Strategi Energi 2030 (Uni Eropa)

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Strategi energi 2030)

Strategi Iklim dan Energi 2030 adalah strategi dan kebijakan Uni Eropa selama 2020-2030 dalam mencapai sistem energi yang lebih aman, kompetitif, dan berkelanjutan. Nilai atas energi terbarukan dan efisiensinya semakin meningkat nilainya di dalam usulan Energi Bersih untuk Semua Eropa, sebagai komitmen tindak lanjut Uni Eropa di Persetujuan Paris. Strategi 2030 juga terjalin dengan target jangka panjang pengurangan gas rumah kaca pada 2050. Strategi ini secara langsung memberi sinyal kepada pasar tentang infrastruktur dagang dengan yang didukung dengan teknologi rendah karbon, jaringan listrik, dan pipa baru. Pengurangan karbon atau dekarbonisasi dapat dilakukan dengan mengalihkan pengeluaran kita, dari sumber bahan bakar fosill ke teknologi karbon.[1]

Target 2030[sunting | sunting sumber]

Target sampai dengan 2030 adalah:

1. Pengurangan 40% emisi gas rumah kaca

2. Peningkatan 27% pangsa energi terbarukan

3. Kenaikan efisiensi energi sebesar 27% di tingkat Uni Eropa

4. Mendukung pasar energi dengan memenuhi target interkoneksi listrik sebesar 10% sampai dengan 2020.[1]

Kebijakan Pendukung untuk Strategi Iklim dan Energi 2030[sunting | sunting sumber]

Perbaikan Skema Perdagangan Emisi Uni Eropa (ETS)[sunting | sunting sumber]

Dengan target pengurangan 40% sampai pada 2030, sistem perdagangan ini menyusun target tahunan pengurangan 2,2% yang digalakkan mulai 2021. Target ini dianggap lebih realistis dibandingkan implementasi pengurangan gas emisi 1,74% sampai 2020. Di satu sisi, ETS akan mulai mempromosikan investasi rendah-karbon ke masyarakat yang dijamin oleh Dewan Eropa agar sejalan dengan tujuan Komisi Eropa, sehingga dipergunakan sebagai instrumen utama dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.

Kerangka kerja ini merupakan investasi jangka panjang oleh Komisi Eropa pada 2011 di mana telah tercantum pada dokummen-dokumen Rencana Sasaran Menuju Ekonomi Rendah Karbon 2050, Rencana Sasaran Energi 2050, dan Buku Putih Transportasi Uni Eropa.[2]

Indikator baru untuk kompetisi dan keamanan sistem energi, seperti perbedaan harga dengan partner dagang utama, variasi penawaran, dan interkoneksi negara-negara Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Pangsa sumber energi terbarukan akan diusahakan menjadi lebih tinggi sehingga terjadi peningkatan efisiensi energi fosil yang signifikan. Prediksi ini lahir jika ada Strategi Energi 2030 secara efektif dapat mengubah selera pasar dan juga didukung oleh infrastruktur teknologi yang mumpuni. Bahan bakar gas akan menjadi bahan campuran pembangkit listrik pada 2030, menjadi lebih tinggi dibandingkan pada 2015, namun akan membuat minyak bumi dan batu bara mengalami penurunan pangsa. Total emisi gas rumah kaca diproyeksikan 26% (di bawah tingkat 1990) pada 2020, kemudian menjadi 35% pada 2030, dan 48% pada 2050. Pembauran energi di dalam energi terbarukan—seperti contoh gas di atas—akan terus bertambah, mulai dari 21% pada 2020 menjadi 24% 2030, dan terakhir 31% pada 2050.[3]

Sistem tata kelola energi yang merujuk pada rencana nasional demi keberlangsungan energi[sunting | sunting sumber]

Komisi Eropa menghimbau bagaimana suatu Rencana Nasional negara anggota harus mempertimbangkan sistem energi yang berkelanjutan dan berkontribusi terhadap tujuan Uni Eropa. Rencana Nasional harus menjabarkan bagaimana negara anggota menjalankan pengurangan emisi gas rumah kaca, sebagaimana penghematan energi maupun penggunakan energi yang terbaharukan di mana terhubung dengan undang-undang dan kebijakan Uni Eropa.

Oleh karena itu, bentuk tata kelola energi dan iklim akan dibangun bertahap. Pertama, pembentukan pedoman tentang tata kelola dan rencana nasional. Kedua, dukungan kepada negara anggota dalam penyusunan mekanisme di negaranya. Ketiga, memberikan penilaian sekaligus evaluasi untuk menjaga target dan sasaran. Karena dianggap vital, maka jika rencana nasional suatu negara dianggap tidak memadai, akan ada asistensi lanjutan antara Komisi Eropa dan negara anggota dalam rangka menaikkan kualitas konten rencana nasionalnya.[4]

Energi di dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan[sunting | sunting sumber]

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang diusung oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa berlaku sebagai arah pembangunan 2030 sekaligus menjawab tantangan global. Arah pembangunan ini merepresentasikan pendekatan baru dalam pembangunan, di antaranya komitmen yang lebih baik terhadap lingkungan dan hak asasi manusia, di mana akan menghasilkan kesejahteraan yang lebih baik di era selanjutnya. Salah satu tantangan global bersama tidak lain adalah perubahan iklim, yang dapat berdampak langsung terhadap keberlangsungan hidup dan sumber daya alam. Perubahan iklim dengan pembangunan berkelanjutan terhubung satu sama lain. Tidak mungkin mencapai pembangunan berkelanjutan jika kerusakan alam semakin tidak terkendali.

Kasus yang ditemukan di negara berkembang dan negara maju berbeda. Di negara berkembang, masih banyak orang yang harus bertahan dari dampak lingkungan, sekaligus berjuang untuk kesejahteraan finansialnya. Sementara di kasus negara maju seperti kawasan Uni Eropa, industri berat secara drastis menyebabkan emisi karbon yang tinggi. Kebijakan internasional Uni Eropa perlu merespon hal ini secara terpadu, di mana langkah penanggulangan perubahan iklim sekaligus kemitraan dengan negara lain harus berjalan beriringan.[5]

Menuju implementasi Strategi Energi 2030, The NewClimate mengadvokasi target yang lebih tinggi terhadap energi terbarukan, dari 27% menjadi 45% sampai 2030. Dengan pemakaian energi terbarukan yang mencapai 45% tersebut, perkiraan yang mereka lansir antara lain terjadi penghematan sekitar US$ 33M per tahun atas impor bahan bakar fosil, pencegahan 6.000 kematian dini per tahun akibat polusi udara, dan kenaikan 70.000 tenaga kerja di ekosistem energi terbarukan. Keuntungan ekonomi juga diprediksi oleh Komisi Eropa. Dari lembar fakta yang mereka publikasikan, setiap persentase kenaikan pangsa energi terbarukan akan menurunkan harga grosir sebesar €0,4/MWh (megawatt/jam) yang sebanding dengan harga listrik yang rata-rata €40-50/MWh.[6]

Pro-Kontra Negara Anggota Uni Eropa[sunting | sunting sumber]

Ada permasalahan yang tidak lama setelah kerangka kerja iklim dan energi ini diumumkan. Pasalnya, tidak ada aturan atau semacam kewajiban secara eksplisit dan holistik yang mengkoordinasikan pemerintah Uni Eropa beserta turunan subsektornya dalam bentuk tata kelola sehingga menyebabkan arahan yang jelas kepada pemerintah di tiap negara anggota. Hal ini dapat dilihat dari isi kerangka kerja yang memang menyatakan bentuk koordinasi akan diatur belakangan.

Masalah tentang tata kelola sudah ditemukan di dalam 2020 Package Governance di mana terjadi kelemahan mekanisme penegakan untuk pembuangan emisi. Sebagai contoh, dalam kasus energi terbarukan, tidak adanya hukuman bagi negara anggota yang tidak mencapai target. Berdasarkan Pasal 258 dalam Perjanjian tentang Peran Uni Eropa (TFEU), Komisi Eropa hanya bisa membuka prosedur pelanggaran. Pelaksanaan tata kelola untuk iklim dan energi memang mensyaratkan suatu rencana aksi nasional dengan berbagai langkah dan aktor demi pemenuhan target, pun memakan waktu dalam membuat penilaian hukuman oleh Pengadilan Eropa. Komisi Eropa lantas dapat merujuk ke pengadilan jika ada negara anggota yang gagal dalam mengintegrasikan strategi iklim dan energi Uni Eropa ini ke dalam perangkat hukum di negaranya, tetapi belum pada tahapan jika mereka tidak memenuhi target. Republik Ceko, Finlandia, dan Belgia, misalnya, tercatat bahwa tidak memenuhi target atas konsumsi energi terbarukan, namun hal tersebut tidak sampai dibawa ke Pengadilan. Ancaman ini berpotensi lebih besar jika terjadi perubahan arah kebijakan yang tidak mendukung isu lingkungan.[4]

Reaksi yang berbeda-beda dari negara anggota bermunculan. Inggris pada awalnya menentang adanya target pembaharuan energi yang bersifat mengikat negara anggota di level nasionalnya. Sementara, persetujuan yang mengikat penting bagi Jerman untuk memperluas pangsa energi terbarukan mereka. Polandia sendiri menjadi negara oposisi yang menentang strategi energi ini atas ketakutan mereka menghadapi kenaikan biaya energi dan dampaknya terhadap industri batu bara mereka. Polandia menjadi satu-satunya negara anggota yang secara gamblang menyatakan keberatan selama berlangsungnya konsultasi dengan Komisi Eropa. Efektivitas dan pemberlakuan di tataran Uni Eropa sendiri memunculkan pertanyaan luas, termasuk Badan Energi Internasional, yang akan bergantung pada sistem suatu pemerintahan. Meski menuai berbagai reaksi, Komisi Eropa tetap percaya diri bahwa negara-negara anggota berada di arah yang benar dalam merealisasikan target 27% energi terbarukan.[7]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b "2030 Energy Strategy - Energy - European Commission". Energy (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-16. 
  2. ^ "News and Events NULL - 3M Smart Grid - 3M Europe". solutions.3m.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2018-06-16. 
  3. ^ EU Reference Scenario 2016: Energy, Transport and GHG Emission Trends to 2050. https://ec.europa.eu/energy/sites/ener/files/documents/20160712_Summary_Ref_scenario_MAIN_RESULTS%20%282%29-web.pdf
  4. ^ a b Pettinen, Sirja-Leena; Sartori, Nicolo; Talus, Kim. 2014. Governance Challenges of the EU'S 2030 Energy and Climate Framework. Instituto Affari Internazionali. http://www.iai.it/sites/default/files/iaiwp1418.pdf
  5. ^ "Climate Finance & Development". www.caneurope.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-16. Diakses tanggal 2018-06-16. 
  6. ^ "Infographic: The EU needs an at least 45% renewable energy target for 2030". www.caneurope.org (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-06-16. Diakses tanggal 2018-06-16. 
  7. ^ "Analysis: Who wants what from the EU 2030 climate framework | Carbon Brief". Carbon Brief (dalam bahasa Inggris). 2014-10-17. Diakses tanggal 2018-06-16.