Tiga Sandera Terakhir

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tiga Sandera Terakhir
PenyuntingHermawan Aksan & Miranda Harlan
PengarangBrahmanto Anindito
Perancang sampulOesman
NegaraIndonesia Indonesia
BahasaIndonesia
GenreNovel thriller militer
PenerbitNoura Publishing
Tanggal terbit
Juni 2015
Halamanxiv + 309 halaman
ISBNISBN 978-602-09-8947-1

Tiga Sandera Terakhir adalah sebuah novel thriller-militer karya Brahmanto Anindito yang diterbitkan pertama pada 2015 oleh Noura Publishing (salah satu penerbit dari Mizan Group), Jakarta. Novel bersubjudul Terinspirasi dari Konflik Berdarah di Timur Indonesia ini menceritakan sebuah drama penyanderaan di pedalaman Papua. Tentara Nasional Indonesia (TNI) merespon penyanderaan tersebut dengan mengirim Satuan Antiteror dari Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus). Namun, korban malah berjatuhan.

Tiga Sandera Terakhir boleh jadi merupakan novel pertama di Indonesia yang menjadikan dunia militer atau Kopassus sebagai latarnya.[1] Dalam teknik penceritaannya, novel ini menggunakan sudut pandang orang ketiga, yaitu sudut pandang sandera/penyandera dan tim pembebas sandera (baik militer maupun sipil). Terdiri dari 52 bab pendek, cerita Tiga Sandera Terakhir ditulis dengan kalimat-kalimat yang sederhana dan bernas.

Setengah bagian pertama Tiga Sandera Terakhir terinspirasi dari kejadian nyata, yakni krisis sandera Mapenduma, tragedi kemanusiaan yang melibatkan para peneliti Lorentz '95 sebagai korban. Namun di bab "Di Balik Halaman: Sebuah Pengantar" novelnya, pengarang menyebut bahwa karyanya ini secara keseluruhan lebih tepat disebut fiksi.

Sinopsis[sunting | sunting sumber]

Sebuah penyanderaan brutal terjadi di Papua. Korbannya lima turis berkewarganegaraan Indonesia, Australia dan Prancis. Semua telunjuk langsung menuding Organisasi Papua Merdeka (OPM). Namun, OPM sendiri ternyata menyangkalnya. Kata mereka, pihaknya sudah lama tidak menggunakan cara-cara seperti itu demi perjuangan kemerdekaan Papua Barat.

Apapun itu, TNI enggan berteka-teki terlalu lama. Satuan Antiteror Kopassus, Gultor, di bawah komando Kolonel Inf. Larung Nusa segera diturunkan ke bumi cenderawasih. Tetapi, malang tak bisa ditolak. Korban-korban malah bertumbangan, baik di pihak sandera maupun anggota Kopassus. Kolonel Nusa pun mulai menyadari bahwa lawannya bukan sekadar milisi OPM. Melainkan pasukan khusus, seperti dirinya.[2]

Masalah kemudian berkembang pelik. Lantaran operasi militer memakan banyak korban, Kolonel Nusa akhirnya diskors selama 10 hari oleh atasannya, Mayjen Abassia. Namun, sanksi ini sejatinya hanyalah pengalihan tugas bagi Nusa untuk memimpin satu unit "pasukan hantu". Untuk misi baru ini, dia ditemani Nona Gwijangge, Tafiaro Wenda, Witir Femmilio, dan Kresna Sonar.[3] Dengan keahlian masing-masing, mereka bahu-membahu dalam misi melacak dan mengeliminasi dalang yang sesungguhnya dari drama penyanderaan ini.

