil ditaklukkan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) bersama 2 ribu penduduk semenanjung lainnya, hampir semua penduduk di negeri Johor beserta petinggi lainya bermigrasi ke Aceh, diantaranya adalah Raja Husein (Iskandar Thani), Puteri Pahang atau nama aslinya Puteri Kamaliah (Putroe Phang) orang Aceh menyebutnya. Tun Sri Lanang dikenal sebagai penyunting dan penyusun Sulalatus Salatin.[1][2]

Latar belakang[sunting | sunting sumber]

Datok Bendahara (Perdana Menteri) Tun Sri Lanang nama aslinya Tun Muhammad yang dilahirkan di Selayut Batu Sawar Johor lama pada tahun 1565, Tun Sri Lanang adalah Tun Muhammad (Datok Bendahara orang kaya sri paduka Tun Seberang) mempunyai sambungan silsilah sampai ke Mani Purindan sebagai berikut:[3]

Tun Sri Lanang bin Tun Genggang bin Tun Jenal bin Tun Mad Ali bin Tun Hasan bin Tun Mutahir bin Tun Ali Sari Nara Bin Mani Purindan

Di Negeri Johor Malaysia Tun Sri Lanang menikah dengan Tun Aminah binti Tun Kadut bin Seri Amar Bangsa Tun Ping bin Tun Hasan bin Tun Biajid Rupat bin Bendahara Seri Maharaja, dari pernikahannya dengan Tun Aminah mempunyai empat anak yaitu tiga orang laki-laki dan satu perempuan.

Yang laki-laki bernama :

1. Tun Anum (BSM)

2. Tun Mat Ali (BPM)

3. Tun Jenal dan (BS/BPR)

4. Tun Gembuk

Hijrah ke Aceh[sunting | sunting sumber]

Setelah di Aceh Tun Sri Lanang menikah lagi dan mempunyai seorang anak bernama Tun Rembau bergelar Teuku Tjik Di Blang Panglima Perkasa32 Dalam sejarah melayu anak cucu Tun Seri Lanang kemudian menjadi para bangsawan di Malaysia, yaitu Sultan di Tringganu, Johor, Pahang dan Selangor. Pada tahun 1613 setelah peristiwa Batu Sawar Tun Sri Lanang hijrah ke Aceh Darussalam bersama keluarga Sultan Alauddin termasuk adiknya Raja Bungsu dan bersama mareka dibawa dua ribu penduduk Johor ke Aceh dan kemudian bermukim di Samalanga. Secara tradisional Jabatan penting dalam Kesultanan Melayu merupakan jabatan warisan turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Menurut satu riwayat setelah Tun Sri Lanang pindah ke Aceh dan putra tertua di Malaysia bernama Tun Anum diangkat menjadi Bendahara Johor berikutnya. kemudian Tun Anum ini diduga meninggal dunia bersama pembesar Johor lainnya akibat wabah penyakit pada tahun 1642 dan di makamkan di Makam Tauhid ( Makam Sayed)35. Setelah Tun Anum mangkat adiknya yang bernama Tun Jenal diangkat menjadi Bendahara dengan gelar Paduka Raja atau Bendahara Sekudai. Tun Jenal merupakan bendahara Johor yang berjasa melepaskan Malaka dari penjajah Portugis tahun 1641 Masehi. Peristiwa pelepasan malaka dari Portugis tercatat dalam hikayat Hang Tuah.

Keturunan Tun Jainal bergelar Bendahara Paduka Raja (BPR) alias Datuk Sekudai ini mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said Zainal Abidin dari Aceh yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Dato Maharaja Diraja. Dato Maharaja Diraja mempunyai dua orang putra yang bernama Sayid Jak’far alias Datuk Pasir Raja dan Habid Abdullah BSM.[4]

Permata Melayu di Negeri Aceh[sunting | sunting sumber]

Kebesaran Kesultanan Islam Malaka hancur setelah Portugis menaklukkannya tahun 1511. Banyak pembesar kerajaan yang menyelamatkan diri ke kerajaan lainnya yang belum dijamah oleh Portugis, seperti Pahang, Johor, Pidie, Aru (Pulau Kampai), Perlak, Daya, Pattani, Pasai dan Aceh. Portugis-pun berusaha menaklukkan kerajaan Islam yang kecil ini dan tanpa perlawanan yang berarti.

