Teratologi

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teratologi (bahasa Inggris: Teratology) adalah ilmu yang mempelajari tentang kelainan perkembangan fisiologis, yang sering juga disebut sebagai studi tentang kelainan kongenital pada manusia. Namun pengertian teratologi memiliki arti lebih luas, di mana studi ini mempelajari tahap perkembangan manusia secara non lahiriah termasuk diantaranya pubertas, juga mempelajari tentang makhluk hidup lainnya termasuk tumbuhan. Perkembangan toksisitas berbicara tentang perkembangan yang abnormal akibat perubahan lingkungan, termasuk retardasi pertumbuhan, perkembangan mental yang tertunda atau kelainan bawaan.[1] Teratogen ialah zat yang menyebabkan terjadinya cacat lahir akibat dari adanya racun pada embrio atau janin.[2] Teratogen yang dimaksud ialah thalidomide,[3] air raksa,[4] alkohol,[5] lead,[6] dan bifenil poliklorinasi (polychlorinated biphenyls, disingkat "PCBs").[7]

Etimologi[sunting | sunting sumber]

Istilah ini mulai dikenal pada tahun 1842 yang berasal dari bahasa Prancis yaitu tératologie, yang kemudian diadaptasi ke Yunani tahun 1930 menjadi τέρας teras (dari akar kata τέρατ- terat-), artinya "tanda yang dikirim oleh para dewa, pertanda, keajaiban, monster", dan -ologie -ology, digunakan untuk merujuk pada suatu wacana, sains, perkjanjian, teori, atau studi tentang beberapa topik.[8] Pengertian teratologi pada awalnya lebih dimengerti sebagai pandagan terhadap suatu hal yang ajaib atau yang luar biasa sehingga hal tersebut menjadi terlihat tidak normal. Kemudian di abad ke-19, teratologi diartikan kepada sesuatu yang memiliki hubungan erat dengan deformitas biologis, khususnya bidang botani.

Dan kini, istilah teratologi dikaitkan dengan medis teratogenesitas, termasuk tentang kelainan kongenital atau malformasi kongenital dan makhluk hidup yang memiliki masalah kelainan atau malformasi. Banyak orang memakai istilah teratologi untuk menggambarkan atau merujuk pada suatu kasus kelanian fisik atau malformasi fisik. David W. Smith, yang mempopulerkan istilah teratologi ini pada tahun 1960-an. David adalah seorang peneliti yang terkenal pada tahun 1973 atas temuannya terhadap sindrom alkohol janin di Sekolah kedokteran University of Washington,[9]. Setelah diketahui beberapa faktor penyebab terjadinya cacat lahir, teratologi menjadi campur aduk dengan biologi perkembangan, genetika dan embriologi. Hingga tahun 1940-an, para ahli teratologi menganggap bahwa faktor penyebab terjadinya cacat lahir ialah faktor keturunan.[10]

Mamalia[sunting | sunting sumber]

Teratogenesis[sunting | sunting sumber]

Dalam ilmu kodekteran, ada perkembangan penemuan tentang kerentanan masalah keadaan (in utero) pada janin mamalia, sehingga para ahli mengembangkan dan menyempurnakan Enam Prinsip Teratologi yang sudah dipakai hingga saat ini. Enam prinsip ini pertama kali dikemukakan pada tahun 1959 oleh Jim Wilson dalam monografnya berjudul Environment and Birth Defects.[11] Prinsip-prinsip ini merupakan panduan studi dalam memahami bidang teratogenetik dan pengaruhnya terhadap organisme yang berkembang:

  1. Kerentanan terhadap teratogenesis tergantung pada genotipe koseptus yang memengaruhi perkembangan konseptus.
  2. Kerentanan terhadap teratogenesis berbeda-beda sesuai stadium perkembangan saat paparan terjadi. Masa yang paling memengaruhi terjadinya cacat lahir ialah pada tahap embriogenesis, meski demikan, cacat bisa terjadi sebelum dan sesudah embriogenesis.
  3. Perkembangan abnornal terjadi tergantung pada lamanya paparan terhadap suatu teratogenik.
  4. Teratogentik bekerja dengan mekanisme atau cara pada suatu sel atau jaringan yang sedang berkembang untuk memulai proses ebriogenesis yang abnormal.
  5. Manifestasi perkembangan abnormal berupa kematian, malformasi (kelainan), retardasi pertumbuhan (keterlambatan pertumbuhan) dan gangguan fungsional.
  6. Manifestasi perkembangan abnormal dapat meningkat seiring terjadinya peningkatan dosis dari "Tidak Ada Tingkat Efek Merugikan yang Teramati" (No Observable Adverse Effect Level (NOAEL) menjadi dosis yang mengakibatkan 100% kematian (Lethality (LD100)).

Untuk menguji potensi teratogenetik ini, para ahli melakukan studi dengan menggunakan contoh pada hewan seperti tikus, anjing, kelinci, dan monyet. Melibatkan hewan sebagai contoh atau model percobaan, dengan mengamati perkembangan janin untuk memeriksa adanya paparan kelainan visceral.[12] Beberapa studi rekayasa genetik pada tikus biasanya dilakukan untuk tujuan ini. Penelitian dalam prospektif besar untuk memantau pajanan yang diterima betina selama dalam masa kehamilan dan mencatat jumlah keberhasilan kelahirannya. Dengan studi ini, informasi terhadap risiko pengobatan atau pajanan, dapat dikorelasikan pada kehamilan manusia. Paparan alkohol prenatal (PAE) dapat menyebabkan terjadinya malformasi atau kelainan kraniofasial, fenotipe (karakteristik) yang terlihat pada Sindrom alkohol janin.[13] Penelitian menunjukkan bahwa kelainan atau malformasi kraniofasial terjadi melalui apoptosis sel krista saraf ,[14] gangguan migrasi sel krista saraf,[15][16] serta gangguan sinyal landak sonik.[17]

Alkohol[sunting | sunting sumber]

Alkohol diketahui bertindak sebagai teratogenik (monster).[18] Di Amerika Serikat, Paparan alkohol prenatal (Prenatal alcohol expsure (PAE)) ini menjadi penyebab utama terjadinya cacat lahir dan kelainan perkembangan saraf pada anak. Kasus paparan alkohol di Amerika Serikat, memengaruhi sekitar 9,1 hingga 50 kasus per 1,000 kelahiran hidup anak, dan sekitar 68,0 hingga 89,2 per 1,000 kelahiran hidup bagi penduduk dengan tingkat atau level tinggi dalam penyalahgunaan alkohol.[19]

Manusia[sunting | sunting sumber]

Tahun 2010, terdapat 510.000 kasus kematian di dunia akibat terjadinya kelainan bawaan pada manusia.[20] Dan sekitar 3% bayi yang baru lahir memiliki kelainan fisik atau kelainan fungsional (anggota tubuh) yang disebut juga sebagai "kelainan fisik mayor".[21]

Vaksinasi ketika hamil[sunting | sunting sumber]

Pemberian vaksin pada manusia sangat penting, dan umumnya dilakukan ketika manusia berada diusia dini atau masih anak-anak. Vaksinasi berguna untuk mencegah terjadinya berbagai penyakit, seperti polio, rubela, cacar, dan sebagainya. Dalam pemberian vaksin, di Finlandia menemukan hasil bahwa vaksinasi tidak memiliki hubungan dengan kelainan kongenital. Berdasarkan vaksin polio oral yang diberikan, baik kepada ibu hamil maupun tidak hamil, hasilnya pada bayi tetap sama, tidak memengaruhi kelainan kongenital.[22] Namun, vaksinasi polio tetap tidak dianjurkan untuk diberikan pada wanita hamil kecuali jika ada risiko infeksi.[23] Ketika terjadi infeksi flu (influenza) pada tahun 1918 dan 1957, tingkat kematian ibu hamil mencapai angka 45% kematian, namun, pemberian vaksinasi influenza kepada ibu hamil, kasus kematian lebih sedikit, yaitu 12% kasus. Para ahli menemukan bukti bahwa pemberian vaksin terhadap wanita hamil tidak memiliki dampak buruk yang signifikan, baik kepada si ibu maupun juga kepada bayi tersebut.[24]

Penyebab[sunting | sunting sumber]

Penyebab utama munculnya teratogenik telah diklasifikasikan disebabkan oleh:

  • Zat beracun. Zat veracun pada manusia berasal dari obat-obatan ketika dalam masa kehamilan dan berbagai racun yang bersumber dari lingkungan pada saat kehamilan.
    • Kalium iodida atau suplemen makanan dapat menyebabkan munculnya teratogenik, dan paparan ini akan menyebabkan terjadinya iritasi ringan dan harus segera ditangani dengan menggunaka sarung tangan.
  • Infeksi vertikal. Infeksi vertikal ialah infeksi yang disebabkan oleh patogen, seperti bakteri dan virus, yang penularannya melalui ibu ke anak, ketika dalam masa kehamilan atau persalinan. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan risiko infeksi perinatal.
  • Kekurangan nutrisi. Kekurangan nutrisi bisa merupakan kekurangan asam folat, dan kekurangan asam folat dapat menyebabkan terjadinya spina bifida pada manusia atau cacat lahir akibat gangguan pada tabung saraf.[25]
  • Pengekangan fisik. Terjadi sindrom potter akibat adanya Oligohidramnion pada manusia.[26]
  • Kelainan genetik
  • Alkohol. Mengonsumsi alkohol selama masa kehamilan.

Hewan lainnya[sunting | sunting sumber]

Catatan fosil[sunting | sunting sumber]

Para ahli paleopatologi, khususnya spesialis penyakit dan cedera kuno, menemukan bukti adanya kelainan bawaan berdasarkan catatan fosil di masa lampau. Penemuan ini memberikan gambaran bagi para ilmuwan bahwa faktor kelainan atau cacat bawaan menjadi bagian dalam proses evolusi kehidupan manusia. Bukti kelainan bentuk bawaan yang ditemukan dalam catatan fosil dipelajari oleh ahli paleopatologi, spesialis penyakit dan cedera kuno. Fosil yang menunjukkan kelainan bentuk bawaan sangat penting secara ilmiah karena dapat membantu ilmuwan menyimpulkan sejarah evolusi proses perkembangan kehidupan. Contohnya ialah spesimen Tyrannosaurus rex telah ditemukan pada blok vertebra, maka dapat disimpulkan bahwa vertebra sudah berkembang pada masa hidup nenek moyang dinosaurus. Contoh bentuk kelainan lainnya pada fosil ialah spesimen tukik pada dinosaurus mirip burung, Troodon, di mana ujung rahangnya seperti terpelintir.[27] Contoh fosil lainnya yang memiliki cacat bentuk ialah adalah spesimen choristodere Hyphalosaurus, yang memiliki dua kepala- contoh polycephaly tertua yang diketahui.[28]

Perkembangan anggota tubuh embrio ayam[sunting | sunting sumber]

Thalidomide adalah salah satu teratogenik yang dapat merusak perkembangan mata dan jantung.[29] Selama terjadinya embriogenesis, teratogenik Thalidomide menyebabkan kelainan pada morfogenesis organ tubuh secara keseluruhan, dan ayam adalah salah satu hewan yang mengalami hal tersebut. Di dalam tubuh ayam, thalidomide ini akan menginduksi kelainan embrio ayam melalui stres oksidatif, sehingga gen ayam tidak teratur.[29] Dalam sebuah penelitian tahun 2007 silam, menemukan bahwa peningkatan stres oksidatif, dapat meningkatkan kematian sel ayam. Namun, tingkat kematian sel dapat berkurang secara signifikan sejak adanya inhibitor (penghambat) terhadap Bmp, Dkk1 (antagonis Wnt), dan Gsk3B (antagonis B-catenin) diberikan ke sel dan embrio ayam.[29]

Perkembangan anggota tubuh embrio tikus[sunting | sunting sumber]

Asam retinoat Retinoic acid (RA) sangat dibuthakn untuk perkembangan embrio. Asam retinoat akan menginduksi perkembangan fungsi anggota tubuh embrio, contohnya pada tikus dan beberapa anggota vertebrata lainnya[30] Ketika terjadinya proses regenerasi ekstremitas baru, maka peningkatan jumlah asam retinoat akan menggerakkan ekstremitas lebih proksimal ke neuroblastoma dan memperluas proksimalisasi ekstremitas dengan jumlah asam retinoat yang ada selama terjadinya proses regenerasi.[30]

