Tafsir surah At-Tin

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Surah At-Tin merupakan salah satu surah Makkiyyah, yaitu surah yang diturunkan di kota Mekkah atau sebelum Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah. Surah ini terdiri dari delapan ayat dan berada pada Juz 30 dan surah ke-95 dalam susunan mushaf Al Qur'an. Surah ini merupakan wahyu ke-28 yang diterima oleh Rasulullah ﷺ. Ia diturunkan sebelum surah Al-Buruj dan setelah Surah Quraisy. Tema pokok surah At-Tin adalah tentang manusia dan keniscayaan pembalasan dan ganjaran yang akan diterima di akhirat nanti.

Tafsir surah At-Tin[sunting | sunting sumber]

Sumpah Allah dengan makhluk-Nya[sunting | sunting sumber]

Dalam surah At-Tin ayat 1, 2, dan 3 Allah bersumpah dengan makhluk-Nya. Kalimat sumpah tersebut semacam argumentasi tentang berita yang mempunyai kaitan erat dengan kandungan sumpah-Nya. Dalam surah ini, Allah memilih empat hal, yaitu At-Tin, az-zaitun, tur as-sinin dan al balad al amin.

At-Tin[sunting | sunting sumber]

Sebagian ulama menyebutkan bahwa makna At-Tin adalah suatu tempat (bukit) di Damaskus, Suriah. Ada juga yang menyebutkan bahwa kata at-tin adalah sejenis buah-buahan dari Timur Tengah yang berwarna cokelat, berbiji seperti tomat, rasanya manis dan dinilai memiliki kandungan gizi yang sangat tinggi serta memiliki khasiat untuk menghancurkan batu pada saluran kencing dan penyembuh wasir.[1]

at-tur as-sinin[sunting | sunting sumber]

Kata at-tur juga dipahami sebagai nama gunung tempat Nabi Musa menerima wahyu, yaitu di Sinai, Mesir.[2]

Az-Zaitun[sunting | sunting sumber]

Sebagaimana kata at-tin, Kata az-zaitun dianggap memiliki dua arti, yaitu:

  1. Az-Zaitun adalah tempat Nabi Isa menerima wahyu, pendapat lain menyatakan bahwa kata az-zaitun adalah sebuah gunung di Yerusalem tempat Nabi Isa diselamatkan dari pembunuhan.
  2. Az-Zaitun adalah nama buah (zaitun) yang tumbuh di Timur Tengah yang memiliki khasiat yang baik bagi tubuh manusia.

Al-balad al-amin[sunting | sunting sumber]

Kata Al-balad al-amin Arab: البلدالامين (negeri yang aman) merujuk kepada kota Mekkah, dimana surah ini diturunkan. Kata ini juga menunjukkan kaitan yang erat dengan Nabi Muhammad ﷺ.

Kata-kata lain[sunting | sunting sumber]

Setelah Allah bersumpah dengan empat hal diatas, kemudian Allah berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dengan bentuk yang sebaik-baiknya

— Qs. At-Tin ayat 4

Berikut adalah penjabaran dari ayat diatas:

al-insan[sunting | sunting sumber]

Kata al-insan {{lang-ar|{{الانسان (manusia) menurut pendapat al-Qurtubi, adalah manusia-manusia yang durhaka kepada Allah, namun pendapat ini ditolak oleh banyak pakar tafsir dengan alasan pengecualian yang ditegaskan dalam ayat berikutnya[3] yang menunjukan bahwa “manusia” yang dimaksud mencakup yang beriman dan yang kafir.[4]

Taqwim[sunting | sunting sumber]

Kata taqwim (Arab: تقويم) (bentuk) berakar dari kata qawama Arab: قوم, menggambarkan kesempurnaan suatu objeknya. Kata aqimu yang digunakan untuk perintah melaksanakan shalat berarti shalat harus dilaksanakan dengan sempurna sesuai dengan syarat, rukun, serta sunah-sunahnya. Kata taqwim juga diartikan menjadi sesuatu yang memiliki qiwam (bentuk fisik yang pas dengan fungsinya)[5]

