Tradisi malam satu suro

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Tradisi Malam Satu Suro/Sura adalah salah satu tradisi di bulan keramat berdasarkan kepercayaan masyarakat Pulau Jawa.[1] Tradisi ini menjadi sebuah hal yang bersifat turun temurun dari dahulu kala yang kemudian terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Tradisi ini memiliki berbagai macam ritual yang berbeda di setiap tempat. Tujuan dari pelaksanaan ritual atau upacara ini adalah untuk meminta keselamatan serta ilham dari Yang Maha Kuasa agar tidak melakukan hal-hal buruk selama berlangsungnya bulan keramat tersebut sebagaimana Masyarakat Jawa merasa bahwa bulan tersebut merupakan waktu yang suci untuk memperbaiki diri tentang berbagai hal yakni tentang ungkapan syukur kepada Yang Maha Kuasa, evaluasi atas segala dosa sepanjang satu tahun yang sudah terlewati.

Latar Belakang dan Sejarah[sunting | sunting sumber]

Tradisi Malam Satu Suro selalu dilaksanakan tepat pada tanggal satu Muharram atau tahun baru Islam (sebutan Arab) ada pula sebutan lainnya yakni satu Suro atau tahun baru Jawa (sebutan Jawa). Jauh sebelum zaman berkembang, pola pengkalenderan ini tidak sama dengan kalender Masehi pada umumnya. Masyarakat Jawa seringkali menyambut tradisi ini dengan suasana atau nuansa yang sakral dan hikmat yang kemudian beberapa tokoh penting seperti pemerintah pun tergabung didalamnya. Tradisi ini berangkat dari pemahaman masyarakat Jawa sebagai makhluk ciptaan Yang Maha Kuasa, yang mengemban tanggung jawab untuk menyembah Sang Pencipta.[2] Tradisi ini hanya diketahui oleh Masyarakat Jawa semata, sebab dalam bertumbuhnya tradisi ini, merekalah yang membangun arti, makna, serta simbol-simbol yang berlaku sehingga hal tersebutlah yang menjadikan Tradisi Malam Satu Suro merupakan upacara adat yang menjadi budaya turun temurun Masyarakat Jawa.

Tradisi ini bermula dari penggabungan antara Kalender Saka dengan Kalender Hijriah menjadi Kalender Jawa oleh Sultan Agung di zaman pemerintahannya yakni pada tahun 1613-1645 M.[2] Berbicara tentang pemaknaan tradisi ini, kata Suro berasal dari bahasa arab yakni ‘asyura' yang berarti kesepuluh (tanggal 10 Muharram). Dalam kepercayaan agama Islam, bulan Suro telah dipahami sebagai bulan suci yang dianggap sakral oleh mayoritas masyarakat beragama Islam khususnya di pulau Jawa. Tanggal 10 Muharram memiliki arti yang sangat penting menurut masyarakat Jawa yang menganut Agama Islam. Kata asyura dalam pengucapan lidah orang Jawa berubah menjadi “Suro” yang membuat kata tersebut masuk dalam khazanah Islam-Jawa asli yang kemudian diartikan sebagai nama bulan pertama dalam kalender Jawa.[3] Menurut aliran kepercayaan Islam-Jawa, Kata “Suro” memiliki makna penting yakni 10 hari pertama bulan suro merupakan waktu yang paling keramat. Masyarakat Islam-Jawa memandang “kekeramatan” pada bulan suro itu sendiri disebabkan oleh faktor dari budaya keraton dan bukan dari “kesangaran” bulan Suro itu sendiri.

