Tritunggal dalam seni rupa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Lukisan Tritunggal gaya Barok, karya Hendrick van Balen, 1620, Gereja Sint-Jacobskerk, Antwerpen

Tritunggal sangat umum ditampilkan dalam seni rupa Kristen dengan penggambaran Roh Kudus dalam wujud burung merpati, sama seperti wujud penampakan Roh Kudus pada peristiwa Pembaptisan Kristus sebagaimana yang diriwayatkan di dalam Injil, dan nyaris selalu digambarkan dengan sayap-sayap terkembang. Meskipun demikian, adakalanya Tritunggal digambarkan dalam rupa tiga sosok antropomorfis.[1]

Sang Bapa lazimnya dibedakan dari Sang Putra dengan ciri usia, dan kemudian hari dengan ciri busana yang dikenakan, tetapi tidak selalu demikian. Kebiasaan menggambarkan sosok Sang Bapa sebagai seorang pria tua berjanggut putih mungkin terilhami oleh sebutan Yang Lanjut Usianya di dalam ayat-ayat Alkitab (Daniel 7:9, Daniel 7:13 13, Daniel 7:22 22), yakni ayat-ayat yang kerap dikutip untuk membela penggambaran yang kadang-kadang kontroversial ini. Meskipun demikian, Gereja Ortodoks Timur lazimnya memahami Yang Lanjut Usianya sebagai Allah Putra, bukan Allah Bapa. Citra-citra Romawi Timur terdahulu menampilkan Kristus sebagai Yang Lanjut Usianya,[2] tetapi ikonografi semacam ini lambat laun menjadi langka. Bilamana ditampilkan dalam seni rupa, Sang Bapa kadang-kadang digambarkan dengan praba berbentuk segitiga sama sisi alih-alih lingkaran. Sang Putra kerap digambarkan berada di sebelah kanan Sang Bapa (Kisah Para Rasul 7:56). Sang Putra juga dapat digambarkan dengan lambang, biasanya dalam wujud anak domba, salib, atau krusifiks, sehingga Sang Bapa menjadi satu-satunya Pribadi Illahi yang digambarkan dalam wujud manusia. Dalam seni rupa Abad Pertengahan Awal, Sang Bapa juga dilambangkan dengan gambar tangan yang sedang memberkati dari balik segumpal awan, misalnya dalam lukisan-lukisan peristiwa Pembaptisan Kristus. Kemudian hari, ragam penggambaran "Takhta Kerahiman" atau "Takhta Kasih Karunia" menjadi ragam penggambaran Tritunggal yang lumrah di Dunia Barat. Lukisan-lukisan dalam ragam ini menampilkan Sang Bapa (kadang-kadang dalam keadaan duduk di atas takhta) memegang sebuah krusifiks[3] atau mengampu tubuh terkulai Sang Putra mirip Pietà (di Jerman, ragam ini disebut Not Gottes),[4] sementara Roh Kudus dalam wujud burung merpati melayang-layang di antara mereka. Subjek ini terus-menerus populer sampai selambat-lambatnya abad ke-18.

Pada akhir abad ke-15, di luar dari ragam Takhta Kerahiman, penggambaran Tritunggal secara efekfif terbakukan, sehingga lazimnya menampilkan sosok Sang Bapa dalam wujud seorang pria lanjut usia berjubah polos, sosok Kristus dengan dada separuh terbuka untuk menampakkan luka-luka penyiksaan yang dialaminya, dan sosok Roh Kudus dalam wujud burung merpati yang mengudara di atas atau terbang mengitari keduanya. Dalam penggambaran-penggambaran terdahulu, baik Sang Bapa maupun Sang Putra ditampilkan berjubah dan mahkota mewah. Kadang-kadang hanya Sang Bapa yang digambarkan mengenakan mahkota atau tiara paus.

Tradisi Kristen Ortodoks Timur[sunting | sunting sumber]

Tritunggal Mahakudus, fresko karya Luca Rossetti da Orta, 1738–1739, Gereja San Gaudenzio, Ivrea
Tritunggal Perjanjian Lama, ikon karya Andrey Rublev, sekitar tahun 1400, Galeri Tretyakov, Moskwa
Trifolium diserangkaikan dengan segitiga