Kesimpulannya, ungkapan sebaik-baik bentuk terbatas dalam pengertian fisik semata-mata adalah tidak tepat. Ayat ini dikemukakan dalam konteks penggambaran anugerah Allah kepada manusia dan tentu tidak mungkin anugerah tersebut terbatas hanya dalam bentuk fisik, bahkan secara tegas Allah mengecam orang yang bentuk fisiknya baik, namun jiwa dan akalnya kosong dari nilai-nilai etika, agama, dan pengetahuan [6]

Radadnahu[sunting | sunting sumber]

Manusia telah diciptakan oleh Allah dalam bentuk yang sebaik-baiknya karena satu dan lain hal, kemudian Allah mengembalikan ke tempat yang serendah-rendahnya.

Kata radadnahu Arab: رددنه terdiri dari kata radada yang dirangkaikan dalam bentuk jamak na serta kata ganti yang berkedudukan sebagai objek hu . Uraian tentang kata ganti na serupa dengan uraian sebelumnya, yang menggambarkan adanya keterlibatan manusia dalam “kejatuhannya” ke tempat yang serendah-rendahnya itu. Bahkan tidak salah bahwa keterlibatan manusia sangat besar.[7]

Asfala safilin[sunting | sunting sumber]

Berikut adalah tiga pendapat mengenai kata asfala safilin :

  1. Pertama, keadaan fisik dan psikis disaat tuanya, seperti kala ia masih bayi.[8]
  2. Kedua, neraka dan kesengsaraan[9]
  3. Ketiga, Keadaan ketika roh ilahi belum menyatu dengan diri manusia. Pendapat inilah yang lebih tepat

Ayat yang lalu menetapkan pengembalian manusia ke tingkat-tingkat yang serendah-rendahnya. Ayat diatas mengecualikan sekelompok dari mereka.

Illa[sunting | sunting sumber]

Kata Illa Arab: الّا berarti kecuali. Namun, ia juga dapat berarti tetapi, sehingga memunculkan dua makna;

  1. Menjadikan yang dikecualikan merupakan bagian dari kelompok yang disebut sebelumnya.
  2. Tetapi menjadikan yang dikecualikan bukan anggota kelompok sebelumnya.[10]

Iman[sunting | sunting sumber]

Kata iman Arab: ايمان biasa diartikan dengan pembenaran. Sementara ulama mendefinisikan iman dengan "pembenaran hati terhadap seluruh yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ". Dengan demikian, iman tidak terbatas pengakuan akan keesaan Tuhan, tetapi mencakup tentang pembenaran tentang banyak hal.

’amilus salihati[sunting | sunting sumber]

Kata ’amilu Arab: عملو diambil dari kata ’amal yang biasa digunakan untuk menggambarkan suatu aktivitas yang dilakukan dengan sengaja dan maksud tertentu.[11] Niat atau tekad untuk melaksanakan suatu perbuatan, walau belum terlaksana, juga dapat dinamai amal.[12]

Adapun amal yang diterima dan dipuji oleh Allah disebut amal saleh dan orang-orang yang mengerjakannya dilukiskan dalam kalimat ’amilus salihati.

Ajr[sunting | sunting sumber]

Kata ajr Arab: اجر berarti balasan, imbalan baik, nama baik, dan maskawin. Kata ajr digunakan Al Quran bukan digunakan khusus hanya untuk imbalan ukhrawi, tetapi juga duniawi.[13][14]

Mamnun[sunting | sunting sumber]

Kata mamnun Arab: ممنون yang berarti memutus atau memotong. Dengan demikian, gair mamnun berarti tidak putus-putusnya. Bisa juga kata mamnun berasal dari kata manna-yamunnu (منّ-يمنّ) yang berarti menyebut-nyebut pemberian yang diberi sehingga menjadikan si penerima malu, bahkan sakit hati.[15]

Kesimpulannya, selain berarti "ganjaran yang tiada putus-putusnya", kalimat ajr gair mamnun juga dapat diartikan sebagai "ganjaran yang tidak disebut-sebut sehingga tidak menyakiti hati si penerima.