Mitos dan Kepercayaan[sunting | sunting sumber]

Tradisi Malam Satu Suro tentunya tidak terlepas dari mitos-mitos dan kepercayaan yang beredar di masyarakat. Misalnya salah satu mitos dan kepercayaan yang beredar pada upacara Malam Satu Suro ialah mencari jalan keselamatan secara spiritual, dengan harapan jiwanya selamat dan memasuki alam transenden sesuai dengan yang diharapkan. Harapan sebagai manusia untuk hidup dalam ketenangan, ketentraman bahkan damai sejahtera ini, dipercayai bahwa Sang Pencipta dapat memberikannya di malam tersebut.[2] Itulah sebabnya masyarakat Jawa menganggap, bahwa dengan melakukan tradisi ritual ini, berkat Ilahi tercurah secara khusus mengenai keselamatan selagi hidup maupun setelah kematian. Walaupun begitu mitos dan kepercayaan yang muncul di masyarakat pun berbeda beda di setiap daerah.

Seperti perayaan Malam Satu Suro di Labuhan dilaksanakan untuk memohon perlindungan dan bantuan dari Tuhan dan para penguasa laut agar para nelayan selamat dan mendapatkan banyak ikan saat melaut. Ada pun Malam Satu Suro yang dilaksanakan di Cirebon memiliki tujuan untuk mengenang Maheso Suro yang mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada masyarakat di pesisir pantai selatan.[1]

Makna dan Simbolisme[sunting | sunting sumber]

Tradisi Malam Satu Suro adalah perayaan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur[4], pada tanggal 1 Muharram menurut penanggalan Jawa. Tradisi ini memiliki nilai spiritual dan kebudayaan yang penting serta mengandung makna dan simbolisme yang kaya.

Malam Satu Suro memiliki makna sebagai awal tahun dalam penanggalan Jawa dan dianggap sebagai malam yang sarat dengan energi magis dan spiritual oleh masyarakat Jawa. Dipercaya bahwa pada malam ini, pintu-pintu alam gaib terbuka lebar, dan roh-roh nenek moyang turun ke dunia untuk memberikan berkah dan perlindungan.

Selain itu,tradisi perayaan budaya malam satu Suro juga bermakna sebagai sarana untuk memperkuat hubungan silaturahmi, lalu ucapan rasa syukur atas nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, yang melimpahkan rahmat, karunia dan rezeki kepada semua umat juga saling menghormati satu sama lain, serta mengingat dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Bagi masyarakat yang mengikuti tradisi tersebut, shalawatan memiliki dampak yang signifikan dalam kehidupan. Shalawat mampu memberikan kedamaian dan ketenangan dalam kehidupan mereka. Dari perayaan tahlilan inilah muncul berbagai simbol-simbol tradisional malam Suro lainnya, seperti Jenang Suran (Panggul), Dupa, dan Tawasul.

1. Jenang Suran (Panggul)

Jenang Suran, dalam perayaan tahlilan malam satu Suro, melambangkan bahwa setiap individu harus memikul beban hidupnya sendiri. Tidak ada manusia yang terbebas dari tanggung jawab hidup. Artinya, seseorang yang hidup harus siap menerima segala risiko.

2. Dupa

Tradisi dupa telah ada sejak zaman nenek moyang dan merupakan salah satu tradisi yang umum dilakukan oleh umat Hindu. Dalam memperingati satu Suro, tradisi ini dimulai dengan menyalakan dupa.

Para abdi dalem menyalakan dupa dengan tujuan agar leluhur yang mereka ziarahi merasa senang. Ketika mengunjungi makam seseorang, upaya diberikan untuk membawa sesuatu yang bisa memberikan kesenangan bagi leluhur tersebut. Selain itu, karena leluhur raja terdahulu menyukai dupa, maka dalam tradisi ini dupa juga dilibatkan.[5]

3. Tawasul

Meskipun perayaan ini berfokus pada peringatan tahun baru Islam atau Muharram, sebelum memulainya, tawasul dilakukan terlebih dahulu kepada para leluhur. Tawasul bertujuan untuk menghormati jasa-jasa mereka yang berperan dalam penyebaran agama Islam.


