Penyiksaan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Siksaan)
Tentara Viet Cong yang ditangkap, ditutup matanya dan diikat dalam posisi tertekan oleh pasukan Amerika Serikat selama Perang Vietnam, 1967

Penyiksaan (bahasa Inggris: torture) adalah tindakan yang secara sengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah kepada seseorang. Alasan-alasan dilakukannya penyiksaan antara lain sebagai hukuman, untuk mendapatkan pengakuan, sebagai metode interogasi untuk mendapatkan informasi, atau untuk mengintimidasi pihak ketiga. Beberapa definisi penyiksaan terbatas pada tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh negara, tetapi terdapat pula definisi penyiksaan termasuk yang dilakukan oleh organisasi non-negara.

Penyiksaan telah dilakukan oleh banyak negara sepanjang sejarah, dari zaman kuno hingga zaman modern. Pada abad kedelapan belas dan kesembilan belas, negara-negara Barat menghapus penggunaan penyiksaan secara formal dalam sistem peradilan, tetapi penyiksaan terus digunakan. Berbagai metode penyiksaan yang digunakan seringkali dilakukan dalam kombinasi; bentuk penyiksaan fisik yang paling umum adalah pemukulan. Sejak abad kedua puluh, banyak penyiksa yang lebih memilih metode penyiksaan tanpa bekas luka atau psikologis untuk memberikan penyangkalan atas penyiksaan yang telah dilakukan. Banyak penyiksa yang beroperasi dalam lingkungan organisasi yang permisif yang memfasilitasi dan mendorong perilaku mereka. Korban utama penyiksaan biasanya adalah orang-orang yang miskin dan terpinggirkan yang diduga melakukan kejahatan biasa. Namun, penyiksaan juga terkadang dilakukan kepada tahanan politik, yang kurang mendapatkan perhatian. Hukuman badan dan hukuman mati terkadang dianggap sebagai bentuk penyiksaan, meskipun hal ini adalah kontroversial secara internasional.

Penyiksaan dapat bertujuan untuk mematahkan keinginan korban, menyakiti korban, hingga menghancurkan pilihan dan personalitas yang mereka miliki. Penyiksaan adalah salah satu pengalaman yang paling menghancurkan yang dapat dialami seseorang dan juga dapat berdampak negatif pada individu dan institusi yang melakukannya. Penelitian opini publik menunjukkan penentangan umum terhadap penyiksaan. Penyiksaan dilarang menurut hukum internasional untuk semua negara dalam semua keadaan dan secara eksplisit dilarang oleh beberapa perjanjian internasional. Oposisi terhadap penyiksaan mendorong pembentukan gerakan hak asasi manusia setelah Perang Dunia II. Penyiksaan terus menjadi masalah hak asasi manusia yang penting. Meskipun insidennya telah menurun, penyiksaan masih dilakukan oleh sebagian besar negara.

Definisi[sunting | sunting sumber]

Penyiksaan (dari bahasa Latin torcere: untuk memelintir)[1] didefinisikan sebagai tindakan yang secara disengaja dilakukan untuk menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang parah pada korban, yang biasanya merupakan seseorang yang berada di bawah kendali pelaku.[2] Perlakuan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memaksa korban untuk mengaku, memberikan informasi, atau untuk menghukum mereka.[3] Definisi Konvensi PBB Menentang Penyiksaan hanya mengakui penyiksaan yang dilakukan oleh negara.[4] Sebagian besar sistem hukum mengakui agen penyiksa yang bertindak atas nama negara, dan beberapa definisi menambahkan kelompok bersenjata non-negara, kejahatan terorganisasi, atau individu pribadi yang bekerja di fasilitas yang dipantau negara (seperti rumah sakit). Definisi yang paling luas tentang penyiksaan mendeskripsikan bahwa siapa saja dapat menjadi pelaku penyiksaan.[5] Tingkat keparahan dari perbuatan agar dapat diklasifikasikan sebagai penyiksaan adalah aspek yang paling kontroversial dari definisi penyiksaan; seiring berjalannya waktu, lebih banyak tindakan yang kini dianggap sebagai penyiksaan.[6] Pendekatan purposif, yang diikuti oleh para sarjana seperti Manfred Nowak dan Malcolm Evans, membedakan penyiksaan dari bentuk-bentuk lain dari perlakuan kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat dengan mempertimbangkan pada tujuan yang hendak dicapai dan bukan pada tingkat keparahannya.[7] Definisi lain, seperti yang digunakan dalam Konvensi Antar-Amerika untuk Mencegah dan Menghukum Penyiksaan, berfokus pada tujuan penyiksa "untuk melenyapkan personalitas korban".[8][9]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Sebelum penghapusan[sunting | sunting sumber]

Orang Asyur menguliti tahanan mereka hidup-hidup

Di sebagian besar masyarakat pada zaman kuno, periode abad pertengahan, dan awal modern, penyiksaan dianggap sebagai praktik yang diterima secara hukum dan moral.[10] Terdapat bukti arkeologi terkait penyiksaan di Eropa Neolitik Awal, sekitar 7.000 tahun yang lalu.[11] Penyiksaan acap kali disebutkan dalam sumber-sumber sejarah mengenai Asiria dan Persia Akemeniyah.[12][13]

Banyak masyarakat yang dulu menggunakan penyiksaan baik sebagai bagian dari proses peradilan maupun sebagai sebuah hukuman, meskipun beberapa sejarawan memisahkan sejarah penyiksaan dari sejarah hukuman yang menyakitkan.[14][15] Secara historis, penyiksaan dipandang sebagai cara yang dapat diandalkan untuk memperoleh kebenaran, sebagai hukuman yang sesuai, dan untuk mencegah pelanggaran hukum di masa depan.[16] Penyiksaan diatur secara hukum dengan pembatasan ketat terhadap metode yang diizinkan;[16] metode yang paling umum di Eropa pada masa lampau meliputi alat penyiksaan the rack dan strappado.[17] Di sebagian besar masyarakat, warga negara dapat disiksa secara hukum hanya dalam keadaan luar biasa untuk kejahatan serius seperti pengkhianatan, seringkali hanya jika telah ada beberapa bukti pendukung. Sebaliknya, orang-orang yang bukan warga negara seperti orang asing dan budak umumnya rentan menjadi korban penyiksaan.[18]