Ahkamil hakimin[sunting | sunting sumber]

Dalam ayat terakhir surah At-Tin, Allah menyimpan sebuah pertanyaan yang mengandung makna bahwa sesungguhnya Allah Maha Bijaksana dalam suatu hal, termasuk dalam seluruh keputusannya menyangkut wujud dan masa depan manusia.

Pesan Allah[sunting | sunting sumber]

  1. Jika ingin menjadi manusia yang mulia,maka wajib hukumnya untuk meneladani akhlak Rasulullah ﷺ.
  2. Manusia harus mensyukuri semua karunia Allah, termasuk akal dan nafsu. Karena dengan dua potensi tersebut manusia dapat hidup berkembang dan mampu mengendalikan kehidupannya.
  3. Manusia harus beriman terhadap seluruh wahyu yang diturunkan melalui para Rasul. Manusia juga harus mengerjakan kebajikan jika ia tidak ingin jatuh pada kehinaan dan kesengsaraan.
  4. Pahala bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh tak akan pernah putus, pahala itu akan tetap mengalir walaupun ia sudah meninggal dunia.
  5. Hari pembalasan pasti datang dan setiap manusia akan diminta pertanggungjawabannya dihadapan Allah.
  6. Allah adalah hakim Yang Maha Adil, Allah tidak akan menzalimi hambanya.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Hadits Rasulullah ﷺ, ‘’Makanlah buah tin karena ia menyembuhkan wasir
  2. ^ Tahir ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa itu populer dengan nama tempat ia turun, yakni Tur, yang diucapkan dalam bahasa Arab dengan Taurat.
  3. ^ yaitu Qs. At-Tin ayat 5
  4. ^ Binti Asy-Syati merumuskan bahw semua kata al-insan dalam alquran yang berbentuk definit yaitu dengan menggunakan kata sandang al (ال), berarti menjelaskan manusia secara umum, mencakup siapa saja.
  5. ^ ar-Ragib al-Ashafani, pakar bahasa Alquran memandang kata taqwim sebagai isyarat tentang keistimewaan manusia dibanding binatang, yaitu akal, pemahaman, dan bentuk fisiknya yang tegak dan lurus, sehingga kalimat ahsan at-taqwim berarti bentuk fisik dan psikis yang sebaik-baiknya, yang menyebabkan manusia dapat melaksanakan funginya sebaik mungkin
  6. ^ Lihat surah al-Munafiqun ayat 4
  7. ^ Kata radada ردد antara lain berarti mengalihkan, memalingkan, atau mengembalikan. Keseluruhan makna tersebut dapat disimpulkan sebagai “perubahan keadaan sesuatu seperti keadaan sebelumnya” sehingga kata radada juga dapat diartikan sebagai “ menjadi kembali”
  8. ^ Pendapat ini ditolak oleh sementara pakar berhubung adanya pengecualian pada ayat yang artinya ”kecuali orang-orang yamg beriman dan beramal shaleh”, karena orang beriman pun dapat mengalami keadaan yang serupa. Makna ini dapat diterima jika kata illa diterjemahkan tetapi, bukan kecuali
  9. ^ Pendapat ini dapat diterima jika kata radadnahu dipahami dalam arti mengalihkannya atau menjadikannya
  10. ^ Mufasir at-Tabari memahami kata illa pada ayat diatas dalam arti tetapi dan atas dasar itu ia mengartikan asfala safilin dengan arti yang pertama disebut diatas, yakni "Orang-orang tua yang beriman dan beramal shaleh, pahala amal kebaikan mereka berkesinambungan, walau ia tidak mampu mengerjakannya lagi karena uzurnya
  11. ^ Kata ini tidak mengharuskan suatu pekerjaan dalam suatu konkret di alam nyata
  12. ^ Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa niat baik akan dinilai sebagai amal saleh dan tercatat dalam kitab amalan
  13. ^ Qs. Al-A’raf (7):113
  14. ^ Qs. Al-’ankabut (29):27
  15. ^ Qs. Al-Baqarah (2):264

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]