Lompat ke isi

Sindrom Stevens-Johnson

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sindrom Stevens-Johnson
Seseorang dengan sindrom Stevens–Johnson
Informasi umum
SpesialisasiDermatologi Sunting ini di Wikidata

Stevens-Johnson syndrome (SJS) atau sindrom Stevens-Johnson dan toxic epidermal necrolysis (TEN)[1][2] atau nekrolisis epidermal toksik adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh alergi atau infeksi. Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas/memisahkan diri dari dermis. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas kompleks yang memengaruhi kulit dan selaput lendir.

Meskipun pada umumnya kasus sindrom ini tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab utama yang paling sering dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya, pada kasus tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini berhubungan dengan kanker.

Klasifikasi

[sunting | sunting sumber]

Dalam dunia medis, sindrom Stevens-Johnson dapat dianggap dan disepakati sebagai bentuk ringan dari nekrolisis epidermal toksik yang kondisi ini baru pertama kali diakui pada tahun 1922.[2]

Sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik ini kadang dikelirukan dan tidak sama dengan eritema multiforme/infeksi herpes. Walau eritema multiform kadang-kadang disebabkan oleh alergi dan reaksi terhadap obat, tetapi kasusnya lebih sering diakibatkan oleh hipersensitivitas tipe III reaksi terhadap infeksi virus, yang kebanyakan diakibatkan oleh virus Herpes simpleks dan relatif lebih jinak. Meskipun sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik kadang pula disebabkan oleh infeksi, tetapi penderitanya lebih sering diakibatkan oleh alergi dan efek samping dari obat-obatan tertentu. Namun sindrom ini lebih berbahaya dibandingkan dengan infeksi virus herpes.

Sindrom Stevens -Johnson biasanya dimulai dengan demam, sakit tenggorokan, kelelahan, dan nyeri pada persendian. Kebanyakan penderita salah di diagnosa dan diobati dengan antibiotik. Ulkus dan lesi (melepuhnya kulit) mulai muncul pada selaput lendir, hampir selalu di daerah oral/mulut dan juga di daerah genital dan anal. Gejala ini sangat menyakitkan dan bisa mengakibatkan menurunnya nafsu makan dan minum bagi yang mengalami gejala di daerah mulut. Konjungtivitis mata terjadi sekitar 30% pada anak-anak penderita sindrom ini. Ruam lesi/melepuhnya kulit muncul sekitar satu inci pada wajah, lengan dan kaki dan juga telapak tangan, tetapi biasanya tidak muncul di bagian kulit kepala.[3]

Prognosis

[sunting | sunting sumber]

Pada kasus yang tidak berat prognosisnya cukup baik, dan penyembuhan terjadi sekitar kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Kematian berkisar antara 5 sampai 15% pada kasus yang berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis.[4][5]

Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atopik.[4][5]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ (Inggris) www.ncbi.nlm.nih.gov diakses pada 2010-11-17.
  2. ^ a b (Inggris) Ward, K. E.; Archambault, R.; Mersfelder, T. L. (2010). "Severe adverse skin reactions to nonsteroidal antiinflammatory drugs: A review of the literature". American Journal of Health-System Pharmacy 67. http://dx.doi.org/10.2146%2Fajhp080603
  3. ^ Tigchelaar H, Kannikeswaran N and Kamat D (December 1, 2008). "Stevens-Johnson Syndrome: An Intriguing Diagnosis". Consultant for Pediatricians. [1].
  4. ^ a b Gruchalla R.: Understanding drug allergies. J Allergy Clin Immunol 2000; 105: S637-44.
  5. ^ a b Yawalkar N, Shrikhande M, Hari Y. Evidence for a role for IL-5 and eotaxin in activating and recruiting eosinophils in drug-induced cutaneous eruptions. J Allergy Clin Immunol 2000; 106: 1171-76.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]
  1. (Indonesia) http://ummusalma.wordpress.com/2007/02/17/sindrom-steven-johnson/
  2. http://patologiikrimah.blogspot.com/2009/03/daftar-istilah.html