Suku Bulungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Suku Bulungan atau Melayu Bulungan adalah kelompok etnis di Kalimantan Utara yang mendiami bekas wilayah Kesultanan Bulungan, seperti pesisir Kabupaten Bulungan, sebagian Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan, dan Tawau di Sabah, Malaysia.

Sejarah suku ini berkaitan erat dengan legenda mengenai kelahiran Kesultanan Bulungan yang dulu menjadi pusat pemerintahan di wilayah ini.[1]

Periodisasi Kepemimpinan Suku Bulungan[sunting | sunting sumber]

Kisah asal mula suku ini bermula dari cerita rakyat yang disebut "bulongan" (bambu dan telur). Dalam kisah itu disebutkan, seorang petani yang sekaligus kepala suku di kawasan Long Sungai Kayan, Ku Anyi, menemukan sebatang bambu dan telur yang sedang digonggongi anjing di hutan. Ku Anyi dan istri merasa ada yang istimewa dengan bambu dan telur tersebut. Mereka pun membawanya pulang.[2]

Di rumah, ternyata bambu dan telur itu berubah menjadi dua manusia yang kemudian mereka namakan Jau Iru dan Lemlaisuri. Setelah dewasa, keduanya menikah dan memiliki anak bernama Jau Anyi.

Tampuk kepemimpinan suku diturunkan Ku Anyi kepada Jau Iru, kemudian Jau Anyi, Paren Jau, Paren Anyi, Wan Paren, Lahai Bara, Sibarau, Simun Luwan, hingga Sadang (1548-1555).

Saat kepemimpunan Sadang, suku Kenyah dari Serawak menyerang. Kepala Suku gugur, tetapi saudari kandungnya, Asung Luwan, berhasil lolos dan lari ke pesisir Baratan. Di sana, Asung menikah dengan Datuk Mancang (Datuk Lancang) dari Brunei. Datuk Mancang bersama Asung Luwan memerintah di Baratan dan Busang Arau (Kuala Sungai Pengian) hingga 1595. Pernikahan tersebut mengakhiri pemerintahan yang dipimpin oleh kepala suku.

Posisi pimpinan diambil alih oleh Kenawai Lumu. Setelah itu, nama-nama Kayan (suku di sekitar sungai Kayan) tidak muncul lagi dalam silsilah raja-raja. Inilah akhir dari periode pertama Bulungan.

Di periode kedua, nama-nama raja disebut Wira. Secara berturut-turut, penguasa suku Bulungan adalah Wira Kelana, Wira Keranda, dan Wira Digendung. Periode kedua berakhir di sini.

Istana Kesultanan Bulungan pada abad 20

Di periode ketiga, masyarakat Bulungan menggunakan sistem kesultanan. Pada masa ini, Islam mulai berkembang lantaran hubungan dekat penguasanya dengan para perantau Arab di Demak.

Sultan pertama Bulungan bernama Wira Amir (1731-1777) dengan gelar Amiril Mukminin. Ia kemudian diganti oleh anaknya, Aji Ali (1777-1817), yang bergelar Sultan Alimudin. Suksesor Aji Ali adalah Aji Muhammad (1817-1861) yang bergelar Sultan Muhammad Kaharudin. Kemudian diteruskan oleh anaknya, Si Kidding (1862-1866), dengan gelar Sultan Muhammad Jalaludin. Tidak lama kemudian, Si Kidding meninggal, dan digantikan Sultan Muhammad Kaharudin (1866-1973).

Penerus mahkota berikutnya adalah Datu Alam (1873-1875) dengan gelar Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil. Namun karena dianggap melanggar perjanjian dengan Belanda, ia diracun dalam sebuah jamuan di istana Bulungan pada 1875.