Penyiksaan jarang terjadi di Eropa abad pertengahan awal, tetapi menjadi lebih umum dipraktekkan antara tahun 1200 dan 1400.[19] Karena para hakim abad pertengahan menggunakan standar pembuktian yang sangat tinggi, mereka kadang-kadang baru mengizinkan penyiksaan ketika terdapat bukti tidak langsung yang menunjukkan seseorang melakukan kejahatan dengan ancaman hukuman mati. Hal ini dilakukan jika tidak ada dua saksi mata yang diperlukan sebagai pembuktian untuk menghukum seseorang tanpa adanya pengakuan terdakwa.[20][21] Penyiksaan merupakan proses yang mahal yang hanya digunakan dalam memeriksa kejahatan yang paling serius.[22] Sebagian besar korban penyiksaan adalah pria yang dituduh melakukan pembunuhan, pengkhianatan, atau pencurian.[23] Pengadilan gereja abad pertengahan dan Inkuisisi menggunakan penyiksaan sebagai bagian aturan prosedural yang sama seperti pengadilan sekuler.[24] Kesultanan Utsmaniyah dan Iran pada masa Dinasti Qajar menggunakan penyiksaan dalam kasus-kasus ketika bukti tidak langsung menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan kejahatan, meskipun hukum Islam secara tradisional menganggap bukti yang diperoleh di bawah penyiksaan tidak dapat diterima.[25]

Penghapusan dan penggunaannya yang berlanjut[sunting | sunting sumber]

"Penahanan seorang penjahat tidak memerlukan penyiksaan" oleh Francisco Goya, c. 1812

Selama abad ketujuh belas, penyiksaan tetap legal, tetapi intensitas praktiknya menurun.[26] Ketika dihapuskan di abad ke-18 dan awal abad ke-19, penyiksaan tidak lagi menjadi penting bagi sistem peradilan pidana di negara-negara Eropa.[27] Teori-teori yang membuat penyiksaan dihapuskan antara lain karena munculnya ide-ide Pencerahan tentang nilai kehidupan manusia,[28] pengurangan standar pembuktian dalam kasus pidana, pandangan populer yang tidak lagi melihat rasa sakit sebagai penebusan moral,[26] dan perluasan penjara sebagai pengganti atas eksekusi mati atau hukuman yang menyakitkan.[28] Tingkat penggunaan penyiksaan menurun setelah praktik penyiksaan dihapus dan semakin dianggap tidak dapat diterima.[29] Tidak diketahui apakah penyiksaan juga menurun di negara-negara non-Barat atau koloni Eropa selama abad kesembilan belas.[30] Di Tiongkok, penyiksaan yudisial—dipraktikkan selama lebih dari dua milenium, yakni sejak dinasti Han[16]pencambukan, dan lingchi (pemotongan) sebagai alat eksekusi dilarang pada tahun 1905.[31] Penyiksaan di Tiongkok terus berlanjut sepanjang abad kedua puluh dan dua puluh satu.[32]

Penyiksaan digunakan secara luas oleh kekuatan kolonial untuk menundukkan perlawanan; penyiksaan kolonial mencapai puncaknya ketika terjadi perang anti-kolonial di abad kedua puluh.[33] Diperkirakan 300.000 orang disiksa selama Perang Kemerdekaan Aljazair (1954–1962),[34] dan Inggris serta Portugal juga menggunakan penyiksaan dalam upaya mempertahankan teritori kerajaan mereka.[35] Negara-negara merdeka di Afrika, Timur Tengah, dan Asia sering menggunakan penyiksaan pada abad kedua puluh, tetapi tidak diketahui apakah itu terdapat peningkatan dibandingkan pada periode abad kesembilan belas.[33] Penggunaan penyiksaan di Eropa meningkat karena penemuan polisi rahasia,[36] Perang Dunia I dan Perang Dunia II, dan munculnya negara komunis dan fasis.[10]

Penyiksaan juga digunakan oleh pemerintah komunis dan anti-komunis selama Perang Dingin di Amerika Latin, dengan perkiraan 100.000 hingga 150.000 korban penyiksaan oleh rezim yang didukung Amerika Serikat.[37] Negara-negara dengan praktik penyiksaan yang jarang terjadi selama abad kedua puluh adalah negara-negara demokrasi liberal Barat, tetapi bahkan di sana penyiksaan digunakan terhadap etnis minoritas atau tersangka kriminal dari kelas yang terpinggirkan, dan selama perang di luar negeri melawan penduduk asing.[33] Setelah serangan 9/11, pemerintah Amerika Serikat memulai program penyiksaan di luar negeri sebagai bagian dari "perang melawan teror".[38] Penggunaan penyiksaan oleh Amerika Serikat di Abu Ghraib terungkap kepada publik dan menarik perhatian internasional.[39] Meskipun pemerintahan George W. Bush mencemooh larangan internasional atas penyiksaan, pemerintah Amerika Serikat menyebut metodenya "teknik interogasi yang ditingkatkan" dan menyangkal bahwa praktik itu adalah penyiksaan.[40] Sebuah studi tahun 2016 menyimpulkan bahwa penyiksaan telah menurun di 16 negara sejak 1985, meskipun praktik penyiksaan juga memburuk di beberapa negara lain.[41]

Kelaziman[sunting | sunting sumber]

Tunawisma India di bawah Jembatan Howrah di Kolkata. Orang-orang miskin dan terpinggirkan mempunya peningkatan risiko menjadi korban penyiksaan.
Gas air mata digunakan selama protes Hong Kong 2019–2020. Penggunaan gas air mata pada pengunjuk rasa terkadang dianggap sebagai bentuk penyiksaan.[42]

Meskipun hanya sedikit negara yang mengakui telah melakukan penyiksaan, hal itu dipraktikkan oleh sebagian besar negara.[43] Larangan penyiksaan tidak sepenuhnya menghentikan negara untuk melakukan penyiksaan; sebaliknya, mereka mengubah teknik yang digunakan, menyangkal, menutupi, atau mengalihdayakan program penyiksaan.[44] Mengukur tingkat terjadinya penyiksaan itu sulit dilakukan karena biasanya dilakukan secara rahasia, dan melaporkan kasus-kasus seperti itu dipengaruhi oleh paradoks informasi hak asasi manusia; pelanggaran lebih mungkin terungkap dalam masyarakat terbuka yang mempunyai komitmen untuk melindungi hak asasi manusia.[45] Meskipun fokus baru-baru ini bergeser untuk memasukkan tempat penahanan lain, seperti pusat penahanan imigrasi atau penahanan pemuda,[46][47] perkiraan yang tersedia kurang merepresentasikan penyiksaan karena tidak termasuk orang-orang yang tidak mau melapor. Penyiksaan yang terjadi di luar tahanan—termasuk hukuman di luar proses hukum, intimidasi, dan pengendalian massa—secara historis tidak ikut dihitung.[48] Bahkan terdapat lebih sedikit informasi tentang prevalensi penyiksaan sebelum abad kedua puluh.[10]