Penggambaran Tritunggal jarang sekali dijumpai di dalam seni rupa Kristen Ortodoks Timur karena kuatnya keseganan menggambar sosok Sang Bapa, sama seperti di Dunia Barat pra-Abad Pertengahan Madya. Konsili Nikea II tahun 787 membenarkan tindakan menggambar sosok Kristus, tetapi tidak begitu jelas dalam hal menggambar sosok Sang Bapa. Ikon Tritunggal Mahakudus Kristen Ortodoks Timur lazimnya menampilkan penggambaran "Tritunggal Perjanjian Lama", yakni ketiga malaikat yang mengunjungi Abraham dan disapa Abraham dengan perkataan "Tuanku" (Kejadian 18:1–15). Meskipun demikian, para sarjana pada umumnya sepakat bahwa penggambaran langsung sosok Trinitas bermula dari karya-karya seni rupa Yunani semenjak abad ke-11, yang menampilkan sosok Kristus dalam wujud kanak-kanak di haribaan Sang Bapa, ditambah sosok Roh Kudus dalam wujud Burung Merpati. Penggambaran semacam ini menyebar ke Dunia Barat dan menjadi ragam yang baku, hanya saja sosok Kristus kanak-kanak diganti dengan sosok Kristus dewasa. Ragam ini kemudian hari menyebar kembali ke Dunia Kristen Ortodoks, tempat penggambaran Tritunggal pasca-Romawi Timur yang mirip dengan penggambaran Tritunggal di Barat bukanlah hal yang tidak lumrah di luar Rusia.[5] Subjek ini tetap sensitif, dan Gereja Ortodoks Rusia dalam Sinode Raya Moskwa tahun 1667 akhirnya mengharamkan penggambaran Sang Bapa dalam wujud manusia. Kanon yang bersangkutan dikutip secara utuh di bawah ini, karena menjelaskan teologi Gereja Ortodoks Rusia berkenaan dengan subjek ini:

Bab 2, ayat 44: Perbuatan menggambar sosok Tuhan Semesta Alam (yakni Allah Bapa) di dalam ikon-ikon dengan janggut kelabu, dengan Sang Putra Tunggal di haribaan-Nya, dan dengan seekor burung merpati di antara mereka, adalah perbuatan yang sangat lengkara dan tidak patut, karena tidak seorang pun pernah melihat Sang Bapa di dalam keilahian-Nya, karena Sang Bapa tidak berjasad, dan karena Sang Putra tidak terlahir berjasad dari Sang Bapa sebelum segala abad. Meskipun Daud Sang Nabi berkata, "dari kandungan fajar tampil bagimu keremajaanmu" (Mazmur 110:3), kelahiran tersebut bukanlah kelahiran badani, melainkan kelahiran yang tak terperikan dan tak terpahami, karena Kristus sendiri bersabda di dalam Injil suci, "tidak seorang pun pernah melihat Sang Bapa, kecuali Sang Putra" (bdk.Yohanes 6:46), dan karena Yesaya Sang Nabi mengemukakan dalam bab ke-40 kitabnya, "jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang dapat kamu anggap serupa dengan Dia? Patungkah? Tukang besi menuangnya, dan pandai emas melapisinya dengan emas, membuat rantai-rantai perak untuknya" (Yesaya 40:18–19). Demikian pula Rasul Paulus berkata di dalam Kisah Para Rasul, "karena kita berasal dari keturunan Allah, kita tidak boleh berpikir, bahwa keadaan ilahi sama seperti emas atau perak atau batu, ciptaan kesenian dan keahlian manusia" (Kisah Para Rasul 17:29). Yohanes Addimasyqi juga berkata, "lagi pula, siapakah yang dapat membuat citra Allah yang tidak kasatmata, tidak berjasad, tidak terbatas, dan tidak tergambarkan itu? Jadi alangkah gila dan lancanglah perbuatan memberi wujud kepada Yang Ilahi" (Iman Ortodoks, 4:16). Santo Gregorius Pendialog pun mengharamkannya. Oleh karena itu hendaklah kita hanya membentuk pemahaman di dalam benak akan Tuhan Semesta Alam, yakni Yang Ilahi, dan akan kelahiran Sang Putra Tunggal dari Sang Bapa sebelum segala abad, dan janganlah sekali-kali kita menggambarkan-Nya dengan cara apa pun di dalam ikon-ikon, karena memang mustahil, karena Roh Kudus pada hakikatnya bukanlah seekor burung merpati, melainkan pada hakikatnya adalah Allah, karena "tidak seorang pun pernah melihat Allah" sebagaimana kesaksian Yohanes Teolog dan Penginjil (Yohanes 1:18), dan karena memang demikian adanya, sekalipun di Sungai Yordan, pada peristiwa Pembaptisan Suci Kristus, Roh Kudus tampak dalam rupa seekor burung merpati. Oleh karena itu hanya dalam peristiwa Pembaptisan Kristus sajalah Roh Kudus layak digambarkan dalam rupa seekor burung merpati. Di luar dari itu, orang-orang yang berakal tidak akan menggambarkan Roh Kudus dalam rupa seekor burung merpati, karena di atas Gunung Tabor, Ia tampak dalam wujud awan, tetapi lain waktu Ia tampak dalam wujud lain. Lagi pula, Tuhan Semesta Alam bukan hanya nama Sang Bapa, melainkan nama Tritunggal Mahakudus. Menurut Dionisius orang Areopagus, "Tuhan Semesta Alam" adalah terjemahan dari perkataan Yahudi yang berarti "Tuhan Bala Tentara". Tuhan Bala Tentara ini adalah Tritunggal Mahakudus, yakni Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Meskipun Daniel Sang Nabi berkata bahwa ia melihat Yang Lanjut Usianya bersemayam di atas singgasana, perkataannya itu tidak boleh dipahami merujuk kepada Sang Bapa, melainkan kepada Sang Putra, yang pada kedatangan-kali-kedua-Nya, akan menghakimi tiap-tiap bangsa di dalam sidang pengadilan yang dahsyat.[6]