Penggantinya adalah Ali Kahar (1875-1889) yang bergelar Sultan Kaharudin II. Pada masa ini, Belanda begitu kuat menanamkan pengaruhnya, sehingga pada Juni 1878, ditandatanganilah sebuah perjanjian yang memberi wewenang kepada penjajah itu untuk menentukan kebijakan sultan Bulungan, termasuk urusan pajak. Sebagai imbalannya, keamanan sultan dijamin oleh Kerajaan Belanda.

Kekuasaan Sultan Kaharudin II diteruskan oleh menantunya, Si Gieng (1889-1899) yang bergelar Sultan Adzimudin. Setelah meninggal, kekuasaannya dilanjutkan oleh Puteri Sibut didampingi oleh Datu Mansyur (1899-1901).

Sultan yang memerintah berikutnya adalah Datu Belembung, putra sulung Sultan Adzimudin. Gelarnya Sultan Maulana Muhammad Kasim Al Din (Sultan Kasimudin). Ia mengambil kebijakan dan langkah-langkah anti-Belanda, seperti mendukung penghapusan upeti dan penghilangan penjemputan tamu-tamu Belanda ke kapal sebelum merapat di pelabuhan. Sultan ke-10 itu juga menentukan kebijakan politik bisnis bagi kepentingan Kesultanan Bulungan dengan memanfaatkan hasil hutan dan perikanan. Setelah ditemukannya sumber minyak di Pulau Tarakan tahun 1902, Kesultanan Bulungan makin mencapai puncak keemasannya. Rakyat bangga dengan sultan muda ini. Sayang, ia meninggal terkena peluru nyasar sewaktu berburu pada 1925.

Penggantinya adalah Datu Mansyur (1925-1930).

Sesudah putra Sultan Kasimudin bernama Achmad Sulaiman kembali dari tugas belajar di Sumatra, Datu Mansyur menyerahkan kekuasaan kepadanya. Tetapi sultan ke-12 itu tidak lama berkuasa karena mendadak meninggal pada 1931.

Ia digantikan oleh Sultan Muhammad Jalaludin II (1931-1958). Inilah sultan yang terakhir di Bulungan. Pada periode ini, dibangun istana ketiga di Tanjung Palas, pemberian pangkat Letnan Kolonel Tituler oleh Ratu Wilhelmina kepada sultan, pelaksanaan upacara birau pertama selama 40 hari 40 malam, pembumihangusan Tarakan oleh tentara Jepang untuk mengusir Belanda, dan pendaratan tentara sekutu (NICA).

Pemerintah Indonesia mengangkat Bulungan menjadi Daerah Istimewa pada 1948, dengan Sultan Muhammad Jalaludin sebagai kepala daerah istimewa pertamanya. Sang saka merah putih untuk pertama kalinya berkibar pada 17 Agustus 1949 di sana. Dan pada 1958, sultan terakhir Bulungan itu meninggal.

Sistem Kepercayaan Suku Bulungan[sunting | sunting sumber]

Sejak periode ketiga, raja-raja Bulungan dan keluarga mereka menganut agama Islam. Namun, sebagaimana suku-suku tradisional lainnya, orang Bulungan juga tetap menghidupkan praktik-praktik nenek moyangnya.

Contoh praktik-praktik kepercayaan yang masih dilakukan oleh suku Bulungan, misalnya persembahan sesaji ketika ada anggota masyarakat yang membuka ladang, nasi rasul (ketan mirip tumpeng tetapi ujungnya berupa parabola), percaya pada tanda-tanda alam, pada perilaku burung, biawak, ular, dan sebagainya.[2]

Upacara Adat Bulungan[sunting | sunting sumber]

Suku Bulungan masih melakukan beberapa upacara tradisi pendahulu mereka. Beberapa di antaranya sebagai berikut:

Birau[sunting | sunting sumber]

Dalam bahasa Bulungan, "birau" artinya "pesta besar". Pesta ini memang dirayakan dengan sangat meriah oleh semua rakyat. Meskipun pada awalnya, Perayaan Birau hanya dilaksanakan pada masa Kesultanan Bulungan dalam rangka syukuran khitanan anak-anak raja.[1]

