Tadmur

Ini adalah artikel bagus. Klik untuk informasi lebih lanjut.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Situs Palmyra)

Tadmur
  • 𐡶𐡣𐡬𐡥𐡴
  • Nama kota Tadmur dalam aksara Tadmur
  • تَدْمُر
Reruntuhan Tadmur
Situs kota kuno Tadmur pada tahun 2010
Lokasi Tadmur di jantung wilayah Suriah
Lokasi Tadmur di jantung wilayah Suriah
Lokasi di Suriah
Nama alternatifPalmira
LokasiDistrik Tadmur, Kegubernuran Ḥumṣ, Suriah
WilayahPadang Gurun Suriah
Koordinat34°33′05″N 38°16′05″E / 34.55139°N 38.26806°E / 34.55139; 38.26806Koordinat: 34°33′05″N 38°16′05″E / 34.55139°N 38.26806°E / 34.55139; 38.26806
JenisPermukiman
Bagian dariKekaisaran Tadmur
Luas80 ha (200 ekar)
Sejarah
DidirikanMilenium ke-3 pra-Masehi
Ditinggalkan1932 (1932)
PeriodePertengahan Zaman Perunggu sampai Zaman Modern
BudayaAram, Arab, Yunani-Romawi
Catatan situs
KondisiReruntuhan
PemilikUmum
PengelolaKementerian Kebudayaan Suriah
Akses umumTidak dapat dikunjungi (dalam zona perang)
Nama resmi: Situs Palmira
JenisKebudayaan
Kriteriai, ii, iv
Ditetapkan1980 (sidang ke-4)
No. Referensi23
KawasanNegara-negara Arab
Dalam bahaya2013 (2013)–sekarang

Tadmur (bahasa Tadmur: 𐡶𐡣𐡬𐡥𐡴 (Nama kota Tadmur dalam aksara Tadmur) Tadmor; Arab: تَدْمُر, Tadmur; Yunani: Παλμύρα, Palmira) adalah kota kuno bangsa Semit di daerah yang sekarang menjadi wilayah Kegubernuran Ḥumṣ, Suriah. Temuan-temuan arkeologi di Tadmur diperkirakan berasal dari Zaman Batu Muda, dan keberadaan kota Tadmur pertama kali tercatat pada awal milenium ke-2 pra-Masehi. Tadmur silih berganti dijajah beberapa kekaisaran sebelum menjadi jajahan Kekaisaran Romawi pada abad pertama Masehi.

Sumber kemakmuran kota Tadmur adalah kafilah-kafilah dagang. Warga Tadmur terkenal sebagai saudagar-saudagar yang mendirikan koloni-koloni di sepanjang Jalur Sutra, dan berdagang di seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Kemakmuran Tadmur tampak jelas pada bangunan-bangunan megah seperti Kolonade Besar, Kuil Dewa Bel, dan gedung-gedung makam yang menjulang tinggi laksana menara. Kesukubangsaan warga Tadmur adalah perpaduan anasir-anasir Amori, Aram, dan Arab. Struktur kemasyarakatannya bersifat kesukuan, dan warganya bertutur dalam bahasa Tadmur (salah satu dialek bahasa Aram), tetapi menggunakan bahasa Yunani dalam urusan dagang dan diplomasi. Kebudayaan Yunani-Romawi mempengaruhi kebudayaan Tadmur, sehingga menghasilkan karya-karya seni dan arsitektur yang menampakkan perpaduan tradisi-tradisi Dunia Timur dan Dunia Barat. Warga Tadmur menyembah dewa-dewi Semit lokal, dewa-dewi Mesopotamia, maupun dewa-dewi Arab.

Pada abad ke-3 Masehi, Tadmur sudah berkembang menjadi kota yang makmur, dan disegani sebagai pusat kekuasaan daerah setempat. Kekuasaannya memuncak pada era 260-an Masehi, setelah Odainat (bahasa Latin: Odaenathus), Raja Tadmur, berhasil mengalahkan Syapur Agung, Kaisar Persia. Raja Odainat digantikan oleh Ratu Pemangku Batzabai (bahasa Latin: Zenobia), yang memberontak melawan Kekaisaran Romawi dan mendirikan Kekaisaran Tadmur. Kota Tadmur dihancurkan Kaisar Aurelianus pada tahun 273, tetapi dibangun kembali Kaisar Diocletianus, meskipun tidak sebesar sediakala. Warga Tadmur memeluk agama Kristen pada abad ke-4 Masehi, tetapi beralih ke agama Islam setelah ditaklukkan Khulafaur Rasyidin pada abad ke-7 Masehi. Sesudah Tadmur dikuasai kaum Muslim, bahasa Tadmur dan bahasa Yunani pun tergeser oleh bahasa Arab.

Sebelum tahun 273 Masehi, Tadmur merupakan daerah swatantra dalam wilayah Provinsi Suriah. Tata pemerintahannya dipengaruhi tata pemerintahan negara kota Yunani pada abad pertama dan abad ke-2 Masehi. Pada abad ke-3 Masehi, kota Tadmur menjadi koloni Romawi, dan tata pemerintahannya diperkaya dengan lembaga-lembaga pemerintahan khas Romawi. Meskipun demikian, Tadmur berubah menjadi negara monarki pada tahun 260 Masehi. Setelah dihancurkan pada tahun 273 Masehi, Tadmur menjadi kota yang tidak begitu penting dalam wilayah Kekaisaran Romawi Timur maupun kekaisaran-kekaisaran yang kemudian hari menjajahnya. Setelah diserang Kekaisaran Wangsa Timur pada tahun 1400, Tadmur menyusut menjadi sebuah desa kecil. Pada tahun 1932, pemerintah Mandat Prancis merelokasi warga Tadmur ke desa baru yang juga diberi nama Tadmur, sehingga kegiatan ekskavasi dapat dilakukan di situs Tadmur kuno. Pada tahun 2015, di tengah Perang Saudara Suriah, sebagian besar situs ini dihancurkan Negara Islam Irak dan Syam. Situs Tadmur kuno direbut kembali Angkatan Darat Suriah pada tanggal 2 Maret 2017.

Etimologi

Keberadaan kota Tadmur sudah tercatat sejak awal milenium ke-2 pra-Masehi,[1] yakni dengan nama "Ta-ad-mi-ir" dalam lauh-lauh lempung beraksara paku dari abad ke-18 pra-Masehi yang ditemukan di Mari, dan dengan nama "Ta-ad-mar" dalam prasasti-prasasti bangsa Asyur dari abad ke-11 pra-Masehi.[2] Ada dua bentuk pelafalan nama kota ini dalam prasasti-prasasti berbahasa Aram-Tadmur, yakni TDMR (Tadmar) dan TDMWR (Tadmor).[3][4] Etimologi nama Tadmur tidak begitu jelas; menurut tafsir standar yang didukung Albert Schultens, nama Tadmur berkaitan dengan kata Semit "tamar" yang berarti kurma (Ibrani: תמר, Arab: تمر),[keterangan 1][7][8] mengacu kepada pohon-pohon kurma di sekeliling kota Tadmur.[8]

Nama Yunaninya, Palmira (Παλμύρα), pertama kali dicatat Plinius Tua pada abad pertama Masehi.[9] Nama inilah yang dikenal Dunia Yunani-Romawi.[7] Pada umumnya kata "Palmira" diyakini berasal dari kata "Tadmor". Ahli-ahli bahasa telah mengemukakan dua teori sebagai penjelasannya. Menurut teori pertama, kata "Palmira" adalah alterasi kata "Tadmor".[7] Albert Schultens menduga bahwa kata "Palmira" tercipta dari kekeliruan melafalkan kata "Tadmor". Mungkin kata "Tadmor" mula-mula keliru dilafalkan menjadi "Talmura", kemudian berubah menjadi "Palmura" karena dipengaruhi kata Latin "palma" (palem),[1] mengacu kepada pohon-pohon kurma kota Tadmur, dan akhirnya berubah menjadi "Palmira".[10] Menurut teori kedua, yang didukung sejumlah filolog, antara lain Jean Starcky, kata "Palmira" adalah terjemahan kata "Tadmor" (dengan asumsi bahwa "Tadmor" berarti "palem"), diturunkan dari kata Yunani "palame" (palem).[1][8]

Menurut teori lain, nama "Tadmur" berasal dari kata Suryani "tedmurtā" (ܬܕܡܘܪܬܐ) yang berarti "mukjizat" (sesuatu yang mengherankan), dari akar kata "dmr" (heran). Teori ini didukung Franz Altheim dan Ruth Altheim-Stiehl (1973), tetapi ditolak Jean Starcky (1960) dan Michael Gawlikowski (1974).[9] Michael Patrick O'Connor (1988) berpendapat bahwa kata "Palmira" maupun "Tadmor" berasal dari bahasa Huri.[1] Untuk memperkuat teorinya, ia mengungkit ketidakjelasan seluk-beluk alterasi akar kata yang diperkirakan sebagai cikal bakal dari kedua kata tersebut, yakni ketidakjelasan seluk-beluk penyisipan "d" pada kata "tamar" dan "ra" pada kata "palame".[8] Menurut teori ini, kata "Tadmor" berasal dari kata Huri "tad" (mengasihi) ditambahi formant vokal tengah meninggi (Vtm) "mar" yang lazim dalam bahasa Huri,[11] sementara kata "Palmira" berasal dari kata Huri "pal" (mengetahui) yang juga ditambahi formant Vtm "mar".[11]

Lingkungan dan tata ruang

Gambar tata ruang Tadmur pada era 1780-an, karya Louis-François Cassas.
Rantai Pegunungan Tadmur Utara
Tengaran-tengaran kota Tadmur

Tadmur berjarak 215 kilometer (134 mil) dari timur laut kota Damsyik, ibu kota negara Suriah.[12] Kota ini maupun permukiman-permukiman, lahan-lahan usaha tani, dan benteng-benteng di daerah sekitarnya adalah bagian dari kawasan yang disebut Daerah Tadmur (bahasa Latin: Regio Palmyrena).[13] Kota Tadmur terletak di sebuah oasis yang dikelilingi pohon-pohon kurma (ada 20 varietas pohon kurma yang sudah dilaporkan).[8][14] Kota ini dipagari Rantai Pegunungan Tadmur Utara di sebelah utara dan Rantai Pegunungan Tadmur Selatan di sebelah barat daya,[15] sementara sisi selatan dan timurnya terbuka menghadap Padang Gurun Suriah.[15] Wadi Alqubur membujur melewati area ini, mulai dari perbukitan di sebelah barat kota sampai ke kebun-kebun oasis.[16] Di kawasan tepi selatan wadi Alqubur terdapat mata air Efqa.[17] Menurut keterangan Plinius Tua dari era 70-an Masehi, kota Tadmur terkenal karena terletak di padang gurun, tetapi bertanah subur[18] dan dikelilingi mata air, sehingga penduduknya dapat bercocok tanam dan membiakkan ternak.[keterangan 2][18]

Tata ruang

Kota Tadmur tumbuh dari perkampungan kecil di dekat mata air Efqa yang terletak di kawasan tepi selatan wadi Alqubur.[20] Perkampungan yang diketahui sebagai permukiman Helenistik ini bertambah ramai dan mengalami pemekaran sampai ke kawasan tepi utara wadi pada abad pertama Masehi.[16] Meskipun tembok kotanya mula-mula melingkungi area luas yang mencakup kawasan tepi selatan maupun kawasan tepi utara wadi,[16] tembok yang dibangun kembali pada masa pemerintahan Kaisar Aurelianus hanya melingkungi area kota di kawasan tepi utara wadi.[21][16] Kebanyakan bangunan megah kota Tadmur berdiri di kawasan tepi utara wadi,[22] termasuk bangunan Kuil Dewa Bel yang didirikan di atas tel bekas landasan sebuah kuil lain (diketahui sebagai kuil Helenistik).[23] Meskipun demikian, hasil kegiatan ekskavasi memperkuat teori yang mengatakan bahwa tel Kuil Dewa Bel mula-mula berlokasi di kawasan tepi selatan wadi. Alur wadi kemudian dialihkan ke sebelah selatan tel pada akhir abad pertama dan awal abad ke-2 Masehi, agar Kuil Dewa Bel menyatu dengan tata ruang kota Tadmur di kawasan tepi utara wadi.[24]

Di kawasan tepi utara wadi juga berdiri Kolonade Besar yang memagari jalan utama (gabungan 3 ruas jalan, tiap ruas berasal dari zaman yang berbeda) sepanjang 11 kilometer (6,8 mil),[25] mulai dari Kuil Dewa Bel di sebelah timur kota[26] sampai ke Kuil Makam No. 86 di sebelah barat kota.[27][28] Sebuah gapura lengkung raksasa berdiri di titik pertemuan ruas tengah dan ruas timur jalan utama,[29] sementara sebuah tetrapilon berdiri di titik pertemuan ruas barat dan ruas tengah jalan utama.[30] Rumah pemandian Diocletianus berdiri di kawasan tepi utara jalan utama,[31] berdekatan dengan bangunan-bangunan tempat tinggal,[32] Kuil Dewa Baal Syamin,[33] dan gereja-gereja khas Romawi Timur, termasuk "Basilika IV", gereja terbesar di Tadmur.[34] Gereja ini diperkirakan dibangun pada zaman wangsa Iustiniana,[35] tinggi pilar-pilarnya diperkirakan mencapai 7 meter (23 kaki), dan landasannya berukuran 27,5 x 47,5 meter (90 × 156 kaki).[34]

Kuil Dewa Nabu dan gedung teater khas Romawi berdiri di kawasan tepi selatan jalan utama.[36] Di belakang gedung teater, berdiri gedung senat berukuran kecil dan Agora berukuran besar, yang masih menampakkan sisa-sisa sebuah triclinium (aula perjamuan) dan pelataran pabean.[37] Jalan melintang di ujung barat jalan utama adalah jalan menuju Kamp Diocletianus[25][38] yang dibangun Sosianus Hierocles (Wali Negeri Romawi di Suriah),[39] berdekatan dengan Kuil Dewi Allat dan Gapura Damsyik.[40]

Suku bangsa, bahasa, dan masyarakat

Potret makam Tadmur

Pada masa pemerintahan Ratu Batzabai, jumlah warga Tadmur mencapai lebih dari 200.000 jiwa.[keterangan 3][42] Suku bangsa pertama yang diketahui mendiami Tadmur adalah orang Amori pada awal milenium ke-2 pra-Masehi,[43] sementara orang Aram tercatat sebagai suku bangsa yang mendiami area tersebut pada akhir milenium yang sama.[44][45] Orang Arab tiba di Tadmur pada akhir milenium pertama pra-Masehi.[46] Syekh Zabdibel, yang membantu Kerajaan Wangsa Seleukos dalam Pertempuran Rafia pada tahun 217 pra-Masehi, tercatat sebagai panglima "selaksa orang Arab dan suku-suku tetangganya".[47] Syekh Zabdibel maupun laskarnya tidak disebut sebagai orang-orang asal Tadmur, tetapi nama "Zabdibel" adalah nama khas Tadmur, sehingga muncul kesimpulan bahwa Syekh Zabdibel berasal dari Tadmur.[48] Pendatang-pendatang Arab berasimilasi dengan penduduk lama, menjadikan bahasa Tadmur sebagai bahasa ibu mereka,[49] dan membentuk salah satu kelompok ningrat yang disegani di Tadmur.[50] Di kota Tadmur juga terdapat sebuah komunitas Yahudi. Prasasti-prasasati berbahasa Tadmur yang ditemukan di nekropolis Bet Sye'arim di Galilea Hilir merupakan bukti penguburan orang-orang Yahudi asal Tadmur.[51] Meskipun jarang, kadang-kadang ada anggota keluarga-keluarga Tadmur yang memakai nama diri Yunani, padahal warga Tadmur yang berkebangsaan Yunani sangat sedikit jumlahnya. Kebanyakan warga Tadmur dengan nama diri Yunani, yang bukan anggota salah satu keluarga Tadmur, adalah budak belian yang sudah dimerdekakan.[52] Tampaknya warga Tadmur tidak menyukai orang Yunani, yang dianggap sebagai orang asing, dan dibatasi permukimannya di dalam kota.[52]

Prasasti beraksara Tadmur

Sampai akhir abad ke-3 pra-Masehi, warga Tadmur menuturkan sebuah dialek bahasa Aram dan menggunakan abjad Tadmur untuk keperluan tulis-menulis.[keterangan 4][54][55] Bahasa Latin sedikit sekali dituturkan, tetapi bahasa Yunani lazim digunakan kalangan hartawan dalam urusan dagang dan diplomasi.[56] Bahasa Yunani menjadi bahasa dominan di Tadmur pada zaman Kekaisaran Romawi Timur.[57] Sesudah ditaklukkan bangsa Arab, bahasa Yunani pun tergeser oleh bahasa Arab,[57] yang kemudian hari melahirkan bahasa Arab dialek Tadmur.[58]

Masyarakat Tadmur adalah campuran berbagai suku bangsa,[59][60] sebagaimana tampak pada nama-nama klan Aram, Arab, dan Amori.[keterangan 5][61][62] Tadmur adalah sebuah komunitas kesukuan, tetapi ketiadaan sumber membuat hakikat struktur kesukuan Tadmur mustahil dapat diketahui.[63] Ada tiga puluh klan yang terdokumentasi.[64] Lima klan di antaranya teridentifikasi sebagai suku (Yunani: φυλή, fule) yang terdiri atas beberapa subklan.[keterangan 6][65] Ada empat suku di Tadmur pada zaman Kaisar Nero. Masing-masing suku tinggal di kawasan permukiman tersendiri. Kawasan-kawasan permukiman tersebut diberi nama yang sama dengan nama suku penghuninya.[66] Tiga di antaranya adalah suku Komare, suku Mattabol, dan suku Ma'zin. Suku yang keempat tidak diketahui secara pasti, tetapi mungkin sekali adalah suku Mita.[66][67]

Seiring waktu berjalan, keempat suku tersebut semakin bersifat kekotaan sehingga batas-batas kesukuan menjadi kabur.[keterangan 7][66] Pada abad ke-2 Masehi, identitas klan kehilangan arti pentingnya, dan akhirnya menghilang pada abad ke-3 Masehi.[keterangan 8][66] Bahkan keempat suku pun kehilangan arti pentingnya pada abad ke-3 Masehi, karena hanya ada satu prasasti yang menyebut-nyebut nama suku sesudah tahun 212. Kaum ningratlah yang selanjutnya berperan penting dalam organisasi kemasyarakatan kota Tadmur.[69] Kaum wanita tampaknya aktif berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Kaum wanita mendanai pembuatan prasasti-prasasti, bangunan-bangunan, maupun gedung-gedung makam, dan dalam kasus-kasus tertentu juga memegang jabatan pemerintahan. Persembahan kepada dewa-dewi atas nama kaum wanita juga terdokumentasi.[70] Pada zaman Bani Umayyah, mayoritas warga Tadmur adalah ahli Bani Kalib.[71] Benyamin orang Tudela mencatat keberadaan 2.000 orang Yahudi di kota Tadmur pada abad ke-12.[72] Tadmur mengalami kemerosotan sesudah digempur Kekaisaran Wangsa Timur pada tahun 1400,[73] dan menyusut menjadi sebuah desa berpenduduk 6.000 jiwa pada awal abad ke-20. Meskipun hidup dikelilingi kaum Badawi, warga desa Tadmur masih mempertahankan dialek mereka.[58] Tadmur seterusnya menjadi sebuah permukiman kecil sampai direlokasi pada tahun 1932.[74]

Kebudayaan

Langkanya artefak Zaman Perunggu yang ditemukan di kota ini menunjukkan bahwa, dari segi kebudayaan, Tadmur terhubung erat dengan kawasan barat Suriah.[75] Pada zaman Klasik, Tadmur memiliki kebudayaan khas[76] yang berakar pada tradisi Semit lokal[77] dan dipengaruhi kebudayaan Yunani-Romawi.[keterangan 9][79] Agar terkesan sudah berintergrasi dengan Kekaisaran Romawi, beberapa warga Tadmur mengadopsi nama diri khas Yunani-Romawi, baik dirangkaikan maupun tanpa dirangkaikan dengan nama kedua yang khas pribumi.[80] Soal seberapa jauh kebudayaan Yunani mempengaruhi kebudayaan tadmur masih menjadi pokok perdebatan.[81] Para ahli menafsirkan praktik-praktik Yunani yang diamalkan warga Tadmur secara berbeda-beda. Banyak yang berpandangan bahwa praktik-praktik tersebut hanya sekadar kulit luar, sedangkan isinya tetap bersifat lokal.[82] Contohnya adalah senat Tadmur. Meskipun peninggalan-peninggalan tertulis Tadmur dalam bahasa Yunani menyebutnya sebagai sebuah boule (lembaga pemerintahan khas Yunani), senat Tadmur sesungguhnya adalah kumpulan kepala suku yang menjabat tanpa melalui proses pemilihan (badan musyawarah khas Timur Dekat).[83] Yang lain berpandangan bahwa kebudayaan Tadmur adalah fusi tradisi lokal dan tradisi Yunani-Romawi.[84]

Loculus (lahad) pangsa Tadmur, Museum Arkeologi Istanbul
Mumi Tadmur

Kebudayaan Persia mempengaruhi siasat tempur, pakaian, dan upacara istana.[85] Tadmur tidak memiliki perpustakaan besar maupun fasilitas penerbitan karya tulis, dan tidak ada gerakan intelektual yang menjadi ciri khas kota-kota Dunia Timur seperti Edesa atau Antiokhia.[86] Meskipun Ratu Batzabai membuka lebar-lebar pintu istananya bagi kaum cerdik pandai, satu-satunya cendekiawan terkemuka yang terdokumentasi adalah Cassius Longinus.[86]

Tadmur memiliki sebuah agora besar,[keterangan 10] tetapi agora Tadmur tidak sama dengan agora-agora Yunani (lokasi rapat umum sekaligus sebuah bangunan umum) karena lebih mirip karavanserai khas Dunia Timur daripada pusat kegiatan masyarakat.[88][89] Jenazah warga Tadmur dimakamkan di dalam bangunan-bangunan mausoleum milik keluarga yang dibangun dengan megah.[90] Tembok kebanyakan mausoleum Tadmur terbentuk dari susunan petak-petak tempat membujurkan jenazah (bahasa Latin: loculus).[91][92] Lubang petak jenazah ditutupi papan batu berelief sosok si mati. Selain berfungsi sebagai batu nisan, papan-papan batu berelief tersebut juga memperindah tembok di dalam ruangan mausoleum.[92] Sarkofagus muncul pada akhir abad ke-2 Masehi, dan digunakan sebagai wadah jenazah di beberapa gedung makam.[93] Banyak gedung makam yang menyimpan mumi. Metode pengawetan jenazah di Tadmur mirip dengan metode yang digunakan bangsa Mesir Kuno.[94][95]

Seni rupa dan arsitektur

Interior Menara Elahbel, foto tahun 2010

Meskipun berkaitan dengan seni rupa Yunani, seni rupa Tadmur memiliki gaya tersendiri yang tidak dimiliki tempat-tempat lain di kawasan tengah daerah Lembah Sungai Efrat.[96] Seni rupa Tadmur tampak jelas pada relief-relief manusia dari kepala sampai dada yang terpahat pada papan batu penutup petak tempat membujurkan jenazah.[96] Relief-relief ini menonjolkan pakaian, perhiasan, dan tampak depan dari orang yang digambarkan.[96][97] Ciri-ciri tersebut dapat dianggap sebagai pendahulu dari seni rupa Romawi Timur.[96] Menurut Michael Rostovtzeff, seni rupa Tadmur dipengaruhi seni rupa Partia.[98] Meskipun demikian, asal-usul frontalitas (tampilan hadap depan) yang menjadi ciri khas seni rupa Tadmur maupun seni rupa Partia merupakan sebuah isu kontroversial. Meskipun diduga (oleh Daniel Schlumberger) berasal dari seni rupa Partia,[99] Michael Avi-Yonah berpendapat bahwa frontalitas dalam seni rupa Tadmur adalah tradisi lokal Suriah, dan seni rupa Partialah yang dipengaruhi tradisi tersebut.[100] Hanya segelintir lukisan yang sintas. Tak satu pun patung perunggu warga kota terkemuka (yang dulu tegak di atas penyangga pada puncak pilar-pilar utama Kolonade Besar) yang sintas.[101] Sebuah friz yang sudah rusak dan karya-karya seni pahat lainnya dari Kuil Dewa Bel, yang kebanyakan sudah dipindahkan ke museum-museum di Suriah maupun di luar Suriah, kiranya dapat memberi gambaran tentang karya-karya seni pahat monumental yang pernah menghiasi ruang-ruang publik kota Tadmur.[101]

Banyak dari relief-relief makam yang sintas dipindahkan ke museum-museum Dunia Barat pada abad ke-19.[102] Tadmur menyajikan contoh-contoh paling tepat dari karya-karya seni Dunia Timur yang menyulut sebuah kontroversi sejarah seni rupa pada tahun-tahun peralihan dari abad ke-19 menuju abad ke-20, yakni kontroversi perihal sampai sejauh mana pengaruh Dunia Timur terhadap seni rupa Romawi menggantikan pakem-pakem seni rupa zaman Klasik yang dianggap ideal itu dengan citra-citra yang menampilkan tampak depan, hieratis, dan lebih sederhana (sebagaimana yang diyakini Josef Strzygowski dan beberapa pihak lain).[101][103] Transisi tersebut dipandang sebagai respons terhadap perubahan-perubahan kebudayaan di Kekaisaran Romawi Barat, alih-alih sebagai dampak dari pengaruh artistik Dunia Timur.[101] Tidak seperti karya-karya seni pahat Romawi, relief-relief makam Tadmur, yang menampilkan sosok manusia dari kepala sampai dada, merupakan potret-potret ala kadarnya. Meskipun banyak yang menampakkan individualitas bermutu tinggi, mayoritas relief makam Tadmur hanya menampakkan sedikit perbedaan satu sama lain dalam menggambarkan sosok-sosok yang sebaya dan yang sama jenis kelaminnya.[101]

Sebagaimana seni rupanya, arsitektur Tadmur juga dipengaruhi gaya arsitektur Yunani-Romawi, meskipun tetap mempertahankan unsur-unsur lokal (tampak jelas pada Kuil Dewa Bel).[keterangan 11][104][107] Meskipun tembok-temboknya yang berukuran raksasa diapit pilar-pilar tradisional Romawi,[107][108] pada hakikatnya denah Kuil Dewa Bel adalah denah sebuah kuil Semit.[107] Seperti bangunan Bait Suci yang kedua, Kuil Dewa Bel terdiri atas pelataran luas dan bangunan suci utama yang terletak hampir di tengah-tengah pelataran serta sejajar dengan pintu masuk ke pelataran (denah yang melestarikan unsur-unsur bangunan kuil buatan Ebla dan Ugarit).[107][109]

Situs

Makam

Lembah Makam pada tahun 2010
Gedung Senat
Rumah Pemandian Diocletianus
Patung Dewi Allat (diserupakan dengan Dewi Atina), ditemukan di dalam Kuil Dewi Allat (diluluhlantakkan pada tahun 2015)
Kuil Makam No. 86
Tembok Diocletianus

Di sebelah barat tembok-tembok kuno, warga Tadmur membangun sejumlah gedung makam berukuran besar yang kini menjadi bagian dari kawasan Lembah Makam,[110] sebuah nekropolis sepanjang 1 kilometer (0,62 mil).[111] Ada lebih dari 50 makam yang terdapat di kawasan Lembah Makam. Kebanyakan di antaranya berbentuk menara, dan paling tinggi bertingkat empat.[112] Menara-menara makam tergantikan oleh kuil-kuil makam pada paruh pertama abad ke-2 Masehi, karena menara makam yang paling muda umurnya diperkirakan dibangun pada tahun 128 Masehi.[27] Kota Tadmur juga memiliki kawasan-kawasan pemakaman lain yang terletak di sebelah utara, barat daya, dan di sebelah tenggara, yang kebanyakan makamnya adalah hypogaeum (ruang makam bawah tanah).[113][114]

Bangunan-bangunan menonjol

Bangunan umum

  • Gedung Senat
Sebagian besar bangunannya sudah runtuh.[37] Gedung Senat adalah bangunan kecil yang terdiri atas sebuah pelataran berperistilium dan sebuah ruangan yang pada salah satu ujungnya terdapat apsis dengan jajar-jajar tempat duduk di sekitarnya.[64]
  • Rumah Pemandian Diocletianus
Tidak ada lagi bagian bangunan ini yang masih tegak di atas permukaan fondasi.[115] Pintu masuknya ditandai empat pilar raksasa dari batu granit Mesir, masing-masing berdiameter 1,3 meter (4 kaki 3 inci), dengan tinggi mencapai 12,5 meter (41 kaki), dan bobot seberat 20 ton.[37] Pada bagian dalam rumah pemandian, masih tampak jelas bekas-bekas tepian sebuah kolam pemandian yang dikellingi kolonade dengan pilar-pilar berlanggam Korintus, demikian pula bekas-bekas sebuah ruangan berlantai segi delapan yang digunakan sebagai ruang ganti dan dilengkapi sebuah lubang saluran pembuangan air di tengah-tengahnya.[37] Sossianus Hierocles, Wali Negeri Suriah pada masa pemerintahan Kaisar Diocletianus, mengaku sebagai orang yang membangun Rumah Pemandian Diocletianus, tetapi mungkin sekali bangunan ini didirikan pada akhir abad ke-2 Masehi, dan Sossianus Hierocles hanya merenovasinya.[keterangan 12][117]
  • Agora
Agora kota Tadmur adalah bagian dari serangkaian bangunan yang juga mencakup pelataran pabean dan triclinium. Agora yang didirikan pada paruh kedua abad pertama Masehi ini[118] adalah bangunan raksasa seluas 71 x 84 meter (233 x 276 kaki) dengan 11 pintu masuk.[37] Di dalam agora ditemukan 200 pilar pendek yang digunakan sebagai lapik patung tokoh-tokoh masyarakat Tadmur.[37] Dari tulisan yang tertera pada lapik-lapik tersebut, dapat diketahui kaidah penempatan patung. Sisi timur adalah tempat khusus untuk memajang patung-patung para senator, sisi utara diperuntukkan bagi patung-patung para pejabat, sisi barat disediakan bagi patung-patung para perwira, dan sisi selatan menampung patung-patung para pemimpin kafilah dagang.[37]
  • Pelataran Pabean
Pelataran Pabean adalah sebuah lapangan luas berbentuk persegi panjang dan berpagar tembok, yang terletak di sebelah selatan agora. Tembok utara Pelataran Pabean juga adalah tembok selatan agora.[119] Mula-mula lapangan ini dimasuki melalui sebuah vestibulum (laluan) raksasa di tembok barat dayanya.[119] Vestibulum tidak lagi dapat digunakan setelah terhalang bangunan tembok pertahanan, sehingga Pelataran Pabean akhirnya dimasuki melalui tiga pintu dari agora.[119] Lapangan ini diberi nama "Pelataran Pabean" karena di dalamnya ditemukan papan batu setinggi 5 meter (16 kaki) bertuliskan hukum kepabeanan Tadmur.[120][121]
  • Triclinium Agora
Bangunan ini terletak di sudut barat laut agora, dan berdaya tampung sampai 40 orang.[122][123] Triclinium Agora adalah sebuah aula seluas 12 x 15 meter (39 x 49 kaki) dengan hiasan corak temesir tak terputus pada dindingnya. Corak hias ini ditempatkan setinggi setengah dari tinggi dinding.[124] Triclinium Agora mungkin sekali digunakan para penguasa Tadmur.[122] Direktur Jenderal Kepurbakalaan Prancis di Suriah, Henri Seyrig, berpendapat bahwa bangunan ini adalah sebuah kuil kecil sebelum diubah menjadi triclinium (aula perjamuan).[123]

Kuil

  • Kuil Dewa Bel
Kuil yang diresmikan pada tahun 32 Masehi ini[125] dikelilingi halaman luas yang dipagari portiko. Lingkungan kuil berbentuk persegi panjang searah garis bujur.[126] Panjang tembok luarnya mencapai 205 meter (673 kaki), dan dilengkapi sebuah propylaeum (gapura raksasa).[127] Cella Kuil Dewa Bel berdiri di atas sebuah podium di tengah-tengah halaman.[128]
  • Kuil Dewa Baal Syamin
Bangunan lama kuil ini diperkirakan berasal dari akhir abad ke-2 pra-Masehi.[129] Altarnya dibangun pada tahun 115 Masehi,[109] dan kuil ini dibangun ulang pada tahun 131 Masehi.[130] Bangunan kuil terdiri atas sebuah cella sebagai pusat bangunan, dan dua pelataran berkolonade di sebelah utara dan selatan pusat bangunan.[131] Sebuah vestibulum bertiang enam berdiri di depan cella, dan tembok-tembok samping cella dihiasi pilar-pilar semu berlanggam Korintus.[132]
  • Kuil Dewa Nabu
Sebagian besar bangunannya sudah runtuh.[133] Denahnya adalah denah kuil khas Dunia Timur. Dari propylaeum pada tembok luarnya, tampak sebuah podium seluas 20 x 9 meter (66 x 30 kaki) yang berportiko. Hanya lapik-lapik pilar serambi yang masih lestari.[131] Cella kuil ini adalah sebuah peristilium yang mengelilingi altar terbuka.[131]
  • Kuil Dewi Allat
Sebagian besar bangunannya sudah runtuh. Yang tersisa hanya sebuah podium, beberapa pilar, dan rangka pintu.[38] Dari hasil ekskavasi di lingkungan kuil, ditemukan sebuah relief singa raksasa (Singa Dewi Allat) yang dulunya menghiasi tembok pelataran.[132][134]
  • Kuil Dewa Baal Hamon
Hanya tersisa reruntuhannya saja. Kuil ini berdiri di puncak bukit Jabal Muntar, dekat mata air Efqa.[135] Kuil yang dibangun pada tahun 89 Masehi ini terdiri atas sebuah cella dan sebuah vestibulum dengan dua pilar.[135] Sebuah menara pertahanan dibangun berdempet dengan bangunan kuil.[136] Melalui ekskavasi, ditemukan sebuah mosaik yang menggambarkan kuil ini. Dari gambar mosaik tersebut dapat diketahui bahwa tepi atas bangunan cella maupun vestibulum Kuil Dewa Baal Hamon dihiasi pagar langkan berbiku-biku.[136]

Bangunan lain

  • Kolonade Besar
Kolonade Besar adalah jajaran pilar raksasa yang memagari kedua tepi jalan utama kota Tadmur yang membentang sepanjang 11 kilometer (6,8 mil). Tinggi pilar mencapai 950 meter (3.120 kaki), dan sebagian besar diperkirakan berasal dari abad ke-2 Masehi.[25]
  • Kuil Makam No. 86
Bangunan yang juga disebut Makam Rumah ini terletak di ujung barat Kolonade Besar.[27][137] Kuil Makam No. 86 dibangun pada abad ke-3 Masehi, memiliki portiko berpilar enam, dan dihiasi ukiran-ukiran bercorak sulur-suluran.[61][138] Di bagian dalam bangunan terdapat undakan menurun ke kripta berlangit-langit kubah.[138] Bangunan ini mungkin ada sangkut-pautnya dengan keluarga kerajaan, karena merupakan satu-satunya makam di dalam area yang dikeliling tembok kota.[61]
  • Tetrapilon
Bangunan ini didirikan sewaktu kota Tadmur direnovasi Kaisar Diocletianus pada akhir abad ke-3 Masehi.[74] Tetrapilon kota Tadmur adalah sebuah landasan persegi yang pada masing-masing sudutnya tegak satu gugus pilar. Satu gugus pilar terdiri atas empat pilar.[36] Masing-masing gugus pilar menyangga sotoh seberat 150 ton. Di tengah-tengah tiap gugus pilar terdapat sebuah tumpuan yang dulunya berfungsi sebagai lapik patung.[36] Dari keenam belas pilar tersebut, hanya satu pilar yang masih asli, sementara yang lain adalah pilar-pilar beton hasil usaha rekonstruksi yang dikerjakan Direktorat Jenderal Kepurbakalaan Suriah pada tahun 1963.[138] Pilar-pilar yang asli didatangkan dari Mesir dan terbuat dari batu granit merah muda.[36]
Tembok Kota adalah tembok pelindung yang mulai dibangun pada abad pertama Masehi. Di tempat-tempat tertentu, Tembok Kota menyatu dengan pegunungan yang merupakan tembok alam kota Tadmur. Tembok Kota melingkungi kawasan-kawasan permukiman, kebun-kebun, dan oasis.[21] Sesudah tahun 273 Masehi, Kaisar Aurelianus mendirikan tembok benteng yang dikenal dengan nama Tembok Diocletianus.[21] Tembok tersebut melingkungi area seluas kira-kira 80 hektar, lebih kecil dari area kota yang dilingkungi tembok lama sebelum tahun 273 Masehi.[139][140]

Penghancuran oleh Negara Islam Irak dan Syam

Sisa-sisa pintu masuk berpelengkung sesudah penghancuran cella Kuil Dewa Bel

Menurut keterangan saksi mata, pada tanggal 23 Mei 2015, para pejuang Negara Islam Irak dan Syam menghancurkan Singa Dewi Allat dan patung-patung lain. Peristiwa ini terjadi berhari-hari sesudah para pejuang mengumpulkan warga Tadmur dan berjanji tidak akan menghancurkan monumen-monumen kota itu.[141] Menurut keterangan para aktivis maupun petinggi Dinas Purbakala Suriah, Maamoun Abdulkarim, Negara Islam Irak dan Syam menghancurkan Kuil Dewa Baal Syamin pada tanggal 23 Agustus 2015.[142] Pada tanggal 30 Agustus 2015, Negara Islam Irak dan Syam menghancurkan cella Kuil Dewa Bel.[143] Pada tanggal 31 Agustus 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan bahwa kuil tersebut sudah dihancurkan.[144] Yang masih tersisa dari bangunan raksasa ini hanya tembok-tembok luar dan pintu masuk berpelengkung.[143][145]

Pada tanggal 4 September 2015, Negara Islam Irak dan Syam diketahui telah menghancurkan tiga dari makam-makam menara yang paling utuh bangunannya, termasuk Menara Elahbel.[146] Pada tanggal 5 Oktober 2015, media massa melaporkan bahwa Negara Islam Irak dan Syam telah menghancurkan bangunan-bangunan yang tidak memiliki arti religius, termasuk gapura pelengkung raksasa.[147] Pada tanggal 20 Januari 2017, tersiar kabar bahwa para pejuang Negara Islam Irak dan Syam telah menghancurkan tetrapilon dan sebagian bangunan teater.[148] Sesudah Tadmur direbut kembali Angkatan Darat Suriah pada bulan Maret 2017, Direktur Kepurbakalaan dan Museum di Kementerian Kebudayaan Suriah, Maamoun Abdulkarim, mengungkap bahwa kerusakan yang menimpa monumen-monumen kuno mungkin tidak separah yang disangka sebelumnya, dan foto-foto awal menunjukkan hampir tidak ada kerusakan tambahan selain dari yang sudah diketahui.[149] Kepala Dinas Purbakala, Wael Hafyan, menyatakan bahwa tetrapilon mengalami kerusakan parah, sementara kerusakan yang menimpa muka bangunan teater Romawi tidak terlampau parah.[150]

Restorasi

Rekonstruksi digital Kuil Dewa Bel (New Palmyra project)

Sebagai respons terhadap penghancuran tersebut, pada tanggal 21 Oktober 2015, Creative Commons merintis New Palmyra Project, sebuah repositorium daring yang menampung model-model tiga dimensi dari monumen-monumen kota Tadmur. Model-model tersebut dihasilkan dari gambar-gambar yang dikumpulkan dan dirilis ke domain publik oleh pegiat internet Suriah, Bassel Khartabil, antara tahun 2005 sampai tahun 2012.[151][152] Berkonsultasi dengan UNESCO, badan-badan khusus PBB, asosiasi-asosiasi arkeologi, dan museum-museum menyusun rencana-rencana restorasi Tadmur. Pelaksanaan restorasi ditangguhkan sampai pertumpahan darah di Suriah berakhir, baik karena banyak rekanan internasional mengkhawatirkan keselamatan tim mereka maupun untuk memastikan bahwa artefak-artefak yang sudah direstorasi nantinya tidak akan kembali rusak akibat pertempuran-pertempuran susulan.[153] Usaha restorasi berskala kecil pun dilakukan. Dua patung makam Tadmur, yang dirusak dan dihilangkan bagian wajahnya oleh Negara Islam Irak dan Syam, dikirim ke Roma untuk direstorasi, kemudian dikirim kembali ke Suriah.[154] Restorasi Singa Dewi Allat memakan waktu dua bulan lamanya, dan patung itu akhirnya dapat dipamerkan pada tanggal 1 Oktober 2017. Singa Dewi Allat kini tersimpan di Museum Nasional Damsyik.[155]

Sehubungan dengan usaha restorasi, arkeolog penemu kota Ebla, Paolo Matthiae, mengemukakan bahwa "situs arkeologi Tadmur adalah hamparan luas reruntuhan, dan hanya 20 sampai 30% yang rusak parah. Sayang sekali persentase yang rusak parah tersebut mencakup pula unsur-unsur penting, misalnya Kuil Dewa Bel, sementara Gapura Kemenangan dapat dibangun kembali." Ia menambahkan pula bahwa, "bagaimanapun juga, dengan menggunakan teknik-teknik tradisional maupun teknologi-teknologi maju, 98% dari situs itu mungkin sekali dapat direstorasi".[156]

Sejarah

Mata air Efqa, mengering pada tahun 1994 [157]

Situs purbakala di Tadmur menyimpan bukti-bukti keberadaan sebuah permukiman Zaman Batu Muda di dekat mata air Efqa.[158] Perkakas-perkakas batu yang ditemukan di situs ini diperkirakan berasal dari tahun 7500 pra-Masehi.[159] Pemeriksaan stratigrafi tel di bawah Kuil Dewa Bel menyingkap keberadaan sebuah bangunan bata-lumpur yang didirikan sekitar tahun 2500 pra-Masehi, berikut bangunan-bangunan lain yang didirikan pada Zaman Perunggu Pertengahan dan Zaman Besi.[160]

Zaman bahari

Nama kota Tadmur memasuki catatan sejarah pada Zaman Perunggu, yakni sekitar tahun 2000 pra-Masehi, ketika Puzur-Isytar orang Tadmur menyepakati sebuah perjanjian di koloni dagang Asyur di Kültepe.[159] Nama kota Tadmur kemudian hari tercatat pula dalam lauh-lauh lempung Mari sebagai salah satu persinggahan kafilah-kafilah dagang maupun suku-suku pengembara, misalnya orang Sute,[59] dan ditaklukkan bersama-sama daerah sekitarnya oleh Yahdun-Lim, Raja Mari.[161] Raja Asyur, Syamsi Adad I, melewati daerah tersebut dalam perjalanannya menuju Laut Tengah pada awal abad ke-18 pra-Masehi.[162] Ketika itu, Tadmur merupakan kota di pelosok timur wilayah Kerajaan Qatna[163] yang diserang orang Sute, suku bangsa yang melumpuhkan lalu lintas perdagangan di jalur-jalur dagang.[164] Nama kota Tadmur kembali muncul dalam sebuah lauh dari abad ke-13 pra-Masehi yang ditemukan di Emar. Lauh ini mengabadikan nama dua "orang Tadmur" selaku saksi.[59] Pada awal abad ke-11 pra-Masehi, Raja Asyur, Tiglat-Pileser I, mencatat kemenangannya atas "orang-orang Aram" asal "Tadmar".[59] Ia menyebut Tadmur sebagai bagian dari negeri Amurru.[165] Tadmur adalah kota di perbatasan wilayah Kerajaan Aram-Damsyik yang ditaklukkan Kekaisaran Asyur Baru pada tahun 732 pra-Masehi.[166]

Alkitab Ibrani (2 Tawarikh 8:4) mengabadikan nama "Tadmor", sebuah kota di padang gurun yang diperkuat (dibentengi) Salomo, Raja Israel.[167] Dalam jilid ke-8 karya tulisnya, Antiquitates Iudaicae, sejarawan Flavius Iosephus menyebutkan bahwa kota "Palmira" (nama Yunani kota Tadmur) dibangun Salomo.[130] Tradisi-tradisi Arab kemudian hari menyebutkan bahwa kota Tadmur dibangun abdi Salomo dari bangsa jin.[168] Pengait-ngaitan kota Tadmur dengan Salomo muncul akibat pencampuradukan "Tadmor" dengan "Tamar", yakni kota yang dibangun Salomo di Yudea (1 Raja–Raja 9:18).[129] Uraian Alkitab tentang "Tadmor" dan bangunan-bangunannya tidak selaras dengan temuan-temuan arkeologi di Tadmur, yang merupakan sebuah permukiman kecil pada masa pemerintahan Salomo (abad ke-10 pra-Masehi).[129]

Zaman Helenistik dan zaman penjajahan Romawi

Prasasti yang memuat nama Raja Epifanes

Pada zaman Helenistik, Tadmur adalah sebuah permukiman makmur yang tunduk di bawah pemerintahan raja-raja wangsa Seleukos (antara tahun 312 sampai tahun 64 pra-Masehi).[129][169] Bukti-bukti urbanisasi Tadmur pada zaman Helenistik sangat sedikit jumlahnya. Salah satu bukti penting adalah Prasasti Lagman II yang ditemukan di Provinsi Lagman, Afganistan. Prasasti ini dibuat sekitar tahun 250 pra-Masehi atas perintah Kaisar India, Asoka. Meskipun terjemahannya masih diperdebatkan, semitolog André Dupont-Sommer berpendapat bahwa prasasti ini mengabadikan keterangan tentang jarak tempuh dari Lagman ke "Tdmr" (Tadmur).[keterangan 13][171] Pada tahun 217 pra-Masehi, sepasukan laskar Tadmur di bawah pimpinan Zabdibel bergabung dengan angkatan bersenjata Raja Antiokos Agung dalam Pertempuran Rafia yang berakhir dengan kekalahan Kerajaan Wangsa Seleukos di tangan Kerajaan Wangsa Ptolemaios.[46] Pada pertengahan zaman Helenistik, Tadmur, yang sebelumnya terletak di kawasan tepi selatan wadi Alqubur, mengalami pemekaran sampai ke kawasan tepi utara wadi tersebut.[24] Pada akhir abad ke-2 pra-Masehi, makam-makam menara di kawasan Lembah Makam serta kuil-kuil kota Tadmur (teristimewa Kuil Dewa Baal Syamin, Kuil Dewi Allat, dan kuil-kuil Helenistik) mulai dibangun.[23][46][129] Sisa-sisa sebuah prasasti berbahasa Yunani dari masa pembangunan Kuil Dewa Bel menyebut-nyebut seorang raja bergelar Epifanes, yakni gelar yang disandang raja-raja wangsa Seleukos.[keterangan 14][177]

Pada tahun 64 pra-Masehi, Kerajaan Wangsa Seleukos ditaklukkan Republik Romawi, dan dijadikan Provinsi Suriah oleh Panglima Romawi, Pompeius.[46] Tadmur dibiarkan merdeka,[46] tetap berdagang dengan Republik Romawi maupun Kekaisaran Partia, tetapi tidak menjadi bagian dari kedua-duanya.[178] Prasasti tertua yang ditemukan di Tadmur diperkirakan dibuat sekitar tahun 44 pra-Masehi,[49] ketika Tadmur masih berupa sebuah masyakhah (negara yang dikepalai seorang syekh), tempat kafilah-kafilah dagang mengambil bekal air jika kebetulan melewatinya.[179] Meskipun demikian, menurut keterangan Apianos, Tadmur adalah kota yang cukup makmur, sehingga Marcus Antonius merasa perlu mengerahkan pasukan untuk menaklukkannya pada tahun 41 pra-Masehi.[178] Warga Tadmur mengungsi ke wilayah Partia di kawasan tepi timur Sungai Efrat,[178] tempat mereka dapat mempertahankan diri.[49]

Daerah swatantra Tadmur

Cella Kuil Dewa Bel (dihancurkan pada tahun 2015)
Teater Tadmur (dirusak pada tahun 2017)
Gapura lengkung raksasa di ruas timur Kolonade Besar (dihancurkan pada tahun 2015)

Tadmur menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi setelah ditaklukkan dan membayar upeti pada awal masa pemerintahan Kaisar Tiberius, yakni sekitar tahun 14 Masehi. [keterangan 15][46][181] Pemerintah Kekaisaran Romawi menetapkan garis-garis batas Daerah Tadmur,[182] dan menjadikannya bagian dari wilayah Provinsi Suriah.[180] Plinius Tua menyebutkan bahwa Daerah Tadmur berbatasan langsung dengan Daerah Emesa.[183] Sebuah tapal penanda batas barat daya Daerah Tadmur ditemukan pada tahun 1936 oleh Daniel Schlumberger di Qasrul Hairul Gharbi, dan diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Kaisar Hadrianus atau sesudahnya. Tapal ini menandai batas antara Daerah Tadmur dan Daerah Emesa.[keterangan 16][185][186] Garis perbatasan ini mungkin sekali memanjang ke utara sampai Khirbatul Bilas di Jabal Bilas, tempat ditemukannya tapal lain yang dipancangkan Wali Negeri Romawi, Silanus. Tapal tersebut berjarak 75 kilometer (47 mil) dari barat laut Tadmur, dan mungkin menandai perbatasan antara Daerah Tadmur dan Daerah Epifania.[187][182] Garis batas selatan Daerah Tadmur memanjang sampai ke daerah Lembah Sungai Efrat.[186] Di dalam Daerah Tadmur terdapat banyak desa yang tunduk kepada pemerintah ibu kota daerah,[188] termasuk permukiman-permukiman besar seperti Al Qaryatain.[189] Pada zaman Kekaisaran Romawi, kota Tadmur menjadi sangat makmur, dan mendapatkan status swapraja dalam wilayah Kekaisaran Romawi, sehingga berwenang menangani sendiri urusan-urusan dalam negerinya.[46] Kepala pemerintahan swapraja Tadmur adalah sebuah badan musyawarah,[190] dan banyak lembaga pemerintahan Tadmur yang dibentuk mengikuti lembaga-lembaga pemerintahan negara kota Yunani (polis).[keterangan 17][191]

Peninggalan tertulis paling tua di Tadmur yang menyinggung keberadaan bangsa Romawi di kota itu diperkirakan berasal dari tahun 18 Masehi, yakni tahun ketika Panglima Romawi, Germanicus, berusaha menjalin persahabatan dengan Partia. Germanicus mengutus seorang tokoh Tadmur bernama Aleksandros ke Mesene, kerajaan bawahan Partia.[keterangan 18][194] Peninggalan tertulis berikutnya mencatat kedatangan Legio X Fretensis (Legiun X, Laskar dari Selat) pada tahun 19 Masehi.[keterangan 19][195] Pejabat Romawi di Tadmur sangat sedikit jumlahnya pada abad pertama Masehi, meskipun para pemungut cukai Romawi bertempat tinggal di Tadmur,[196] dan sebuah jalan yang menghubungkan Tadmur dengan Sura dibangun pada tahun 75.[keterangan 20][197] Kekaisaran Romawi memanfaatkan tenaga warga Tadmur sebagai prajurit,[198] tetapi (tidak seperti lazimnya kota-kota Romawi) tidak ada peninggalan tertulis yang mencatat keberadaan magistratus (pejabat yang dipilih rakyat) maupun praefectus (pejabat yang diangkat pemerintah) di kota Tadmur.[197] Pembangunan intensif berlangsung di Tadmur pada abad pertama Masehi, termasuk pembangunan tembok pertahanan yang pertama,[199] dan pembangunan Kuil Dewa Bel (rampung dan diresmikan pada tahun 32 Masehi).[125] Pada abad pertama Masehi, Tadmur berkembang dari sebuah perhentian kafilah dagang yang kecil menjadi pusat perdagangan yang besar,[keterangan 21][179] dan para saudagar Tadmur mendirikan koloni-koloni dagang di pusat-pusat perdagangan terdekat.[194]

Kegiatan perdagangan Tadmur mencapai puncaknya pada abad ke-2 Masehi.[201] Pencapaian tersebut didukung dua faktor. Faktor pertama adalah jalur dagang yang dibangun orang-orang Tadmur[18] dan dilindungi garnisun-garnisun di lokasi-lokasi penting, antara lain garnisun yang ditempatkan di Dura-Europos pada tahun 117 pra-Masehi.[202] Faktor kedua adalah penaklukan Petra, ibu kota Kerajaan Nabatea, oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 106 Masehi,[46] yang menyebabkan kendali atas jalur-jalur dagang kawasan selatan di Jazirah Arab beralih dari orang-orang Nabatea ke orang-orang Tadmur.[keterangan 22][46] Pada tahun 129 Masehi, kota Tadmur mendapat lawatan Kaisar Hadrianus. Sang kaisar memberi nama "Hadriane Palmyra" kepada kota itu, dan menjadikannya sebuah civitas libera (kota swapraja).[204][205] Kaisar Hadrianus mendorong penyebarluasan kebudayaan Helenistik ke seluruh wilayah Kekaisaran Romawi,[206] dan ekspansi kota Tadmur dilakukan dengan meniru ekspansi kota ala Yunani.[206] Ekspansi kota melahirkan kegiatan-kegiatan pendirian bangunan baru, antara lain bangunan teater, Kolonade Besar, dan Kuil Dewa Nabu.[206] Keberadaan garnisun Romawi di Tadmur pertama kali tercatat pada tahun 167 Masehi, yakni tahun ketika Tadmur dijadikan pangkalan pasukan berkuda Ala I Thracum Herculiana (Pasukan Sayap I, Laskar Trakia Herculianus).[keterangan 23][209] pada akhir abad ke-2 Masehi, usaha pengembangan kota mengalami penurunan, sesudah kegiatan pendirian bangunan di kota Tadmur mencapai puncaknya.[210]

Pada era 190-an, Tadmur dijadikan bagian dari provinsi baru Suriah Foinike bentukan wangsa Severa.[211] Menjelang akhir abad ke-2 Masehi, Tadmur mulai bertransisi dari bentuk pemerintahan tradisional Yunani ke bentuk monarki akibat meningkatnya militerisasi kota itu dan memburuknya situasi ekonomi.[212] Berkuasanya wangsa Severa di Roma berdampak besar terhadap transisi Tadmur, karena hal-hal sebagai berikut:[210]

  • Perang Romawi-Partia yang dipimpin wangsa Severa dari tahun 194 sampai 217 mempengaruhi keamanan Daerah Tadmur dan berdampak terhadap kegiatan perdagangan kota Tadmur.[213] Gerombolan-gerombolan perampok mulai menyerang kafilah-kafilah dagang pada tahun 199 Masehi, sehingga pemerintah Tadmur merasa perlu memperbesar kekuatan militernya.[213]
  • Wangsa Severa peduli terhadap kemaslahatan kota Tadmur[213] sehingga mengerahkan Cohors I Flavia Chalcidenorum (Pasukan Teras I, Laskar Kalkis Flavius) untuk berpangkalan di kota itu pada 206.[214] Antara tahun 213 sampai tahun 216, Kaisar Caracalla menjadikan Tadmur sebagai salah satu colonia Romawi, dan mengganti berbagai lembaga pemerintahan ala Yunani dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang sesuai dengan undang-undang dasar Kekaisaran Romawi.[212] Kaisar Severus Alexander, yang memerintah dari tahun 222 sampai tahun 235, berkunjung ke Tadmur pada tahun 229 Masehi.[213][215]

Kerajaan Tadmur

Patung kepala seorang pria bermahkota bumban daun salam ala pemimpin Romawi, mungkin patung Raja Odainat

Kebangkitan wangsa Sasan di Persia benar-benar merusak usaha dagang Tadmur.[216] Kekaisaran Persia menutup koloni-koloni dagang Tadmur di wilayah mereka,[216] dan memaklumkan perang melawan Kekaisaran Romawi.[217] Dalam sebuah prasasti yang diperkirakan berasal dari tahun 252 Masehi, nama Odainat muncul dengan gelar eksarkos (pemimpin) Tadmur.[218] Lemahnya Kekaisaran Romawi dan ancaman Persia yang terus-menerus membayangi mungkin sekali merupakan alasan-alasan yang melatarbelakangi keputusan Badan Musyawarah Tadmur untuk mengangkat seorang pemimpin guna mengepalai angkatan bersenjata Tadmur yang sudah diperbesar kekuatannya.[219] Odainat berusaha mengajukan permohonan kepada Kaisar Persia, Syapur Agung, agar sudi menjamin kepentingan-kepentingan Tadmur di Persia, tetapi permohonannya ditolak mentah-mentah.[220] Pada tahun 260 Masehi, Kaisar Valerianus maju menghadapi Syapur Agung dalam Pertempuran Edesa, tetapi dikalahkan dan ditawan.[220] Macrianus Maior, salah seorang perwira bawahan Valerianus, beserta putra-putranya, Quietus dan Macrianus, bersama-sama dengan Praefectus Praetorio (kepala pasukan khusus) Balista, memberontak melawan Kaisar Gallienus, putra Kaisar Valerianus, dan merebut kekuasaan atas Suriah.[221]

Perang-perang melawan Persia

Odainat membentuk angkatan bersenjata yang beranggotakan warga Tadmur dan warga masyarakat pedesaan Suriah untuk melawan Syapur Agung.[keterangan 24][220] Menurut Historia Augusta, Odainat menyatakan diri sebagai raja sebelum bertempur melawan Syapur Agung.[223] Odainat meraih kemenangan telak di dekat tepian Sungai Efrat pada tahun 260 Masehi, sehingga pasukan Persia terpaksa mundur.[224] Pada tahun 261 Masehi, Odainat maju menggempur para pemberontak yang merebut kekuasaan atas Suriah. Ia berhasil mengalahkan sekaligus menewaskan Quietus dan Balista.[225] Kaisar Gallienus menganugerahkan gelar Imperator Totius Orientis (Kepala Pemerintahan Seluruh Wilayah Timur) kepada Odainat sebagai penghargaan atas jasa-jasanya,[226] sehingga Odainat berhak memerintah selaku raja muda di wilayah Provinsi Suriah, Provinsi Mesopotamia, Provinsi Arab, dan Provinsi Anatolia.[227][228] Secara resmi, Tadmur tetap menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi, tetapi prasasti-prasasti Tadmur mulai menyebut kota itu sebagai sebuah "metrocolonia", yang menunjukkan bahwa status kota Tadmur lebih tinggi daripada colonia biasa.[229] Pada praktiknya, Tadmur berubah dari sebuah kota provinsi menjadi secara de facto sebuah kerajaan sekutu.[230]

Pada tahun 262 Masehi, Odainat kembali memaklumkan perang melawan Syapur Agung.[231] Ia merebut kembali kota-kota Provinsi Mesopotamia yang dicaplok Persia (terutama kota Nisibis dan kota Karai), menjarah Nehardea yang merupakan kota orang Yahudi,[keterangan 25][232][233] dan mengepung Tisfon, ibu kota Kekaisaran Persia.[234][235] Sesudah meraih kemenangan, Odainat menyandang gelar raja diraja.[keterangan 26][238] Kemudian hari Odainat menobatkan putranya, Hairan I, menjadi raja-bersama di dekat kota Antiokhia pada tahun 263 Masehi.[239] Meskipun tidak berhasil merebut ibu kota Persia, Odainat berhasil mengusir orang Persia dari semua daerah kekuasaan bangsa Romawi yang dicaplok Persia sejak Syapur Agung memerangi Kekaisaran Romawi pada tahun 252 Masehi.[240] Dalam perang kedua pada tahun 266 Masehi, Odainat kembali mengepung Tisfon. Meskipun demikian, ia harus menghentikan aksi pengepungan dan bergerak ke utara bersama Hairan I untuk mengusir orang Goth dari Provinsi Asia.[241] Odainat dan putranya tewas terbunuh ketika pulang dari medan perang pada tahun 267 Masehi.[242] Menurut Historia Augusta, Odainat tewas dibunuh saudara sepupunya, sementara Ioanes Zonaras menyebutkan bahwa si pembunuh adalah kemenakan Odainat. Dalam Historia Augusta, pembunuh Odainat bernama Maeonius.[243] Historia Augusta juga menyebutkan bahwa Maeonius sempat menyatakan diri sebagai kaisar sebelum tewas dibunuh para prajurit.[243][244][245] Meskipun demikian, tidak ada prasasti maupun bukti lain mengenai masa pemerintahan Maeonius.[246]

Gambar Batzabai selaku Augusta pada sisi kepala sekeping Antoninianus

Odainat digantikan oleh putranya, Wahballat (bahasa Latin: Vaballathus), yang baru berumur sepuluh tahun.[247] Batzabai, ibu Wahballat, adalah penguasa de facto Tadmur. Wahballat terus meringkuk di bawah bayang-bayang ibunya, sementara sang ibu mengukuhkan kekuasaannya sendiri.[247] Kaisar Gallienus mengutus Praefectus Heraclianus untuk memimpin operasi militer melawan Persia, tetapi si praefectus dipojokkan Ratu Batzabai dan pulang ke wilayah barat.[240] Ratu Batzabai bersikap hati-hati agar tidak memancing kemarahan Roma. Ia hanya menuntut agar gelar-gelar suaminya diturunkan kepadanya dan kepada putranya, serta berjanji akan menjaga keamanan di daerah-daerah yang berbatasan dengan wilayah Persia dan akan menundukkan Bani Tanukh di Hauran.[247] Untuk melindungi daerah-daerah yang berbatasan dengan wilayah Persia, Ratu Batzabai membentengi sejumlah permukiman di tepi Sungai Efrat, antara lain kota Halabiyah dan kota Zalabiyah.[248] Ada bukti-bukti tidak langsung yang menunjukkan bahwa Wahballat pernah berkonfrontasi dengan wangsa Sasan. Mungkin sekali Wahballat menyandang gelar Persicus Maximus (Mahajaya di Persia) pada tahun 269 Masehi, dan gelar ini mungkin saja berkaitan dengan kemenangan tak tercatat dalam pertempuran melawan angkatan bersenjata Persia yang ingin kembali menguasai Mesopotamia.[249][250]

Kekaisaran Tadmur
Wilayah Kekaisaran Tadmur pada tahun 271 Masehi

Kiprah militer Ratu Batzabai bermula pada musim semi tahun 270 Masehi, yakni pada masa pemerintahan Kaisar Claudius Gothicus.[251] Dengan alasan memerangi Bani Tanukh, Batzabai menaklukkan Provinsi Arab.[251] Pada bulan Oktober tahun yang sama, Tadmur menginvasi Mesir.[252][253] Mesir dapat ditaklukkan, dan Batzabai pun dimasyhurkan sebagai Ratu Mesir.[254] Pada tahun 271 Masehi, Tadmur menginvasi Anatolia sampai ke Ankara, yang merupakan puncak dari aksi ekspansinya.[255] Aksi penaklukan tadmur dilancarkan dengan berkedok pengabdian terhadap Roma.[256] Batzabai mencetak uang logam atas nama Kaisar Aurelianus, pengganti Kaisar Claudius Gothicus. Uang logam keluaran Batzabai memuat gambar Wahballat selaku raja.[keterangan 27][256] Karena Kaisar Aurelianus sedang sibuk menumpas pemberontakan di Eropa, ia menutup mata terhadap tindakan Batzabai mencetak uang logam dan menyerobot wilayah.[257][258] Menjelang akhir tahun 271 Masehi, Wahballat dimasyhurkan sebagai Augustus, dan Batzabai menyandang gelar Augusta.[keterangan 28][256]

Pada tahun 272 Masehi, Kaisar Aurelian menyeberangi Selat Bosporus dan bergerak cepat melintasi Anatolia.[262] Menurut salah satu sumber, Panglima Romawi, Marcus Aurelius Probus, merebut kembali Mesir dari Tadmur.[keterangan 29][263] Kaisar Aurelianus memasuki Isos dan bergegas menuju Antiokhia. Ratu Batzabai dikalahkan dalam Pertempuran Immae di dekat Antiokhia,[264] dan sekali lagi mengalami kekalahan dalam Pertempuran Emesa dan berlindung di Ḥumṣ sebelum bergegas pulang ke Tadmur.[265] Ketika Tadmur akhirnya dikepung pasukan Romawi, Ratu Batzabai tidak bersedia menuruti perintah untuk menyerahkan diri kepada kaisar.[255] Ia melarikan diri ke sebelah timur untuk meminta pertolongan Persia, tetapi tertangkap pasukan Romawi. Tak lama sesudah Ratu Batzabai ditangkap, Kota Tadmur pun diluluhlantakkan pasukan Romawi.[266][267]

Akhir zaman Kekaisaran Romawi dan zaman Kekaisaran Romawi Timur

Kamp Diocletianus

Kaisar Aurelianus memutuskan untuk tidak memusnahkan Tadmur, dan menempatkan 600 prajurit pemanah di kota itu di bawah pimpinan Sandarion sebagai pasukan penjaga perdamaian.[268] Pada tahun 273 Masehi, Septimius Apsaios memimpin pemberontakan di Tadmur,[261] dan mempermaklumkan Septimius Antiochus (kerabat Ratu Batzabai) sebagai Augustus.[269] Kaisar Aurelianus mengerahkan pasukan ke Tadmur dan meluluhlantakkan kota itu. Monumen-monumen yang paling berharga dirampas dan digunakan untuk mendekorasi Kuil Dewa Sol yang ia bangun.[266][270] Bangunan-bangunan Tadmur dirubuhkan, warganya dibantai, dan Kuil Dewa Bel dijarah habis-habisan.[266]

Tadmur menyusut menjadi sebuah desa, dan menghilang dari catatan sejarah zaman itu.[271] Kaisar Aurelianus memugar Kuil Dewa Bel, dan menempatkan Legio I Illyricorum (Legiun I, Laskar Iliria) di kota Tadmur.[139] Menjelang tahun 303, sebuah castrum (benteng) yang diberi nama Kamp Diocletianus dibangun di sebelah barat kota Tadmur.[139] Kamp seluas 4 hektar (9,9 ekar) itu digunakan sebagai pangkalan Legio I Illyricorum,[139] yang bertugas menjaga jalur-jalur dagang di sekitar kota Tadmur.[271] Selama beberapa dasawarsa setelah diluluhlantakkan Kaisar Aurelianus, warga Tadmur memeluk agama Kristen.[272] Pada akhir tahun 527 Masehi, Kaisar Iustinianus I memerintahkan agar gereja-gereja dan bangunan-bangunan umum di Tadmur direstorasi untuk menanggulangi serbuan-serbuan Raja Bani Lakhim, Al Mundir bin Nu'man.[273]

Zaman khilafah Arab

Tadmur tunduk di bawah daulat Khilafaur Rasyidin sesudah ditaklukkan panglima tentara Muslim, Khalid bin Walid, ketika memimpin pergerakan tentara Muslim melintasi Padang Gurun Suriah dari Mesopotamia menuju Damsyik selama 18 hari pada tahun 634.[274] Ketika itu, area kota Tadmur terbatas dalam lingkup Kamp Diocletianus.[74] Sesudah ditaklukan kaum Muslim, kota Tadmur dijadikan bagian dari Jund (distrik militer) Ḥumṣ.[275]

Zaman Bani Umayyah dan Bani Abbas

Pada zaman Bani Umayyah, taraf kesejahteraan maupun jumlah penduduk Tadmur mengalami peningkatan.[276] Tadmur menjadi perhentian utama di jalur dagang Timur-Barat. Pemerintah Bani Umayyah membangun sebuah suq (pasar) yang luas,[276][277] dan mengubah sebagian lingkungan Kuil Dewa Bel menjadi mesjid.[277] Pada zaman Bani Umayyah, Tadmur menjadi kubu pertahanan Bani Kalib.[71] Sesudah dikalahkan Marwan II dalam Perang Saudara Islam III, ahli waris Bani Umayyah, Sulaiman bin Hisyam, mula-mula berlindung kepada Bani Kalib di Tadmur, tetapi akhirnya berbaiat kepada Marwan II pada tahun 744. Tadmur tetap menentang Marwan II sampai pemimpin Bani Kalib, Al Abrasyul Kalbi menyerah pada tahun 745.[278] Pada tahun itu juga, Marwan II memerintahkan agar tembok-tembok kota Tadmur dirubuhkan.[74][279]

Ketika pemberontakan yang dipimpin Majza'a bin Kawthar dan ahli waris Bani Umayyah, Abu Muhammad Al Sufyani, melawan Khilafah Bani Abbas berkecamuk di Suriah,[280] suku-suku di Tadmur mendukung pihak pemberontak.[281] Sesudah dikalahkan, Abu Muhammad Al Sufyani berlindung di Tadmur. Kota Tadmur mampu bertahan cukup lama digempur Bani Abbas, sehingga Abu Muhammad Al Sufyani berkesempatan meloloskan diri.[281]

Desentralisasi khilafah

Bangunan pertahanan di Kuil Dewa Bel

Khilafah Bani Abbas melemah pada abad ke-10, ketika wilayahnya terpecah-belah menjadi sejumlah negara bawahan.[282] Kebanyakan kepala negara bawahan mengakui khalifah sebagai pemimpin tertinggi secara nominal saja. Keadaan ini berlanjut sampai Khilafah Bani Abbas ditumbangkan bangsa Mongol pada tahun 1258.[283]

Tadmur mengalami penyusutan populasi mulai abad ke-9, dan berlanjut sampai abad ke-10.[284] Pada tahun 955. Saiful Daulah, Emir Halab dari wangsa Hamdan, mengalahkan kaum Badawi di sekitar Tadmur[285] dan membangun sebuah kasbah (benteng) guna menghadapi kampanye-kampanye militer yang dilancarkan Nikeforos Fokas dan Ioanes Tzimikes, kaisar-kaisar Romawi Timur.[286] Sesudah wangsa Hamdan tumbang pada awal abad ke-11, pemerintahan daerah Ḥumṣ beralih ke pundak wangsa Mirdas.[287] Gempa bumi meluluhlantakkan Tadmur pada tahun 1068 dan tahun 1089.[74][288] Pada era 1070-an, Suriah ditaklukkan Kesultanan Seljuk,[289] dan daerah Ḥumṣ dikuasai Khalaf bin Mula'ib, emir asal Arab, pada tahun 1082.[287] Khalaf bin Mula'ib adalah seorang perampok. Ia dipecat dan dipenjarakan Malik Syah I, Sultan Seljuk, pada tahun 1090.[287][290] Daerah kekuasaan Khalaf bin Mula'ib diberikan kepada Tutusy I, adik Sultan Malik Syah I,[290] yang memisahkan diri sepeninggal abangnya pada tahun 1092, dan mendirikan pemerintahan cabang kadet wangsa Seljuk di Suriah.[291]

Puri Fakhruddin Al Ma'ani

Pada abad ke-12, populasi Tadmur pindah ke pelataran Kuil Dewa Bel yang dibentengi.[284] Ketika itu Tadmur berada di bawah kekuasaan Tuğtekin, Atabeg Damsyik dari wangsa Buri, yang mengangkat kemenakannya menjadi kepala pemerintahan kota Tadmur.[292] Si kemenakan tewas dibunuh kelompok pemberontak, sehingga Tuğtekin harus merebut kembali kota Tadmur pada tahun 1126.[292] Pemerintahan tadmur selanjutnya diserahkan kepada cucu Tuğtekin, Syihabuddin Mahmud.[292] Ketika ayahnya, Tajul Muluk Buri, naik takhta menggantikan Tuğtekin, Syihabuddin Mahmud pulang ke Damsyik dan menyerahkan tampuk pemerintahan kota Tadmur kepada Yusuf bin Fairuz.[293] Para penguasa dari wangsa Buri mengubah Kuil Dewa Bel menjadi sebuah kawasan permukiman berbenteng pada tahun 1132.[294][295] Kota Tadmur kemudian dibentengi dan diserahkan wangsa Buri kepada Bani Qaraja sebagai penukar kota Ḥumṣ tiga tahun kemudian.[295]

Pada pertengahan abad ke-12, Tadmur berada di bawah kekuasaan Nuruddin Mahmud Zanki, Emir Damsyik dan Halab dari wangsa Zanki.[296] Tadmur menjadi bagian dari daerah Ḥumṣ,[297] yang diserahkan kepada Syirkuh, panglima perang dari wangsa Ayubi, sebagai tanah pertuanan pada tahun 1168, tetapi disita setelah Syirkuh wafat pada tahun 1169.[298] Daerah Ḥumṣ ditaklukkan Kesultanan Wangsa Ayubi pada tahun 1174.[299] Pada tahun 1175, Salahuddin Al Ayubi menyerahkan Daerah Ḥumṣ (termasuk Tadmur) kepada saudara sepupunya, Nasiruddin Muhammad, sebagai tanah pertuanan.[300] Sepeninggal Salahuddin, wilayah Kesultanan Wangsa Ayubi dibagi-bagi, dan Tadmur diserahkan kepada Al Mujahid Syirkuh II, putra Nasiruddin Muhammad. Pada tahun 1230, Al Mujahid Syirkuh II membangun sebuah benteng di Tadmur yang kemudian hari dikenal dengan nama Puri Fakhruddin Al Ma'ani.[301][302] Lima tahun sebelumnya, pujangga ilmu bumi Suriah, Yaqut Al Hamawi, menyebutkan bahwa warga kota Tadmur bermukim di dalam "sebuah puri berpagar tembok batu".[303]

Zaman Kesultanan Mamluk

Kota Tadmur menjadi tempat berlindung Al Asyraf Musa, cucu Al Mujahid Syirkuh II. Al Asyraf Musa bersekutu dengan raja orang Mongol, Hulagu Khan, dan melarikan diri sesudah orang Mongol dikalahkan Kesultanan Mamluk dalam Pertempuran Ain Jalut pada tahun 1260.[304] Sultan Mamluk, Saifuddin Qutuz, mengampuni Al Asyraf Musa dan menjadikannya emir bawahan Kesultanan Mamluk.[304] Al Asyraf Musa tutup usia pada tahun 1263 tanpa meninggalkan keturunan, sehingga Emirat Ḥumṣ dijadikan daerah yang diperintah langsung Kesultanan Mamluk.[305]

Zaman emirat Bani Fadil

Kebun-kebun Tadmur

Bani Fadil adalah klan Arab (cabang Bani Ta'i) yang berbaiat kepada Kesultanan Mamluk. Pada tahun 1281, Emir Isa bin Muhanna dari Bani Fadil diangkat Sultan Al Mansur Qalawun menjadi penguasa Tadmur.[306] Pada tahun 1284, Isa bin Muhanna digantikan putranya, Muhanna bin Isa, yang dipenjarakan Sultan Al Asyraf Khalil pada tahun 1293, dan dipulihkan jabatannya dua tahun kemudian oleh Sultan Al Adil Kitbugha.[307] Muhanna bin Isa berbaiat kepada Ilkhan Öljaitü pada tahun 1312, sehingga Sultan An Nasir Muhammad memecat dan menggantinya dengan Fadil bin Isa, saudaranya sendiri.[307] Meskipun diampuni Sultan An Nasir Muhammad dan dipulihkan jabatannya pada tahun 1317, Muhanna bin Isa maupun Bani Fadil diusir pada tahun 1320 karena masih berhubungan baik dengan Ilkhan.[308] Ia diganti dengan seorang kepala suku bernama Muhammad bin Abu Bakar.[309]

Muhanna bin Isa sekali lagi diampuni dan dipulihkan jabatannya oleh Sultan An Nasir Muhammad pada tahun 1330. Ia tetap setia kepada Kesultanan Mamluk sampai akhir hayatnya pada tahun 1335, dan digantikan putranya.[309] Sejarawan zaman itu, Ibnu Fadlallah Al Umari, menyebutkan bahwa kota Tadmur memiliki "kebun-kebun yang luas, usaha-usaha dagang yang maju pesat, dan monumen-monumen yang ganjil bentuknya".[310] Bani Fadil melindungi jalur-jalur dagang dan desa-desa dari serbuan kaum Badawi,[311] tetapi juga menyerbu kota-kota lain dan saling memerangi satu sama lain.[312] Kesultanan Mamluk beberapa kali melakukan intervensi militer, memecat, memenjarakan, maupun mengusir pemimpin Tadmur.[312] Pada tahun 1400, Tadmur diserang Timur Leng. Emir dari Bani Fadil, Nu'air, berhasil lolos dari medan perang dan kemudian hari berperang melawan Jakam, Sultan Halab.[313] Nu'air tertangkap, dibawa ke Halab, dan dihukum mati pada tahun 1406. Menurut Ibnu Hajar Al 'Asqalani, kematian Nu'air mengakhiri kekuasaan Bani Fadil.[313][306]

Zaman Kesultanan Utsmaniyah dan sesudahnya

Desa di lingkungan Kuil Dewa Bel pada awal abad ke-20

Ketika Suriah menjadi bagian dari Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1516,[314] kota Tadmur dijadikan ibu kota distrik administratif (sanjak) Tadmur.[keterangan 30][315] Selepas tahun 1568, pemerintah Utsmaniyah mengangkat Emir Lebanon, Ali bin Musa Harfusy, menjadi kepala daerah Sanjak Tadmur,[316] tetapi kemudian memberhentikannya dari jabatan pada tahun 1584 dengan alasan makar.[317] Pada tahun 1630, Sanjak Tadmur kembali dipimpin seorang Emir Lebanon, yakni Fakhruddin II,[318] yang merenovasi puri Syirkuh II (kemudian hari dikenal dengan nama Puri Fakhruddin Al Ma'ani).[302][319] Emir Fakhruddin didepak Kesultanan Utsmaniyah pada tahun 1633 dan kehilangan kekuasaannya atas desa Tadmur,[318] yang tetap berstatus sanjak sampai dijadikan bagian dari wilayah Sanjak Zor pada tahun 1857.[320] Pada tahun 1867, desa Tadmur dijadikan pangkalan garnisun Utsmaniyah yang bertugas mengendalikan kaum Badawi.[321]

Pada tahun 1918, menjelang berakhirnya Perang Dunia I, Angkatan Udara Kerajaan (Angkatan Udara Inggris) membangun sebuah lapangan udara yang cukup untuk didarati dua pesawat terbang,[keterangan 31][322] dan pasukan Utsmaniyah mundur dari Sanjak Zor tanpa perlawanan pada bulan November.[keterangan 32][323] Angkatan Darat Emirat Suriah memasuki Dairuz Zur pada tanggal 4 Desember, dan Sanjak Zor dijadikan bagian dari Suriah.[324] Pada tahun 1919, ketika Inggris dan Prancis mempertikaikan rancangan batas-batas wilayah mandat,[322] Wakil Tetap Angkatan Bersenjata Inggris untuk Dewan Perang Tertinggi, Henry Wilson, mengusulkan agar Tadmur dimasukkan ke dalam wilayah Mandat Inggris.[322] Meskipun demikian, Jenderal Inggris, Edmund Allenby, meyakinkan pemerintah negaranya untuk tidak menindaklanjuti usulan tersebut.[322] Sesudah dikalahkan dalam Pertempuran Maysalun pada tanggal 24 Juli 1920, Suriah (termasuk Tadmur) menjadi bagian dari wilayah Mandat Prancis.[325]

Karena keberadaan Tadmur dianggap penting dalam usaha Prancis untuk menguasai Padang Gurun Suriah, sebuah pangkalan dibangun di desa yang terletak di dekat Kuil Dewa Bel pada tahun 1921.[326] Pada tahun 1929, Henri Seyrig mulai melaksanakan ekskavasi di reruntuhan Tadmur, dan membujuk warga setempat untuk pindah ke desa baru yang dibangun Prancis di dekat situs Tadmur kuno.[327] Relokasi warga rampung pada tahun 1932.[328] Situs Tadmur kuno akhirnya siap untuk diekskavasi, karena warganya sudah bermukim di desa baru yang juga diberi nama Tadmur.[329][327] Pada masa Perang Dunia II, pemerintahan wilayah Mandat Prancis berada di bawah kewenangan Régime de Vichy,[330] yang mengizinkan Jerman Nazi untuk menggunakan lapangan udara di Tadmur.[331] Dengan dukungan pasukan Inggris, pasukan France Libre menginvasi Suriah pada bulan Juni 1941,[330] dan pada tanggal 3 Juli 1941, Inggris mengambil alih kekuasaan atas Tadmur seusai Pertempuran Tadmur.[332]

Perang Saudara Suriah

Relief Singa Dewi Allat dari abad pertama Masehi yang dahulu kala menghiasi pintu masuk Kuil Dewi Allat

Akibat meletusnya Perang Saudara Suriah, situs Tadmur dijarah dan dirusak habis-habisan oleh para pejuang.[333] Pada tahun 2013, muka gedung Kuil Dewa Bel bobol akibat tembakan mortir, dan pilar-pilar kolonade rusak akibat terkena serpihan peluru.[333] Menurut keterangan Maamoun Abdulkarim, Angkatan Darat Suriah menempatkan pasukan di beberapa area situs arkeologi,[333] sementara laskar oposisi Suriah bersiaga di kebun-kebun sekitar kota Tadmur.[333]

Pada tanggal 13 Mei 2015, Negara Islam Irak dan Syam melancarkan serangan terhadap kota Tadmur modern, sehingga timbul kekhawatiran bahwa kelompok ikonoklastis tersebut akan menghancurkan situs kota Tadmur kuno yang persis bersebelahan dengan kota Tadmur modern.[334] Pada tanggal 21 Mei, beberapa artefak dipindahkan dari museum Tadmur ke Damsyik untuk diamankan. Sejumlah patung sedada ala Yunani-Romawi, perhiasan, dan benda-benda lain yang dijarah dari museum Tadmur telah didapati beredar di pasaran internasional.[335] Pejuang Negara Islam Irak dan Syam memasuki Tadmur pada hari yang sama.[336] Warga setempat melaporkan bahwa Angkatan Udara Suriah membombardir situs Tadmur pada tanggal 13 Juni, sehingga merusak tembok utara di dekat Kuil Dewa Baal Syamin.[337] Ketika pejuang Negara Islam Irak dan Syam menduduki situs tersebut, bangunan teater Tadmur dimanfaatkan sebagai tempat pertunjukan eksekusi lawan dan tawanan-tawanan mereka. Video-video yang dirilis Negara Islam Irak dan Syam mempertunjukkan aksi pembantaian para tawanan Suriah di teater Tadmur disaksikan khalayak ramai.[338][339] pada tanggal 18 Agustus, pensiunan Kepala Dinas Purbakala Tadmur, Khalid Al Asaad, dipancung pejuang Negara Islam Irak dan Syam sesudah disiksa selama satu bulan agar mengungkap informasi mengenai kota Tadmur berikut segala harta kekayaannya. Khalid Al Asaad menolak mengungkap informasi apapun kepada orang-orang yang menawannya.[340]

Pasukan pemerintah Suriah dengan dukungan serangan udara Rusia merebut kembali Tadmur dari pejuang Negara Islam Irak dan Syam pada tanggal 27 Maret 2016.[341] Menurut laporan-laporan awal, kerusakan yang menimpa situs arkeologi itu tidaklah separah yang diperkirakan, karena banyak bangunan yang masih berdiri tegak.[342] Sesudah Tadmur direbut kembali, tim-tim penjinak ranjau Rusia mulai membersihkan ranjau-ranjau yang ditanam para pejuang Negara Islam Irak dan Syam sebelum mundur meninggalkan kota itu.[343] Sesudah bertempur sengit, para pejuang Negara Islam Irak dan Syam sempat berhasil menduduki kembali kota Tadmur pada tanggal 11 Desember 2016.[344] Angkatan Darat Suriah pun mengerahkan pasukan untuk menyerang Tadmur, dan berhasil menguasai kembali kota itu pada tanggal 3 Maret 2017.[345]

Tata pemerintahan

Prasasti dwibahasa (Yunani dan Aram) yang diperkirakan dibuat pada tahun 242 atau tahun 243 Masehi sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa-jasa Strategos Zabdilas, yang bernama Romawi Iulius Aurelius Zenobius[346]

Sedari permulaan zaman sejarahnya sampai ke abad pertama Masehi, Tadmur hanyalah sebuah masyakhah kecil,[347] tetapi identitas Tadmur sudah mulai terbentuk sejak abad pertama pra-Masehi.[348] Pada kurun waktu seperdua-awal dari abad pertama Masehi, Tadmur membentuk sejumlah lembaga pemerintahan yang serupa dengan lembaga-lembaga pemerintahan negara kota Yunani (polis).[191] Keterangan mengenai adanya status kewargaan Tadmur pertama kali muncul dalam sebuah prasasti dari tahun 10 Masehi yang memuat frasa "rakyat Tadmur".[349] Sebuah prasasti dari tahun 74 Masehi memuat keterangan tentang boule (senat) Tadmur.[191] Peran suku dalam tata pemerintahan Tadmur masih diperdebatkan. Pada abad pertama Masehi, empat orang bendahara yang mewakili empat suku di kota Tadmur tampaknya memegang sejumlah kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan, tetapi peran bendahara turun status menjadi sekadar peran seremonial belaka pada abad ke-2 Masehi, sementara kewenangan penyelenggara pemerintahan berada di tangan Badan Musyawarah.[350]

Badan Musyawarah Tadmur beranggotakan kira-kira enam ratus orang pemuka setempat (misalnya sesepuh, kepala keluarga besar, atau kepala klan yang kaya raya),[keterangan 33][190] yang mewakili warga masyarakat di empat kawasan permukiman kota Tadmur.[67] Badan Musyawarah dipimpin seorang ketua,[351] dan berwenang mengatur hak maupun kewajiban warga kota.[190] Badan Musyawarah mengawasi pekerjaan umum (antara lain pendirian bangunan-bangunan umum), menyetujui anggaran belanja, memungut cukai,[190] dan mengangkat dua orang arkon (pemimpin) setiap tahun.[351][352] Militer Tadmur dipimpin para strategos (panglima) yang diangkat Badan Musyawarah.[353][354] Pemerintah provinsi Romawi menetapkan dan menyetujui undang-undang perpajakan Tadmur[355] tetapi sedikit sekali mencampuri urusan pemerintahan kota itu, karena Kekaisaran Romawi ingin menjaga kelangsungan usaha dagang Tadmur yang sangat menguntungkan Roma.[356] Pemaksaan campur tangan langsung pemerintah provinsi dikhawatirkan dapat mencederai keberdayaan Tadmur dalam menjalankan usaha dagangnya di Dunia Timur, teristimewa di Partia.[356]

Dengan terangkatnya status Tadmur menjadi colonia para kurun waktu 213-216, kota itu tidak wajib lagi tunduk di bawah pemerintah provinsi maupun undang-undang perpajakannya.[357] Tadmur membentuk lembaga-lembaga pemerintahan ala Romawi tetapi masih mempertahankan keberadaan banyak lembaga pemerintahan sebelumnya.[358] Badan Musyawarah tetap dipertahankan, sementara strategos menjadi salah satu dari dua magistratus yang dipilih setiap tahun.[358] Kepemimpinan duumviri ini merupakan implementasi undang-undang dasar colonia baru tersebut,[358] dan menjadi pengganti jabatan arkon.[352] Babak baru di panggung politik Tadmur bermula ketika Odainat dan keluarganya berkuasa. Dalam sebuah prasasti yang diperkirakan berasal dari tahun 251 Masehi, Hairan I, putra Odainat, disebut sebagai "ras" (pemimpin) Tadmur (disebut sebagai eksarkos dalam bagian berbahasa Yunani dari prasasti yang sama). Dalam prasasti lain yang diperkirakan berasal dari tahun 252 Masehi, Odainat juga disebut sebagai "ras" Tadmur.[keterangan 34][218] Odainat mungkin diangkat Badan Musyawaran menjadi eksarkos,[219] tetapi eksarkos bukanlah jabatan yang lazim dalam tata pemerintahan Kekaisaran Romawi, dan bukan pula bagian dari lembaga-lembaga pemerintahan tradisional Tadmur.[218][359] Tidak jelas apakah gelar yang disandang Odainat adalah indikasi jabatan militer atau jabatan rohaniwan,[360] tetapi lebih mungkin jabatan militer.[361] Pada tahun 257 Masehi, Odainat dikenal sebagai seorang consularis (sebutan bagi senator mantan konsul), mungkin sekali karena diangkat menjadi Legatus (wali negeri mantan konsul) Provinsi Foinike.[360] Pada tahun 258, Odainat mulai melebarkan pengaruh politiknya, dengan memanfaatkan ketidakstabilan yang timbul akibat agresi wangsa Sasan.[360] Usaha Odainat mencapai puncaknya pada Pertempuran Edesa[220] dengan pemasyhuran dirinya sebagai raja dan mobilisasi pasukan yang mengubah Tadmur menjadi sebuah kerajaan.[220]

Pemerintahan monarki Tadmur mempertahankan sebagian besar lembaga pemerintahan kota yang sudah ada sebelumnya,[360][362] tetapi duumviri maupun Badan Musyawarah tidak ada lagi kabarnya selepas tahun 264 Masehi. Odainat mengangkat seorang wali kota untuk menangani urusan pemerintahan kota Tadmur.[363] Bilamana sang raja sedang keluar kota, pemerintahan kota tadmur diselenggarakan raja muda.[364] Meskipun para wali negeri yang mengepalai provinsi-provinsi di wilayah timur Kekaisaran Romawi yang berada di bawah kendali Odainat tetap adalah pejabat-pejabat yang diangkat pemerintah pusat di Roma, kewenangan menyeluruh berada di tangan Odainat.[365] Ketika memberontak melawan Kekaisaran Romawi, Ratu Batzabai mengangkat wali kota untuk menjalankan roda pemerintahan kota Tadmur.[366] Tidak semua warga Tadmur bersedia tunduk kepada keluarga kerajaan. Salah satu prasasti Tadmur menyebutkan bahwa senator yang bernama Septimius Haddudan membantu pasukan Kaisar Aurelianus ketika Tadmur memberontak pada tahun 273.[367][368] Sesudah digempur bangsa Romawi, penyelenggaraan pemerintahan kota Tadmur ditangani secara langsung oleh pemerintah pusat Kekaisaran Romawi,[369] dan selanjutnya oleh pemerintah pusat negara-negara lain, antara lain negara wangsa Buri dan negara wangsa Ayubi.[292][300] Tadmur juga pernah diperintah kepala-kepala suku Badawi, teristimewa para pemimpin dari Bani Fadil, selaku wakil Kesultanan Mamluk.[370]

Militer

Relief dewa-dewa perang Tadmur di Kuil Dewa Bel
Relief adegan perburuan

Keperwiraan rakyat Tadmur dan ketangguhan angkatan bersenjatanya di medan laga membuat Irfan Syahîd menyebut kota itu sebagai "Spartanya Dunia Timur, Negeri Arab, dan negeri-negeri timur lainnya, bahkan dewa-dewanya pun digambarkan berpakaian seragam militer."[371] Angkatan bersenjata Tadmur melindungi kota dan ekonomi, sehingga Tadmur mampu melebarkan kekuasaannya sampai keluar dari batas-batas-batas tembok kota dan mampu melindungi rute-rute dagang padang gurun yang melewati kawasan pedesaan di sekitarnya.[372] Kota Tadmur memiliki angkatan bersenjata yang cukup besar.[186] Zabdibel mengepalai pasukan yang terdiri atas 10.000 orang prajurit pada abad ke-3 pra-Masehi,[46] dan Batzabai memimpin pasukan yang terdiri atas 70.000 orang prajurit dalam Pertempuran Emesa.[373] Para prajurit berasal dari warga Tadmur dan penduduk wilayah kekuasaan Tadmur yang membentang ribuan kilometer dari perbatasan Ḥumṣ sampai ke Lembah Sungai Efrat.[186] Angkatan bersenjata tadmur juga merekrut prajurit dari luar Tadmur. Seorang prajurit penunggang kuda asal Nabatea tercatat sebagai anggota pasukan Tadmur yang ditempatkan di Anah pada tahun 132 Masehi.[18] Sistem perekrutan Tadmur tidak diketahui. Mungkin pemerintah kota yang menyeleksi dan mempersenjatai pasukan, sementara strategos yang melatih dan mendisiplinkan mereka.[374]

Strategos diangkat Badan Musyawarah atas persetujuan pemerintah pusat di Roma.[354] Pada pertengahan abad ke-3 Masehi, angkatan bersenjata Kerajaan Tadmur dipimpin raja dibantu para panglima.[375][376] Angkatan bersenjata Tadmur pada zaman itu meniru persenjataan maupun siasat perang wangsa Sasan.[85] Tadmur terkenal dengan dengan barisan pemanahnya.[377] Angkatan bersenjata Tadmur memanfaatkan tenaga prajurit-prajurit pejalan kaki, sementara pasukan berkuda dengan senjata berat (clibanarius) dijadikan pasukan penyerang utama.[keterangan 35][379][380] Para prajurit pejalan kaki Tadmur dipersenjatai dengan pedang, ganjur, dan perisai bundar berukuran kecil,[198] sementara para prajurit clibanarius berbaju zirah lengkap (termasuk kuda-kuda mereka) dan bersenjata tombak (kontos) sepanjang 365 meter (1.198 kaki) tanpa perisai.[380][381]

Hubungan dengan Roma

Bangsa Romawi mengakui kelihaian orang Tadmur dalam hal bertempur di daerah-daerah luas yang berpenduduk jarang, sehingga membentuk kesatuan auxilia Tadmur sebagai bagian dari Angkatan Darat Kekaisaran Romawi.[198] Vespasianus dikabarkan memimpin 8.000 prajurit pemanah asal Tadmur di Yudea,[198] dan Traianus membentuk kesatuan auxilia Tadmur yang pertama, Ala I Ulpia Dromedariorum Palmyrenorum (Pasukan Sayap I, Laskar Tadmur Penunggang Unta), pada tahun 116.[198][382][383] Kesatuan-kesatuan Tadmur ditugaskan ke seluruh wilayah Kekaisaran Romawi.[keterangan 36] Kesatuan Tadmur bertugas di Dakia menjelang akhir masa pemerintahan Kaisar Hadrianus[385] maupun di El Kantara (di Numidia) dan Moesia pada masa pemerintahan Kaisar Antoninus Pius.[385][386] Menjelang akhir abad ke-2 Masehi, pemerintah pusat Kekaisaran Romawi di Roma membentuk Cohors XX Palmyrenorum (Pasukan Teras XX, Laskar Tadmur) untuk ditempatkan di Dura-Europos.[387]

Agama

Kiri ke kanan: Dewa Baal Syamin, Dewa Aglibol, Dewa Yarhibol, Dewa Bel
Kiri ke kanan: Dewa Aglibol, Dewa Baal Syamin, Dewa Malak Bel
Altar pemujaan Dewa Malak Bel dengan julukan Sol Sanctissimus yang ditemukan di Trastevere

Dewa-dewi Tadmur adalah dewa-dewi masyarakat Semit barat laut, ditambah dewa-dewi Mesopotamia dan dewa-dewi Arab.[388] Dewa tertinggi Tadmur sebelum zaman Helenistik adalah Dewa Bol,[389] bentuk singkat dari Baal (gelar kehormatan khas Semit barat laut).[390] Agama Tadmur terimbas pengaruh pemujaan Dewa Bel-Marduk yang berkembang di Babel, sehingga nama dewa tertingginya diganti menjadi Bel pada tahun 217 pra-Masehi.[389] Perubahan nama tersebut bukan berarti dewa Semit barat laut telah diganti dengan dewa Mesopotamia. Dewanya tetap sama, namanya saja yang berubah.[390]

Selain dewa tertinggi,[391] masih ada lagi enam puluh lebih dewa-dewi leluhur klan-klan Tadmur.[391][392] Beberapa dewa adalah sesembahan asli Tadmur,[393] misalnya dewa keadilan dan pelindung mata air Efqa yang bernama Yarhibol,[394][395] dewa matahari yang bernama Malak Bel,[396] dan dewa bulan yang bernama Aglibol.[396] Rakyat Tadmur juga memuja dewa-dewi daerah, antara lain dewa-dewi Negeri Syam seperti Asytoret, Baal Hamon, Baal Syamin, dan Atar Ateh;[393] dewa-dewi Negeri Babel seperti Nabu dan Nergal;[393] serta dewa-dewi Negeri Arab seperti Aziz, Arsu, Syamsi, dan Allat.[393][394]

Dewa-dewi yang dipuja masyarakat pedesaan digambarkan menunggang unta atau kuda dan bernama khas Arab.[329] Hakikat dewa-dewi tersebut tidak diketahui, hanya nama-namanya saja, teristimewa Abgal.[397] Khazanah sesembahan warga Tadmur juga mencakup para ginaye (beberapa ginaye diberi sebutan "Gad"),[398] yakni dewa-dewi rendahan yang populer di daerah pedesaan,[399] mirip dengan jin dalam kepercayaan bangsa Arab dan genius dalam kepercayaan bangsa Romawi.[400] Ginaye dipercaya memiliki wujud dan tabiat seperti manusia, mirip dengan jin Arab.[400] Meskipun demikian, ginaye berbeda dengan jin karena tidak dapat merasuki maupun mencelakai manusia.[400] Peran ginaye mirip dengan peran genius Romawi, yakni sebagai dewa-dewi penjaga yang hanya melindungi orang-orang tertentu berikut kafilah-kafilah dagang, ternak, dan desa mereka.[391][400]

Meskipun warga Tadmur menyembah dewa-dewi mereka secara terpisah, ada pula dewa-dewi yang dipersekutukan dengan dewa-dewi lain.[401] Bel dipercaya beristrikan Asytoret-Bêlit, dan dipuja sebagai dewa tiga serangkai bersama Aglibol dan Yarhibol (yang menjadi dewa matahari dalam persekutuan dengan Bel).[394][402] Malak Bel dipersekutukan dengan banyak dewa,[401] dipasangkan dengan Gad Taimi dan Aglibol,[403][403] serta menjadi dewa tiga serangkai bersama Baal Syamin dan Aglibol.[404] Kota Tadmur menjadi tempat penyelenggaraan Akitu (perayaan musim semi) setiap bulan Nisan.[405] Keempat kawasan permukiman suku di kota Tadmur masing-masing memiliki tempat pemujaan khusus untuk dewa yang dipercaya sebagai leluhur sukunya. Tempat pemujaan Malakbel dan Aglibol terdapat di kawasan permukiman suku Komare,[406] tempat pemujaan Baal Syamin terdapat di kawasan permukiman suku Ma'zin, tempat pemujaan Arsu terdapat di kawasan permukiman suku Matabol,[406] sementara tempat pemujaan Atar Ateh terdapat di kawasan permukiman suku yang keempat.[keterangan 37][404]

Imam-imam Tadmur dipilih dari keluarga-keluarga terkemuka.[407] Ciri khas para imam tampak pada patung-patung sedada mereka, yakni tatanan rambut yang menyerupai polos (kopiah bundar) dengan bumban daun salam atau bumban daun pohon lain sebagai salah satu hiasannya.[408] Imam besar kuil Dewa Bel adalah rohaniwan tertinggi yang membawahi semua imam lain. Imam-iman lain dibagi menjadi empat golongan yang masing-masing dipimpin seorang imam kepala.[409] Para imam tempat pemujaan Yarhibol di mata air Efqa termasuk golongan imam khusus karena mereka adalah para orakel.[409] Agama asli Tadmur tergantikan oleh agama Kristen ketika agama ini menyebar ke seluruh wilayah Kekaisaran Romawi. Umat Kristen kota Tadmur dilaporkan dipimpin seorang uskup pada tahun 325 Masehi.[272] Meskipun sebagian besar kuil dialihfungsikan menjadi gedung Gereja, kuil Dewi Allat dihancurkan pada tahun 385 Masehi atas perintah Maternus Cynegius, Kepala Daerah Prefektur Pretoria Timur.[272] Sesudah ditaklukan kaum Muslim pada tahun 634 Masehi, agama Kristen perlahan-lahan tergeser oleh agama Islam. Uskup Tadmur terakhir diketahui ditahbiskan pada tahun 818 Masehi.[410]

Kaitan Malak Bel dengan Sol Invictus

Pada tahun 274, sesudah menundukkan Tadmur, Kaisar Aurelianus meresmikan sebuah kuil besar di Roma sebagai tempat berbakti kepada Dewa Sol Invictus.[411] Banyak ahli beranggapan bahwa Dewa Sol Invictus yang disembah Kaisar Aurelianus adalah dewa asli Suriah.[412] Mungkin saja pemujaan Sol Invictus yang diperkenalkan Kaisar Aurelianus adalah kelanjutan dari praktik pemujaan Dewa Sol Invictus Elagabalus yang diperkenalkan Kaisar Elagabalus, dan mungkin pula Sol Invictus Aurelianus adalah dewa Malak Bel yang dipuja di Tadmur.[413] Dewa Malak Bel lazim disama-samakan dengan Dewa Sol bangsa Romawi, dan sebuah kuil di tepi kanan Sungai Tiber menjadi tempat pemujaan Malak Bel sejak abad ke-2 Masehi.[414] Malak Bel juga diberi julukan Invictus, dan dikenal dengan nama Sol "Sanctissimus". Sol Sanctissimus adalah frasa yang dipakai sebagai julukan bagi Kaisar Aurelianus dalam sebuah prasasti yang ditemukan di Capena.[414]

Pendapat yang mengatakan bahwa Sol Invictus Kaisar Aurelianus adalah dewa asli Tadmur merupakan kesimpulan yang didasarkan atas keterangan Zosimus bahwa "kuil matahari yang megah itu dihiasinya (Aurelianus) dengan persembahan-persembahan lepas nazar dari Tadmur, dan dijadikannya tempat persemayaman patung Helios dan patung Bel".[415] Tiga dewa Tadmur yang menampakkan ciri-ciri dewa matahari adalah Malak Bel, Yarhibol, dan Syamsi. Oleh karena itu, Dewa Helios Tadmur dalam keterangan Zosimus agaknya sesuai dengan penggambaran Malak Bel.[415] Beberapa ahli mengkritik pendapat yang menyamakan Malak Bel dengan Sol Invictus. Menurut Gaston Halsberghe, praktik pemujaan Malak Bel terlalu lokal sifatnya sehingga mustahil menjadi dewa Kekaisaran Romawi, sementara tindakan Aurelianus memugar kuil Dewa Bel maupun mempersembahkan kurban kepada Malak Bel hanya menunjukkan bahwa sang kaisar adalah seorang pemuja dewa matahari dalam segala bentuk penggambarannya dan menghormati keberagaman cara beribadat kepada dewa tersebut.[416] Menurut Richard Stoneman, Kaisar Aurelianus hanya sekadar meminjam penggambaran Malak Bel untuk memperbagus penggambaran dewa mataharinya sendiri.[417] Kaitan antara Malak Bel dan Sol Invictus tidak dapat dipastikan, dan mungkin akan tetap tak terjelaskan.[414]

Ekonomi

Agora Tadmur, dua pintu masuknya berhadapan langsung dengan pasar

Ekonomi Tadmur sebelum dan ketika mulai dijajah bangsa Romawi bertumpu pada usaha pertanian, peternakan, dan perdagangan.[18] Kota Tadmur menjadi persinggahan kafilah-kafilah dagang yang sesekali melintasi padang gurun.[179] Pada akhir abad pertama pra-Masehi, ekonomi kota Tadmur merupakan ekonomi campuran yang berbasis pada usaha pertanian, peternakan, perpajakan,[418][419] dan teristimewa perdagangan berkafilah.[420] Pajak adalah salah satu sumber pendapatan utama pemerintah Tadmur.[419] Kafilah-kafilah dagang membayar bea di tempat yang dikenal dengan nama Pelataran Pabean,[64] tempat dipajangnya piagam kepabeanan yang diperkirakan berasal dari tahun 137 Masehi.[121][421] Hukum Tadmur mengatur besaran bea yang harus dibayar para saudagar untuk barang-barang yang dijual di pasar kota maupun barang-barang yang diekspor ke luar kota.[keterangan 38][64][423]

Ahli klasika Andrew M. Smith II menduga bahwa sebagian besar tanah di Tadmur adalah tanah milik kota yang menjadi sumber pajak penggembalaan ternak.[418] Oasis Tadmur memiliki 1.000 hektar (2.500 ekar) lahan yang dapat diirigasi[424] di sekeliling kota.[425] Warga Tadmur membangun sistem irigasi yang luas di pegunungan utara. Sistem irigasi ini terdiri atas waduk-waduk cadangan air dan kanal-kanal untuk menampung dan menyimpan air hujan yang sesekali turun.[426] Bangunan irigasi yang menonjol adalah Bendungan Harbaqa yang dikerjakan pada akhir abad pertama Masehi.[keterangan 39][427] Bendungan Harbaqa berjarak 48 kilometer (30 mil) dari sebelah barat daya kota dan mampu menampung 140.000 meter kubik (4.900.000 kaki kubik) air.[428] Pohon-pohon tarbantin di daerah penyangga kota Tadmur merupakan penghasil arang, damar, dan minyak yang penting. Meskipun tidak ada bukti, mungkin saja pohon zaitun juga pernah dibudidayakan, dan produk-produk susu dihasilkan di desa-desa.[188] Tampaknya jelai juga pernah dibudidayakan.[429] Meskipun demikian, usaha pertanian tidak mampu memenuhi kebutuhan populasi, sehingga Tadmur harus mengimpor bahan pangan.[425]

Sesudah diluluhlantakkan pada tahun 273 Masehi, Tadmur menjadi pasar bagi penduduk desa-desa dan masyarakat pengembara di daerah sekitarnya.[430] Kemakmuran Tadmur sedikit pulih pada zaman Bani Umayyah, terbukti dari penemuan sebuah suq besar yang dibangun pemerintah Khilafah Bani Umayyah di jalan berkolonade.[431] Tadmur menjadi pusat perdagangan yang tidak seberapa besar sampai dihancurkan pada tahun 1400.[432] Menurut Syarifuddin Ali Yazdi, prajurit-prajurit Timur Leng merampas 200.000 ekor domba,[433] dan kota Tadmur menyusut menjadi sebuah permukiman di pinggiran padang gurun, tempat warganya mengembalakan ternak dan menanam sayur-mayur serta gandum di lahan-lahan kecil.[434]

Perdagangan

Kafilah dagang Tadmur, Museum Arkeologi Tadmur
Jalur Sutra

Jika prasasti Lagman II di Afganistan memang mengacu kepada Tadmur, maka peran kota Tadmur di bidang perdagangan darat di Asia Tengah sudah mengemuka sejak abad ke-3 pra-Masehi.[173] Pada abad pertama Masehi, jalur dagang utama Tadmur membentang ke timur sampai ke kota Hit di tepi Sungai Efrat.[435] Jalur ini selanjutnya membujur ke selatan sepanjang aliran Sungai Efrat sampai ke bandar Karaks Spasinu di Teluk Persia, tempat kapal-kapal Tadmur mengawali pelayaran ulang-alik ke India.[436] Barang-barang dagangan diimpor dari India, Tiongkok, serta Daerah Seberang Oksos,[437] dan diekspor ke Emesa (atau Antiokhia) untuk selanjutnya diteruskan ke bandar-bandar Laut Tengah,[438] tempat barang-barang itu didistribusikan ke seluruh wilayah Kekaisaran Romawi.[436] Selain jalur yang lazim dipakai, beberapa saudagar Tadmur juga melewati Laut Merah,[437] mungkin akibat meletusnya perang-perang Romawi-Partia.[439] Barang-barang diangkut lewat darat dari bandar-bandar Laut Merah ke pelabuhan Sungai Nil, kemudian diangkut ke bandar-bandar Mesir di Laut Tengah untuk diekspor.[439] Prasasti-prasasti yang membuktikan kehadiran orang Tadmur di Mesir diperkirakan berasal dari masa pemerintahan Kaisar Hadrianus.[440]

Karena Tadmur tidak terletak di jalur dagang utama (yang menyusuri tepian Sungai Efrat),[18] orang Tadmur menguasai jalur dagang padang gurun yang melewati kota mereka.[18] Mereka menghubungkan jalur dagang ini dengan daerah Lembah Sungai Efrat, serta menyediakan air dan penginapan.[18] Jalur dagang Tadmur menghubungkan Jalur Sutra dengan Laut Tengah,[441] dan digunakan nyaris secara eksklusif oleh saudagar-saudagar Tadmur,[18] yang mengukuhkan keberadaan mereka di banyak kota, antara lain di Dura-Europos pada tahun 33 pra-Masehi,[200] di Babel pada tahun 19 Masehi, di Seleukia pada tahun 24 Masehi,[194] maupun di Dendera, Koptos,[442] Bahrain, Delta Sungai Indus, Maru, dan Roma.[443]

Perdagangan berkafilah bergantung pada cukong dan saudagar.[444] Para cukong memiliki lahan tempat hewan-hewan tunggangan diternakkan. Mereka menyediakan hewan tunggangan dan tenaga pengawal bagi para saudagar.[444] Tanah-tanah para cukong berlokasi di desa-desa sekitar Tadmur.[329] Meskipun para saudagar memanfaatkan jasa para cukong dalam menjalankan usaha meraka, peran saudagar dan peran cukong kerap saling bertumpang tindih sehingga seorang cukong pun kadang-kadang mengepalai kafilah dagang.[444] Perdagangan membuat Tadmur dan saudagar-saudagarnya menjadi kota dan orang-orang terkaya sekawasan.[420] Beberapa kafilah dagang didanai satu orang saudagar saja,[64] misalnya Male' Agrippa (penyandang dana acara lawatan Kaisar Hadrianus pada tahun 129 Masehi, dan kegiatan pembangunan kembali Kuil Dewa Bel pada tahun 139 Masehi).[204] Barang dagangan yang paling mendatangkan untung adalah sutra, komoditas ekspor Dunia Timur ke Dunia Barat.[445] Barang-barang ekspor lainnya meliputi batu giok, kain muslin, rempah-rempah, kayu hitam, gading, dan batu mulia.[443] Untuk pasarnya sendiri, Tadmur mengimpor berbagai macam barang, antara lain budak belian, pelacur, minyak zaitun, obat pewarna pakaian, mur, dan minyak wangi.[422][443]

Ekskavasi

Kolonade Besar
Tetrapilon (diluluhlantakkan pada tahun 2017)

Situs Tadmur pernah dikunjungi pengelana-pengelana seperti Pietro Della Valle (antara tahun 1616 dan 1625), Jean-Baptiste Tavernier (pada tahun 1638), serta banyak lagi penjelajah Swedia dan Jerman.[446] Karya tulis ilmiah pertama yang mendeskripsikan kota Tadmur adalah sebuah buku terbitan tahun 1696 yang ditulis Abednego Seller.[447] Pada tahun 1751, sebuah ekspedisi yang dipimpin Robert Wood dan James Dawkins berusaha mempelajari arsitektur Tadmur.[446] Seniman dan arsitek Prancis, Louis-François Cassas, melakukan survey ekstensif atas monumen-monumen kota Tadmur pada tahun 1785, dan menerbitkan lebih dari 100 gambar bangunan kota dan gedung makam di Tadmur.[447] Kota Tadmur terus-menerus dikunjungi para pengelana dan ahli purbakala, antara lain Lady Hester Stanhope pada tahun 1813,[446] dan Lady Strangford serta seniman Carl Haag pada tahun 1859.[448] Tadmur difoto untuk pertama kalinya pada tahun 1864 oleh Louis Vignes.[447]

Pada tahun 1882, "Bea Tadmur", sebuah piagam dalam dua bahasa (Yunani dan Tadmur) dari tahun 137 Masehi berisi aturan-aturan bea impor dan ekspor barang yang terpahat pada selembar papan batu, ditemukan Pangeran Semyon Semyonovich Abamelik-Lazarev di Pelataran Pabean.[449] Sejarawan John F. Matthews menyebut prasasti ini sebagai "salah satu barang bukti terpenting mengenai kehidupan ekonomi di daerah mana pun dalam wilayah Kekaisaran Romawi".[450] Pada tahun 1901, Bea Tadmur dihadiahkan Sultan Utsmaniyah, Abdul Hamid II, kepada Tsar Rusia, dan kini tersimpan di Museum Ermitáž, Sankt-Peterburg.[451]

Arkeolog Polandia, Kazimierz Michałowski, dalam kegiatan ekskavasi di Tadmur pada tahun 1962

Ekskavasi-ekskavasi paling awal di Tadmur dilakukan pada tahun 1902 oleh Otto Puchstein, dan pada tahun 1917 oleh Theodor Wiegand.[328] Pada tahun 1929, Direktur Jenderal Kepurbakalaan Prancis di Suriah dan Lebanon, Henri Seyrig, memulai ekskavasi berskala besar di situs ini.[328] Meskipun sempat terputus akibat meletusnya Perang Dunia II, kegiatan ekskavasi kembali dilanjutkan seusai perang.[328] Henri Seyrig memulai kegiatan ekskavasi di Kuil Dewa Bel pada tahun 1929, dan mengekskavasi Agora antara tahun 1939 sampai tahun 1940.[329] Daniel Schlumberger melakukan kegiatan-kegiatan ekskavasi di kawasan barat laut daerah pedesaan Tadmur pada tahun 1934 dan tahun 1935. Dengan kegiatan-kegiatan ekskavasi tersebut, ia berusaha mempelajari bermacam-macam tempat pemujaan lokal di desa-desa Daerah Tadmur.[329] Dari tahun 1954 sampai tahun 1956, sebuah ekspedisi negara Swiss yang diatur UNESCO mengekskavasi Kuil Baal Syamin.[328] Sejak tahun 1958, situs ini diekskavasi Direktorat Jenderal Kepurbakalaan Suriah,[327] dan ekspedisi-ekspedisi Pusat Arkeologi Mediterania Polandia,[452] yang dipimpin banyak arkeolog, antara lain Kazimierz Michałowski (sampai tahun 1980) dan Michael Gawlikowski (sampai tahun 2011).[328][453] Pemeriksaan stratigrafi di bawah Kuil Dewa Bel dilakukan pada tahun 1967 oleh Robert du Mesnil du Buisson,[75] arkeolog yang menemukan Kuil Dewa Baal Hamon pada era 1970-an.[135]

Ekspedisi Polandia memusatkan kegiatannya di Kamp Diocletianus, sementara Direktorat Jenderal Kepurbakalaan Suriah mengekskavasi Kuil Dewa Nabu.[329] Sebagian besar hypogaeum diekskavasi ekspedisi Polandia bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Kepurbakalaan Suriah,[454] sementara kawasan mata air Efqa diekskavasi Jean Starcky dan Jafar Al Hassani.[32] Sistem irigasi Tadmur ditemukan pada tahun 2008 oleh Jørgen Christian Meyer, yang meneliti daerah pedesaan Tadmur melalui peninjauan tempat maupun citra-citra satelit.[455] Sebagian besar situs Tadmur belum dijajaki, terutama kawasan-kawasan permukiman di sebelah utara dan selatan, sementara nekropolis sudah diekskavasi secara menyeluruh oleh Direktorat Jenderal Kepurbakalaan Suriah dan ekspedisi Polandia.[32] Ekspedisi-ekspedisi ekskavasi meninggalkan Tadmur pada tahun 2011 akibat meletusnya Perang Saudara Suriah.[456]

Pada tahun 1980, situs bersejarah ini, termasuk kawasan nekropolis di sisi luar tembok kota dinyatakan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia oleh UNESCO.[457] Pada bulan November 2010, manajer media berkebangsaan Austria, Helmut Thoma, mengaku telah menjarah sebuah bangunan makam di Tadmur pada tahun 1980. Ia mencuri benda-benda arsitektur untuk dipakai menghiasi rumahnya.[458] Tindakan pencurian ini diprotes para arkeolog Jerman maupun Austria.[459]

Baca juga

Keterangan

  1. ^ Kata Semit T.M.R adalah akar kata umum dari sebutan-sebutan untuk pohon kurma dalam bahasa Arab, bahasa Ibrani, bahasa Ge'ez, dan bahasa-bahasa lain dalam rumpun bahasa Semit.[5]
    Menurut Albert Schultens, keberadaan kota Tadmur tercatat dalam Alkitab (1 Raja–Raja 9:18) dengan nama "Tamor" pada ayat dan dengan nama "Tadmor" pada catatan pinggir.[6] Ia beranggapan bahwa "Tamor" adalah nama asli kota Tadmur, dan berasal dari kata "tamar".[7] Meskipun demikian, seluk-beluk penyisipan fonem "d" ke dalam kata "tamar" tidak terjelaskan.[8]
  2. ^ Menurut keterangan Plinius, Tadmur adalah negara merdeka, tetapi Tadmur menjadi bagian dari Kekaisaran Romawi pada tahun 70 Masehi, sehingga keterangan Plinius tentang situasi politik Tadmur diabaikan para ahli karena dianggap sebagai keterangan saduran dari catatan-catatan yang lebih tua dari zaman Octavianus, ketika Tadmur masih merdeka dan berdaulat.[19]
  3. ^ Angka perkiraan berkisar dari 30.000 sampai 200.000 jiwa; angka 200.000 diragukan kebenarannya, mengingat keadaan lingkungan kota Tadmur dan sekitarnya memuskilkan pemenuhan kebutuhan pangan populasi sebesar itu.[41]
  4. ^ Prasasti terakhir yang dibuat di Tadmur diperkirakan berasal dari tahun 279 atau tahun 280 Masehi.[53]
  5. ^ Contoh nama klan Aram adalah Gaddibol dan Yedi'bel.[61]
    Contoh nama klan Arab adalan Bene Ma'zin.[61]
    Contoh nama klan Amori adalah Zmr' dan Kohen-Nadu.[61]
  6. ^ Kelima fule tersebut adalah Bene Mita, Komare, Mattabol, Ma'zin, dan Claudia.[65]
  7. ^ Secara garis besar, suku (fule) perkotaan adalah sekumpulan orang yang dipilih dari populasi kolektif dan dinisbahkan kepada dewa tertentu sebagai leluhur mereka, kemudian diberi kawasan untuk bermukim. Fule-fule dipersatukan oleh status mereka sebagai warga dari satu kota yang sama, alih-alih oleh asal-usul mereka.[68]
  8. ^ Klan-klan mungkin bergabung menjadi empat suku kota Tadmur sehingga identitas klan akhirnya menghilang.[66]
  9. ^ Sebagai contoh, pada abad ke-2 Masehi, Allat, dewi orang Tadmur, digambarkan mirip Atina, dewi orang Yunani, dan diberi nama Atina Allat. Meskipun demikian, asimilasi Allat menjadi Atina hanya sebatas ikonografi saja.[78]
  10. ^ Dalam tradisi Helenistik, agora adalah pusat kegiatan olahraga, kesenian, kerohanian, dan politik sebuah kota.[87]
  11. ^ Ada jejak-jejak pelatihan dari bangsa Yunani; nama tiga orang Yunani yang terlibat dalam pekerjaan pembangunan Kuil Dewa Bel diketahui dari prasasti-prasasti, termasuk seorang arsitek bernama Aleksandras (Αλεξάνδρας) yang mungkin berkebangsaan Yunani.[104][105] Meskipun demikian, beberapa warga Tadmur mengadopsi nama diri Yunani-Romawi, dan sudah diketahui bahwa ada warga pribumi Tadmur yang bernama Aleksander.[106]
  12. ^ Sejarawan Rudolf Fellmann berpendapat bahwa bangunan ini dulunya adalah istana kerajaan.[116]
  13. ^ Menurut hasil terjemahan Dupont-Sommer, Tadmur berjarak dua ratus "busur" dari Lagman. Kata dalam isi prasasti yang diterjemahkan menjadi "busur" adalah "QŠTN". Menurut Dupont-Sommer, "QŠTN" adalah kata Aram untuk satuan ukur setara 15 sampai 20 kilometer.[170] Menurut Franz Altheim dan Ruth Altheim-Stiehl, jarak tempuh tersebut adalah tiga ratus busur, alih-alih dua ratus busur. Franz Altheim dan Ruth Altheim-Stiehl menyamakan "QŠTN" dengan yojana, satuan ukur zaman Weda setara kira-kira 12 kilometer, sehingga jarak tempuh dari Lagman menuju Tadmur sesungguhnya mendekati 3.800 kilometer.[171] Ahli bahasa Helmut Humbach mengritik terjemahan Dupont-Sommer, dan menganggap pendapatnya tentang jarak tempuh dari Lagman ke Tadmur tidak berdasar.[172] Dalam abjad Aram, bentuk huruf "r" identik dengan bentuk huruf "d",[173] sehingga Jean de Menasce berpendapat bahwa "Tdmr" seharusnya dibaca "Trmd", dan "Trmd" adalah kota Termez yang terletak di tepi Sungai Amu Darya.[174] Ahli bahasa Franz Rosenthal juga menyanggah hasil terjemahan Dupont-Sommer, dan beranggapan bahwa "Trmd" mengacu kepada sebidang lahan yasan bernama "Trmn".[175] Sejarawan Bratindra Nath Mukherjee menolak hasil terjemahan Dupont-Sommer maupun Jean de Menasce. Ia menafikan besarnya angka yang disetarakan dengan "busur", dan beranggapan bahwa "busur" adalah satuan ukur yang kecil. Bratindra Nath Mukherjee juga menolak pendapat yang mengatakan bahwa "Tdmr" maupun "Trmd" adalah nama kota. Menurut pandangannya, nama "Tdmr" maupun "Trmd" mengacu kepada padas tempat prasasti itu terpahat.[174]
  14. ^ Prasasti ini sudah sangat rusak, tetapi bentuk-bentuk hurufnya, teristimewa bentuk huruf sigma bercabang empat, mengindikasikan bahwa prasasti ini adalah salah satu prasasti Tadmur tertua, yang diperkirakan berasal dari awal abad pertama Masehi atau abad pertama pra-Masehi. Menurut Henri Seyrig, tidak ada gunanya mengindetifikasi raja yang digelari Epifanes dalam prasasti ini, karena gelar tersebut disandang banyak raja dari wangsa Seleukos. Raja terakhir dari wangsa Seleukos, Antiokos XII, wafat pada tahun 82 pra-Masehi. Ia juga beranggapan bahwa perkiraan umur bentuk huruf -huruf yang dipakai dalam prasasti ini terlalu tinggi. Ia menduga bahwa raja bergelar Epifanes dalam prasasti ini adalah seorang Raja Komagenes atau lebih mungkin lagi seorang Raja Partia.[176]
  15. ^ Keterangan bahwa Tadmur ditaklukkan pada masa pemerintahan Kaisar Tiberius didukung Henri Seyrig, dan menjadi keterangan yang paling dipercaya. Meskipun demikian, ada pula perkiraan-perkiraan waktu lainnya, seawal-awalnya pada zaman Pompeius dan selambat-lambatnya pada masa pemerintahan Kaisar Vespasianus.[180]
  16. ^ Reproduksi isi prasasti:[184]
           Fin[es]
           inteṛ
    Hadriano[s]
    Palmyrenos
               et
    [He]ṃesenos
  17. ^ Kapan tepatnya Tadmur mulai menggunakan lembaga-lembaga khas Yunani tidaklah diketahui. Tidak banyak bukti yang secara khusus mengidentifikasi Tadmur sebagai sebuah polis, dan rujukan tertua adalah sebuah prasasti dari tahun 51 Masehi dalam bahasa Tadmur dan bahasa Yunani, yang menyebut "kota orang Tadmur" dalam bagian isi prasasti yang menggunakan bahasa Yunani.[191]
  18. ^ Meskipun namanya sangat Yunani, mungkin sekali Aleksandros adalah orang pribumi Tadmur.[192]
    Tidak ada bukti bahwa Germanicus pernah menjejakkan kakinya di Tadmur.[193]
  19. ^ Legiun ini adalah bagian dari angkatan bersenjata yang dikerahkan dalam kampanye militer Germanicus di Dunia Timur, dan tidak ditempatkan di Tadmur sebagai garnisun.[195]
  20. ^ Jalan ini dibangun atas perintah Traianus.[197]
  21. ^ Perubahan ini sudah dimulai sejak abad pertama pra-Masehi.[200]
  22. ^ Meskipun pandangan yang mengatakan bahwa Tadmur memetik keuntungan dari aneksasi Perta merupakan pandangan yang umum dianut, Tadmur lebih banyak berdagang dengan negeri-negeri di sebelah timur, sementara usaha dagang Petra bersandar pada kawasan selatan Jazirah Arab. Selain itu, barang-barang dagangan Tadmur tidak sama dengan barang-barang dagangan Petra, sehingga aneksasi Petra mungkin saja tidak berdampak nyata terhadap usaha dagang Tadmur.[203]
  23. ^ Ala I Thracum Herculiana adalah pasukan milliaria (bala seribu).[207] Pada umumnya satu milliaria terdiri atas seribu orang prajurit berkuda.[208]
  24. ^ Tidak ada bukti keberadaan kesatuan-kesatuan Romawi dalam angkatan bersenjata Odainat. Ada tidaknya prajurit Romawi yang bertempur di bawah pimpinan Odainat hanya didasarkan atas dugaan.[222]
  25. ^ Tadmur menganggap masyarakat Yahudi Mesopotamia berbaiat kepada Persia.[232]
  26. ^ Bukti pertama penambahan gelar ini pada nama Odainat adalah sebuah prasasti dari tahun tahun 271 Masehi yang menyebut mendiang Odainat sebagai seorang "Raja Diraja".[220][236] Dalam prasasti-prasasti yang diketahui berasal dari masa pemerintahannya, Odainat digelari "raja". Meskipun demikian, putranya, Hairan I, sudah digelari "raja diraja" selagi masih hidup. Hairan I diangkat ayahnya menjadi raja-bersama, dan ikut tewas dalam insiden pembunuhan yang merenggut nyawa Odainat. Agaknya tidak mungkin Odainat hanya bergelar "raja" sementara putranya menyandang gelar "raja diraja".[237]
  27. ^ Claudius Gothicus wafat pada bulan Agustus 270 Masehi, tak lama sebelum Batzabai menginvasi Mesir.[252]
  28. ^ Para ahli berbeda pandangan tentang apakah pemakaian gelar-gelar tersebut merupakan tindakan pernyataan kemerdekaan atau merupakan tindakan penyerobotan takhta Kekaisaran Romawi.[259][260][261]
  29. ^ Semua sumber lain menyebutkan bahwa aksi militer tidaklah diperlukan, karena tampaknya Batzabai menarik mundur pasukannya dari Mesir untuk mempertahankan Suriah.[263]
  30. ^ Dalam tata pemerintahan Utsmaniyah, Tadmur adalah salah satu "Sanjak Salyane", yakni sanjak penerima dana tunjangan tahunan dari pemerintah, kebalikan dari "Sanjak Khas", yakni sanjak penyetor cukai hasil bumi.[315]
  31. ^ Inggris tidak menduduki daerah itu, dan kaum Badawi setempat bersedia melindungi lapangan udara tersebut.[322]
  32. ^ Baik Angkatan Darat Inggris, Prancis, maupun Arab tidak menyerang Sanjak Zor.[323]
  33. ^ Angka 600 hanya sebuah hipotesis.[190]
  34. ^ Penyebutan Hairan I sebagai "ras" pada tahun 251 Masehi mengindikasikan bahwa Odainat juga naik pangkat pada waktu yang sama.[218]
  35. ^ Bagian terbesar dari pasukan Tadmur yang menginvasi Mesir adalah kesatuan-kesatuan clibanarius, dibantu barisan prajurit pemanah.[378]
  36. ^ Sebuah monumen berpiagam peninggalan orang Tadmur telah ditemukan di dekat Newcastle, Inggris. Monumen ini dibuat Baratas orang Tadmur. Baratas mungkin saja seorang prajurit atau pengikut kamp (anak istri prajurit yang dibawa merantau ke tempat tugas atau warga sipil yang diperbantukan di kamp militer).[384]
  37. ^ Nama suku yang keempat tidak diketahui secara pasti, tetapi mungkin sekali bernama Mita.[404]
  38. ^ Richard Stoneman menduga bahwa hukum Tadmur hanya mengatur besaran bea yang dikutip dari barang-barang yang akan dijual di pasar kota dan tidak mengatur bea transit barang.[422]
  39. ^ Perkiraan waktu pembuatan bendungan ini dipertanyakan arkeolog Denis Genequand. Ia membandingkannya dengan beberapa bendungan Bani Umayyah dan memperkirakan bahwa Bendungan Harbaqa dibangun pada zaman Bani Umayyah.[41]

Catatan kaki

  1. ^ a b c d O'Connor 1988, hlm. 238.
  2. ^ Limet 1977, hlm. 104.
  3. ^ Bubeník 1989, hlm. 229.
  4. ^ Wolfensohn 2016, hlm. 118.
  5. ^ Murtonen 1986, hlm. 445.
  6. ^ Ibn Šaddād 1732, hlm. 79.
  7. ^ a b c d Charnock 1859, hlm. 200.
  8. ^ a b c d e f O'Connor 1988, hlm. 235.
  9. ^ a b O'Connor 1988, hlm. 248.
  10. ^ Charnock 1859, hlm. 201.
  11. ^ a b O'Connor 1988, hlm. 236.
  12. ^ Guntern 2010, hlm. 433.
  13. ^ Intagliata 2018, hlm. 1.
  14. ^ Stoneman 1994, hlm. 56.
  15. ^ a b Izumi 1995, hlm. 19.
  16. ^ a b c d Zuchowska 2008, hlm. 229.
  17. ^ Dirven 1999, hlm. 17.
  18. ^ a b c d e f g h i Young 2003, hlm. 124.
  19. ^ Edwell 2008, hlm. 44.
  20. ^ Tomlinson 2003, hlm. 204.
  21. ^ a b c Juchniewicz 2013, hlm. 194.
  22. ^ Zuchowska 2008, hlm. 230.
  23. ^ a b Smith II 2013, hlm. 63.
  24. ^ a b Zuchowska 2008, hlm. 231.
  25. ^ a b c Crawford 1990, hlm. 123.
  26. ^ Cotterman 2013, hlm. 17.
  27. ^ a b c Gawlikowski 2005, hlm. 55.
  28. ^ Ball 2002, hlm. 364.
  29. ^ De Laborde 1837, hlm. 239.
  30. ^ Ricca 2007, hlm. 295.
  31. ^ Stoneman 1994, hlm. 124.
  32. ^ a b c Drijvers 1976, hlm. 5.
  33. ^ Smith II 2013, hlm. 22.
  34. ^ a b Majcherek 2013, hlm. 254.
  35. ^ Majcherek 2013, hlm. 256.
  36. ^ a b c d Carter, Dunston & Thomas 2008, hlm. 208.
  37. ^ a b c d e f g Darke 2006, hlm. 240.
  38. ^ a b Beattie & Pepper 2001, hlm. 290.
  39. ^ Burns 2009, hlm. 216.
  40. ^ Browning 1979, hlm. 180.
  41. ^ a b Meyer 2013, hlm. 270.
  42. ^ Cotterman 2013, hlm. 5.
  43. ^ Ben-Yehoshua, Borowitz & Hanus 2012, hlm. 26.
  44. ^ Greene 2001, hlm. 17.
  45. ^ Cotterman 2013, hlm. 4.
  46. ^ a b c d e f g h i j Bryce 2014, hlm. 278.
  47. ^ Kaizer 2017, hlm. 34.
  48. ^ Bryce 2014, hlm. 359.
  49. ^ a b c Dirven 1999, hlm. 19.
  50. ^ Luxenberg 2007, hlm. 11.
  51. ^ Teixidor 2005, hlm. 209.
  52. ^ a b Rostovtzeff 1932, hlm. 133.
  53. ^ Hartmann 2016, hlm. 67.
  54. ^ Beyer 1986, hlm. 28.
  55. ^ Healey 1990, hlm. 46.
  56. ^ Bryce 2014, hlm. 280.
  57. ^ a b Ricca 2007, hlm. 293.
  58. ^ a b Belnap & Haeri 1997, hlm. 21.
  59. ^ a b c d Dirven 1999, hlm. 18.
  60. ^ Teixidor 1979, hlm. 9.
  61. ^ a b c d e f Stoneman 1994, hlm. 67.
  62. ^ Teixidor 2005, hlm. 195.
  63. ^ Smith II 2013, hlm. 38.
  64. ^ a b c d e Bryce 2014, hlm. 282.
  65. ^ a b Dirven 1999, hlm. 24.
  66. ^ a b c d e Dirven 1999, hlm. 25.
  67. ^ a b Dirven 1999, hlm. 74.
  68. ^ Meier 1990, hlm. 60.
  69. ^ Hartmann 2016, hlm. 61, 62.
  70. ^ Hoyland 2001, hlm. 132.
  71. ^ a b Grabar et al. 1978, hlm. 156.
  72. ^ Stoneman 1994, hlm. 192.
  73. ^ Kitto 1837, hlm. 341.
  74. ^ a b c d e Speake 1996, hlm. 568.
  75. ^ a b Bielińska 1997, hlm. 44.
  76. ^ Millar 1993, hlm. 246.
  77. ^ Bryce 2014, hlm. 281.
  78. ^ Teixidor 1979, hlm. 62.
  79. ^ Edwell 2008, hlm. 33.
  80. ^ Yon 2002, hlm. 59.
  81. ^ Andrade 2013, hlm. 264.
  82. ^ Andrade 2013, hlm. 263.
  83. ^ Ball 2002, hlm. 446.
  84. ^ Millar 2007, hlm. 108.
  85. ^ a b Ball 2002, hlm. 86.
  86. ^ a b Ball 2002, hlm. 79.
  87. ^ Vasudevan 1995, hlm. 66.
  88. ^ Raja 2012, hlm. 198.
  89. ^ Ball 2002, hlm. 296.
  90. ^ Chapot 2014, hlm. 168.
  91. ^ Benzel et al. 2010, hlm. 106.
  92. ^ a b Evans & Kevorkian 2000, hlm. 115.
  93. ^ Gawlikowski 2005, hlm. 54.
  94. ^ Colledge 1976, hlm. 61.
  95. ^ Wood 1753, hlm. 22.
  96. ^ a b c d Millar 1993, hlm. 329.
  97. ^ Tuck 2015, hlm. 252.
  98. ^ Yarshater 1998, hlm. 16.
  99. ^ Drijvers 1990, hlm. 69.
  100. ^ Hachlili 1998, hlm. 177.
  101. ^ a b c d e Strong 1995, hlm. 168.
  102. ^ Romano 2006, hlm. 280.
  103. ^ Fowden 2004, hlm. 17.
  104. ^ a b Stoneman 1994, hlm. 54.
  105. ^ Schmidt-Colinet 1997, hlm. 157.
  106. ^ Yon 2002, hlm. 59, 10.
  107. ^ a b c d Stoneman 1994, hlm. 64.
  108. ^ Rostovtzeff 1971, hlm. 90.
  109. ^ a b Stoneman 1994, hlm. 65.
  110. ^ Burns 2009, hlm. 218.
  111. ^ Beattie & Pepper 2001, hlm. 291.
  112. ^ Richardson 2002, hlm. 47.
  113. ^ Burns 2009, hlm. 219.
  114. ^ Burns 2009, hlm. 220.
  115. ^ Beattie & Pepper 2001, hlm. 288.
  116. ^ Fellmann 1987, hlm. 136.
  117. ^ Hartmann 2016, hlm. 65.
  118. ^ Browning 1979, hlm. 157.
  119. ^ a b c Butcher 2003, hlm. 253.
  120. ^ Beattie & Pepper 2001, hlm. 289.
  121. ^ a b Gawlikowski 2011, hlm. 420.
  122. ^ a b Carter, Dunston & Thomas 2008, hlm. 209.
  123. ^ a b al-Asaad, Chatonnet & Yon 2005, hlm. 6.
  124. ^ Richardson 2002, hlm. 46.
  125. ^ a b Millar 1993, hlm. 323.
  126. ^ Gates 2003, hlm. 390.
  127. ^ Butcher 2003, hlm. 361.
  128. ^ Teixidor 1979, hlm. 128.
  129. ^ a b c d e Bryce 2014, hlm. 276.
  130. ^ a b Millar 1993, hlm. 320.
  131. ^ a b c Burns 2009, hlm. 214.
  132. ^ a b Burns 2009, hlm. 217.
  133. ^ Darke 2006, hlm. 241.
  134. ^ Markowski 2005, hlm. 473.
  135. ^ a b c Downey 1977, hlm. 21.
  136. ^ a b Downey 1977, hlm. 22.
  137. ^ Casule 2008, hlm. 103.
  138. ^ a b c Darke 2006, hlm. 238.
  139. ^ a b c d Pollard 2000, hlm. 298.
  140. ^ Southern 2008, hlm. 142.
  141. ^ Jeffries 2015.
  142. ^ Qassim 2015.
  143. ^ a b O'Connor 2015.
  144. ^ Barnard & Saad 2015.
  145. ^ Tharoor & Maruf 2016.
  146. ^ Shaheen, Swann & Levett 2015.
  147. ^ Makieh 2015.
  148. ^ Shaheen 2017.
  149. ^ Makieh & Francis 2017.
  150. ^ Maqdisi 2017.
  151. ^ Busta 2015.
  152. ^ Greenberg 2015.
  153. ^ Lamb 2017.
  154. ^ Squires 2017.
  155. ^ Makieh, Perry & Merriman 2017.
  156. ^ Matthiae 2017.
  157. ^ Southern 2008, hlm. 18.
  158. ^ Speake 1996, hlm. 565.
  159. ^ a b Colledge & Wiesehöfer 2014, hlm. 566.
  160. ^ al-Maqdissi 2010, hlm. 140.
  161. ^ Smith 1956, hlm. 38.
  162. ^ Liverani 2013, hlm. 234.
  163. ^ Ismail 2002, hlm. 325.
  164. ^ Van Koppen 2015, hlm. 87.
  165. ^ Bryce 2009, hlm. 686.
  166. ^ Sader 2014, hlm. 24.
  167. ^ Shahîd 1995, hlm. 173.
  168. ^ Shahîd 2002, hlm. 282.
  169. ^ Stoneman 1994, hlm. 52.
  170. ^ Dupont-Sommer 1970, hlm. 163.
  171. ^ a b Kaizer 2017, hlm. 33, 34.
  172. ^ MacDowall & Taddei 1978, hlm. 192.
  173. ^ a b Kaizer 2017, hlm. 34.
  174. ^ a b Mukherjee 2000, hlm. 11.
  175. ^ Rosenthal 1978, hlm. 99.
  176. ^ Seyrig 1939, hlm. 322, 323.
  177. ^ Grainger 1997, hlm. 759.
  178. ^ a b c Elton 1996, hlm. 90.
  179. ^ a b c Ball 2002, hlm. 74.
  180. ^ a b Edwell 2008, hlm. 34.
  181. ^ Edwell 2008, hlm. 34.
  182. ^ a b Edwell 2008, hlm. 41.
  183. ^ Seyrig 1959, hlm. 189–190.
  184. ^ Schlumberger 1939, hlm. 64.
  185. ^ Schlumberger 1939, hlm. 43, 66.
  186. ^ a b c d Bryce 2014, hlm. 284.
  187. ^ Seyrig 1959, hlm. 190.
  188. ^ a b Meyer 2013, hlm. 275.
  189. ^ Smith II 2013, hlm. 124.
  190. ^ a b c d e Smith II 2013, hlm. 127.
  191. ^ a b c d Smith II 2013, hlm. 122.
  192. ^ Smith II 2013, hlm. 226.
  193. ^ Smith II 2013, hlm. 24.
  194. ^ a b c Dirven 1999, hlm. 20.
  195. ^ a b Dąbrowa 1993, hlm. 12.
  196. ^ Elton 1996, hlm. 91.
  197. ^ a b c Elton 1996, hlm. 92.
  198. ^ a b c d e Southern 2008, hlm. 25.
  199. ^ Drijvers 1976, hlm. 3.
  200. ^ a b Edwell 2008, hlm. 36.
  201. ^ Dirven 1999, hlm. 22.
  202. ^ Smith II 2013, hlm. 145.
  203. ^ Young 2003, hlm. 125.
  204. ^ a b Bryce 2014, hlm. 279.
  205. ^ Dirven 1999, hlm. 21.
  206. ^ a b c Smith II 2013, hlm. 25.
  207. ^ Dąbrowa 1979, hlm. 235.
  208. ^ Sidebotham, Hense & Nouwens 2008, hlm. 354.
  209. ^ Raschke 1978, hlm. 878.
  210. ^ a b Smith II 2013, hlm. 26.
  211. ^ Edwell 2008, hlm. 27.
  212. ^ a b Sartre 2005, hlm. 512.
  213. ^ a b c d Smith II 2013, hlm. 28.
  214. ^ Edwell 2008, hlm. 60.
  215. ^ Teixidor 1979, hlm. 33.
  216. ^ a b Smith II 2013, hlm. 176.
  217. ^ Smith II 2013, hlm. 29.
  218. ^ a b c d Southern 2008, hlm. 44.
  219. ^ a b Ball 2002, hlm. 77.
  220. ^ a b c d e f Smith II 2013, hlm. 177.
  221. ^ Drinkwater 2005, hlm. 44.
  222. ^ Southern 2008, hlm. 60.
  223. ^ Dignas & Winter 2007, hlm. 159.
  224. ^ Hartmann 2001, hlm. 139.
  225. ^ Hartmann 2001, hlm. 144, 145.
  226. ^ Southern 2008, hlm. 67.
  227. ^ De Blois 1976, hlm. 35.
  228. ^ Andrade 2013, hlm. 333.
  229. ^ Young 2003, hlm. 215.
  230. ^ Young 2003, hlm. 159.
  231. ^ Ando 2012, hlm. 237.
  232. ^ a b Dubnov 1968, hlm. 151.
  233. ^ Hartmann 2001, hlm. 171.
  234. ^ Dignas & Winter 2007, hlm. 160.
  235. ^ Hartmann 2001, hlm. 172.
  236. ^ Stoneman 1994, hlm. 78.
  237. ^ Southern 2008, hlm. 72.
  238. ^ Watson 2004, hlm. 32.
  239. ^ Hartmann 2001, hlm. 176.
  240. ^ a b De Blois 1976, hlm. 3.
  241. ^ Southern 2008, hlm. 76.
  242. ^ Southern 2008, hlm. 77.
  243. ^ a b Southern 2008, hlm. 78.
  244. ^ Bryce 2014, hlm. 292.
  245. ^ Stoneman 1994, hlm. 108.
  246. ^ Brauer 1975, hlm. 163.
  247. ^ a b c Bryce 2014, hlm. 299.
  248. ^ Southern 2008, hlm. 91.
  249. ^ Southern 2008, hlm. 92.
  250. ^ Hartmann 2001, hlm. 267.
  251. ^ a b Bryce 2014, hlm. 302.
  252. ^ a b Watson 2004, hlm. 62.
  253. ^ Bryce 2014, hlm. 303.
  254. ^ Bryce 2014, hlm. 304.
  255. ^ a b Ball 2002, hlm. 80.
  256. ^ a b c Smith II 2013, hlm. 179.
  257. ^ Watson 2004, hlm. 67.
  258. ^ Southern 2008, hlm. 118.
  259. ^ Ball 2002, hlm. 82.
  260. ^ Whittow 2010, hlm. 77.
  261. ^ a b Smith II 2013, hlm. 180.
  262. ^ Bryce 2014, hlm. 307.
  263. ^ a b Bryce 2014, hlm. 308.
  264. ^ Bryce 2014, hlm. 309.
  265. ^ Bryce 2014, hlm. 310.
  266. ^ a b c Ball 2002, hlm. 81.
  267. ^ Drinkwater 2005, hlm. 52.
  268. ^ Bryce 2014, hlm. 313.
  269. ^ Smith II 2013, hlm. 181.
  270. ^ Sartre 2005, hlm. 515.
  271. ^ a b Pollard 2000, hlm. 299.
  272. ^ a b c Stoneman 1994, hlm. 190.
  273. ^ Greatrex & Lieu 2005, hlm. 85.
  274. ^ Burns 2007, hlm. 99.
  275. ^ Le Strange 1890, hlm. 36.
  276. ^ a b Hillenbrand 1999, hlm. 87.
  277. ^ a b Bacharach 1996, hlm. 31.
  278. ^ Hawting 1991, hlm. 624.
  279. ^ Cobb 2001, hlm. 73.
  280. ^ Cobb 2001, hlm. 47.
  281. ^ a b Cobb 2001, hlm. 48.
  282. ^ Holt 2013, hlm. 13.
  283. ^ Loewe 1923, hlm. 300.
  284. ^ a b Meyer 2017a, hlm. 72.
  285. ^ Grabar et al. 1978, hlm. 11.
  286. ^ Grabar et al. 1978, hlm. 158.
  287. ^ a b c Élisséeff 2007, hlm. 158.
  288. ^ Fowden 1999, hlm. 184.
  289. ^ Chamberlain 2005, hlm. 148.
  290. ^ a b Ibn al-ʻAdīm 1988, hlm. 3354.
  291. ^ Hanne 2007, hlm. 135.
  292. ^ a b c d Gibb 2002, hlm. 178.
  293. ^ Ibn al-Qalanisi 1983, hlm. 386.
  294. ^ Grabar et al. 1978, hlm. 161.
  295. ^ a b Gibb 2002, hlm. 237.
  296. ^ Ibn 'Asakir 1995, hlm. 121.
  297. ^ Byliński 1999, hlm. 161.
  298. ^ Ehrenkreutz 1972, hlm. 46, 72.
  299. ^ Hamilton 2005, hlm. 98.
  300. ^ a b Humphreys 1977, hlm. 51.
  301. ^ Major 2001, hlm. 62.
  302. ^ a b Burns 2009, hlm. 243.
  303. ^ Le Strange 1890, hlm. 541.
  304. ^ a b Humphreys 1977, hlm. 360.
  305. ^ Holt 1995, hlm. 38.
  306. ^ a b Qīṭāz 2007, hlm. 788.
  307. ^ a b al-Ziriklī 2002, hlm. 316.
  308. ^ al-Ziriklī 2002, hlm. 317.
  309. ^ a b Ibn Khaldūn 1988, hlm. 501.
  310. ^ al-ʻUmarī 2002, hlm. 528.
  311. ^ Ibn Battuta 1997, hlm. 413.
  312. ^ a b Ibn Khaldūn 1988, hlm. 502.
  313. ^ a b al-ʻAsqalānī 1969, hlm. 350.
  314. ^ Petersen 1996, hlm. 272.
  315. ^ a b Çelebi 1834, hlm. 93.
  316. ^ Winter 2010, hlm. 43.
  317. ^ Winter 2010, hlm. 48.
  318. ^ a b Harris 2012, hlm. 103.
  319. ^ Byliński 1995, hlm. 146.
  320. ^ Peters 1910, hlm. 933.
  321. ^ Kennedy & Riley 2004, hlm. 143.
  322. ^ a b c d e Grainger 2013, hlm. 228.
  323. ^ a b Qaddūrī 2000, hlm. 38.
  324. ^ Qaddūrī 2000, hlm. 40.
  325. ^ Neep 2012, hlm. 28.
  326. ^ Neep 2012, hlm. 142.
  327. ^ a b c Darke 2010, hlm. 257.
  328. ^ a b c d e f Stoneman 1994, hlm. 12.
  329. ^ a b c d e f Drijvers 1976, hlm. 4.
  330. ^ a b Moubayed 2012, hlm. 46.
  331. ^ Watson 2003, hlm. 80.
  332. ^ Cave 2012, hlm. 55.
  333. ^ a b c d Holmes 2013.
  334. ^ Mackay 2015.
  335. ^ McGirk 2015.
  336. ^ Shaheen 2015.
  337. ^ Loveluck 2015.
  338. ^ Saul 2015.
  339. ^ Carissimo 2015.
  340. ^ Withnall 2015.
  341. ^ Plets 2017, hlm. 18.
  342. ^ Gambino 2016.
  343. ^ Makieh 2016.
  344. ^ Williams 2016.
  345. ^ Dearden 2017.
  346. ^ Millar 2006, hlm. 205.
  347. ^ Ball 2009, hlm. 56.
  348. ^ Smith II 2013, hlm. 125.
  349. ^ Smith II 2013, hlm. 126.
  350. ^ Edwell 2008, hlm. 48.
  351. ^ a b Smith II 2013, hlm. 128.
  352. ^ a b Southern 2008, hlm. 43.
  353. ^ Smith II 2013, hlm. 129.
  354. ^ a b Young 2003, hlm. 145.
  355. ^ Edwell 2008, hlm. 54.
  356. ^ a b Edwell 2008, hlm. 49.
  357. ^ Cline & Graham 2011, hlm. 271.
  358. ^ a b c Smith II 2013, hlm. 130.
  359. ^ Mackay 2004, hlm. 272.
  360. ^ a b c d Smith II 2013, hlm. 131.
  361. ^ Mennen 2011, hlm. 224.
  362. ^ Sivertsev 2002, hlm. 72.
  363. ^ Hartmann 2016, hlm. 64.
  364. ^ Cooke 1903, hlm. 286.
  365. ^ Southern 2008, hlm. 75.
  366. ^ Southern 2008, hlm. 115.
  367. ^ Butcher 2003, hlm. 60.
  368. ^ Watson 2004, hlm. 81.
  369. ^ Shahîd 1984, hlm. 15.
  370. ^ Irwin 2003, hlm. 256.
  371. ^ Shahîd 1984, hlm. 38.
  372. ^ Smith II 2013, hlm. 143.
  373. ^ Hartmann 2001, hlm. 371.
  374. ^ Southern 2008, hlm. 26.
  375. ^ Potter 2010, hlm. 162.
  376. ^ Stoneman 1994, hlm. 122.
  377. ^ Bryce 2014, hlm. 289.
  378. ^ Graf 1989, hlm. 155.
  379. ^ Southern 2008, hlm. 24.
  380. ^ a b Dixon & Southern 2005, hlm. 76.
  381. ^ Fields 2008, hlm. 18.
  382. ^ Stoneman 1994, hlm. 27.
  383. ^ Wheeler 2011, hlm. 258.
  384. ^ Purcell 1997, hlm. 80.
  385. ^ a b Edwell 2008, hlm. 52.
  386. ^ Dirven 1999, hlm. 181.
  387. ^ Edwell 2008, hlm. 139.
  388. ^ Levick 2007, hlm. 15.
  389. ^ a b Teixidor 1979, hlm. 1.
  390. ^ a b Drijvers 1980, hlm. 46.
  391. ^ a b c Waardenburg 2002, hlm. 33.
  392. ^ Dirven 1998, hlm. 83.
  393. ^ a b c d Butcher 2003, hlm. 345.
  394. ^ a b c Smith II 2013, hlm. 64.
  395. ^ Smith II 2013, hlm. 66.
  396. ^ a b Teixidor 1979, hlm. 52.
  397. ^ Drijvers 1976, hlm. 21.
  398. ^ Colledge 1986, hlm. 6.
  399. ^ Waardenburg 1984, hlm. 273.
  400. ^ a b c d Teixidor 1979, hlm. 77.
  401. ^ a b Dirven 1999, hlm. 159.
  402. ^ Drijvers 1976, hlm. 12.
  403. ^ a b Dirven 1999, hlm. 160.
  404. ^ a b c Dirven 1999, hlm. 161.
  405. ^ Dirven 1999, hlm. 146, 147.
  406. ^ a b Teixidor 1979, hlm. 36.
  407. ^ Kaizer 2005, hlm. 179.
  408. ^ Drijvers 1976, hlm. 22.
  409. ^ a b Wright 2004, hlm. 296.
  410. ^ Shahîd 1995, hlm. 439.
  411. ^ Hijmans 2009, hlm. 484.
  412. ^ Hijmans 2009, hlm. 485.
  413. ^ Halsberghe 1972, hlm. 156.
  414. ^ a b c Watson 2004, hlm. 196.
  415. ^ a b Dirven 1999, hlm. 174.
  416. ^ Halsberghe 1972, hlm. 157.
  417. ^ Stoneman 1994, hlm. 185.
  418. ^ a b Smith II 2013, hlm. 51.
  419. ^ a b Stoneman 1994, hlm. 57.
  420. ^ a b Howard 2012, hlm. 158.
  421. ^ Rostovtzeff. 1932, hlm. 74.
  422. ^ a b Stoneman 1994, hlm. 58.
  423. ^ Smith II 2013, hlm. 70.
  424. ^ Métral 2000, hlm. 130.
  425. ^ a b Southern 2008, hlm. 27.
  426. ^ Meyer 2013, hlm. 273.
  427. ^ Butcher 2003, hlm. 163.
  428. ^ Hoffmann-Salz 2015, hlm. 242.
  429. ^ Meyer 2013, hlm. 274.
  430. ^ Stoneman 1994, hlm. 189.
  431. ^ Kennedy 2006, hlm. 296.
  432. ^ Robinson 1946, hlm. 10.
  433. ^ Ibn Arabshah 1986, hlm. 296.
  434. ^ Addison 1838, hlm. 333.
  435. ^ McLaughlin 2010, hlm. 97.
  436. ^ a b Young 2003, hlm. 133.
  437. ^ a b Bryce 2014, hlm. 283.
  438. ^ Stoneman 1994, hlm. 19.
  439. ^ a b Southern 2008, hlm. 111.
  440. ^ Hourani 1995, hlm. 34.
  441. ^ Hoffmann-Salz 2015, hlm. 234.
  442. ^ Young 2003, hlm. 137.
  443. ^ a b c Ball 2002, hlm. 76.
  444. ^ a b c Howard 2012, hlm. 159.
  445. ^ Stoneman 1994, hlm. 59.
  446. ^ a b c Stoneman 1994, hlm. 7.
  447. ^ a b c Terpak & Bonfitto 2017.
  448. ^ Schmidt 1976, hlm. 193.
  449. ^ Gawlikowski 2011, hlm. 415.
  450. ^ Healey 2009, hlm. 164.
  451. ^ Gawlikowski 2011, hlm. 416.
  452. ^ Gawlikowski 2013, hlm. 13.
  453. ^ Michalska 2016.
  454. ^ Downey 1996, hlm. 469.
  455. ^ Meyer 2017b, hlm. 30.
  456. ^ Curry 2012.
  457. ^ Cameron & Rössler 2016, hlm. 105.
  458. ^ Kaiser 2010.
  459. ^ Wessel 2015, hlm. 85.

Daftar pustaka

  • Addison, Charles Greenstreet (1838). Damascus and Palmyra: a journey to the East. 2. Richard Bentley. OCLC 833460514. 
  • al-Asaad, Khaled; Chatonnet, Françoise Briquel; Yon, Jean-Baptiste (2005). "Reflections on the tokens found in the Arsu temple". Dalam Cussini, Eleonora. A Journey to Palmyra: Collected Essays to Remember Delbert R. Hillers. Brill. ISBN 978-90-04-12418-9. 
  • al-ʻAsqalānī, Aḥmad ibn ʻAlī Ibn Ḥajar (1969) [1446]. Ḥabashī, Ḥasan, ed. Inbāʼ al-ghumr bi-anbāʼ al-ʻumr (dalam bahasa Arab). 2. Majlis al-Aʻlá lil-Shuʼūn al-Islāmīyah: Lajnat Iḥyāʼ al-Turāth al-Islāmī. OCLC 22742875. 
  • al-Maqdissi, Michel (2010). "Matériel pour l'Étude de la Ville en Syrie (Deuxième Partie): Urban Planning in Syria during the SUR (Second Urban Revolution) (Mid-third Millennium BC)". Al-Rāfidān (Journal of Western Asiatic Studies). Institulte for Cultural studies of Ancient Iraq, Kokushikan University. Special Issue. ISSN 0285-4406. 
  • al-ʻUmarī, Aḥmad ibn Yaḥyá Ibn Faḍl Allāh (2002) [1348]. al-Sarīḥī, ʻAbd Allāh ibn Yaḥyá, ed. Masālik al-abṣār fī mamālik al-amṣār (مسالك الأبصار في ممالك الأمصار) (dalam bahasa Arab). 3. Abū Dhabī : al-Majmaʻ al-Thaqāfī. OCLC 4771042475. 
  • al-Ziriklī, Khayr al-Dīn (2002) [1927]. al-Aʻlām : qāmūs tarājim li-ashhar al-rijāl wa-al-nisāʼ min al-ʻArab wa-al-mustaʻribīn wa-al-mustashriqīn (dalam bahasa Arab). 7 (edisi ke-15). Dār al-ʻIlm lil-Malāyīn. OCLC 78683884. 
  • Ando, Clifford (2012). Imperial Rome AD 193 to 284: The Critical Century. Edinburgh University Press. ISBN 978-0-7486-5534-2. 
  • Andrade, Nathanael J. (2013). Syrian Identity in the Greco-Roman World. Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-01205-9. 
  • Bacharach, Jere L. (1996). "Marwanid Umayyad Building Activities: Speculations on Patronage". Dalam Necipoğlu, Gülru. Muqarnas: An Annual on the Visual Cultures of the Islamic World. 13. Brill. ISBN 978-90-04-25933-1. ISSN 0732-2992. 
  • Ball, Warwick (2002) [1999]. Rome in the East: The Transformation of an Empire. Routledge. ISBN 978-1-134-82387-1. 
  • Ball, Warwick (2009). Out of Arabia: Phoenicians, Arabs, and the Discovery of Europe. Asia in Europe and the making of the West. 1. East & West Publishing. ISBN 978-1-56656-801-2. 
  • Barnard, Anne; Saad, Hwaida (31 August 2015). "Palmyra Temple Was Destroyed by ISIS, U.N. Confirms". The New York Times. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Beattie, Andrew; Pepper, Timothy (2001). The Rough Guide to Syria (edisi ke-2). Rough Guides. ISBN 978-1-85828-718-8. 
  • Belnap, R. Kirk; Haeri, Niloofar (1997). Structuralist Studies in Arabic Linguistics: Charles A. Ferguson's Papers, 1954–1994. Studies in Semitic Languages and Linguistics. 24. Brill. ISBN 978-90-04-10511-9. ISSN 0081-8461. 
  • Ben-Yehoshua, Shimshon; Borowitz, Carole; Hanus, Lumír Ondøej (2012). "Spices: Frankincense, Myrrh, and Balm of Gilead: Ancient Spices of Southern Arabia and Judea". Dalam Janick, Jules. Horticultural Reviews. Horticultural Reviews. 39. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-118-10058-5. 
  • Benzel, Kim; Graff, Sarah B.; Rakic, Yelena; Watts, Edith W. (2010). Art of the Ancient Near East: A Resource for Educators. Metropolitan Museum of Art. ISBN 978-1-58839-358-6. 
  • Beyer, Klaus (1986) [1984]. The Aramaic Language, Its Distribution and Subdivisions. Diterjemahkan oleh Healey, John F. Vandenhoeck & Ruprecht. ISBN 978-3-525-53573-8. 
  • Bielińska, Dorota (1997). "Small finds from pre-Classical Palmyra". Studia Palmyreńskie. Polish Centre of Mediterranean Archaeology, University of Warsaw. 10. ISSN 0081-6787. 
  • Brauer, George C. (1975). The Age of the Soldier Emperors: Imperial Rome, A.D. 244–284. Noyes Press. ISBN 978-0-8155-5036-5. 
  • Browning, Iain (1979). Palmyra. Noyes Press. ISBN 978-0-8155-5054-9. 
  • Bryce, Trevor (2009). The Routledge Handbook of the Peoples and Places of Ancient Western Asia: The Near East from the Early Bronze Age to the fall of the Persian Empire. Routledge. ISBN 978-1-134-15907-9. 
  • Bryce, Trevor (2014). Ancient Syria: A Three Thousand Year History. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-100292-2. 
  • Bubeník, Vít (1989). Hellenistic and Roman Greece as a Sociolinguistic Area. Current Issues in Linguistic Theory Series. 57. John Benjamins Publishing. ISBN 978-9-027-23551-0. 
  • Burns, Ross (2009) [1992]. Monuments of Syria: A Guide (edisi ke-revisi). I.B.Tauris. ISBN 978-0-85771-489-3. 
  • Burns, Ross (2007) [2005]. Damascus: A History. Routledge. ISBN 978-1-134-48849-0. 
  • Busta, Hallie (23 October 2015). "An Open-Source Project to Rebuild Palmyra". The Journal of the American Institute of Architects. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Butcher, Kevin (2003). Roman Syria and the Near East. The British Museum Press. ISBN 978-0-7141-2235-9. 
  • Byliński, Janusz (1995). Gawlikowski, Michał; Daszewski, Wiktor A., ed. "Palmyra: Arab Castle". Polish Archaeology in the Mediterranean. Warsaw University Press. 7. ISSN 1234-5415. 
  • Byliński, Janusz (1999). "Qal'at Shirkuh at Palmyra: A Medieval Fortress Reinterpreted". Bulletin d'Études Orientales. l'Institut français d'archéologie du Proche-Orient. 51. ISBN 978-2-901315-56-8. ISSN 2077-4079. 
  • Cameron, Christina; Rössler, Mechtild (2016) [2013]. Many Voices, One Vision: The Early Years of the World Heritage Convention. Routledge. ISBN 978-1-317-10102-4. 
  • Carissimo, Justin (4 July 2015). "Isis propaganda video shows 25 Syrian soldiers executed by teenage militants in Palmyra". The Independent. Diakses tanggal 4 Maret 2017. 
  • Carter, Terry; Dunston, Lara; Thomas, Amelia (2008). Syria & Lebanon. Lonely Planet. ISBN 978-1-74104-609-0. 
  • Casule, Francesca (2008). Art and History: Syria. Diterjemahkan oleh Boomsliter, Paula Elise; Dunbar, Richard. Casa Editrice Bonechi. ISBN 978-88-476-0119-2. 
  • Cave, Terry (2012) [2003]. The Battle Honours of the Second World War 1939–1945 and Korea 1950–1953: British and Colonial Regiments. Andrews UK Limited. ISBN 978-1-781-51379-8. 
  • Çelebi, Evliya (1834) [1681]. Narrative of Travels in Europe, Asia, and Africa in the Seventeenth Century. 1. Diterjemahkan oleh von Hammer-Purgstall, Freiherr. Oriental Translation Fund. OCLC 754957231. 
  • Chamberlain, Michael (2005). "Military Patronage States and the Political economy of the Frontier, 1000–1250". Dalam Choueiri, Youssef M. A Companion to the History of the Middle East. Blackwell Publishing. ISBN 978-1-4051-5204-4. 
  • Chapot, Victor (2014) [1928]. Ogden, Charles Kay, ed. The Roman World. The History of Civilization. Diterjemahkan oleh Parker, Edward Adams. Routledge. ISBN 978-1-134-73140-4. 
  • Charnock, Richard Stephen (1859). Local Etymology: A Derivative Dictionary of Geographical Names. Houlston and Wright. OCLC 4696115. 
  • Cline, Eric H.; Graham, Mark W. (2011). Ancient Empires: From Mesopotamia to the Rise of Islam. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-88911-7. 
  • Cobb, Paul M. (2001). White Banners: Contention in 'Abbasid Syria, 750–880. State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-4880-9. 
  • Colledge, Malcolm Andrew Richard (1976). The Art of Palmyra. Studies in Ancient Art and Archaeology. 4. Thames & Hudson. ISBN 978-0-89158-617-3. 
  • Colledge, Malcolm Andrew Richard (1986). van Baaren, Theodoor Pieter; van den Bosch, Lourens Peter; Kippenberg, Hans Gerhard; Leertouwer, Lammert; Leemhuis, Fred; te Velde, Henk; Witte, Hans Antonius; Buning, H., ed. The Parthian Period. Iconography of Religions. Section XIV: Iran (Institute of Religious Iconography, State University Groningen). 3. Brill. ISBN 978-90-04-07115-5. ISSN 0169-9873. 
  • Colledge, Malcolm Andrew Richard; Wiesehöfer, Josef (2014) [1998]. "Palmyra". Dalam Hornblower, Simon; Spawforth, Antony; Eidinow, Esther. The Oxford Companion to Classical Civilization (edisi ke-2). Oxford University Press. ISBN 978-0-19-870677-9. 
  • Cooke, George Albert (1903). A Text-Book of North-Semitic Inscriptions: Moabite, Hebrew, Phoenician, Aramaic, Nabataean, Palmyrene, Jewish. The Clarendon Press. ISBN 978-5-87188-785-1. 
  • Cotterman, William W. (2013). Improbable Women: Five who Explored the Middle East. Contemporary Issues in the Middle East. Syracuse University Press. ISBN 978-0-8156-5231-1. 
  • Crawford, J. Stephens (1990). The Byzantine Shops at Sardis. Monograph / Archaeological Exploration of Sardis. 9. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-08968-6. ISSN 0066-5975. 
  • Curry, Andrew (20 July 2012). "Mystery of Lost Roman City Solved: Ancients Greened the Desert?". National Geographic News. Diakses tanggal 11 Desember 2016. 
  • Dąbrowa, Edward (1979). "Les Troupes Auxiliaires de L'armée Romaine en Syrie au Ier Siècle de Notre ère". Dialogues d'Histoire Ancienne. Annales littéraires de l'Université de Besançon (Volume 239). les Presses universitaires de Franche-Comté. 5. doi:10.3406/dha.1979.1387. ISBN 978-2-251-60239-4. ISSN 0755-7256. 
  • Dąbrowa, Edward (1993). Legio X Fretensis. A Prosopographical Study of its Officers (I–III c. AD)Perlu mendaftar (gratis). Historia: Zeitschrift für Alte Geschichte. Historia Einzelschriften. 66. Franz Steiner Verlag. ISBN 978-3-515-05809-4. 
  • Darke, Diana (2006). Syria. Bradt Travel Guides. ISBN 978-1-84162-162-3. 
  • Darke, Diana (2010) [2006]. Syria (edisi ke-2). Bradt Travel Guides. ISBN 978-1-84162-314-6. 
  • Dearden, Lizzie (2 March 2017). "Isis driven out of ancient Syrian city of Palmyra for second time". The Independent. Diakses tanggal 4 Maret 2017. 
  • De Blois, Lukas (1976). The Policy of the Emperor Gallienus. Dutch Archaeological and Historical Society: Studies of the Dutch Archaeological and Historical Society. 7. Brill. ISBN 978-90-04-04508-8. 
  • De Laborde, Leon (1837). "Journey Through Arabia Petraea, To Mount Sinai, And The Excavated City Of Petra, The Edom Of The Prophecies 1836". The Quarterly Christian Spectator. New Haven : A. H. Maltby. 9. OCLC 176276638. 
  • Dignas, Beate; Winter, Engelbert (2007) [2001]. Rome and Persia in Late Antiquity: Neighbours and Rivals. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84925-8. 
  • Dirven, Lucinda (1998). "The Palmyrene diaspora in East and West : a Syrian community in the diaspora in the Roman period". Dalam ter Haar, Gerrie. Strangers and sojourners: religious communities in the diaspora. Peeters Publishers. ISBN 978-90-429-0663-1. 
  • Dirven, Lucinda (1999). The Palmyrenes of Dura-Europos: A Study of Religious Interaction in Roman Syria. Religions in the Graeco-Roman World. 138. Brill. ISBN 978-90-04-11589-7. ISSN 0927-7633. 
  • Dixon, Karen R.; Southern, Patricia (2005) [1992]. The Roman Cavalry. Routledge. ISBN 978-1-135-11407-7. 
  • Downey, Susan (1977). ""Temples a Escaliers": The Dura Evidence". Dalam Stroud, Ronald S.; Levine, Philip. California Studies in Classical Antiquity. 9. University of California Press. ISBN 978-0-520-09565-6. 
  • Downey, Susan (1996). "Funerary sculptures of Palmyra; Review of A. Sadurska and A. Bounni, Les sculptures funéraires de Palmyre". Journal of Roman Archaeology. 9. ISSN 1047-7594. 
  • Drijvers, Hendrik Jan Willem (1976). van Baaren, Theodoor Pieter; Leertouwer, Lammert; Leemhuis, Fred; Buning, H., ed. The Religion of Palmyra. Iconography of Religions. Section XV Mesopotamia and the Near East (Institute of Religious Iconography, State University Groningen). Brill. ISBN 978-0-585-36013-3. ISSN 0169-8036. OCLC 714982019. 
  • Drijvers, Hendrik Jan Willem (1980). Cults and Beliefs at Edessa. Études préliminaires aux religions orientales dans l'Empire romain. 82. Brill. ISBN 978-90-04-06050-0. 
  • Drijvers, Hendrik Jan Willem (1990). "The Syrian Cult Relief". Dalam Kippenberg, Hans G.; van den Bosch, Lourens P.; Leertouwer, Lammert; Witte, Hans Antonius. Genres in Visual Representations: Proceedings of a Conference Held in 1986 by Invitation of the Werner-Reimers-Stiftung in Bad Homburg (Federal Republic of Germany). Visible Religion. Annual for Religious Iconography (Institute of Religious Iconography, State University Groningen). 7. Brill. ISBN 978-90-04-09094-1. 
  • Drinkwater, John (2005). "Maximinus to Diocletian and the 'crisis'". Dalam Bowman, Alan K.; Garnsey, Peter; Cameron, Averil. The Crisis of Empire, AD 193–337. The Cambridge Ancient History. 12. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-30199-2. 
  • Dubnov, Simon (1968) [1916]. History of the Jews From the Roman Empire to the Early Medieval Period. 2. Diterjemahkan oleh Spiegel, Moshe. Thomas Yoseloff. OCLC 900833618. 
  • Dupont-Sommer, André (1970). "Une Nouvelle Inscription Araméenne d'Asoka Trouvée Dans la Vallée du Laghman (Afghanistan)". Comptes Rendus des Séances de l'Académie des Inscriptions et Belles-Lettres. Académie des Inscriptions et Belles-Lettres. 114 (1). ISSN 0151-0509. 
  • Edwell, Peter (2008). Between Rome and Persia: The Middle Euphrates, Mesopotamia and Palmyra Under Roman Control. Routledge. ISBN 978-1-134-09573-5. 
  • Ehrenkreutz, Andrew S. (1972). Saladin. State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-095-4. 
  • Élisséeff, Nikita (2007). "Homs". Dalam Bosworth, Clifford Edmund. Historic Cities of the Islamic World. EI Reference Guides. 1. Brill. ISBN 978-90-04-15388-2. 
  • Elton, Hugh (1996). Frontiers of the Roman Empire. Indiana University Press. ISBN 978-0-253-33111-3. 
  • Evans, Jean M.; Kevorkian, Hagop (2000). "Palmyra". Dalam Milleker, Elizabeth J. The Year One: Art of the Ancient World East and West. Metropolitan Museum of Art. ISBN 978-0-87099-961-1. 
  • Fellmann, Rudolf (1987). "Der Palast der Königin Zenobia". Dalam al-Asaad, Khaled; Ruprechtsberger, Erwin Maria. Palmyra, Geschichte, Kunst und Kultur der Syrischen Oasenstadt: Einführende Beiträge und Katalog zur Ausstellung. Linzer Archäologische Forschungen (dalam bahasa Jerman). 16. Gutenberg. ISBN 978-3-900-40115-3. 
  • Fields, Nic (2008). The Walls of Rome. Osprey Publishing. ISBN 978-1-84603-198-4. 
  • Fowden, Elizabeth Key (1999). The Barbarian Plain: Saint Sergius between Rome and Iran. Transformation of the Classical Heritage. 28. University of California Press. ISBN 978-0-520-92220-4. 
  • Fowden, Garth (2004). Qusayr 'Amra: Art and the Umayyad Elite in Late Antique Syria. Transformation of the Classical Heritage Series. 36. University of California Press. ISBN 978-0-520-92960-9. 
  • Gambino, Lauren (28 March 2016). "Damages to Palmyra ruins in Syrian recapture less than feared, experts say". The Guardian. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Gates, Charles (2003). Ancient Cities: The Archaeology of Urban Life in the Ancient Near East and Egypt, Greece and Rome. Routledge. ISBN 978-1-134-67662-0. 
  • Gawlikowski, Michal (2005). "The City of the Dead". Dalam Cussini, Eleonora. A Journey to Palmyra: Collected Essays to Remember Delbert R. Hillers. Brill. ISBN 978-90-04-12418-9. 
  • Gawlikowski, Michał (2011). Zych, Iwona; Szymczak, Agnieszka, ed. "Palmyra: reexcavating the site of the Tariff (fieldwork in 2010 and 2011)". Polish Archaeology in the Mediterranean. Warsaw University Press. 23 (1). ISSN 1234-5415. 
  • Gawlikowski, Michał (2013). "Preface". Studia Palmyreńskie. Polish Centre of Mediterranean Archaeology, University of Warsaw. 12: Fifty Years of Polish Excavations in Palmyra 1959–2009, International Conference,Warsaw, 6–8 Desember 2010. ISSN 0081-6787. 
  • Gibb, Hamilton Alexander Rosskeen (2002) [1932]. The Damascus Chronicle of the Crusades: Extracted and Translated from the Chronicle of Ibn Al-Qalanisi (edisi ke-Dover). Dover publications. ISBN 978-0-486-42519-1. 
  • Grabar, Oleg; Holod, Reneta; Knustad, James; Trousdale, William (1978). City in the Desert. Qasr al-Hayr East. Harvard Middle Eastern Monographs. 23–24. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-13195-8. 
  • Graf, David F. (1989). "Zenobia and the Arabs". Dalam French, David H.; Lightfoot, Chris S. The Eastern frontier of the Roman Empire: proceedings of a colloquium held at Ankara in September 1988 (Volume 1). British Archaeological Reports. 553. BAR Publishing. ISBN 978-0-86054-700-6. 
  • Grainger, John D. (1997). A Seleukid Prosopography and Gazetteer. Mnemosyne, Bibliotheca Classica Batava. Supplementum. 172. Brill. ISBN 978-9-004-10799-1. ISSN 0169-8958. 
  • Grainger, John D. (2013). The Battle for Syria, 1918–1920. Boydell Press. ISBN 978-1-84383-803-6. 
  • Greatrex, Geoffrey; Lieu, Samuel N. C. (2005) [2002]. The Roman Eastern Frontier and the Persian Wars, part 2, AD 363–628. Routledge. ISBN 978-1-134-75646-9. 
  • Greenberg, Andy (21 October 2015). "A Jailed Activist's 3-D Models Could Save Syria's History From ISIS". Wired. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Greene, Joseph A. (2001). "Aram"Perlu mendaftar (gratis). Dalam Metzger, Bruce Manning; Coogan, Michael David. The Oxford Guide to People & Places of the Bible. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-517610-0. 
  • Guntern, Gottlieb (2010). The Spirit of Creativity: Basic Mechanisms of Creative Achievements. University Press of America. ISBN 978-0-7618-5053-3. 
  • Hachlili, Rachel (1998). Ancient Jewish Art and Archaeology in the Diaspora. Handbook of Oriental Studies. Section 1 the near and Middle East Series. 35. Brill. ISBN 978-90-04-10878-3. 
  • Halsberghe, Gaston H. (1972). The Cult of Sol Invictus. Études Préliminaires aux Religions Orientales dans l'Empire Romain. 23. Brill. ISBN 978-9-004-30831-2. 
  • Hamilton, Bernard (2005) [2000]. The Leper King and His Heirs: Baldwin IV and the Crusader Kingdom of Jerusalem (edisi ke-Digitally Printed First Paperback Version). Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-01747-3. 
  • Hanne, Eric J. (2007). Putting the Caliph in His Place: Power, Authority, and the Late Abbasid Caliphate. Fairleigh Dickinson University Press. ISBN 978-0-8386-4113-2. 
  • Harris, William (2012). Lebanon: A History, 600–2011. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-021783-9. 
  • Hartmann, Udo (2001). Das palmyrenische Teilreich (dalam bahasa Jerman). Franz Steiner Verlag. ISBN 978-3-515-07800-9. 
  • Hartmann, Udo (2016). "What was it Like to be a Palmyrene in the Age of Crisis? Changing Palmyrene Identities in the Third Century AD". Dalam Kropp, Andreas; Raja, Rubina. The World of Palmyra. Palmyrenske Studier. 1. The Royal Danish Academy of Sciences and Letters- Specialtrykkeriet Viborg a-s. ISBN 978-8-773-04397-4. ISSN 1904-5506. 
  • Hawting, Gerald R. (1991). "Marwan II". Dalam Bosworth, Clifford Edmund; van Donzel, Emeri J.; Lewis, Bernard; Pellat, Charles. The Encyclopaedia of Islam (New Edition/EI-2). 6. Brill. ISBN 978-90-04-08112-3. 
  • Healey, John F. (1990). The Early AlphabetPerlu mendaftar (gratis). Reading the Past. 9. University of California Press. ISBN 978-0-520-07309-8. ISSN 1754-7989. 
  • Healey, John F. (2009). Aramaic Inscriptions and Documents of the Roman Period. Textbook of Syrian Semitic Inscriptions. 4. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-925256-5. 
  • Hijmans, Steven Ernst (2009). Sol: The Sun in the Art and Religions of Rome. University Library Groningen. ISBN 978-9-036-73931-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-03-06. Diakses tanggal 2020-04-12. 
  • Hillenbrand, Robert (1999). "'Anjar and Early Islamic Urbanism". Dalam Brogiolo, Gian Pietro; Perkins, Bryan Ward. The Idea and Ideal of the Town Between Late Antiquity and the Early Middle Ages. The Transformation of the Roman World. 4. Brill. ISBN 978-90-04-10901-8. ISSN 1386-4165. 
  • Hoffmann-Salz, Julia (2015). "The Local Economy of Palmyra: Organizing Agriculture in an Oasis Environment". Dalam Erdkamp, Paul; Verboven, Koenraad; Zuiderhoek, Arjan. Ownership and Exploitation of Land and Natural Resources in the Roman World. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-872892-4. 
  • Holmes, Oliver (3 April 2013). "Syria's ancient oasis city of Palmyra threatened in fighting". Reuters. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Holt, Peter Malcolm (2013) [1986]. The Age of the Crusades: The Near East from the Eleventh Century to 1517. Routledge. ISBN 978-1-317-87152-1. 
  • Holt, Peter Malcolm (1995). Early Mamluk Diplomacy, 1260–1290: Treaties of Baybars and Qalāwūn with Christian Rulers. Islamic History and Civilization. Studies and Texts. 12. Brill. ISBN 978-90-04-10246-0. 
  • Hourani, George Fadlo (1995) [1951]. Carswell, John, ed. Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Early Medieval Times. Khayats Oriental Reprints. 3 (edisi ke-expanded). Princeton University Press. ISBN 978-0-691-00032-9. 
  • Howard, Michael C. (2012). Transnationalism in Ancient and Medieval Societies: The Role of Cross-Border Trade and Travel. McFarland. ISBN 978-0-7864-9033-2. 
  • Hoyland, Robert G. (2001). Arabia and the Arabs. From the Bronze Age to the Coming of Islam. Routledge. ISBN 978-0-415-19535-5. 
  • Humphreys, R. Stephen (1977). From Saladin to the Mongols: The Ayyubids of Damascus, 1193–1260. State University of New York Press. ISBN 978-0-87395-263-7. 
  • Ibn al-ʻAdīm, Kamāl al-Dīn ʻUmar ibn Aḥmad (1988) [1262]. Zakkār, Suhayl, ed. Bughyat al-ṭalab fī tārīkh Ḥalab (dalam bahasa Arab). 7. Dār al-Fikr (دار الفكر). OCLC 30968859. 
  • Ibn al-Qalanisi, Abū Yaʻlā Ḥamzah ibn Asad ibn ʻAlī ibn Muḥammad al-Tamīmī (1983) [1160]. Zakkār, Suhayl, ed. Tārīkh Dimashq (dalam bahasa Arab). Dār Ḥassān. OCLC 23834177. 
  • Ibn Arabshah, Ahmad ibn Muhammad (1986) [1437]. Ḥimṣī, Fāyiz, ed. ʻAjāʼib al-maqdūr fī nawāʼib Tīmūr (dalam bahasa Arab). Muʼassasat al-Risālah. OCLC 19942469. 
  • Ibn 'Asakir, Ali ibn al-Hasan ibn Hibat Allah ibn 'Abd Allah, Thiqat al-Din, Abu al-Qasim (1995) [1174]. ʻAmrawī, ʻUmar ibn Gharāmah, ed. Tarikh Madinat Dimashiq (تاريخ مدينة دمشق) (dalam bahasa Arab). 57. Dār al-Fikr (دار الفكر). OCLC 4770667638. 
  • Ibn Battuta, Muhammad (1997) [1355]. Tāzī, ʻAbd al-Hādī, ed. Riḥlat Ibn Baṭūṭah al-musammāh Tuḥfat al-nuẓẓār fī gharāʼib al-amṣār wa-ʻajāʼib al-asfār. Silsilat al-turāth (dalam bahasa Arab). 1. Akādīmīyat al-Mamlakah al-Maghribīyah. OCLC 37241892. 
  • Ibn Khaldūn, ʻAbd al-Raḥmān (1988) [1375]. Zakkār, Suhayl; Šaḥāda, Ḫalīl, ed. Muqaddima (al-ʻibar wa-dīwān al-mubtadaʼ wa-al-khabar f̣ī ayyām al-ʻArab wa-al-ʻAjam ẉa-al-Barbar wa-man ʻāṣarahum min dhawī al-sulṭān al-al-akbar wa-huwa tarīkh waḥīd ʻaṣrih) (dalam bahasa Arab). 5 (edisi ke-2). Dār al-Fikr (دار الفكر). OCLC 912572900. 
  • Ibn Šaddād, Bahā' ad-Dīn Yūsuf Ibn-Rāfiʿ (1732) [1228]. Vita et res gestae sultani Almalichi Alnasiri Saladini (dalam bahasa Latin). Diterjemahkan oleh Schultens, Albert. Samuel Luchtmans. OCLC 716049041. 
  • Intagliata, Emanuele E. (2018). Palmyra after Zenobia AD 273–750: An Archaeological and Historical Reappraisal. Oxbow Books. ISBN 978-1-785-70945-6. 
  • Irwin, Robert (2003). "Tribal Feuding and Mamluk Factions in Medieval Syria". Dalam Robinson, Chase F. Texts, Documents, and Artefacts: Islamic Studies in Honour of D.S. Richards. Islamic History and Civilization. Studies and Texts. 45. Brill. ISBN 978-90-04-12864-4. 
  • Ismail, Farouk (2002). "Relations between Misherfeh-Qatna and the Middle Euphrates Region in the Middle Bronze Age (2000–1600 B.C.)". Dalam Maqdissi, Michel; Abdulkarim, Maamoun. The Syrian Djezireh: Cultural Heritage and Interrelations. International Colloquium: Deir ez-Zor, April 22–25, 1996. Documents d'Archéologie Syrienne. 1. Dimashq: Wizārat al-Thaqāfah, al-Mudīrīyah al-ʻĀmmah lil-Āthār wa-al-Matāḥif. OCLC 192118525. 
  • Izumi, Takura (1995). "The Remains of Palmyra, the City of Caravans, and an Estimation of the City's Ancient Environment". Silk Roadology: Bulletin of the Research Center for Silk Roadology. Research Center for Silk Roadology. 1. OCLC 174059209. 
  • Jeffries, Stuart (2 September 2015). "Isis's destruction of Palmyra: 'The heart has been ripped out of the city'". The Guardian. Diakses tanggal 4 Maret 2017. 
  • Juchniewicz, Karol (2013). "Late Roman fortifications in Palmyra". Studia Palmyreńskie. Polish Centre of Mediterranean Archaeology, University of Warsaw. 12: Fifty Years of Polish Excavations in Palmyra 1959–2009, International Conference,Warsaw, 6–8 Desember 2010. ISSN 0081-6787. 
  • Kaiser, Tina (6 November 2010). "Ex-RTL-Chef Thoma: "Es war Nacht, und da waren Schlangen ..."". Die Welt (dalam bahasa Jerman). Diakses tanggal 13 Desember 2016. 
  • Kaizer, Ted (2005). "Kingly Priests in the Roman Near East?". Dalam Hekster, Olivier; Fowler, Richard. Imaginary Kings: Royal Images in the Ancient Near East, Greece and Rome. Oriens et Occidens. 11. Franz Steiner Verlag. ISBN 978-3-515-08765-0. 
  • Kaizer, Ted (2017). "Trajectories of Hellenism at Tadmor-Palmyra and Dura-Europos". Dalam Chrubasik, Boris; King, Daniel. Hellenism and the Local Communities of the Eastern Mediterranean: 400 BCE–250 CE. Oxford University Press. ISBN 978-0-192-52819-3. 
  • Kennedy, David; Riley, Derrick (2004) [1990]. Rome's Desert Frontiers. Routledge. ISBN 978-1-135-78269-6. 
  • Kennedy, Hugh N. (2006). The Byzantine and Early Islamic Near East. Variorum Collected Studies Series. 860. Ashgate Publishing. ISBN 978-0-7546-5909-9. 
  • Kitto, John (1837). The Pictorial Bible – being the Old and New Testaments according to authorized versions. 2. Charles Knight & Co. OCLC 729755279. 
  • Lamb, Franklin (31 May 2017). "Palmyra Update: Major Restorations Ready to Launch as Global Partners Await Security". CounterPunch. Diakses tanggal 1 Juni 2017. 
  • Le Strange, Guy (1890). Palestine under the Moslems, a description of Syria and the Holy Land from A.D. 650 to 1500. Translated from the works of the medieval Arab geographers. Houghton, Mifflin and Co. OCLC 5965873. 
  • Levick, Barbara (2007). Julia Domna: Syrian Empress. Routledge. ISBN 978-1-134-32351-7. 
  • Limet, Henri (1977). "Permanence et changement dans la toponymie". Dalam Fahd, Toufic. La Toponymie Antique (actes du colloque de Strasbourg, 12–14 juin 1975). Travaux du Centre de recherche sur le Proche-Orient et la Grèce antiques (dalam bahasa Prancis). 4. Brill. OCLC 629792501. 
  • Liverani, Mario (2013). The Ancient Near East: History, Society and Economy. Routledge. ISBN 978-1-134-75084-9. 
  • Loewe, Herbert Martin James (1923). "The Seljuqs". Dalam Bury, John Bagnell; Tanner, Joseph Robson; Previté-Orton, Charles William; Brooke, Zachary Nugent. The Eastern Roman Empire. The Cambridge Medieval History. 4. Cambridge University Press. OCLC 650498400. 
  • Loveluck, Louisa (16 June 2015). "Syrian regime 'launches air strike on world famous ancient city of Palmyra'". The Telegraph. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-12. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Luxenberg, Christoph (2007) [2000]. The Syro-Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language of the Koran. Verlag Hans Schiler. ISBN 978-3-89930-088-8. 
  • MacDowall, David w.; Taddei, Maurizio (1978). "The Early Historic Period: Achaemenids and Greeks". Dalam Allchin, Frank Raymond; Hammond, Norman. The Archaeology of Afghanistan from Earliest Times to the Timurid Period. Academic Press. ISBN 978-0-120-50440-4. 
  • Mackay, Christopher S. (2004). Ancient Rome: A Military and Political History. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-80918-4. 
  • Mackay, Mairi (18 May 2015). "Palmyra: Will ISIS bulldoze ancient Syrian city?". CNN. Diakses tanggal 2 Desember 2016. 
  • Majcherek, Grzegorz (2013). "Excavating the basilicas". Studia Palmyreńskie. Polish Centre of Mediterranean Archaeology, University of Warsaw. 12 (Fifty Years of Polish Excavations in Palmyra 1959–2009: International Conference, Warsaw, 6–8 Desember 2010). ISSN 0081-6787. 
  • Major, Balázs (2001). "Al-Malik Al-Mujahid, Ruler of Homs, and the Hospitallers (The Evidence in the Chronicle of Ibn Wasil)". Dalam Hunyadi, Zsolt; Laszlovszky, József. The Crusades and the Military Orders: Expanding the Frontiers of Medieval Latin Christianity. Central European University Medievalia Series. 1. Central European University Press. ISBN 978-963-9241-42-8. ISSN 1587-6470. 
  • Makieh, Kinda (4 October 2015). "Islamic State militants blow up ancient Arch of Triumph in Palmyra". Reuters. Diakses tanggal 2 Desember 2016. 
  • Makieh, Kinda (2 April 2016). "Palmyra's dynamited temple can be restored, de-miners use robots". Reuters. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Makieh, Kinda; Francis, Ellen (3 March 2017). "Less damage to ancient Palmyra than feared, Syrian antiquities chief says". Reuters. Diakses tanggal 6 Maret 2017. 
  • Makieh, Kinda; Perry, Tom; Merriman, Jane (1 October 2017). "Palmyra statue damaged by Islamic State goes on display in Damascus". Reuters. Diakses tanggal 3 Oktober 2017. 
  • Maqdisi, Firas (5 March 2017). "Expert says Islamic State has badly damaged major Palmyra monument". Reuters. Diakses tanggal 6 Maret 2017. 
  • Markowski, Bartosz (2005). Gawlikowski, Michał; Daszewski, Wiktor A., ed. "The Lion of Allat in Palmyra New Museum Display Project". Polish Archaeology in the Mediterranean. Warsaw University Press. 16. ISSN 1234-5415. 
  • Matthiae, Paolo (30 June 2017). "Archeaologist says '70% of Palmyra can be rebuilt'". Agenzia Nazionale Stampa Associata (ANSA). Diakses tanggal 4 Juli 2017. 
  • McGirk, Tim (10 July 2015). "Syrians Race to Save Ancient City's Treasures from ISIS". National Geographic News. Diakses tanggal 2 Desember 2016. 
  • McLaughlin, Raoul (2010). Rome and the Distant East: Trade Routes to the ancient lands of Arabia, India and China. Continuum International Publishing Group. ISBN 978-1-4411-6223-6. 
  • Meier, Christian (1990) [1980]. The Greek Discovery of Politics. Diterjemahkan oleh McLintock, David. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-36232-1. 
  • Mennen, Inge (2011). Power and Status in the Roman Empire, AD 193–284. Impact of Empire. 12. Brill. ISBN 978-90-04-20359-4. 
  • Métral, Francoise (2000). "Managing Risk: Sheep-Rearing and Agriculture in the Syrian Steppe". Dalam Mundy, Martha; Musallam, Basim. The Transformation of Nomadic Society in the Arab East. University of Cambridge Oriental Publications. 58. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-77057-6. ISSN 0068-6891. 
  • Meyer, Jørgen Christian (2013). "City and Hinterland. Villages and Estates North of Palmyra. New Perspectives". Studia Palmyreńskie. Polish Centre of Mediterranean Archaeology, University of Warsaw. 12. ISSN 0081-6787. 
  • Meyer, Jørgen Christian (2017a). Palmyrena: Palmyra and the Surrounding Territory from the Roman to the Early Islamic Period. Archaeopress Publishing. ISBN 978-1-784-91708-1. 
  • Meyer, Jørgen Christian (2017b). "The Bride of the Dry Steppe: Palmyra and the Surrounding Territory". Dalam Aruz, Joan. Palmyra: Mirage in the Desert. Metropolitan Museum of Art. ISBN 978-1-588-39631-0. 
  • Michalska, Julia (21 October 2016). "The man who spent 40 years preserving Palmyra's past". The Art Newspaper. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Desember 2016. Diakses tanggal 15 Desember 2016. 
  • Millar, Fergus (1993). The Roman Near East, 31 B.C.–A.D. 337. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-77886-3. 
  • Millar, Fergus (2006). Cotton, Hannah M.; Rogers, Guy M., ed. The Greek World, the Jews & the East. Rome, the Greek World, and the East. 3. University of North Carolina Press. ISBN 978-0-807-87665-7. 
  • Millar, Fergus (2007). "Theodoret of Cyrrhus: A Syrian in Greek Dress?". Dalam Amirav, Hagit; ter Haar Romeny, Bas. From Rome to Constantinople: Studies in Honour of Averil Cameron. Late Antique History and Religion. 1. Peeters Publishers. ISBN 978-90-429-1971-6. ISSN 2030-5915. 
  • Moubayed, Sami (2012). Syria and the USA: Washington's Relations with Damascus from Wilson to Eisenhower. Library of International Relations. 56. I.B.Tauris. ISBN 978-1-780-76768-0. 
  • Mukherjee, Bratindra Nath (2000) [1984]. Studies in Aramaic Edicts of Aśoka (edisi ke-2). Kolkata: Indian Museum. OCLC 62327000. 
  • Murtonen, Aimo Edvard (1986). Hospers, Johannes Hendrik, ed. Hebrew in its West Semitic Setting. A Comparative Survey of Non-Masoretic Hebrew Dialects and Traditions. Part 1. A Comparative Lexicon. Studies in Semitic Languages and Linguistics. 13. Brill. ISBN 978-90-04-08899-3. 
  • Neep, Daniel (2012). Occupying Syria Under the French Mandate: Insurgency, Space and State Formation. Cambridge Middle East Studies. 38. Cambridge University Press. ISBN 978-1-107-00006-3. 
  • O'Connor, Michael Patrick (1988). "The etymologies of Tadmor and Palmyra". Dalam Arbeitman, Yoël L. A Linguistic Happening in Memory of Ben Schwartz: Studies in Anatolian, Italic, and Other Indo-European Languages. Bibliothèque des Cahiers de l'Institut de linguistique de Louvain (BCILL). 42. Peeters Publishers. ISBN 978-90-6831-143-3. ISSN 0779-1666. 
  • O'Connor, Roisin (30 August 2015). "Isis in Syria: Militants 'severely damage' ancient Bel Temple in Palmyra using explosives". The Independent. Diakses tanggal 4 Maret 2017. 
  • Peters, John Punnett (1910). "Deir". The Encyclopædia Britannica: A Dictionary of Arts, Sciences, Literature and General Information. 7 (edisi ke-11). Cambridge University Press. OCLC 630332011. 
  • Petersen, Andrew (1996). Dictionary of Islamic ArchitecturePerlu mendaftar (gratis). Routledge. ISBN 978-1-134-61365-6. 
  • Plets, Gertjan (2017). "Violins and Trowels for Palmyra: Post-Conflict Heritage Politics". Anthropology Today. Royal Anthropological Institute. 33 (4). ISSN 1467-8322. 
  • Pollard, Nigel (2000). Soldiers, Cities, and Civilians in Roman Syria. University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-11155-8. 
  • Potter, David S. (2010). "The Transformation of the Empire: 235–337 CE". Dalam Potter, David S. A Companion to the Roman Empire. Blackwell Companions to the Ancient World. 32. Blackwell Publishing. ISBN 978-1-4051-9918-6. 
  • Purcell, Nicholas (1997). "Rome's New Kings (31 BC – AD 476)". Dalam Jones, Peter V.; Sidwell, Keith C. The World of Rome: An Introduction to Roman Culture. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-38600-5. 
  • Qaddūrī, Zubayr Sulṭān (2000). al-Thawrah al-mansīyah (dalam bahasa Arab). Ittiḥād al-Kuttāb al-ʻArab. OCLC 45642553. 
  • Qassim, Abdul-Zahra (24 August 2015). "IS destruction of ancient Syrian temple erases rich history". CNS News. Diarsipkan dari versi asli tanggal 20 Desember 2016. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Qīṭāz, ʻAdnān (2007). "Muhana Family". Dalam Shukrī, Muḥammad ʻAzīz. al-Mawsūʻah al-ʻArabīyah (dalam bahasa Arab). 19. al-Jumhūrīyah al-ʻArabīyah al-Sūrīyah, Riʼāsat al-Jumhūrīyah, Hayʼat al-Mawsūʻah al-ʻArabīyah. OCLC 46672427. 
  • Raja, Rubina (2012). Urban Development and Regional Identity in the Eastern Roman Provinces, 50 BC-AD 250: Aphrodisias, Ephesos, Athens, Gerasa. Museum Tusculanum Press. ISBN 978-87-635-2606-7. 
  • Raschke, Manfred G. (1978). "New Studies in Roman Commerce with the East". Dalam Temporini, Hildegard; Wolfgang, Haase. Geschichte und Kultur Roms im Spiegel der neueren Forschung, II Principat. Aufstieg und Niedergang der römischen Welt (ANRW). 9. De Gruyter. ISBN 978-3-11-001885-1. 
  • Ricca, Simone (2007). "Palmyra". Dalam Dumper, Michael; Stanley, Bruce E. Cities of the Middle East and North Africa: A Historical Encyclopedia. ABC-CLIO. ISBN 978-1-57607-919-5. 
  • Richardson, Peter (2002). City and Sanctuary: Religion and Architecture in the Roman Near East. SCM Press. ISBN 978-0-334-02884-0. 
  • Robinson, David M (1946). Baalbek, Palmyra. J.J. Augustin. OCLC 426276. 
  • Romano, Irene Bald (2006). Classical Sculpture: Catalogue of the Cypriot, Greek, and Roman Stone Sculpture in the University of Pennsylvania Museum of Archaeology and Anthropology. University Museum Monograph. 125. University of Pennsylvania Press. ISBN 978-1-934536-29-2. 
  • Rosenthal, Franz (1978). "The Second Laghmân Inscription". Eretz-Israel: Archaeological, Historical and Geographical Studies. Israel Exploration Society. 14: H.L. Ginsberg Volume. ISSN 0071-108X. 
  • Rostovtzeff., Michael Ivanovitch (1932). Harmon, Austin M., ed. "Seleucid Babylonia : Bullae and Seals of Clay with Greek Inscriptions". Yale Classical Studies. Yale University Press. 3. ISSN 0084-330X. 
  • Rostovtzeff, Michael Ivanovitch (1971) [1932]. Out of the Past of Greece & Rome. Biblo and Tannen's Graeco Life and Times Series. 6. Biblo & Tannen Publishers. ISBN 978-0-8196-0126-1. 
  • Rostovtzeff, Michael Ivanovitch (1932). Caravan Cities. Diterjemahkan oleh Rice, David Talbot; Rice, Tamara Talbot. The Clarendon Press. OCLC 2153578. 
  • Sader, Hélène (2014). "History". Dalam van Soldt, Wilfred; Beckman, Gary; Leitz, Christian; Michalowski, Piotr; Miglus, Peter A.; Gzella, Holger. The Aramaeans in Ancient Syria. Handbook of Oriental Studies. Section 1 The Near and Middle East. 106. Brill. ISBN 978-9-004-22845-0. ISSN 0169-9423. 
  • Sartre, Maurice (2005). "The Arabs and the Desert Peoples". Dalam Bowman, Alan K.; Garnsey, Peter; Cameron, Averil. The Crisis of Empire, AD 193–337. The Cambridge Ancient History. 12. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-30199-2. 
  • Saul, Heather (28 May 2015). "Isis in Palmyra: Civilians forced to watch execution of 20 men at amphitheatre". The Independent. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-03-04. Diakses tanggal 4 Maret 2017. 
  • Schlumberger, Daniel (1939). "Bornes frontières de la Palmyrène". Syria (dalam bahasa Prancis). l'Institut Français du Proche-Orient. 20 (1): 43–73. doi:10.3406/syria.1939.4166. ISSN 0039-7946. Ikon gembok hijau terbuka
  • Schmidt-Colinet, Andreas (1997). "Aspects of 'Romanization': The Tomb Architecture at Palmyra and Its Decoration". Dalam Alcock, Susan E. The Early Roman Empire in the East. Oxbow Monographs in Archaeology. 95. Oxbow Books. ISBN 978-1-900188-52-4. 
  • Schmidt, Margaret Fox (1976). Passion's child: The Extraordinary Life of Jane Digby. Harper & Row. OCLC 1020238678. 
  • Seyrig, Henri (1939). "Antiquités Syriennes 29: A propos du culte de Zeus à Séleucie". Syria (dalam bahasa Prancis). Institut français du Proche-Orient. 20 (4). ISSN 0039-7946. Ikon gembok hijau terbuka
  • Seyrig, Henri (1959). "Antiquités Syriennes 76: Caractères de l'histoire d'Émèse". Syria (dalam bahasa Prancis). l'Institut Français du Proche-Orient. 36 (3–4). ISSN 0039-7946. Ikon gembok hijau terbuka
  • Shaheen, Kareem; Swann, Glenn; Levett, Cath (5 October 2015). "Palmyra – what the world has lost". The Guardian. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Shaheen, Kareem (21 May 2015). "Palmyra: historic Syrian city falls under control of Isis". The Guardian. Diakses tanggal 13 Desember 2016. 
  • Shaheen, Kareem (20 January 2017). "Isis destroys tetrapylon monument in Palmyra". The Guardian. Diakses tanggal 20 Januari 2017. 
  • Shahîd, Irfan (1984). Rome and the Arabs: A Prolegomenon to the Study of Byzantium and the Arabs. Dumbarton Oaks Research Library and Collection. ISBN 978-0-88402-115-5. 
  • Shahîd, Irfan (1995). Byzantium and the Arabs in the Sixth Century (Part1: Political and Military History). 1. Dumbarton Oaks Research Library and Collection. ISBN 978-0-88402-214-5. 
  • Shahîd, Irfan (2002). Byzantium and the Arabs in the Sixth Century (Part1: Toponymy, Monuments, Historical Geography, and Frontier Studies). 2. Dumbarton Oaks Research Library and Collection. ISBN 978-0-88402-284-8. 
  • Sidebotham, Steven E.; Hense, Martin; Nouwens, Hendrikje M. (2008). The Red Land: The Illustrated Archaeology of Egypt's Eastern Desert. American University in Cairo Press. ISBN 978-977-416-094-3. 
  • Sivertsev, Alexei (2002). Private Households and Public Politics in 3rd–5th Century Jewish Palestine. Texte und Studien zum antiken Judentum. 90. Mohr Siebeck. ISBN 978-3-16-147780-5. ISSN 0721-8753. 
  • Smith, Sidney (1956). "Ursu and Ḫaššum". Anatolian Studies. Cambridge University Press on Behalf of the British Institute of Archaeology at Ankara. 6: 35–43. doi:10.2307/3642395. ISSN 0066-1546. JSTOR 3642395. 
  • Smith II, Andrew M. (2013). Roman Palmyra: Identity, Community, and State Formation. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-986110-1. 
  • Southern, Patricia (2008). Empress Zenobia: Palmyra's Rebel Queen. Continuum International Publishing Group. ISBN 978-1-4411-4248-1. 
  • Speake, Graham (1996). "Palmyra (Homs, Syria)". Dalam Berney, Kathryn Ann; Ring, Trudy; Watson, Noelle. International Dictionary of Historic Places. 4 (Middle East and Africe). Fitzroy Dearborn Publishers. ISBN 978-1-884964-03-9. 
  • Squires, Nick (16 February 2017). "Stone Sculptures Smashed by ISIL in Ancient City of Palmyra Restored to Former Glory by Italian Experts". The Telegraph. Diakses tanggal 16 June 2017. 
  • Stoneman, Richard (1994) [1992]. Palmyra and Its Empire: Zenobia's Revolt Against Rome. University of Michigan Press. ISBN 978-0-472-08315-2. 
  • Strong, Donald Emrys (1995) [1976]. Toynbee, Jocelyn Mary Catherine; Ling, Roger, ed. Roman Art. Pelican History of Art. 44. Yale University Press. ISBN 978-0-300-05293-0. ISSN 0553-4755. 
  • Teixidor, Javier (1979). The Pantheon of Palmyra. Études préliminaires aux religions orientales dans l'Empire romain. 79. Brill. ISBN 978-90-04-05987-0. 
  • Teixidor, Javier (2005). "Palmyra in the third century". Dalam Cussini, Eleonora. A Journey to Palmyra: Collected Essays to Remember Delbert R. Hillers. Brill. ISBN 978-90-04-12418-9. 
  • Terpak, Frances; Bonfitto, Peter Louis (2017). "The Legacy of Ancient Palmyra". The Getty Research Institute. Diakses tanggal 10 Februari 2017. 
  • Tharoor, Kanishk; Maruf, Maryam (1 March 2016). "Museum of Lost Objects: The Temple of Bel". BBC News. Diakses tanggal 29 Juni 2017. 
  • Tomlinson, Richard A. (2003) [1992]. From Mycenae to Constantinople: The Evolution of the Ancient City. Routledge. ISBN 978-1-134-92894-1. 
  • Tuck, Steven L. (2015). A History of Roman Art. John Wiley & Sons. ISBN 978-1-4443-3025-0. 
  • Van Koppen, Frans (2015). Pfälzner, Peter, ed. "Qaṭna in altsyrischer Zeit". Qaṭna Studien Supplementa: Übergreifende und vergleichende Forschungsaktivitäten des Qaṭna-Projekts der Universität Tübingen (dalam bahasa Jerman). Harrassowitz Verlag. 2: Qaṭna and the Networks of Bronze Age Globalism. Proceedings of an International Conference in Stuttgart and Tübingen in October 2009. ISBN 978-3-447-10350-3. ISSN 2195-4305. 
  • Vasudevan, Aruna (1995). "Athens (Attica, Greece): Agora". Dalam Ring, Trudy; Salkin, Robert M.; La Boda, Sharon. International Dictionary of Historic Places. 3 (Southern Europe). Fitzroy Dearborn Publishers. ISBN 978-1-884964-02-2. 
  • Waardenburg, Jacques (1984). "Changes of Belief in Spiritual Beings, Prophethood, and the Rise of Islam". Dalam Kippenberg, Hans Gerhard; Drijvers, Hendrik Jan Willem; Kuiper, Yme B. Struggles of Gods: Papers of the Groningen Work Group for the Study of the History of Religions. Religion and Reason. 31. Walter de Gruyter. ISBN 978-90-279-3460-4. ISSN 0080-0848. 
  • Waardenburg, Jean Jacques (2002). Islam: Historical, Social, and Political Perspectives. Religion and Reason. 40. Walter de Gruyter. hlm. 405–436. doi:10.1515/9783110200942.bm. ISBN 978-3-11-017178-5. ISSN 0080-0848. 
  • Watson, Alaric (2004) [1999]. Aurelian and the Third Century. Routledge. ISBN 978-1-134-90815-8. 
  • Watson, William E. (2003). Tricolor and Crescent: France and the Islamic World. Praeger Publishers. ISBN 978-0-275-97470-1. 
  • Wessel, Günther (2015). Das schmutzige Geschäft mit der Antike: Der globale Handel mit illegalen Kulturgütern (dalam bahasa Jerman). Ch. Links Verlag. ISBN 978-3-86284-311-4. 
  • Wheeler, Everett L (2011). "The Army and the Limes in the East". Dalam Erdkamp, Paul. A Companion to the Roman Army. Wiley-Blackwell. ISBN 978-1-4443-9376-7. 
  • Whittow, Mark (2010). "The late Roman/early Byzantine Near East". Dalam Robinson, Chase F. The formation of the Islamic World. Sixth to Eleventh Centuries. The New Cambridge History of Islam. 1. Cambridge University Press. ISBN 978-1-316-18430-1. 
  • Williams, Sara Elizabeth (11 Desember 2016). "Isil retakes historic city of Palmyra". The Telegraph. Diakses tanggal 13 Desember 2016. 
  • Winter, Stefan (2010). The Shiites of Lebanon under Ottoman Rule, 1516–1788. Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-48681-1. 
  • Withnall, Adam (19 August 2015). "Isis executes Palmyra antiquities chief and hangs him from ruins he spent a lifetime restoring". The Independent. Diakses tanggal 12 Desember 2016. 
  • Wolfensohn, Israel (2016) [1914]. تاريخ اللغات السامية (History of Semitic Languages) (dalam bahasa Arab). دار القلم للطباعة و النشر و التوزيع. OCLC 929730588. 
  • Wood, Robert (1753). The ruins of Palmyra, otherwise Tedmor, in the desart. London, Robert Wood. OCLC 642403707. 
  • Wright, David P. (2004). "Syria and Canaan". Dalam Johnston, Sarah Iles. Religions of the Ancient World: A Guide. Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01517-3. 
  • Yarshater, Ehsan (1998). Hovannisian, Richard G.; Sabagh, Georges, ed. The Persian Presence in the Islamic World. Giorgio Levi della Vida Conference. 13. Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-59185-0. 
  • Yon, Jean-Baptiste (2002). Les notables de Palmyre (dalam bahasa Prancis). l'Institut français d'archéologie du Proche-Orient. ISBN 978-2-912738-19-6. 
  • Young, Gary K. (2003) [2001]. Rome's Eastern Trade: International Commerce and Imperial Policy 31 BC – AD 305. Routledge. ISBN 978-1-134-54793-7. 
  • Zuchowska, Marta (2008). "Wadi al Qubur and Its Interrelations with the Development of Urban Space of the City of Palmyra in the Hellenistic and Roman Periods". Dalam Kühne, Hartmut; Czichon, Rainer Maria; Kreppner, Florian Janoscha. Proceedings of the 4th International Congress of the Archaeology of the Ancient Near East, 29 March – 3 April 2004, Freie Universität Berlin. 1. Otto Harrassowitz Verlag. ISBN 978-3-447-05703-5. 

Pranala luar