Dibandingkan negara-negara lainnya, negara-negara demokrasi liberal cenderung tidak melakukan kesewenang-wenangan kepada warga negaranya. Akan tetapi, mereka juga tetap melakukan pelanggaran, termasuk melakukan penyiksaan terhadap warga yang terpinggirkan atau orang-orang non-warga negara.[49] Para pemilih mungkin mendukung kekerasan terhadap kelompok luar yang dianggap mengancam; institusi mayoritas tidak efektif dalam mencegah penyiksaan terhadap kelompok minoritas atau orang asing.[50] Perubahan politik yang signifikan, seperti transisi ke demokrasi, sering disebut-sebut sebagai alasan perubahan dalam praktik penyiksaan.[51] Penyiksaan lebih mungkin terjadi ketika suatu masyarakat merasa terancam karena perang atau krisis,[49] tetapi penelitian belum dapat menarik hubungan yang konsisten antara penggunaan penyiksaan dan serangan teroris.[52]

Penyiksaan ditujukan terhadap segmen tertentu dari populasi, yang tidak mendapatkan perlindungan terhadap penyiksaan seperti orang-orang lainnya.[53] Penyiksaan terhadap tahanan politik atau selama konflik bersenjata telah mendapat perhatian yang kurang proporsional.[54] Sebagian besar korban penyiksaan diduga melakukan kejahatan; jumlah korban yang tidak proporsional berasal dari komunitas miskin atau terpinggirkan, terutama pemuda pengangguran, kaum miskin kota, dan kelompok LGBT.[55] Kemiskinan dan ketidaksetaraan yang dihasilkan membuat orang miskin rentan terhadap penyiksaan.[56] Kelompok lain yang sangat rentan terhadap penyiksaan termasuk pengungsi dan migran, etnis atau ras minoritas, penduduk asli, dan penyandang disabilitas.[57] Kekerasan rutin terhadap orang-orang miskin dan yang terpinggirkan sering kali tidak dilihat sebagai penyiksaan, dan para pelakunya membenarkan kekerasan tersebut sebagai taktik pemolisian yang sah,[58] sementara para korban kekurangan sumber daya atau berjuang untuk mencari ganti rugi.[56] Kriminalisasi tunawisma, pekerja seks, atau bekerja di ekonomi informal dapat menjadi alasan bagi kekerasan polisi terhadap orang miskin.[59] Penyiksaan dianggap sebagai peristiwa luar biasa, mengabaikan kekerasan rutin yang dilakukan oleh negara.[60]

Tindakan[sunting | sunting sumber]

Banyak penyiksa melihat tindakan mereka untuk mencapai tujuan politik atau ideologis yang lebih tinggi yang membenarkan penyiksaan sebagai cara yang sah untuk melindungi negara.[61] Budaya penyiksaan menghargai pengendalian diri, disiplin, dan profesionalisme sebagai nilai positif, membantu penyiksa untuk mempunyai citra yang positif.[62] Tindakan penyiksa yang menimbulkan lebih banyak penderitaan untuk menghancurkan korban atau bertindak berdasarkan motif yang tidak diperbolehkan (balas dendam, kepuasan seksual) ditolak oleh rekan kerjanya atau dibebaskan dari tugasnya.[63] Korban penyiksaan seringkali dipandang oleh para pelaku sebagai ancaman serius dan musuh negara.[64] Filsuf Jessica Wolfendale berpendapat bahwa karena "keputusan untuk menyiksa seseorang melibatkan penolakan untuk melihat status korban sebagai seorang manusia, yang menetapkan batasan pada apa yang dapat dilakukan terhadapnya", korbannya sering dianggap bukan sebagai manusia sepenuhnya sebelum mereka disiksa.[53] Psikiater Pau Pérez-Sales menemukan bahwa seorang penyiksa dapat bertindak dari berbagai motif seperti komitmen ideologis, keuntungan pribadi, keterikatan kelompok, untuk menghindari hukuman, atau untuk menghindari rasa bersalah dari tindakan penyiksaan yang dilakukan sebelumnya.[65]

Kombinasi upaya disposisional dan situasional membuat seseorang menjadi penyiksa.[65] Dalam kebanyakan kasus penyiksaan yang dilakukan secara sistematis, para penyiksa tidak peka terhadap kekerasan karena telah terpapar oleh kekerasan fisik atau penyalahgunaan psikologis selama pelatihan.[66] Wolfendale berpendapat bahwa pelatihan militer bertujuan untuk menanamkan kepatuhan yang tidak boleh dipertanyakan, dan oleh karenanya membuat personel militer lebih cenderung menjadi penyiksa.[67] Bahkan ketika penyiksaan tidak diperintahkan secara eksplisit oleh pemerintah,[68] pelaku mungkin merasakan tekanan oleh rekan sebaya untuk menyiksa karena menolak dianggap lemah atau tidak jantan.[69] Unit polisi elit dan khusus juga sangat rentan untuk melakukan penyiksaan, karena sifatnya yang erat satu sama lain dan terpisah dari pengawasan.[68]

Penyiksaan dapat terjadi sebagai akibat dari sistem peradilan pidana yang rusak karena kekurangan dana, kurangnya independensi peradilan, atau korupsi yang merusak investigasi yang efektif dan pengadilan yang adil.[70] Dalam konteks ini, orang miskin atau orang yang terpinggirkan dan tidak mampu membayar suap cenderung menjadi korban penyiksaan.[71] Polisi yang kekurangan staf atau kurang terlatih lebih cenderung menggunakan penyiksaan saat menginterogasi tersangka.[72] Di beberapa negara, seperti Kirgistan, tersangka lebih mungkin disiksa pada akhir bulan karena adanya kuota kinerja.[72]

Pelaku penyiksaan tidak akan bisa terus aktif tanpa dukungan dari pihak lain yang mendukung terjadinya penyiksaan dan banyak pengamat yang mengabaikan penyiksaan.[73] Profesional militer, intelijen, psikologi, medis, dan hukum dapat membantu membangun budaya penyiksaan.[62] Insentif dapat mendukung penggunaan penyiksaan pada tingkat institusional atau individu; beberapa pelaku dimotivasi oleh prospek kemajuan karir.[74] Birokrasi menyebarkan tanggung jawab atas penyiksaan, membantu pelaku memaafkan tindakan penyiksaan yang mereka lakukan.[66] Menjaga kerahasiaan dan menyembunyikan pelanggaran dari publik seringkali merupakan hal yang penting untuk mempertahankan program penyiksaan, yang dapat dilakukan dengan beragam cara yang berbeda, mulai dari penyensoran langsung, penolakan atau pemberian label yang salah sebagai tindakan yang lain, hingga pelanggaran lepas pantai di luar wilayah negara.[75] Seiring dengan adanya bantahan secara resmi, penyiksaan didorong oleh pelepasan moral dari korban dan impunitas (non-penuntutan) bagi pelaku[50] — yang menyebabkan penuntutan pidana untuk penyiksaan jarang terjadi.[76]

Penyiksaan sulit atau tidak mungkin untuk diatasi dan dapat meluas ke teknik yang lebih parah dengan kelompok korban yang lebih besar di luar apa yang semula diinginkan oleh pembuat keputusan di level yang tinggi.[77] Eskalasi penyiksaan sangat sulit dikendalikan dalam operasi kontra-pemberontakan.[69] Penyiksaan dan teknik penyiksaan khusus tersebar di berbagai negara, terutama oleh tentara yang pulang dari perang di luar negeri, tetapi proses ini kurang dipahami.[78]

Tujuan[sunting | sunting sumber]

Hukuman[sunting | sunting sumber]

Hukum cambuk di Banda Aceh, Indonesia, tahun 2014, sesuai dengan hukum jinayat di Aceh

Penyiksaan sebagai hukuman sudah ada sejak zaman kuno, dan masih digunakan di abad ke-21.[14] Ketika sistem peradilan tidak berfungsi atau penjara penuh sesak, polisi melakukan penyiksaan sebagai hukuman instan pada pemuda-pemuda dan membebaskan mereka tanpa tuntutan; praktek ini umum di banyak negara di dunia.[79] Penyiksaan semacam itu dapat dilakukan di kantor polisi[80] rumah korban, atau di tempat umum.[81] Di Afrika Selatan, polisi terlihat menyerahkan tersangka kepada warga.[82] Jenis kekerasan di luar proses hukum ini sering dilakukan di depan umum. Hal ini secara diskriminatif menargetkan kelompok minoritas dan kelompok terpinggirkan dan mungkin didukung oleh opini publik, terutama ketika orang tidak mempercayai sistem peradilan resmi.[83]

Klasifikasi hukuman badan sebagai penyiksaan merupakan hal yang kontroversial secara internasional, meskipun secara eksplisit dilarang di bawah Konvensi Jenewa.[84] Beberapa penulis, seperti John D. Bessler, berpendapat bahwa hukuman mati secara inheren merupakan bentuk penyiksaan yang dilakukan sebagai hukuman.[85] Eksekusi dapat dilakukan dengan cara brutal, seperti rajam, kematian dengan cara dibakar, atau pemotongan anggota tubuh.[86] Di Eropa periode modern awal, eksekusi publik adalah cara untuk menunjukkan kekuatan negara, menginspirasi kekaguman dan kepatuhan, dan menghalangi orang lain untuk melakukan hal yang sama.[87] Kerugian psikologis dari hukuman mati, misalnya, ketika seseorang harus menunggu pelaksanaan hukuman mati, kadang-kadang dianggap sebagai bentuk penyiksaan psikologis.[88] Penulis lainnya membedakan hukuman badan dengan hukuman penyiksaan, karena hukuman badan seperti penjara ini tidak berusaha untuk menyalahi kehendak korban.[89]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Penyiksaan juga dapat dilakukan tanpa pandang bulu untuk meneror orang selain korban langsung atau menghalangi oposisi terhadap pemerintah.[90] Penyiksaan digunakan untuk mencegah budak melarikan diri atau memberontak.[91] Beberapa pembela penyiksaan dalam proses yudisial sebelum penghapusannya melihat penyiksaan sebagai sarana yang berguna untuk mencegah kejahatan; kelompok reformis berpendapat bahwa karena penyiksaan dilakukan secara rahasia, hal itu tidak bisa menjadi metode pencegahan yang efektif.[92] Pada abad kedua puluh, contoh terkenal termasuk Khmer Merah[90] dan rezim anti-komunis di Amerika Latin, sering menyiksa dan membunuh korbannya sebagai bagian dari penghilangan paksa.[93] Rezim yang lemah lebih cenderung menggunakan penyiksaan untuk mencegah oposisi;[94] banyak rezim otoriter yang melakukan represi tanpa pandang bulu.[95] Meskipun beberapa pemberontakan juga menggunakan penyiksaan, banyak yang tidak memiliki infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan penyiksaan dan malah melakukan intimidasi dengan melakukan pembunuhan.[96] Penelitian telah menunjukkan bahwa penyiksaan negara dapat memperpanjang umur organisasi teroris, meningkatkan insentif bagi pemberontak untuk menggunakan kekerasan, dan meradikalisasi oposisi.[97] Peneliti James Worrall dan Victoria Penziner Hightower berpendapat bahwa penyiksaan secara sistematis yang dilakukan pemerintah Suriah selama perang saudara Suriah menunjukkan bahwa penggunaannya yang meluas dapat efektif untuk menanamkan rasa takut ke dalam kelompok atau lingkungan tertentu selama perang saudara.[98] Bentuk lain dari penyiksaan untuk pencegahan adalah kekerasan terhadap migran, seperti yang telah dilaporkan selama penolakan di perbatasan luar Uni Eropa.[99]

Pengakuan[sunting | sunting sumber]

Sepanjang sejarah, penyiksaan telah digunakan untuk mendapatkan pengakuan dari para tahanan. Pada tahun 1764, reformis Italia Cesare Beccaria mengkritik penyiksaan sebagai "cara yang pasti untuk membebaskan bajingan yang kuat dan untuk mempersalahkan orang yang lemah tetapi tidak bersalah".[16] Keraguan tentang efektivitas penyiksaan juga telah disuarakan selama berabad-abad sebelumnya, termasuk oleh Aristoteles.[100] Meskipun penyiksaan dalam proses yudisial telah dihapuskan, penyiksaan untuk memperoleh pengakuan terdakwa terus digunakan, terutama dalam sistem peradilan yang menempatkan nilai pengakuan sebagai hal yang penting dalam pembuktian hukum pidana.[101] Penggunaan penyiksaan untuk memaksa tersangka mengaku difasilitasi oleh undang-undang yang mengizinkan penahanan pra-sidang yang ekstensif.[102] Penelitian menunjukkan bahwa interogasi koersif sedikit lebih efektif daripada wawancara kognitif untuk mengekstraksi pengakuan dari tersangka, tetapi mempunyai risiko pengakuan palsu yang lebih tinggi.[103] Banyak korban penyiksaan akan mengatakan apa pun yang ingin didengar penyiksa untuk mengakhiri penyiksaan yang dialaminya.[104] Orang lain yang bersalah menolak untuk membuat pengakuan di bawah siksaan,[105] terutama jika mereka percaya bahwa mengaku bersalah hanya akan membawa lebih banyak siksaan atau hukuman.[106] Sistem peradilan abad pertengahan berusaha untuk melindungi terhadap risiko pengakuan palsu di bawah penyiksaan dengan mengharuskan mereka yang mengaku untuk memberikan rincian tentang kejahatannya dan hanya mengizinkan penyiksaan jika sudah ada beberapa bukti terhadap terdakwa.[107] Di beberapa negara, lawan politik disiksa untuk memaksa mereka mengaku di depan umum sebagai bentuk propaganda negara. Taktik ini digunakan dalam uji coba pertunjukan Blok Timur dan di Iran.[101]