Kesultanan Aceh[sunting | sunting sumber]

Perkembangan ini sangat menggundahkan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530). Sultan berkeinginan untuk membebaskan negeri Islam di Sumatra dan Semenanjung Tanah Melayu dari cengkeraman Portugis. Keinginan Sultan ini didukung penuh oleh pembesar negeri Aceh dan dan para pencari suaka dari Melaka yang sekarang menetap di Bandar Aceh. Sultan memproklamirkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam pada tahun 1521, dengan visi utamanya menyatukan negeri kecil seperti Pedir, Daya, Pasai, Tamiang, Perlak dan Aru.

Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah berprinsip "Siapa kuat hidup, siapa lemah tenggelam" oleh karenanya dalam pikiran Sultan untuk membangun negeri yang baru diproklamirkannya perlu penguatan di bidang politik luar negeri, militer yang tangguh ekonomi yang handal dan pengaturan hukum/ketatanegaraan yang teratur.[5] Dengan strategi inilah menurut pikiran Sultan, Kerajaan Islam Aceh Darussalam akan menjadi Negara yang akan diperhitungkan dalam percaturan politik global sesuai dengan masanya dan mampu mengusir Portugis dari negeri negeri Islam di Nusantara yang telah didudukinya.

Dasar pembangunan kerajaan Islam Aceh Darussalam yang digagaskan oleh Sultan Alaidin Ali Mughayatsyah dilanjutkan oleh penggantinya seperti Sultan Alaidin Riayatsyah Alqahhar, Alaidin Mansyursyah, Saidil Mukammil dan Iskandar Muda. Aliansi dengan negara-negara Islam di bentuk, baik yang ada di nusantara maupun di dunia internasional lainnya, misalnya Turki, India, Persia, Maroko. Pada zaman inilah Aceh mampu menempatkan diri dalam kelompok "lima besar Islam" Negara-Negara Islam di dunia. Hubungan diplomatik dengan negeri non-muslimpun dibina sepanjang tidak mengganggu dan tidak bertentangan dengan asas-asas kerajaan.[6]

Perseteruan Aceh dan Portugis[sunting | sunting sumber]

Perseteruan kerajaan Aceh dengan Portugis terus berlangsung sampai tahun 1641. Akibatnya banyak anak negeri yang syahid baik itu di Aceh sendiri, Aru, Bintan, Kedah, Johor, Pahang dan Terengganu. Populasi penduduk Aceh menurun drastis. Sultan Iskandar Muda mengambil kebijakan baru dengan menggalakkan penduduk di daerah takluknya untuk berimigrasi ke Aceh inti, misalnya dari Sumatera Barat, Kedah, Pahang, Johor dan Melaka, Perak, Deli.
W. Linehan, mengatakan "the whole territory of Acheh was almost depopulated by war. The king endeavoured to repeople the country by his conquests. Having ravaged the kingdoms of Johore, Pahang, Kedah, Perak and Deli, he transported the inhabitants from those place to Acheh to the number of twenty-two thousand person".[7] Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Pada tahun 1613, Iskandar Muda menghancurkan Batu Sawar, Johor seluruh penduduknya termasuk Sultan Alauddin Riayatshah III, adiknya Raja Abdullah, Raja Raden dan pembesar pembesar negeri Johor-Pahang seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Putri Kamaliah (Protroe Phang), dan Bendaharanya (Perdana Menteri) Tun Muhammad, lebih dikenal dengan nama samarannya "Tun Sri Lanang" dipindahkan ke Aceh dan dijadikan raja pertama Samalanga (1615-1659). Tun Sri Lanang inilah yang akan penulis diskusikan pada hari ini didasarkan pada:

  1. Tiga Sultan kerajaan negeri di Malaysia yaitu Johor, Pahang dan Terengganu adalah keturunan Tun Sri Lanang.
  2. Pemerintah Malaysia telah menetapkan Tun Sri Lanang sebagai pujangga agung bersama Abdullah Munsyi. Bahkan pemerintah Malaysia menempatkan nama Tun Sri Lanang pada jalan-jalan utama dan gedung-gedung pertemuan baik di kalangan akademik maupun tempat pertemuan lainnya.
  3. Karya Tun Sri Lanang "Sulalatus Salatin" telah menjadi rujukan apabila ingin menuliskan Sejarah Melayu Modern.
  4. Sedikit sekali masyarakat Aceh yang pernah mendengar nama Tun Sri Lanang apalagi mempelajari kisah hidupnya padahal dia menghabiskan masa akhir hidupnya di Aceh dan menjadi Ampon syik pertama Samalanga serta dimakamkan di sebuah desa kecil lancok kecamatan Samalanga.
  5. Tun Sri Lanang ini bisa dijadikan perekat hubungan antara Aceh dengan Malaysia.[8]

Peristiwa Laut[sunting | sunting sumber]

Pemerintahan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menerapkan pendekatan lunak maupun tegas untuk menjaga keutuhan wilayahnya, dari ancaman disintegrasi bangsa baik yang bersumber dari dalam negeri maupun luar negeri. Strategi lunak yaitu "politik meubisan" dan "rotasi pimpinan daerah taklukan Aceh". Kalau jalan ini tidak berhasil Sultan akan mengerahkan angkatan perangnya menundukkan daerah taklukannya yang melawan terhadap kebijakan pusat.

Politik meubisan ini seperti pernah dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda dengan mengawinkan adiknya dengan Sultan Abdullah Ma'ayat Shah.[9] Kemudian Sultan Murka karena adik yang dicintainya diceraikan oleh Sultan Abdullah. Iskandar Muda memerintahkan pasukannya untuk membumi hanguskan Batu Sawar, ibu kota Kerajaan Johor Lama pada tahun 1623. Abdullah-pun mangkat dalam pelarian di Pulau Tembelan.

Politik meubisan berhasil juga menundukkan Perak dan Pahang. Setelah pembesar-pembesar pahang mengetahui anak negerinya Raja Mughal anak Sultan Ahmad dinobatkan sebagai sultan Kerajaan Islam Aceh Darussalam menggantikan Iskandar Muda pada tahun 1637 M, Adik Sultan Iskandar Tsani, Raja Sulong menjadi Sultan Perak ke-10 dengan gelar Sultan Muzaffar Shah II maka rakyat ke dua negeri langsung melakukan ikrar kesetiaan mendukung keutuhan Kerajaan Islam Aceh Darussalam.

Tun Seri Lanang atas saran Putri Kamaliah, Sultan Iskandar Muda menjadikannya raja pertama ke Samalanga.[10] Rotasi pimpinan ini sering ditempuh guna mencegah terjadinya pemberontakan raja-raja yang mendapat dukungan rakyat.

Penobatan Tun Sri Lanang menjadi raja Samalanga mendapat dukungan rakyat, karena di samping dia ahli dibidang pemerintahan juga alim dalam ilmu agama, Sultan Iskandar Muda mengharapkan dengan penunjukan ini akan membantu pengembangan Islam di pesisir timur Aceh. Penentangan yustru muncul dari beberapa tokoh masyarakat yang dipimpin oleh Hakim Peut Misei yang menginginkan kelompoknyalah yang berhak menjadi raja pertama Samalanga.

Alkisah menurut penuturan orang orang tua di sana. Setelah Hakim Peut Misei dan 11 orang pemuka negeri lainnya bersama rakyat setempat selesai membuka negeri Samalanga, bermusyawarahlah mareka siapa yang berhak menjadi raja pertama. Di antara panitia yang terlibat dalam persiapan pengukuhan keuleebalangan Samalanga dan daerah takluknya, terjadi pergaduhan dan atas saran masyarakat agar ke 12 orang panitia ini menghadap sultan Iskandar Muda, biarlah sultan yang akan menentukan pilihan terbaiknya untuk memimpin negeri pusat pendidikan Islam ini.