Sebuah studi menemukan bahwa aktivitas asam retionat secara intraseluler pada tikus memiliki keterkaitan dengan enzim CYP26 yang mengatur perkembangan organ manusia.[30] Melalui penelitian ini juga diketahui bahwa asam retinoat secara signifikan memengaruhi perkembangan anggota tubuh embrio, tetapi jika berlebihan, dampak menimbulkan teratogenik sehingga terjadi malformasi atau kelainan perkembangan tubuh. Bagian khusus yang diamati ialah CYP26B1, terlihat jelas pada perkembangan embrio tikus.[30]

Plantae[sunting | sunting sumber]

Dalam bidang botani, teratologi akan menyelidiki implikasi teoritis dari spesimen yang tidak normal. Contohnya, penemuan bunga yang tidak normal bunga yang memiliki putik staminoid. Cara ini sebagai pelengkap bukti penting untuk "teori daun", bahwa semua bagian bunga tersebut adalah daun yang sudah terspesialisasi.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Rogers, J.M., Kavlock, R.J. (1996). "Developmental toxicology". In C.D. Klaassen (ed.): Casarett & Doull's Toxicology, (5th ed.). pp. 301-331. New York: McGraw-Hill. ISBN 0-07-105476-6.
  2. ^ Thall Bastow B D, Holmes J L (23 February 2016). "Teratology and drug use during pregnancy". Medscape. WebMD. Diakses tanggal 30 November 2020. 
  3. ^ Therapontos, Christina (May 26, 2009). "Thalidomide induces limb defects by preventing angiogenic outgrowth during early limb formation". Proceedings of the National Academy of Sciences. 106 (21): 8573–8. Bibcode:2009PNAS..106.8573T. doi:10.1073/pnas.0901505106. PMC 2688998alt=Dapat diakses gratis. PMID 19433787. 
  4. ^ Holt, D (April 1986). "The toxicity and teratogenicity of mercuric mercury in the pregnant rat". Archives of Toxicology. 4 (58): 243–8. doi:10.1007/BF00297114. PMID 3718227. 
  5. ^ Welch-Carre, Elizabeth (2005). "The Neurodevelopmental Consequences of Prenatal Alcohol Exposure". Advances in Neonatal Care. Medscape. 5 (4): 217–29. doi:10.1016/j.adnc.2005.04.007. PMID 16084479. 
  6. ^ Bellinger, DC (June 2005). "Teratogen update: lead and pregnancy". Birth Defects Research Part A: Clinical and Molecular Teratology. 6 (73): 409–20. doi:10.1002/bdra.20127. PMID 15880700. 
  7. ^ Jacobson, J (May 1997). "Teratogen update: polychlorinated biphenyls". Teratology. 5 (55): 338–47. doi:10.1002/(SICI)1096-9926(199705)55:5<338::AID-TERA6>3.0.CO;2-V. PMID 9261928. 
  8. ^ teratology innthe Merriam-Webster Dictionary
  9. ^ Jones K.L.; Smith D.W; Ulleland C.N.; Streissguth A.P. (1973). "Pattern of malformation in offspring of chronic alcoholic mothers". Lancet. 1 (7815): 1267–1271. doi:10.1016/S0140-6736(73)91291-9. PMID 4126070. 
  10. ^ "Birth Defects". Howmed.net. 24 July 2011. Diakses tanggal 30 November 2020. 
  11. ^ James G. Wilson (1973). Environment and Birth Defects (Environmental Science Series). London: Academic Pr. ISBN 0-12-757750-5. 
  12. ^ Cerrizuela, Santiago; Vega‐Lopez, Guillermo A.; Aybar, Manuel J. (2020). "The role of teratogens in neural crest development". Birth Defects Research (dalam bahasa Inggris). n/a (n/a): 584–632. doi:10.1002/bdr2.1644. ISSN 2472-1727. PMID 31926062. 
  13. ^ "Fetal alcohol spectrum disorder". 
  14. ^ Sulik, K. K (1988). "Teratogens and craniofacial malformations: relationships to cell death". Development. 103: 213–31. PMID 3074910. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-09-25. Diakses tanggal 2020-11-30. 