Interogasi[sunting | sunting sumber]

Penggunaan penyiksaan untuk mendapatkan informasi selama interogasi merupakan persentase kecil dari kasus penyiksaan di dunia; penggunaan penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan atau untuk melakukan intimidasi lebih umum terjadi.[108] Meskipun penyiksaan dalam proses interogasi telah digunakan dalam perang konvensional, praktik itu bahkan lebih umum dalam perang asimetris atau konflik bersenjata non-internasional.[101] Skenario bom waktu yang berdetak sangat jarang, jika bukan tidak mungkin di dunia nyata, [45] [109] tetapi dikutip untuk membenarkan penyiksaan untuk interogasi. Penggambaran fiktif tentang penyiksaan sebagai metode interogasi yang efektif telah memicu kesalahpahaman yang membenarkan penggunaan penyiksaan.[110] Eksperimen yang menguji apakah penyiksaan lebih efektif daripada metode interogasi lainnya tidak dapat dilakukan karena alasan etis dan praktis.[111] Sebagian besar sarjana penyiksaan skeptis tentang kemanjurannya dalam memperoleh informasi yang akurat, meskipun penyiksaan kadang-kadang dapat memperoleh informasi intelijen yang ditindaklanjuti.[112] Penyiksaan dalam interogasi sering kali dapat disamarkan menjadi penyiksaan pengakuan atau sekadar hiburan;[113] beberapa penyiksa tidak membedakan antara interogasi dan pengakuan.[114]

Metode[sunting | sunting sumber]

Ali Shallal al-Qaisi disiksa oleh pasukan Amerika Serikat di penjara Abu Ghraib di Irak.

Penyiksaan telah dilakukan dengan berbagai macam teknik yang digunakan sepanjang sejarah di seluruh dunia.[115] Namun demikian, terdapat kesamaan yang mencolok dalam metode penyiksaan karena terdapat beberapa cara yang digunakan untuk menimbulkan rasa sakit sambil meminimalkan risiko kematian.[116] Para penyintas menyatakan bahwa metode pasti yang digunakan tidaklah begitu berarti.[117] Sebagian besar bentuk penyiksaan termasuk elemen fisik dan psikologis,[118] dan dalam banyak kasus, beberapa metode ini digabungkan.[119] Beragam metode penyiksaan populer di berbagai negara.[120] Metode berteknologi rendah lebih umum digunakan dibandingkan dengan metode yang berteknologi tinggi dan upaya untuk mengembangkan teknologi penyiksaan yang divalidasi secara ilmiah telah dinyatakan gagal.[121] Larangan penyiksaan telah memotivasi penyiksa untuk melakukan penyiksaan yang tidak meninggalkan bekas dan yang dianggap lebih dapat diterima oleh penyiksa atau publik. Larangan penyiksaan juga membuat penyiksa menyembunyikan tindakan penyiksaan dari media, dan tidak memberikan korban ganti rugi hukum.[122] Ketika para penyiksa menghadapi lebih banyak tekanan dan pengawasan, sistem demokrasi membuat terciptanya inovasi dalam melakukan praktik penyiksaan.[123] Pola bagaimana penyiksaan dilakukan berbeda berdasarkan batas waktu yang dihadapi oleh penyiksa, misalnya karena batasan hukum penahanan pra-ajudikasi.[124]

Pemukulan atau trauma tumpul adalah bentuk penyiksaan fisik yang paling umum.[125] Praktik ini mungkin tidak dilakukan secara sistematis[126] atau terfokus pada bagian tubuh tertentu, seperti pada falanga (telapak kaki), pukulan berulang-ulang pada kedua telinga, atau memberikan goncangan kepada tahanan sehingga kepala mereka bergerak maju mundur.[127] Seringkali, orang digantung dalam posisi yang menyakitkan seperti gantung Palestina atau digantung terbalik yang dikombinasikan dengan pemukulan.[128] Orang juga dapat mengalami luka tusukan, kukunya dicabut, atau bagian tubuhnya diamputasi.[129] Luka bakar juga sering terjadi, terutama luka bakar rokok, tetapi instrumen lain juga digunakan, termasuk penggunaan logam panas, cairan panas, matahari, atau asam.[130] Memaksaan korban untuk menelan paksa berbagai zat, termasuk air, makanan, atau zat lain, atau suntikan juga digunakan sebagai bentuk penyiksaan.[131] Sengatan listrik sering digunakan untuk menyiksa, terutama untuk menghindari metode lain yang lebih mungkin meninggalkan bekas luka.[132] Sesak napas (termasuk waterboarding) yang ditimbulkan kepada korban dilakukan dengan memutus suplai udara mereka.[129]

Penyiksaan psikologis meliputi metode yang tidak melibatkan unsur fisik, dan metode-metode lain yang terdiri dari manipulasi fisik tanpa sentuhan pada tubuh, dan serangan fisik yang pada akhirnya menargetkan pikiran.[118] Ancaman kematian, eksekusi palsu, atau dipaksa untuk menyaksikan penyiksaan terhadap orang lain sering dilaporkan secara subjektif lebih buruk dibandingkan disiksa secara fisik dan dikaitkan dengan gejala lain yang parah.[133] Teknik penyiksaan lainnya termasuk kurang tidur, terlalu padat atau sel isolasi, menahan makanan atau air, perampasan sensorik (seperti kerudung), paparan cahaya atau kebisingan yang ekstrem (misalnya penyiksaan musik), dan penghinaan (yang bisa didasarkan pada seksualitas atau identitas keagamaan atau kebangsaan korban).[134][135] Penyiksaan posisi bekerja dengan memaksa orang tersebut untuk mengambil sikap, meletakkan berat badan mereka pada beberapa otot, menyebabkan rasa sakit tanpa meninggalkan bekas, misalnya berdiri atau jongkok untuk waktu yang lama. [136] Pemerkosaan dan penyerangan seksual juga menjadi salah satu metode penyiksaan.[137] Perbedaan budaya dan pandangan individu dapat memengaruhi bagaimana penyiksaan dialami oleh korban. Banyak penyintas dari negara Arab dan Islam yang melaporkan bahwa penyiksaan dengan dipaksa untuk telanjang dirasakan lebih buruk dibandingkan dipukuli atau diisolasi.[138]

Dampak[sunting | sunting sumber]

Korban penyiksaan hingga mati setelah kudeta Pinochet di Chili, 1973

Penyiksaan adalah salah satu pengalaman yang paling menghancurkan yang dapat dialami seseorang.[139] Penyiksaan bertujuan untuk mematahkan kehendak korban[140] dan menghancurkan badan dan personalitas korban.[141] Korban penyiksaan yang selamat, Jean Améry, mengatakan bahwa penyiksaan yang dialaminya adalah "peristiwa paling mengerikan yang dapat terjadi dalam pengalaman manusia"; dia menyatakan bahwa "siapa pun yang telah disiksa, akan tetap merasa disiksa".[142] Banyak korban penyiksaan, termasuk Améry, meninggal karena bunuh diri.[143] Para penyintas sering mengalami masalah sosial dan keuangan.[144] Keadaan saat ini, seperti perumahan yang tidak aman, perpisahan keluarga, dan ketidakpastian dalam pengajuan suaka di negara yang aman, sangat memengaruhi kesejahteraan para penyintas korban penyiksaan.[145]

Kematian bukanlah akibat yang tidak biasa dari tindakan penyiksaan.[146] Korban penyiksaan juga mempunyai konsekuensi kesehatan yang dialami termasuk neuropati perifer, kerusakan gigi, rhabdomyolysis dari kerusakan otot,[125] cedera otak traumatis,[147] penyakit menular seksual, dan kehamilan akibat pemerkosaan.[148] Rasa sakit kronis dan kecacatan biasanya juga dilaporkan sebagai dampak penyiksaan, tetapi hanya ada sedikit penelitian tentang efek ini atau perawatan yang mungkin dapat dilakukan.[149] Efek psikologis umum dari penyiksaan pada korban termasuk stres traumatis, kecemasan, depresi, dan gangguan tidur.[150] Studi yang tidak terkontrol pada korban penyiksaan telah menemukan bahwa antara 15 dan 85 persen memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dengan risiko lebih tinggi untuk korban penyiksaan psikologis dibandingkan dengan korban penyiksaan fisik.[151] Penyiksaan menyebabkan risiko sekuele traumatis yang lebih tinggi dibandingkan pengalaman manusia lainnya yang diketahui.[139] Meskipun pandangan tradisional adalah bahwa rasa takut menyebabkan trauma, Pérez-Sales berpendapat bahwa hilangnya kontrol menjelaskan trauma pada korban penyiksaan.[152] Karena penyiksaan adalah bentuk kekerasan politik, tidak semua penyintas atau ahli rehabilitasi mendukung penggunaan kategori medis untuk mendefinisikan pengalaman mereka,[153] dan banyak penyintas mempunyai ketahanan psikologis.[154]

Orang-orang yang selamat dari penyiksaan, keluarga dan kerabat mereka mungkin memerlukan dukungan materi, medis, psikologis dan sosial jangka panjang.[155] Kebanyakan penyintas korban penyiksaan tidak mengungkapkan hal ini kecuali ketika secara khusus ditanyakan oleh penyedia layanan kesehatan.[156] Intervensi psikologis telah menunjukkan penurunan yang signifikan secara statistik tetapi secara klinis relatif kecil terhadap gejala PTSD. Dampak intervensi psikologis terhadap tekanan psikologis atau kualitas hidup tidak menunjukkan manfaat atau belum diukur.[157] Sebagian besar penelitian secara spesifik berfokus pada gejala PTSD, dan terdapat kekurangan studi tentang pendekatan yang terintegrasi yang berfokus pada pasien.[158]

Meskipun penelitian tentang dampak penyiksaan terhadap pelaku masih sedikit,[159] para penyiksa juga dapat mengalami cedera moral atau gejala trauma yang serupa dengan korban—terutama ketika mereka merasa bersalah atas tindakannya.[160] Penyiksaan memiliki efek merusak pada institusi dan masyarakat yang melakukannya dan mengikis kompetensi profesional. Penyiksa melupakan keterampilan investigasi yang penting karena penyiksaan dianggap dapat menjadi cara yang lebih mudah untuk mencapai tingkat hukuman yang tinggi melalui pengakuan yang dipaksakan yang seringkali palsu dibandingkan polisi melakukan pekerjaannya secara profesional yang memakan waktu. Hal ini mendorong penggunaan penyiksaan yang berkelanjutan dengan intensitas yang meningkat.[161] Penolakan publik terhadap penyiksaan dapat merusak reputasi internasional negara-negara yang menggunakan penyiksaan, meradikalisasi oposisi, memperkuat oposisi kekerasan terhadap negara yang menyiksa,[162] dan mendorong lawan untuk menggunakan penyiksaan untuk mencapai tujuan mereka.[163]

Opini publik[sunting | sunting sumber]

Studi menunjukkan bahwa kebanyakan orang di berbagai negara di seluruh dunia menentang penggunaan penyiksaan secara umum[164] tetapi sebagian membenarkan penggunaan penyiksaan dalam kasus-kasus tertentu.[165] Beberapa orang memiliki pandangan yang bersifat kategoris tentang penyiksaan, sedangkan bagi orang lain penerimaan penyiksaan tergantung pada konteksnya,[166] dengan lebih banyak orang yang mengizinkan penyiksaan terhadap seseorang yang digambarkan sebagai teroris, atau orang yang bersalah.[167] Dukungan untuk penyiksaan dalam kasus-kasus tertentu berkorelasi dengan keyakinan yang tidak akurat tentang efektivitas penyiksaan atau asumsi tentang skenario bom waktu yang tidak mencerminkan bagaimana penyiksaan sebenarnya dilakukan dalam praktik.[168] Orang yang tidak beragama cenderung tidak mendukung penggunaan penyiksaan dibandingkan orang yang beragama. Bagi orang-orang yang mengidentifikasi diri dengan suatu agama, peningkatan religiusitas dapat meningkatkan penentangan terhadap penyiksaan.[169] Opini publik merupakan hal yang penting dalam penggunaan penyiksaan oleh negara, dan penentangan terhadap penyiksaan dapat meningkat karena pengalaman represi politik.[170] Di sisi lain, ketika publik mendukung penyiksaan terhadap segmen populasi tertentu, seperti pecandu narkoba atau tersangka kriminal, ini dapat memfasilitasi penggunaan penyiksaan.[171]

Pelarangan[sunting | sunting sumber]

Poster Amerika Serikat yang diusulkan, 1942 atau 1943

Di dunia modern, penyiksaan hampir secara universal dianggap sebagai hal yang menjijikkan.[172] Penyiksaan dikritik berdasarkan pandangan-pandangan etika normatif utama, seperti deontologi, konsekuensialisme, dan etika kebajikan.[173] Beberapa filsuf kontemporer berpendapat bahwa penyiksaan tidak pernah dapat diterima secara moral, sedangkan filsuf yang lain mengusulkan pengecualian terhadap aturan umum dalam kehidupan nyata yang setara dengan skenario bom waktu.[172] Salah satu hal yang tabu tentang penyiksaan adalah mengklasifikasikannya sebagai barbar dan kejam. Hal ini berkembang dari perdebatan tentang penghapusannya.[174] Pada akhir abad kesembilan belas, negara-negara mulai dipersalahkan secara internasional karena mereka menggunakan penyiksaan.[175] Karena penyiksaan menjadi tanda pembeda antara negara-negara beradab dan negara-negara barbar, norma-norma internasional mengharuskan penyiksaan untuk dicegah dan dihukum—termasuk jika dilakukan terhadap orang-orang terjajah.[176] Hal yang tabu ini diperkuat selama abad kedua puluh sebagai reaksi terhadap penggunaan penyiksaan oleh Nazi Jerman dan Uni Soviet, yang secara luas dikutuk meskipun rezim ini menyangkalnya.[177] Karena kekejaman Nazi selama Perang Dunia II, PBB menyusun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948, yang melarang penyiksaan.[178]

Penyiksaan adalah isu utama yang mendorong lahirnya gerakan hak asasi manusia.[179] Pada tahun 1969, kasus Yunani adalah kasus pertama ketika sebuah badan internasional (Komisi Hak Asasi Manusia Eropa) memutuskan bahwa sebuah negara melakukan penyiksaan.[180] Pada awal 1970-an, Amnesty International memulai kampanye global melawan penyiksaan, mengungkap penggunaan penyiksaan secara luas meskipun terdapat larangan internasional. Hal ini kemudian mendorong diadopsinya Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (CAT) pada tahun 1984.[181] Mobilisasi masyarakat sipil yang berhasil melawan penyiksaan dapat mencegah penggunaan penyiksaan oleh pemerintah yang memiliki motif dan kesempatan untuk menggunakan penyiksaan.[182] Isu-isu penyiksaan tetap menjadi fokus gerakan hak asasi manusia di abad kedua puluh satu.[183]

Negara-negara Pihak Konvensi Menentang Penyiksaan dalam warna hijau tua, negara-negara yang telah menandatangani perjanjian dalam warna hijau muda, dan lainnya berwarna abu-abu

Larangan penyiksaan adalah norma jus cogens yang harus ditaati dalam hukum internasional, artinya dilarang untuk semua negara dalam segala keadaan.[184] Sebagian besar ahli hukum setuju dengan larangan hukum mutlak atas penyiksaan karena melanggar martabat manusia (human dignity).[185] Konvensi Anti Penyiksaan dan Protokol Opsionalnya berfokus pada pencegahan penyiksaan, yang sudah dilarang dalam hukum hak asasi manusia internasional dalam perjanjian lain seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.[186] Konvensi Anti Penyiksaan menetapkan bahwa penyiksaan harus dinyatakan sebagai sebuah tindak pidana,[47] bukti yang diperoleh di bawah penyiksaan tidak boleh diterima di pengadilan, dan mendeportasi seseorang ke negara lain dengan kemungkinan besar seseorang itu akan mengalami penyiksaan adalah dilarang.[187] Meskipun telah dinyatakan ilegal menurut hukum nasional, hakim di banyak negara terus mengakui bukti yang diperoleh dari penyiksaan atau perlakuan buruk.[188] Sebuah studi tahun 2009 menemukan bahwa 42 persen negara pihak Konvensi Anti Penyiksaan terus menggunakan penyiksaan secara sistematis.[50]

Dalam hukum humaniter internasional yang berlaku selama konflik bersenjata, penyiksaan pertama kali dilarang oleh Kode Lieber 1863.[189] Penyiksaan juga termasuk tindak pidana yang dituntut selama pengadilan Nuremberg sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.[190] Penyiksaan diakui oleh Konvensi Jenewa 1949 dan Statuta Roma 1998 tentang Pengadilan Kriminal Internasional sebagai kejahatan perang.[191] Menurut Statuta Roma, penyiksaan juga bisa menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan sebagai bagian dari serangan sistematis terhadap penduduk sipil.[192]

Pencegahan[sunting | sunting sumber]

Monumen Torture Never Again di Recife, Brasil, yang dibuat oleh pemahat patung Demétrio Albuquerque [pt], menampilkan tubuh pria telanjang dalam posisi pau de arara.

Penyiksaan merupakan sebuah kejahatan karena kesempatan dan semakin umum dalam situasi penghilangan paksa.[193] Resiko terhadap penyiksaan dapat dihilangkan dengan perlindungan yang tepat, setidaknya di masa damai.[194] Sebuah studi tahun 2016 yang dilakukan oleh Asosiasi untuk Pencegahan Penyiksaan menemukan bahwa satu-satunya tindakan terkuat yang berhubungan dengan tingkat penyiksaan adalah praktik penahanan.[195] Karena resiko penyiksaan paling tinggi langsung setelah penangkapan, pengamanan prosedural seperti akses langsung ke pengacara dan memberi tahu kerabat tentang penangkapan adalah cara paling efektif untuk mencegah penyiksaan.[196] Kunjungan oleh badan pemantau independen ke tempat-tempat penahanan juga dapat membantu mengurangi insiden penyiksaan.[197] Karena ketentuan hukum mungkin tidak diterapkan dalam praktik, praktik ini berkorelasi dengan insiden penyiksaan dibandingkan jaminan hak-hak hukum.[198] Perubahan pada sistem hukum bisa menjadi tidak efektif di tempat-tempat yang sistem hukumnya memiliki legitimasi yang terbatas atau sering diabaikan.[47]