Sayup-sayup Puteri Pahang pun mengetahui rencana pertemuan 12 tokoh masyarakat yang akan menghadap sultan. Ia menginginkan ke-uleebalangan Samalanga dan daerah takluknya diisi oleh Datok Bendahara bergelar Tun Sri Lanang yang tiada lain adalah saudaranya sendiri. Siasat diatur cara ditempuh, Tun Seri Lanang diperintahkan berlayar ke Samalanga, berpura puralah ia sebagai seorang nelayan yang kumuh tetapi ahli melihat bintang. Rencana Putri Pahang Tun Sri Lanang harus duluan tiba di Samalanga dan ke 12 tokoh masyarakat ini diusahakan menggunakan jasa dia untuk berlayar ke kuala Aceh menghadap Baginda.

Pada hari yang telah disepakati bersama, berangkatlah 12 orang panitia menghadap tuanku sultan dengan didampingi seorang pawang dari kuala Samalanga menuju kuala Aceh. Ke 12 orang ini mengatur sembah sujud kehadapan baginda dan mengutarakan maksud dan tujuan menghadap Daulat Tuanku Meukuta Alam. Mareka meminta kepada tuanku agar salah satu dari mareka dinobatkan menjadi uleebalang pertama Samalanga. Sultan setelah meminta pendapat orang orang besar kerajaan dan Puteri Pahang setuju menobatkan salah satu dari mareka menjadi raja pertama asal cincin kerajaan yang telah disiapkan oleh Puteri Pahang cocok untuk jari kelingking mareka.

Setelah dicoba satu persatu, cincin kerajaan ini terlalu besar untuk dipakai pada 12 orang tersebut. Puteri Pahang menanyakan pada mareka apa ada orang lain yang tidak dibawa ke balai rung istana? Mareka dengan hati kesal menjawab memang masih ada tukang perahu. Tun Seri Lanangpun dihadapkan kehadapan Sultan, cincin kerajaan sangat cocok untuk jari kelingkingnya.

Iskandar Muda menobatkan Tun Seri Lanang menjadi raja pertama Samalanga. Sewaktu mareka pulang Tun Seri Lanang dibuang di tengah laut di kawasan laweung kejadian ini dikenal dalam masyarakat Samalanga Peristiwa Laut. Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh (Laweung) menyelamatkannya dan bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom menghadap Baginda dan memberitahukan penemuan Tun Seri Lanang di Tengah Laut. Baginda Murka dan memerintahkan Maharaja Goerah bersama T. Nek Meuraksa Panglima Nyak Doom dan Maharaja Lela Keujroeun Tjoereh menemani Tun Seri Lanang ke Samalanga. Hakim Peut Misee dan 11 orang panitia persiapan keuleebalangan dihukum pancung oleh sultan.

Tun Sri Lanang menjadi uleebalang pertama Samalanga pada tahun 1615-1659 M dan mangkat di Lancok Samalanga. Pada masa pemerintahannya berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan timur Aceh, dan tradisi ini terus berlanjut sampai dengan saat ini. Beberapa mesjid di sana di bangun pada zamannya seperti Mesjid Matang Wakeuh, Tanjungan.

Keturunan Tun Sri Lanang di Aceh Tun Rembau yang lebih dikenal dengan panggilan T. Tjik Di Blang Panglima Perkasa menurunkan keluarga Ampon Chik Samalanga sampai saat ini dan tetap memakai gelar Bendahara diakhir namanya seperti Mayjen T. Hamzah Bendahara. Sedangkan sebagian keturunannya kembali ke Johor dan menjadi bendahara (Perdana Menteri) di sana seperti Tun Abdul Majid yang menjadi Bendahara Johor, Pahang, Riau, Lingga (1688-1697). Keturunan Tun Abdul Majid inilah menjadi zuriat Sultan Terengganu, Pahang, Johor dan Negeri Selangor Darul Ihsan hingga sekarang ini.[11]

Berpisah haluan[sunting | sunting sumber]

Institusi bendahara dalam Kesultanan Melaka, Johor, pahang, Riau dan Lingga mungkin hampir sama dengan institusi Polem di Aceh. Di mana kalau Panglima Polem berperan sebagai peuduk peudeung raja, institusi bendaharapun berperan sebagai lembaga fit and proper test, penjaga adat Raja Melayu. Institusi bendahara ini dibantu oleh Temenggong, Laksamana, Penghulu Bendahari dan Orang-Orang Kaya.

Hubungan bendahara dengan Sultan disemenanjung pada abad 17 dan 18 sempat tidak harmonis karena beda haluan politik antara Sultan dengan Bendahara dalam hal menyikapi masalah Aceh. Tun Seri Lanang lebih memihak ke kesultanan Aceh dalam hal menghadapi portugis. Dalam kacamata Tun Sri Lanang memerangi Portugis adalah jihad Islami, dan wajib bagi setiap individu muslim memeranginya yang telah menduduki pemerintahan negeri negeri Melayu dan setuju dengan pendapat Sultan Aceh untuk menyerang mana mana negeri Melayu yang bersubhat dengan Portugis. Sedangkan Sultan Johor lebih memilih bekerjasama dengan Portugis, walaupun Kesultanan Aceh telah mengingatkan agar kerajaan melayu islam di nusantara ini bersatu melawan musuh agama mareka.

Sultan Alaudin Riayat Shah III setelah dibebaskan oleh Sultan Iskandar Muda dan adiknya Abdullah dikawinkan dengan adik Sultan Iskandar Muda kembali ke Johor. Kemudian berkhianat dan akhirnya dibunuh oleh Sultan Aceh. Sedangkan bendaharanya Tun Seri Lanang memilih tetap tinggal dan meninggal di Aceh dan ini diakui oleh R.O. Winstedt.[12] Hanya saja penulis barat lebih banyak menjelekkan Aceh dalam hal perseteruan antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Melayu di Semenanjung. Contohnya Winstedt mengatakan "Tun Sri Lanang of the 'Malay Annals' was a prisoner with the Sultan at Pasai (pen Samalanga) and records in the introduction to that work that his master died at Acheh". Bahkan W. Linehan dalam bukunya the History of Pahang hal 35-37 lebih memojokkan Aceh lagi bahkan menuduh Sultan Aceh telah melakukan tindakan barbarous policy terhadap tawanannya.[13]

Cuplikan pendapat di atas adalah bagian propaganda orientalis untuk mendiskreditkan Kerajaan Islam Aceh Darussalam dimata masyarakat negeri negeri Melayu di Semenanjung. Akibatnya keturunan Tun Sri Lanang diasingkan sampai 60 tahun di sana. Posisi Bendahara diambil alih oleh Laksamana Tun Abdul Jamil dan keturunannya. Baru pada tahun 1688 M posisi bendahara dikembalikan kepada Tun Abdul Majid cucu Tun Sri Lanang melalui anaknya Tun Mat Ali.

Di bawah ini adalah kutipan sebahagian bait syair melayu yang menggambarkan kegundahan pembesar pembesar negeri akibat tidak harmonisnya hubungan Sultan dengan Bendahara. Syair ini dikutip dalam buku Institusi Bendahara Permata Melayu Yang Hilang; Dinasti Bendahara Johor - Pahang.

Tersebut kisah bendahara Muhammad,
Mendapat titah, Duli Hadirat,
Walau dirasa, beban yang amat,
Sedia dipikul, penuh semangat,
Sultan Johor, beri amanat,
Bukukan kisa, serta riwayat,
Raja Melayu, dan adat istiadat,
Supaya tak hilang, sampai kiamat,
Dato' Bendahara, jalankan titah,
Tiada berkira, penat dan lelah,
Penuh tafahus, menyusun sejarah,
Agar kisah menjadi ibrah,
Sejarah Melayu, terbuku sudah,
Duli Pertuan, di bawah Sembah,
Jasa Bendahara, telah dicurah,
Bangsa Melayu, dapat faedah,
Sejarah Melayu, agungkan karangan,
Bendahara Muhammad Jadi Sebutan,
Tun Sri Lanang nama timangan,
Pujangga Melayu, tiada tandingan,
Suatu ketika, tersebut riwayat,
Raja-Bendahara, hilang muafakat,
Cuba pulihkan, tidaklah dapat,
Berpisah haluan, tak dapat disekat,
Bendahara Johor, berhati rawan,
Terlerai sudah, tali ikatan,
Kalau begitu, kehendak Sultan,
Apa nak buat, terpaksa turutkan,
Negeri Johor, apalah malang,
Dato' bendahara, kini menghilang,
Baginda Sultan, tiada terhalang,
Mengikut rasa, alang kepalang.
Laksamana Paduka, jadi pilihan,
Ganti mamanda, di sisi Sultan,
Pembesar Melayu, tiadalah aman,
Tingkah laksamana, datangkan keruan.
Negeri diatur, sewenang-wenang,
Adat disanggah, alang kepalang,
Laksamana paduka, menjadi dalang,
Segala perintahnya, tak boleh di bangkang,
Duduk di Riau, Sultan Johor,
Rencana Laksamana, jelas tersohor,
Muafakat bersama, sudah terkubur,
Daulat raja, hilanglah luhur.
Enam dekat, berlalu masa,
Laksamana sekeluarga, masih berkuasa,
Duli pertuan, tiada periksa,
Pembesar Melayu, menjadi sisa.
Sultan Johor, mangkatlah sudah,
Putera Baginda, kerajaan diserah,
Tingkah laksamana, tetap tak ubah,
Duli Pertuan, berhati gundah.
Sampai masanya, yang bersesuaian,
Titah diberi, Duli Pertuan,
Adat Melayu, ikutlah aturan,
Supaya kita, tidak kerugian.
Bendahara-Sultan, seperti sebadan,
Janganlah cuba, pisah-pisahkan,
Tali yang lerai, kita ikatkan,
Warisan Melaka, kita sambungkan. Dst.

Penghargaan[sunting | sunting sumber]

Tun Sri Lanang dan Keluarganya diberi penghargaan khusus di Aceh. Di samping di angkat menjadi Raja di Samalanga dan Daerah Takluknya keluarganyapun di beri gelar kebesaran dan jabatan oleh Sultan. Seperti gelar Seri Paduka Tuan di Acheh (Daniel Crecelius & E.A. Beardow, A Reputed Achehnese Sarakata of The Jamalullail Dynasty, JMBRAS, vol 52, 1979 hlm 52), Puteranya Tun Rembau menjadi Panglima Aceh (Tun Sri Lanang, Sejarah Melayu (suntingan Shellabear) 1986 hlm 156). Cucunya (nama lupa) anak dari Tun Jenal (Zainal) dikawinkan dengan Sayyid Zainal Abidin dimana nenek Zainal Abidin ini adalah adik kakek sebelah lelaki sultan Iskandar Muda (baca Suzana Hj Othman, Institusi Bendahara Permata Melayu yang Hilang, penerbit Persatuan Sejarah Malaysia, Johor, hlm 181-183) Perkawinan ini merapatkan hubungan Raja Raja Negeri Melayu dengan Aceh (lihat lampiran).

Pujangga Melayu[sunting | sunting sumber]

Tun Sri Lanang di samping ahli pemerintahan juga dikenal sebagai pujangga melayu. Karyanya yang menumental adalah kitab Sulalatus Salatin. Menurut Winstedt, kitab ini dikarang mulai bulan Februari 1614 dan siapnya Januari 1615 sewaktu menjadi tawanan di kawasan Pasai.[14]