Tokoh-tokoh Kunci[sunting | sunting sumber]

Berikut ini beberapa tokoh kunci dalam novel fiksi Tiga Sandera Terakhir (diurutkan berdasarkan alfabet):[4]

  • Kresna Sonar. Laki-laki asal Bandung, usia 39 tahun. Seorang pemburu, sekaligus pengguna, kolektor, dan pengrajin senjata-senjata tajam. Sebagai anggota Wanadri yang juga lulusan Teknik Geologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Nusa sering memintanya untuk memberikan pembekalan navigasi dan survival bagi anggota batalyonnya. Kresna adalah orang sipil. Namun, hela-hembus napasnya sudah seirama dengan para serdadu.
  • Larung Nusa. Laki-laki asal Jakarta, usia 38 tahun. Komandan Satuan-81 Penanggulangan Teror, Komando Pasukan Khusus (Dansat Gultor Kopassus). Tubuhnya tegap berwibawa. Namun pipinya yang sedikit cembung dan wajahnya yang baby face membuat penampilannya terlihat kurang gahar untuk ukuran tentara lapangan. Statusnya sebagai menantu Menteri Pertahanan pun menyebabkan dirinya dituduh di sana-sini sebagai perwira karbitan. Di titik itulah, Nusa ingin membuktikan kapasitas dirinya sebagai prajurit tempur yang sejati.
  • Nona Gwijangge. Perempuan asal Wamena, usia 35 tahun. Penghubung tak resmi antara atasan Nusa, Mayjen Abassia, dan pasukan hantu. Sejak remaja sampai berumur 33 tahun, dia bergabung dengan anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Hutan belantara dan masyarakat yang keras di sekitarnya telah menempanya menjadi seorang femme fatale. Selain keras, Nona juga cerdik dan cerdas. Dia bahkan berhasil menuntaskan program reguler S-1 Manajemen di Universitas Cenderawasih (Uncen), tanpa terendus sebagai anggota OPM.
  • Tafiaro Wenda. Laki-laki asal Jayapura, usia 26 tahun. Eks anggota Detasemen Bravo 90. Sat Bravo adalah pasukan elite dari Korpaskhas (Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara). Tafiaro diberhentikan dengan tidak hormat dari pangkat Pelda (Pembantu Letnan Dua) setelah kedapatan menyimpan heroin di lokernya. Karena alasan itu, dia memendam kekecewaan yang mendalam terhadap Ibu Pertiwi. Sekarang, mantan penyandang baret jingga itu mengais rezeki dengan menjadi satpam di toko emas sekitar Pasar Youtefa, Jayapura.
  • Thomas Enkaeri. Laki-laki asal Papua Nugini, usia 41 tahun. Tingginya 160 cm, tubuhnya gempal. Kulitnya legam seperti lazimnya orang Papua, tapi wajahnya licin, tanpa kumis, tanpa janggut. Rasnya Melanesia, tapi matanya sedikit sipit. Ini karena kakeknya seorang kempetai Jepang dan neneknya asli penduduk Pulau Biak. Enkaeri adalah seorang ahli tempur dan strategi, sekaligus jawara pertarungan tangan kosong. Hanya, selera seninya cenderung nyeleneh dan mengerikan.
  • Witir Femmilio. Laki-laki asal Surabaya, usia 27 tahun. Eks personel Detasemen Jala Mangkara (Denjaka). Detasemen ini merupakan gabungan dari personel Komando Pasukan Katak (Kopaska) dan Batalyon Intai Amfibi (Taifib) dari Korps Marinir TNI Angkatan Laut. Tindakan indisipliner membuat Witir harus memilih: pangkatnya dilorot dan dicopot dari keanggotaan Denjaka, atau mengundurkan diri. Akhirnya, Witir terpaksa memilih mengundurkan diri dan sekarang bekerja sebagai instruktur fitnes di Jayapura. Di sana, dia memanjangkan rambut untuk melupakan masa lalunya di korps militer.

Komentar Pembaca[sunting | sunting sumber]

Berikut ini komentar dari sebagian pembaca novel Tiga Sandera Terakhir yang dikutip dari bukunya dan situs web resminya:[5]

  • Arafat Nur: "Kisah novel ini mengembalikan saya pada deretan panjang peristiwa mencekam semasa konflik Aceh. Gambarannya lebih hidup dibandingkan jabaran suasana pada bentuk-bentuk tulisan lain. Tidak sekadar mengungkapkan tragedi penyanderaan yang menegangkan, melainkan juga paparan fakta sejarah, kearifan sosial, dan wawasan lain tentang tanah Papua Barat."
  • Salman Aristo: "Ini novel yang berani. Bukan karena isunya berbicara soal belahan timur Indonesia dan gejolaknya. Tapi novel ini membuat saya berani berhadap-hadapan dengan problem tersebut. Tidak lagi memalingkan muka, lalu memasukkannya ke bawah karpet kelas menengah saya yang nyaman. Semoga ini awal dari keberanian kita semua, untuk mau mengakui satu hal sederhana: kita tidak baik-baik saja, tapi bersedia menyelesaikannya bersama-sama."
  • Ruwi Meita: "Menghanyutkan. Membuat penasaran. Misteri yang berlapis berujung pada kegilaan yang berkedok ambisi. Selalu ada sihir dalam tulisan Brahmanto."
  • Okky Madasari: "Melalui novel ini, kita akan melihat apa yang terjadi di Papua dari sudut pandang yang berbeda. Kita akan merenungkan ulang makna negara, nasionalisme, dan kekuasaan. Adakah yang lebih penting dari manusia dan kemanusiaan?"
  • Tsugaeda: "Gaya berceritanya efisien. Humor-humornya pintar dan jitu, bisa menyatu dengan suasana thriller. Adegan-adegan aksinya, mulai dari baku tembak sampai baku hantam, juga variatif dan tidak membosankan."
  • Adhicipta R. Wirawan: "Novel yang sesak oleh aksi seru di rimba Papua. Kopassus. OPM. Pasukan hantu. Separatis. Tak ada yang dominan. Tak ada penindasan. Yang ada hanya lawan yang sepadan."

Penyanderaan Sebenarnya[sunting | sunting sumber]

Konflik Papua

Provinsi Papua, Indonesia
Tanggal1969 - Masih berlangsung
LokasiProvinsi Papua, Indonesia
Status masih berlangsung
Pihak terlibat

Indonesia Tentara Nasional Indonesia
Papua Nugini Papua Nugini Didukung:

Amerika Serikat Amerika Serikat

Organisasi Papua Merdeka Didukung:
Libya Libya (berakhir 2011)

Gerakan Aceh Merdeka (berakhir 2005)
Korban
diduga 150.000-400.000[6][7]

Novel Tiga Sandera Terakhir berangkat dari peristiwa penyanderaan nyata yang terjadi mulai 8 Januari 1996 di Desa Mapenduma, Jayawijaya, Kecamatan Tiom, Irian Jaya (nama provinsi sebelum Papua). Pada 8 Januari 1996, Mission Aviation Fellowship cabang Wamena mengirimkan laporan kepada Komando Distrik Militer Jayawijaya. Laporan tersebut mengatakan bahwa 26 peneliti dari Tim Ekspedisi Lorentz 95 disandera oleh sayap militer OPM di bawah pimpinan Kelly Kwalik.

Tim Lorentz telah berada di sana sejak 18 November 1995. Ekspedisi mereka bermaksud meneliti keanekaragaman hayati di Cagar Alam Lorentz melewati Mapenduma, sekitar 160 km di barat daya Wamena.

Mendapat laporan penyanderaan, pihak berwenang, dalam hal ini Kodam Jayapura dan Brimob Jayapura segera menjalankan Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma. Pasukan Kopassus yang dipimpin Brigjen. TNI Prabowo Subianto kemudian juga diterjunkan, dan akhirnya mengambil alih jalannya misi pembebasan sandera tersebut. Menurut Koran Tempo, tokoh Larung Nusa dalam novel Tiga Sandera Terakhir mengingatkan pembaca akan sosok Prabowo Subianto ini.[8]

Sementara itu, pada 15 April 1996, di tengah Operasi Pembebasan, terjadi insiden terpisah, yakni penembakan oleh anggota Kopassus bernama Letnan Dua Sanurip yang diduga menderita penyakit malaria. Dalam insiden ini, Letkol. Adel Gustimego (Komandan Detasemen 81 Kopassus) tertembak mati. Korban lainnya yang berasal dari jajaran Kopassus adalah Mayor Gunawan, Kapten Djatmiko, Serma Jaswanto, dan Praka Rudi. Sedangkan korban dari Batalyon 752 adalah Serma Joko, Praka Mochtar, Praka Kasiyanto, dan Praka Triyono. Satu lagi korban ABRI berasal dari Koramil di Timika, yaitu Sertu Manase.