Penting untuk diingat bahwa makna dan simbolisme dalam Tradisi Malam Satu Suro dapat bervariasi tergantung pada interpretasi dan keyakinan masyarakat yang melaksanakannya. Melalui tradisi ini, masyarakat Jawa menghormati leluhur, berdoa untuk berkah dan perlindungan, serta menghidupkan nilai-nilai spiritual dan moral

Macam-Macam Perayaan Tradisi Malam Satu Suro/Sura[sunting | sunting sumber]

Tradisi malam satu suro/sura dilaksanakan sebagai bentuk permohonan akan keselamatan atas diri mereka. Tradisi malam satu suro memiliki beberapa macam yang terbagi dari beberapa daerah di Indonesia dengan berbagai tradisi yang berbeda.[6]

Berikut ini merupakan macam-macam perayaan tradisi Malam Satu Suro di berbagai daerah di Indonesia :

  • Satu Sura di Solo (Kirab Pusaka Keraton)

Perayaan Satu Sura di Solo menggelar ritual Jamas dan Kirab Pusaka Keraton, ikut serta salam acara kirab tersebut beberapa ekor kebo bule yang dijuluki Kebo Kyai Slamet. Acara kirab ini dimulai dari keraton Solo pada jam 12 malam dan mengelilingi beberapa protokol di kota Solo diiringi punggawa istana dan para pasukan istana.

  • Satu Sura di Cirebon (Babad Cirebon dan pencucian benda pusaka)

Malam satu sura di Cirebon diperingati oleh Keraton Kanoman dengan menggelar pembacaan Babad Cirebon (Sejarah Cirebon). Peringatan malam satu sura dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon.

  • Satu Sura di Bantul (Ritual Samas)

Ritual Samas ini bertujuan untuk mengenang Maheso Suro yang dipercaya telah mendatangkan kemakmuran warga di pesisir pantai selatan.

  • Malam satu sura di Magetan (Ledug Suro)

Ledug Suro diperingati dengan upacara Andum Berkah Bolu Rahayu, yang diyakini oleh masyarakat Kabupaten Magetan bahwa memakan bolu rahayu yang sudah diberikan doa-doa tersebut bisa digunakan sebagai obat, pelaris, dan lainnya.

  • Upacara Labuhan

Upacara dengan melakukan persembahan-persembahan kepada penguasa lautan supaya para nelayan selamat mencari ikan dan memperoleh ikan yang banyak dengan tujuan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa.[6]


Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b MULYANI, M. (2023). TRADISI MALAM SATU SURO DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL KEAGAMAAN MASYARAKAT (Studi di Desa Kubuliku Jaya Kecamatan Batu Ketulis Kabupaten Lampung Barat) (Doctoral dissertation, UIN RADEN INTAN LAMPUNG).
  2. ^ a b c Triastanti, D., & Objantoro, E. (2021). Memanfaatkan Tradisi Malam Satu Suro Untuk Mengomunikasikan Injil. Jurnal Teologi Praktika, 2(1), 56-66.
  3. ^ Aryanti, R., & Zafi, A. A. (2020). Tradisi Satu Suro Di Tanah Jawa Dalam Perspektif Hukum Islam. AL IMAN: Jurnal Keislaman Dan Kemasyarakatan, 4(2), 342-361.
  4. ^ Siburian, A. L. M., & Malau, W. (2018). Tradisi Ritual Bulan Suro pada Masyarakat Jawa di Desa Sambirejo Timur Percut Sei Tuan. Gondang: Jurnal Seni Dan Budaya, 2(1), 28-35.
  5. ^ al Zahrah, F. (2020). Pemaknaan Simbol-Simbol Dalam Tahlilan Pada Tradisi Satu Suro Di Makam Raja-Raja Mataram Kotagede-Yogyakarta. Al-Tadabbur, 6(2), 265-277.
  6. ^ a b Mulyani (2023). "Tradisi Malam Satu Suro Dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Keagamaan Masyarakat". Skripsi. Bandar Lampung : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung.