Asyeik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Tarei Asyeik)

Asyeik, Asyek, atau Tarei Asyeik adalah suatu upacara adat untuk memanggil roh lelehur pada etnis Kerinci, Jambi. Upacara ini telah ada sejak zaman prasejarah dan masyarakat Kerinci saat itu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Upacara ini dipimpin oleh seorang pawang atau dukun, sehingga upacara ini dianggap magis dan sakral.[1] Sejak Islam menyebar di Kerinci, upacara ini mengalami akulturasi seperti pada mantra-mantra dan tujuan doa yang disampaikan. Walau begitu, upacara ini dianggap sebagai saran berkomunikasi kepada kekuatan gaib yang dianggap sakti.[2][3]

Upacara ini terdiri dari banyak tahapan ritual yang dapat berlangsung hingga berhari-hari, bahkan satu minggu.[4] Upacara ini juga merupakan seni pertunjukan yang kompleks karena memadukan unsur seni musik tradisional, sastra, dan tari. Pada puncak ritual akan ditampilkan tari-tarian yang diiringi syair-syair mantra dan instrumen tradisional hingga salah seorang penari kerasukan arwah leluhur.[3][5][6]

Upacara Asyeik dapat dilakukan kapanpun tergantung tujuan penyelenggaraannya. Tujuan penyelenggaraannya pun beragam, seperti penolak bala, penyembuhan, bahkan sebagai ungkapan rasa syukur hasil panen. Bagi orang atau kelompok yang memiliki hajat pada upacara ini, mereka wajib menyediakan barang-barang berbagai keperluan ritual. Jika pemilik hajat atau keluarganya belum mampu, upacara dapat ditangguhkan.[2]

Seiring perkembangan zaman, Ritual Asyeik kini sudah mulai ditinggalkan. Anggapan bahwa ritual ini bertentangan dengan Islam juga menjadi salah satu alasannya.[7] Walau begitu, ritual ini masih bertahan di beberapa daerah tersebar di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungaipenuh, seperti di Siulak, Sitinjau Laut, dan Pondok Tinggi. Pada tahun 2016, Upacara Asyeik ditetapkan sebagai salah satu Warisan Budaya Takbenda Indonesia.[2][6]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Tokoh agama yang hadir dalam balutan pakaian tradisional pada acara Kenduri sko pada zaman dahulu. Di antara rangkaian kenduri adalah ritual asyeik.

Asyeik, dalam dialek lain dalam bahasa Kerinci disebut aseak, asyek, atau aseik, memiliki arti khusyuk atau penuh keyakinan. Hal ini dimaksudkan karena upacara ini dilakukan untuk memohon bantuan melalui kekuatan sakti dengan penuh keyakinan agar keinginan yang dituju tercapai. Pada kondisi tertimpa musibah, dipercaya upacara ini juga dapat memberikan ketenangan bagi orang tersebut.[3]

Upacara ini telah lama diadakan oleh masyarakat Kerinci sejak zaman prasejarah. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya batu megalit silinder di Desa Jujun, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci. Pada batu tersebut terdapat ukiran orang yang sedang menari yang diyakini sedang melakukan ritual Asyeik. Pada masa tersebut, masyarakat Kerinci masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.[3]

Antara abad ke-13 hingga abad ke-14, Islam mulai menyebar di Sakti Alam Kerinci (sebutan untuk wilayah budaya Kerinci). Persebaran agama Islam dilakukan oleh pendakwah-pendakwah dari Minangkabau. Para pendakwah tersebut merupakan pengamal ajaran Sufi yang juga menonjolkan mistisme dalam berhubungan dengan tuhan. Hal ini membuat kebudayaan setempat yang lekat dengan hal-hal mistis dapat mengalami akulturasi dengan Islam, termasuk pada Ritual Asyeik. Mantra-mantra yang dirapalkan pun disisipkan dengan puji-pujian kepada tuhan serta menyertakan nama nabi dan para tokoh-tokoh yang dianggap salih sebagai media untuk menyampaikan keinginan kepada Yang Maha Kuasa.[3]

Jenis upacara[sunting | sunting sumber]

Upacara Asyeik memiliki berbagai jenis upacara tergantung tujuan penyelenggarannya. Secara umum, semua jenis memiliki tahapan yang sama. Hal yang membedakan adalah barang yang diperlukan sebagai sesajen ataupun tahapan khusus di dalamnya. Jenis-jenis upacara tersebut antara lain:[3]

Asyeik Ngayun Luci[sunting | sunting sumber]

Asyeik Ngayun Luci diselenggarakan untuk memohon keselamatan dan limpahan rezeki di saat musim padi mulai berisi. Selain itu juga memohon agar dihindarkan dari hama. Secara bahasa, ngayun luci berarti mengayunkan luci. Luci merupakan wadah yang terbuat dari anyaman bambu yang dapat digunakan untuk menyumpan beras. Pada ritual ini luci-luci akan diisikan sesajen berupa buah-buahan, khususnya dari hutan, dan digantungkan pada rumah adat.[3]

Asyeik Tulak Bala[sunting | sunting sumber]

Asyeik Tulak Bala diperuntukan untuk membuang pengaruh-pengaruh jahat yang dapat menimbulkan masalah dan bencana bagi desa. Dahulu ritual ini diadakan pada bulan Muharram atau Safar, dalam kalender hijriyah. Hal yang khusus pada ritual ini adalah diadakan dengan berkeliling desa, lalu memukul setiap rumah dengan batang puar dan lidi yang diikat, serta sambil mengarak gunungan janur.[3]

Asyeik Naik Mahligai[sunting | sunting sumber]

Asyeik Naik Mahligai mulanya adalah ritual yang dilakukan dalam prosesi penobatan raja yang sebelumnya telah menghadapi berbagai ujian ilmu kebal, seperti menginjak kaca. Ritual ini lebih sering diadakan untuk penobatan balian (orang yang telah menguasai ilmu spiritual dan kebatinan) dan dilakukan di halaman rumah adat. Pada prosesinya dibuatkan rumah-rumahan dari bambu yang dianggap sebagai mahligai atau singgana, dan para calon balian akan menapaki tiap tangga mahligai.[3]

Asyeik Nyabung[sunting | sunting sumber]

Asyeik Nyabung adalah ritual memohon kesembuhan pada penguasa jagat raya. Ritual ini dipimpin balian dan dilakukan di tepi sungai, serta dilakukan sabung ayam sebagai persembahannya. Namun, ritual ini sudah ditinggalkan.[3]

Asyeik Nyambai[sunting | sunting sumber]

Asyeik Nyambai merupakan ritual memohon kesejahteraan di Desa Siulak Panjang, Kecamatan Siulak. Ritual ini dilakukan di Rumah Gedang Rajo Simpan Bumi.[3]

Asyeik Mamujo Padang[sunting | sunting sumber]

Asyeik Mamujo Padang merupakan ritual untuk membuka lahan baru. Hal ini dilakukan agar diberi keselamatan ketika menjadikan areal hutan sebagai lahan pertanian atau perkebunan yang baru.[3]

Asyeik Tauh[sunting | sunting sumber]

Asyeik Tauh atau Tarei Tauh merupakan ritual yang diadakan di Siulak Gedang, Siulak, Kerinci. Ritual ini diadakan bertepatan dengan kenduri sko atau kenduri adat. Pada ritual ini para balian akan mengelilingi sesajen sambil mengikat benang yang dinamakan benang sepuluh.[3]

Waktu[sunting | sunting sumber]

Semua tahapan asyeik dapat dilakukan hingga seminggu penuh. Namun, sejak 1950-an ritual ini dilakukan lebih singkat, yakni dari matahari tenggelam hingga matahari terbit (semalam suntuk). Ritual diutamakan malam hari agar lebih berkonsentrasi dalam mengadakan ritual. Berdasarkan pemilihan hari penyelenggaraannya, ritual ini menyesuaikan dengan kebutuhan orang atau kelompok yang memiliki hajat. Ritual ini dapat diadakan jika ada yang mengalami musibah, sakit, belum memiliki keturunan, kekurangan rezeki, atau bahkan ketika mendapat kelimpahan rezeki seperti saat kenduri sko, kenduri adat atas hasil panen.[5]

Tempat[sunting | sunting sumber]

Niniak mamak pada Kenduri Sko di Semurup

Pemilihan tempat untuk ritual juga tidak terbatas. Ritual dapat dilakukan dalam ruangan (rumah atau rumah adat) atau di tempat terbuka. Pada tempat terbuka, dipilih tempat yang berdekatan dengan hutan, batu-batuan, pohon, atau sungai, yang dapat dijadikan tempat persembahan sesejen karena dianggap berpenghuni.[5]

Pelaksana[sunting | sunting sumber]

Asyeik yang merupakan sebuah ritual magis akan dipimpin oleh seorang imam yang dinamakan Imam nan Barempak. Imam ritual boleh laki-laki atau perempuan. Mereka dipercaya telah ditunjuk oleh nenek moyang melalui mimpi untuk membimbing masyarakatnya. Imam ini juga akan memiliki ilmu spiritual dan kebatinan terhadap alam gaib. Dalam ritual, imam ini akan mengawasi ritual dan mengobati jika ada peserta atau hadirin yang kerasukan.[5]

Selanjutnya, pada prosesi asyeik akan diikuti dengan tarian yang dilakukan oleh penari yang telah terbiasa dengan ritual. Penari ini disebut dengan balian atau bilan. Sejak mendapat pengaruh Islam, mereka disebut sebagai balian salih atau bilan salih. Penari ini jumlahnya tidak terbatas dan boleh laki-laki atau perempuan.[3][5]

Selain itu, ritual asyeik juga akan dilaksanakan ketika ada orang atau kelompok yang membutuhkan. Mereka disebut dengan uhang jadoi. Uhang jadoi akan mendatangai imam nan barempak untuk memimpin ritual. Setalah itu uhang jadoi akan diminta mempersiapkan kelengkapan ritual. Pada saat ritual, mereka akan hadir dan menyampaikan kehendaknya melalui perantara imam jika terjadi kerasukan di antara hadirin. Terkadang, uhang jadoi dapat langsung dirasuki oleh arwah leluhur. Peristiwa kerasukan diyakini oleh masyarakat sebagai tanda hadirnya leluhur dan sebagai momen berkomunikasi dengan dunia gaib.[5][1]

Kelengkapan[sunting | sunting sumber]

Uhang jadoi akan mempersiapkan berbagai benda sebagai kelengkapan ritual. Tiap jenis asyeik memiliki benda khas sebagai kelengkapannya, tapi secara umum tiap jenis memilliki kesamaan. Berikut benda-benda yang perlu dipersiapkan:[3]

Jikat[sunting | sunting sumber]

Jikat adalah merupakan beras dalam bakul. Ada dua jenis jikat menurut ukurannya, yakni jikat gedang dan jikat kecik. Jikat gedang menggunakan takaran beras sebanyak 1 gantang (kira-kira 4 kg), sedangkan jikat kecik menggunakan takaran beras sebanyk 1 cupak (kira0kira 0,5 kg). Dalam Ritual Asyeik digunakan jikat gedang. Di dalam bakul tersebut akan diisikan berbagai barang, antara lain:[3]

  • kain limo jito (kain putih sepanjang 3 hasta dan lebar 2 hasta, sebagai simbol kesucian dan menjadi penutup bakul)
  • keris
  • benang sepuluh (benang putih dari kapas dengan 10 lilitan)
  • gelang kuningan
  • uang seringgit (dahulu sebesar 2,5 rupiah, sekarang 25 ribu rupiah)
  • cincin anye (cincin kecil dari tembaga dan kuningan)
  • sirih, pinang, dan rokok enau
  • kitab gedang (Alquran) dan tasbih (keduanya diletakkan diatas kain limo jito)

Sesajen[sunting | sunting sumber]

Sesajen dalam bahasa Kerinci disebut sajin. Ada dua jenis sajin, yaitu sajin ndah dan sajin tinggi. Sajin ndah (sesajen rendah) terdiri dari pisang ambon sebanyak lima atau tujuh sisir dan juadah, semacam makanan ringan dari tepung ketan merah dan putih yang dibungkus daun pisang. Sementara sajin tinggi terdiri dari tiga ayam bakar tiga warna (hitam, merah, kuning), lemang, dan rendang breh-bertih (rendang beras-padi) yang dimasak tanpa minyak.[3]

Bungo adum tujuh warno sembilan[sunting | sunting sumber]

Bungo adum tujuh warno sembilan adalah kembang tujuh rupa yang mewakili sembilan warna. Selain itu, disertai pula dengan jeruk purut, jeruk nipis, dan jeruk kunci.[3]

Jamba[sunting | sunting sumber]

Jamba merupakan hidangan nasi putih yang disusun bersama beragam lauk-pauk. Lauk-pauk yang ditambahkan biasanya telur ayam, gulai, dan hidangan lainnya. Dalam satu susunan jamba ada empat buah piring.[3]

Pelengkap lainnya[sunting | sunting sumber]

Pelengkap terpenting lainnya adalah dupa beserta kemenyan. Selain itu ditambahkan hiasan-hiasan untuk tempat ritual dengan menggunakan bahan alam. Sementara untuk alat musik pengiring ritual digunakan redap (sejenis rebana) dan gong.[3]

Prosesi[sunting | sunting sumber]

Asyeik diselenggarakan secara bertahap hingga mencapai tahapan puncaknya. Secara garis besar, tahapan asyeik terbagi dua, yaitu tahapan umum dan khusus. Tahapan umum merupakan tahapan yang disertakan pada semua jenis asyeik. Sementara tahapan khusus merupakan tahapan yang hanya ada pada jenis asyeik tertentu saja.[6][3]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Neidel, J. David (2014-01-01). "Discourse of Decline: Local Perspectives on Magic in Highland Jambi, Indonesia". Social Analysis. 58 (1). doi:10.3167/sa.2014.580104. ISSN 0155-977X. 
  2. ^ a b c Ajawaila, Gerzon; Minawati, Rosta; Syafriadi, Syafriandi (2017-07-27). "RITUAL ASYEIK SEBUAH FENOMENA BUDAYA MENJADI ESTETIK PENCIPTAAN FILM DOKUMENTER". Bercadik : Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni (dalam bahasa Inggris). 2 (1). ISSN 2355-5149. 
  3. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u Sunliensyar, Hafiful Hadi (2016, November). "Ritual Asyeik sebagai Akulturasi antara Kebudayaan Islam dengan Kebudayaan Pra-Islam Suku Kerinci" (PDF). Siddhayatra. 21 (2): 107–128.  [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ Indonesia.go.id, Redaksi. "Menari dalam Kondisi Kerasukan". Indonesia.go.id (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-07-11. 
  5. ^ a b c d e f Ramadani, Yolla; Nurlizawati, Nurlizawati; Salamah, Salamah; Yelnim, Yelnim (2020-06-16). "RITUAL TAREI ASYEIK PADA MASYARAKAT KELURAHAN PONDOK TINGGI KOTA SUNGAI PENUH PROVINSI JAMBI". Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial dan Budaya (dalam bahasa Inggris). 5 (1): 1–20. doi:10.25217/jf.v5i1.818. ISSN 2548-7620. 
  6. ^ a b c Febriza, Bella; Nerosti, Nerosti; Iriani, Zora (2018-08-14). "STRUKTUR UPACARA DAN FUNGSI PERTUNJUKAN TARI ASYEIK DALAM PENGOBATAN DI DUSUN EMPIH KECAMATAN SUNGAI BUNGKAL KOTA SUNGAI PENUH". Jurnal Sendratasik. 7 (1): 61–66. ISSN 2302-3201. 
  7. ^ Refisrul, author. Minangkabau dan Kerinci : hubungan budaya dan sistem kekerabatan. ISBN 978-602-8742-90-0. OCLC 948427774.