Awalnya, misi pembebasan sandera mengutamakan jalur damai, dengan negosiator dari pihak Keuskupan Jayapura, dan dilanjutkan oleh Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC). Akan tetapi, karena jalan damai ini tidak membuahkan hasil,[9] operasi militer besar-besaran pun ditempuh. Sandera akhirnya benar-benar berhasil dibebaskan pada 9 Mei 1996 setelah aparat menyerbu kantong-kantong OPM penyandera di Desa Geselama, Mimika.

Sayangnya, dua dari 11 sandera berkebangsaan Indonesia ditemukan meninggal. Mereka adalah Matheis Yosias Lasembu (seorang ornitologis) dan Navy W. Th. Panekenen (ahli biologi dari Universitas Nasional Jakarta Fakultas Biologi). Matheis kemudian dimakamkan di Bandung dan Navy dikebumikan di Jakarta.

Trivia[sunting | sunting sumber]

  • Selain peristiwa Mapnduma, beberapa media juga mengaitkan novel Tiga Sandera Terakhir dengan insiden-insiden yang terjadi belakangan, antara lain serangan di Kabupaten Tolikara[10] (Papua) dan penculikan di Hutan Skopro (Papua Nugini).[11]
  • Tiga Sandera Terakhir termasuk dalam lima novel thriller lokal yang direkomendasikan oleh Harian Koran Sindo.[12]
  • Petikan Novel Tiga Sandera Terakhir bisa dibaca di Wikiquote Tiga Sandera Terakhir.

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Sudrajat (2015-07-20). "Tokoh Sipil di Balik Operasi Mapenduma". Majalah Detik. Diakses tanggal 2015-07-30. 
  2. ^ "Tiga Sandera Terakhir". Situs web Noura Books. 2015-05-29. Diakses tanggal 2015-08-17. [pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Ridho, Muhammad Rasyid (2015-09-27). "Jejak Konflik Papua dalam Novel". Harian Malang Post. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-13. Diakses tanggal 2015-09-29. 
  4. ^ Anindito, Brahmanto (2015-09-6). "Latar Belakang Tokoh-tokoh Kunci Tiga Sandera Terakhir". Blog pengarang. Diakses tanggal 2015-09-8. 
  5. ^ "Novel: Tiga Sandera Terakhir". Laman utama situs web Tiga Sandera Terakhir. 2015-07-01. Diakses tanggal 2015-09-23. 
  6. ^ George, William Lloyd (2011-07-17). "No Man's Island". Majalah Newsweek. Diakses tanggal 2011-07-17. 
  7. ^ Célérier, Philippe Pataud (2010-06-14). "Autonomy isn't independence; Indonesian democracy stops in Papua". Le Monde diplomatique. Diakses tanggal 2011-07-17. 
  8. ^ Danny (2015-09-27). "Tiga Sandera Terakhir". Koran Tempo. Diakses tanggal 2016-02-12. 
  9. ^ "ICRC role during the Irian Jaya hostage crisis (January-May 1996)". Situs web resmi ICRC. 1999-08-27. Diakses tanggal 2015-10-02. 
  10. ^ Supriyadi (2015-08-09). "Menjaga Perdamaian di Bumi Papua". Harian Nasional. Diakses tanggal 2016-02-12. 
  11. ^ Ridho, Muhammad Rasyid (2015-11-15). "Persatuan adalah Harga Mati". Harian Singgalang. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-01-29. Diakses tanggal 2016-02-12. 
  12. ^ Arief, Alqori (2016-01-30). "Rekomendasi". Koran Sindo. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-02-16. Diakses tanggal 2016-02-12.