Tradisi Kristen Ortodoks Oriental[sunting | sunting sumber]

Gereja Ortodoks Koptik tidak pernah menggambarkan sosok Allah Bapa di dalam seni rupa, meskipun ada gambar-gambar yang melambangkan-Nya, misalnya gambar pancaran cahaya surgawi di bagian atas beberapa ikon Pembaptisan Tuhan Yesus Kristus.

Di lain pihak, Gereja Tewahedo Ortodoks Etiopia justru memiliki banyak ikon kuno yang memuat penggambaran Tritunggal Mahakudus sebagai tiga pribadi yang berlainan.[7][8] Ikon-ikon tersebut sering kali menampilkan ketiga pribadi ilahi bersemayam bersama-sama di atas satu singgasana tunggal sebagai lambang keesaan. Gereja Tewahedo Ortodoks Eritrea juga mengamalkan kebiasaan yang sama.

Lukisan peristiwa[sunting | sunting sumber]

Hanya ada sedikit ragam baku dari penggambaran peristiwa di dalam seni rupa Kristen yang lazimnya menampilkan Tritunggal. Riwayat-riwayat Injil tentang Pembaptisan Kristus dianggap memerikan ketiga-tiga pribadi Tritunggal dengan peran sendiri-sendiri. Kadang-kadang gambar Sang Bapa dan Roh Kudus ditampilkan di sebelah atas lukisan peristiwa Penyaliban Yesus. Maria Dimahkotai di Surga, subjek yang populer di Dunia Barat, kerap menampilkan penggambaran ketiga-tiga pribadi Tritunggal. Akan tetapi ada banyak subjek, misalnya Maiestas Domini atau Penghakiman Terakhir, yang rasanya perlu menampilkan sosok ilahi dalam wujud paripurna, justru hanya menghadirkan sosok Kristus. Penggambaran pribadi-pribadi Tritunggal yang bersidang dan memutuskan agar Kristus berinkarnasi, atau subjek Allah Mengutus Sang Putra merupakan subjek yang langka. Yang lebih langka lagi adalah penggambaran malaikat diberi amanat untuk mewartakan kabar sukacita kepada Maria.[9]

Ragam penggambaran yang kurang lazim[sunting | sunting sumber]

Karya seni kaca patri yang menampilkan penggambaran Tritunggal sebagai kemanunggalan tiga pribadi. Gereja Saint Martin, Courgenard, Prancis

Khususnya pada abad ke-15, dan dalam bentuk naskah-naskah beriluminasi yang terbatas peredarannya, muncul eksperimen dengan berbagai solusi untuk menghasilkan penggambaran tiga pribadi Tritunggal. Penggambaran Tritunggal dalam wujud tiga pria identik jarang sekali dijumpai, karena tiap-tiap pribadi Tritunggal dipandang memiliki atribut-atribut berlainan. Meskipun demikian, penggambaran tertua Allah Bapa dalam wujud manusia, yang terdapat pada Sarkofagus Dogmatik dari abad ke-4, menampilkan Tritunggal dalam wujud tiga pria identik, sama-sama berjanggut, dan tampak sedang menciptakan Hawa dari tubuh Adam. Mungkin sekali pembuatannya dilatarbelakangi niat untuk menegaskan ajaran kesehakikatan yang baru saja ditetapkan sebagai dogma dalam Syahadat Nikea. Ada banyak sarkofagus semacam ini, dan ragam penggambaran Tritunggal dalam wujud tiga pria identik hanya muncul sesekali. Ragam ini baru sering muncul pada abad ke-15,[10] tetapi akhirnya dibidahkan secara resmi oleh Paus Benediktus XIV pada abad ke-18.[11] Yang jauh lebih langka lagi adalah penggambaran Tritunggal berupa sesosok manusia berwajah tiga (bahasa Latin: Vultus Trifons), merujuk kepada definisi Tritunggal sebagai tiga pribadi di dalam satu Keilahian, bukan sebagai satu pribadi dengan tiga atribut (ajaran Modalisme yang dibidahkan di kalangan Kristen Ortodoks tradisional). Penggambaran Tritunggal ala "kerberos" ini, yakni tiga wajah pada satu kepala, muncul di kalangan umat Katolik pada kurun waktu abad ke-15 sampai abad ke-17, tetapi dibidahkan selepas Konsili Trente, dan sekali lagi dibidahkan Paus Urbanus VIII pada tahun 1628,[12] sehingga banyak citra-citranya yang dimusnahkan.

Tritunggal juga digambarkan secara abstrak dengan lambang-lambang, misalnya segitiga (atau tiga buah segitiga yang diserangkaikan), trifolium, triquetra, atau kombinasi dari lambang-lambang ini. Kadang-kadang lingkaran praba ditambahkan pula pada lambang-lambang tersebut. Penggunaan lambang-lambang semacam ini tidak hanya sering dijumpai di dalam lukisan, tetapi juga pada sulaman penghias dewangga-dewangga, vestimentum dan antependium, maupun pada barang-barang kriya logam dan detail-detail arsitektur.

Galeri[sunting | sunting sumber]

Ragam lain[sunting | sunting sumber]

Empat penggambaran Maria Dimahkotai di Surga dari abad ke-15 di bawah ini menampilkan ragam-ragam utama dalam penggambaran pribadi-pribadi Tritunggal.

Ragam dua manusia dan seekor merpati[sunting | sunting sumber]

Lain-lain[sunting | sunting sumber]

Baca juga[sunting | sunting sumber]



Rujukan[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Baca di bawah, baca juga G. Schiller, Iconography of Christian Art, Jld. I, 1971, Jld. II, 1972, (terjemahan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris), Lund Humphries, London, gambar I;5–16 & dll., ISBN 0-85331-270-2 dan ISBN 0-85331-324-5
  2. ^ Cartlidge, David R., dan Elliott, J.K.. Art and the Christian Apocrypha, hlmn. 69–72 (contoh-contoh penggambaran), Routledge, 2001, ISBN 0-415-23392-5, ISBN 978-0-415-23392-7, Buku Google
  3. ^ G. Schiller, Iconography of Christian Art, Jld. II, 1972, (terjemakan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris), Lund Humphries, London, gambar I;5–16 dll., ISBN 0-85331-270-2 dan ISBN 0-85331-324-5, hlmn. 122–124 dan gambar 409–414
  4. ^ G. Schiller, Iconography of Christian Art, Jld. II, 1972, (terjemahan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris), Lund Humphries, London, gambar I;5–16 dll., ISBN 0-85331-270-2 dan ISBN 0-85331-324-5, hlmn. 219–224 dan gambar 768–804
  5. ^ Bigham, 89–98
  6. ^ Tomus Konsili Raya Moskwa (1666–1667 Masehi), Bab 2, ayat 43–45; berdasarkan terjemahan Hierodiakon Lev Puhalo, Canadian Orthodox Missionary Journal
  7. ^ Ikon-Ikon Gereja Tewahedo Ortodoks Etiopia Diarsipkan 3 November 2008 di Wayback Machine.
  8. ^ "An Ethiopian Iconostasis". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-01-21. Diakses tanggal 2012-01-02. 
  9. ^ Untuk kedua subjek, G Schiller, Iconography of Christian Art, Jld. I,1971, Jld. II, 1972, (terjemahan dari bahasa Jerman ke bahasa Inggris), Lund Humphries, London, ISBN 0-85331-270-2 dan ISBN 0-85331-324-5, hlmn. 6–12 dan gambar 10–16
  10. ^ Schiller, I, gambar 7, 10, 11
  11. ^ Panofsky, Erwin, "Once More "The Friedsam Annunciation and the Problem of the Ghent Altarpiece", The Art Bulletin, Jld. 20, No. 4 (Des., 1938), hlmn. 419-442, College Art Association, JSTOR
  12. ^ Guss, David M. (2006). "The Gran Poder and the Reconquest of La Paz" (PDF). Journal of Latin American Anthropology. 11 (2): 294–328. doi:10.1525/jlca.2006.11.2.294. ISSN 1085-7052. 
  13. ^ "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 30 Agustus 2012. Diakses tanggal 29 Desember 2012.