  15. ^ Yu, Shi (September 16, 2014). "5-mehtyltetrahydrofolate rescues alcohol-induced neural crest cell migration abnormalities". Molecular Brain (67). 
  16. ^ Cartwright, M. (December 1995). "Stage-dependent effects of ethanol on cranial neural crest cell development: partial basis for the phenotypic variations observed in fetal alcohol syndrome". Alcoholism: Clinical and Experimental Research. 6 (19): 1454–62. doi:10.1111/j.1530-0277.1995.tb01007.x. PMID 8749810. 
  17. ^ Boschen, Karen E. (30 November 2020). "Prenatal alcohol exposure disrupts Shh pathway and primary cilia genes in the mouse neural tube". 
  18. ^ "Alcohol and Pregnancy". American Pregnancy Association. 
  19. ^ Gordis, M.D., Enoch. "Fetal Alcohol Exposure and the Brain". National Institute on Alcohol Abuse and Alcoholism. 
  20. ^ Lozano, R (December 2012). "Global and regional mortality from 235 causes of death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2010". Lancet. 380 (9859): 2095–128. doi:10.1016/S0140-6736(12)61728-0. hdl:10536/DRO/DU:30050819. PMID 23245604. 
  21. ^ Kumar, Abbas and Fausto (eds.), Robbins and Cotran's Pathologic Basis of Disease, 7th edition, p. 470.
  22. ^ Harjulehto-Mervaala, T (1993). "Oral Polio Vaccination during Pregnancy: No Increase in the Occurrence of Congenital Malformations". American Journal of Epidemiology. 138 (6): 407–414. doi:10.1093/oxfordjournals.aje.a116873. PMID 8213746. 
  23. ^ "Guidelines for Vaccinating Pregnant Women". cdc.gov. Centers for Disease Control and Prevention: Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP). Walaupun tidak ada efek samping berdasarkan hasil dokumentasi antara wanita hamil atau tidak, vaksinasi terhadap wanita hamil sangat tidak disarankan atas dasar teori. Namun, apabila seorang wanita hamil mengalami peningkatan risiko infeksi yang membutuhkan perlindungan segera terhadap polio, maka IPV dapat diberikan sesuai aturan yang direkomendasikan untuk orang dewasa. 
  24. ^ Munoz, F (2005). "Safety of influenza vaccination during pregnancy". American Journal of Obstetrics and Gynecology. 192 (4): 1098–1106. doi:10.1016/j.ajog.2004.12.019. PMID 15846187. 
  25. ^ "Folic Acid vs Folate—What's the Difference?". www.healthline.com. Diakses tanggal 30 November 2020. 
  26. ^ "Sindrom Potter, Kelainan Pada Bayi Akibat Air Ketuban Terlalu Minim". www.tirto.id. Diakses tanggal 30 November 2020. 
  27. ^ Molnar, R. E., 2001, Theropod paleopathology: a literature survey: In: Mesozoic Vertebrate Life, edited by Tanke, D. H., and Carpenter, K., Indiana University Press, p. 337-363.
  28. ^ Ji Q.; Wu X.-C.; Cheng Y.-N. (2010). "Cretaceous choristoderan reptiles gave birth to live young". Naturwissenschaften. 97 (4): 423–428. Bibcode:2010NW.....97..423J. doi:10.1007/s00114-010-0654-2. PMID 20179895. 
  29. ^ a b c Knobloch, Jürgen; Shaughnessy, John D.; Rüther, Ulrich (2007-02-05). "Thalidomide induces limb deformities by perturbing the Bmp/Dkk1/Wnt signaling pathway". The FASEB Journal. 21 (7): 1410–1421. doi:10.1096/fj.06-7603com. ISSN 0892-6638. PMID 17283219. 
  30. ^ a b c d Yashiro, Kenta; Zhao, Xianling; Uehara, Masayuki; Yamashita, Kimiyo; Nishijima, Misae; Nishino, Jinsuke; Saijoh, Yukio; Sakai, Yasuo; Hamada, Hiroshi (2004-03-01). "Regulation of Retinoic Acid Distribution Is Required for Proximodistal Patterning and Outgrowth of the Developing Mouse Limb". Developmental Cell (dalam bahasa Inggris). 6 (3): 411–422. doi:10.1016/S1534-5807(04)00062-0. ISSN 1534-5807. PMID 15030763.