Apabila kita baca mukaddimah kitab ini, tidak jelas disebutkan siapa pengarang yang sebenarnya. Dan ini biasa dilakukan oleh oleh pengarang pengarang dahulu yang berusaha menyembunyikan penulis aslinya terhadap hasil karangannya. Bahkan menyebutkan dirinya sebagai fakir. Kalimat aslinya sbb; Setelah fakir allazi murakkabun 'a;a jahlihi maka fakir perkejutlah diri fakir pada mengusahakan dia, syahadan mohonkan taufik ke hadrat Allah, Tuhan sani'il - 'alam, dan minta huruf kepada nabi sayyidi'l 'anam, dan minta ampun kepada sahabat yang akram; maka fakir karanglah hikayat ini kamasami' tuhu min jaddi wa abi, supaya akan menyukakan duli hadrat baginda. Maka fakir namai hikayaat ini " Sulalatus Salatin" yakni "pertuturan segala Raja-Raja". (Baca Sulatus salatin hal 3)

Para ahli berbeda pendapat tentang pengarang sebenarnya kitab ini misalnya Winstedt, menyebut Tun Sri Lanang sebagai penyunting saja. Pendapat ini tidak punya landasan yang kuat, karena Syaikh Nuruddin al Raniri dalam kitabnya Bustanul Salatin fasal ke 12 bab II menyebutkan:

"Kata Bendahara Paduka Raja yang mengarang kitab misrat Sulalatus Salatin, ia mendengar daripada bapanya, ia mendengar daripada neneknya dan datuknya, tatkala pada hijrat al Nabi salla 'llahu 'alaihi wa sallama seribu dua puluh esa, pada bulan Rabiul awal pada hari Ahad, ia mengarang hikayat pada menyatakan segala raja raja yang kerajaan di negeri Melaka, Johor, Pahang, dan menyatakan bangsa, dan salasilah mereka itu daripada Sultan Iskandar Zulkarnain_"

Pendapat ini lebih menyakinkan penulis apalagi Hj Buyong Adil, dalam bukunya Sejarah Johor menyatakan Tun Sri Lanang selalu berguru pada ulama ulama terkenal di Aceh, seperti Nurdin Arraniri, Tun Acheh, Tun Burhat, Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Assumatrani. Dalam hal ini Syech Nurdin Arraniri tentu kenal baik dengan Tun Sri lanang. Wallahu a'lam.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ dwifajariyanto (2014-02-02). "INDONESIA - MALAYSIA ABAD KE - 16 DALAM SEJARAH DUA BANGSA (TUN SRI LANANG RAJA SAMALANGA)". Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-12. 
  2. ^ "Tun Sri Lanang, Raja Pertama Samalanga dan Kisah yang Terkubur Tiga Abad". SA. Diakses tanggal 2020-11-12. 
  3. ^ Bakri. "Misteri Tun Sri Lanang". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-11-12. 
  4. ^ dwifajariyanto (2013-12-11). "RAJA SAMALANGA DALAM SEJARAH DUA BANGSA INDONESIA- MALAYSIA TUN SRI LANANG ABAD KE - 16". Balai Pelestarian Cagar Budaya Banda Aceh (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-12. 
  5. ^ baca HM Said, Aceh Sepanjang Abad halaman 102
  6. ^ baca A. Hasymi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, hlm 104,105,114,297
  7. ^ W.LINEHAN, A History of Pahang, hlm 36
  8. ^ "Seminar Ketokohan Tun Sri Lanang dalam Sejarah Dua Bangsa". kemenpar.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-12. 
  9. ^ H.Buyong Adil, Sejarah Pahang, hlm 71-77
  10. ^ A.K Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949, hlm 40 - 48
  11. ^ Menelusuri Tun Sri Lanang Dalam Lintasan Sejarah Acceh. Dien Madjid. 
  12. ^ A History of Johore (1365-1895), hlm 33-35
  13. ^ Administrator (2012-02-06). "Jejak Sang Bendahara". Tempo.co. Diakses tanggal 2020-11-12. 
  14. ^ The history of Johor, hlm 345
  15. ^ "Tun Sri Lanang sebagai Raja Samalanga I". Khazanah Bendahara Seri Maharaja (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-11-12. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]