Namun demi melestarikan adat istiadat dan menciptakan daya tarik pariwisata, Upacara Birau diselenggarakan secara rutin, bahkan menjadi agenda resmi pemerintah Kabupaten Bulungan. Biasanya, pelaksanaannya setiap 12 Oktober, bersamaan dengan peringatan HUT Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan. Walaupun dari tahun ke tahun, pesta ini terus menunjukkan gejala sepi peminat, karena keterbatasan dana dari pemerintah daerah.[3] Banyak pihak khawatir, pesta budaya ini akan dilupakan masyarakat Bulungan, serta suku-suku pendatang yang berada di sana, seperti Dayak, Bugis, dan Jawa.

Lampi' Sapot[sunting | sunting sumber]

Upacara adat ini juga dikenal sebagai "naik ayun". Diadakannya ketika anak berusia sekitar satu bulan hingga mampu membalik badannya sendiri. Naik ayun dibuat berdasarkan ajaran Islam, yaitu ibadah aqiqah.[4]

Tradisi ini sebenarnya juga dimiliki oleh suku-suku lain di Kalimantan. Namun dalam tradisi Bulungan, bahan-bahan yang harus disediakan cukup khas. Seperti nasi rasul dua buah (karena mengikuti sunah nabi berkaitan dengan perjalanan Shofa dan Marwah), satu buah kelapa biasa yang dibungkus dengan kain kuning, kelapa gading, sebuah lilin, bantal bayi kuning untuk anak bangsawan dan putih untuk orang biasa, dan 33 busak balai (bendera bermotif ukiran) yang diletakkan di dua tiang besar.

Teknis acaranya, anak dimasukkan secara simbolik ke dalam sapot oleh para tetua laki-laki, lalu tetua perempuan. Setelah itu, ada tari-tarian jepen. Namun sekarang, tari jepen ini jarang ditampilkan dalam Ritual Lampi' Sapot. Kemudian nasi rasul dibagi-bagikan kepada undangan.

Lamanya upacara sekitar empat jam, biasanya dari pukul 8 pagi hingga pukul 12 siang.

Mata Pencaharian Orang Bulungan[sunting | sunting sumber]

Dalam masa pra-kesultanan, anggota suku Bulungan biasa berpindah-pindah tempat untuk berladang dan berburu. Namun setelah periode kesultanan hingga sekarang, mereka menetap sebagaimana masyarakat modern lainnya.

Kendati demikian, orang Bulungan tetap banyak yang berladang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya. Bedanya, penggarapan sawah mereka sudah menggunakan teknologi pertanian atau perkebunan. Profesi orang Bulungan sebagian besar memang petani dan nelayan.[5]

Namun, sama seperti warga di tempat-tempat lain yang terbuka, profesi-profesi lainnya pun berkembang. Selain itu, banyak juga pemuda Bulungan yang memutuskan merantau ke daerah lain, bahkan keluar pulau, untuk mencari penghidupan yang layak.

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "Penduduk, Adat Istiadat dan Kebudayaan Kabupaten Bulungan". WisataKaltara.com. 2013-12-13. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-29. Diakses tanggal 2019-03-16.  Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "WisataKaltara" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
  2. ^ a b Nanang, Martinus (2008). Sejarah Penyebaran & Kebudayaan Suku-suku di Kabupaten Malinau. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malinau. 
  3. ^ "Perhelatan Birau Kian Meredup, DPRD Bulungan Sarankan Pembentukan Dewan Kesenian". Tribunnews.com. 2017-10-10. Diakses tanggal 2019-03-19. 
  4. ^ "Naik Ayun". Budaya-Indonesia.org. 2014-04-09. Diakses tanggal 2019-03-20. 
  5. ^ "Profil Bulungan, Ibu Kota Kalimantan Utara". BustomyKaltara.blogspot.com. 2015-06-09. Diakses tanggal 2019-03-20.