Secara sosiologis, penyiksaan beroperasi sebagai sebuah subkultur, yang menyulitkan upaya pencegahan karena para penyiksa dapat menemukan jalan keluar dari hukum yang berlaku.[199] Perlindungan terhadap penyiksaan dalam penahanan dapat dihindari dengan memukuli tersangka selama proses penangkapan atau dalam perjalanan ke kantor polisi.[200] Pelatihan umum polisi untuk meningkatkan kemampuan mereka menyelidiki kejahatan lebih efektif dalam mengurangi penyiksaan dibandingkan pelatihan khusus yang berfokus pada hak asasi manusia.[201] Reformasi institusi kepolisian menjadi efektif jika pelanggaran dilakukan secara sistematis.[202] Ilmuwan politik Darius Rejali mengkritik penelitian pencegahan penyiksaan karena tidak mencari tahu "apa yang harus dilakukan ketika orang jahat; institusi rusak, kekurangan staf, dan korup; dan apa yang harus dilakukan ketika kekerasan berantai merupakan suatu kebiasaan rutin".[194]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 326.
  2. ^ Nowak 2014, hlm. 396–397.
  3. ^ Nowak 2014, hlm. 394–395.
  4. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 37–38.
  5. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 279–280.
  6. ^ Hajjar 2013, hlm. 40.
  7. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 37.
  8. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 3, 281.
  9. ^ Wisnewski 2010, hlm. 73–74.
  10. ^ a b c Einolf 2007, hlm. 104.
  11. ^ Meyer et al. 2015, hlm. 11217.
  12. ^ Jacobs, Bruno (16 March 2017). "Torture in the Achaemenid Period". Encyclopedia Iranica. Diakses tanggal 7 March 2022. 
  13. ^ Frahm 2006, hlm. 81.
  14. ^ a b Hajjar 2013, hlm. 14.
  15. ^ Barnes 2017, hlm. 26–27.
  16. ^ a b c d Evans 2020, History of Torture.
  17. ^ Beam 2020, hlm. 393.
  18. ^ Einolf 2007, hlm. 107.
  19. ^ Beam 2020, hlm. 392.
  20. ^ Einolf 2007, hlm. 107–108.
  21. ^ Hajjar 2013, hlm. 16.
  22. ^ Beam 2020, hlm. 398, 405.
  23. ^ Beam 2020, hlm. 394.
  24. ^ Wisnewski 2010, hlm. 34.
  25. ^ Einolf 2007, hlm. 108.
  26. ^ a b Einolf 2007, hlm. 109.
  27. ^ Einolf 2007, hlm. 104, 109.
  28. ^ a b Hajjar 2013, hlm. 19.
  29. ^ Einolf 2007, hlm. 110.
  30. ^ Einolf 2007, hlm. 111.
  31. ^ Bourgon 2003, hlm. 851.
  32. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 155.
  33. ^ a b c Einolf 2007, hlm. 112.
  34. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 148–149.
  35. ^ Barnes 2017, hlm. 94.
  36. ^ Wisnewski 2010, hlm. 38.
  37. ^ Einolf 2007, hlm. 111–112.
  38. ^ Hajjar 2013, hlm. 1–2.
  39. ^ Hajjar 2013, hlm. 7.
  40. ^ Wisnewski 2010, hlm. 44–45.
  41. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 45–46.
  42. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 39.
  43. ^ Kelly 2019, hlm. 2.
  44. ^ Barnes 2017, hlm. 182.
  45. ^ a b Carver & Handley 2016, hlm. 36.
  46. ^ Rejali 2020, hlm. 84–85.
  47. ^ a b c Kelly et al. 2020, hlm. 65.
  48. ^ Kelly 2019, hlm. 3–4.
  49. ^ a b Einolf 2007, hlm. 106.
  50. ^ a b c Evans 2020, Political and Institutional Influences on the Practice of Torture.
  51. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 47.
  52. ^ Rejali 2020, hlm. 82.
  53. ^ a b Wolfendale 2019, hlm. 89.
  54. ^ Oette 2021, hlm. 307.
  55. ^ Kelly 2019, hlm. 5, 7.
  56. ^ a b Kelly et al. 2020, hlm. 70.
  57. ^ Oette 2021, hlm. 321.
  58. ^ Celermajer 2018, hlm. 164–165.
  59. ^ Oette 2021, hlm. 329–330.
  60. ^ Oette 2021, hlm. 308.
  61. ^ Wisnewski 2010, hlm. 192–193.
  62. ^ a b Wolfendale 2019, hlm. 92.
  63. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 62–63.
  64. ^ Wisnewski 2010, hlm. 194–195.
  65. ^ a b Pérez-Sales 2016, hlm. 106.
  66. ^ a b Collard 2018, hlm. 166.
  67. ^ Wisnewski 2010, hlm. 193.
  68. ^ a b Wisnewski 2010, hlm. 193–194.
  69. ^ a b Rejali 2020, hlm. 90.
  70. ^ Celermajer 2018, hlm. 178.
  71. ^ Celermajer 2018, hlm. 161.
  72. ^ a b Carver & Handley 2016, hlm. 79.
  73. ^ Huggins 2012, hlm. 47, 54.
  74. ^ Huggins 2012, hlm. 62.
  75. ^ Huggins 2012, hlm. 57, 59–60.
  76. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 84–86, 88.
  77. ^ Hassner 2020, hlm. 18–20.
  78. ^ Collard 2018, hlm. 158, 165.
  79. ^ Oette 2021, hlm. 331.
  80. ^ Celermajer 2018, hlm. 167–168.
  81. ^ Jensena et al. 2017, hlm. 404, 408.
  82. ^ Kelly et al. 2020, hlm. 75.
  83. ^ Kelly et al. 2020, hlm. 74.
  84. ^ Nowak 2014, hlm. 408–409.
  85. ^ Nowak 2014, hlm. 393.
  86. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 414, 422, 427.
  87. ^ Beam 2020, hlm. 395.
  88. ^ Bessler 2018, hlm. 33.
  89. ^ Evans 2020, The Definition of Torture.
  90. ^ a b Hajjar 2013, hlm. 23.
  91. ^ Young & Kearns 2020, hlm. 7.
  92. ^ Barnes 2017, hlm. 26, 38, 41.
  93. ^ Hajjar 2013, hlm. 28.
  94. ^ Worrall & Hightower 2021, hlm. 4.
  95. ^ Blakeley 2007, hlm. 392.
  96. ^ Rejali 2009, hlm. 38.
  97. ^ Hassner 2020, hlm. 21–22.
  98. ^ Worrall & Hightower 2021, hlm. 7–8, 10.
  99. ^ Guarch-Rubio et al. 2020, hlm. 69, 78.
  100. ^ Wisnewski 2010, hlm. 26–27.
  101. ^ a b c Hajjar 2013, hlm. 22.
  102. ^ Rejali 2009, hlm. 50–51.
  103. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 327.
  104. ^ Hassner 2020, hlm. 16.
  105. ^ Rejali 2009, hlm. 362.
  106. ^ Einolf 2022, hlm. 11.
  107. ^ Barnes 2017, hlm. 28.
  108. ^ Rejali 2020, hlm. 92.
  109. ^ Hajjar 2013, hlm. 4.
  110. ^ Rejali 2020, hlm. 92–93, 106.
  111. ^ Houck & Repke 2017, hlm. 277–278.
  112. ^ Einolf 2022, hlm. 3.
  113. ^ Hassner 2020, hlm. 16, 20.
  114. ^ Einolf 2022, hlm. 2.
  115. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 410.
  116. ^ Einolf 2007, hlm. 103.
  117. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 110.
  118. ^ a b Pérez-Sales 2020, hlm. 432.
  119. ^ Rejali 2009, hlm. 421.
  120. ^ Rejali 2009, hlm. 420.
  121. ^ Rejali 2009, hlm. 440–441.
  122. ^ Rejali 2009, hlm. 443.
  123. ^ Rejali 2020, hlm. 73.
  124. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 271–272.
  125. ^ a b Quiroga & Modvig 2020, hlm. 413.
  126. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 411.
  127. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 413–414.
  128. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 414–415.
  129. ^ a b Quiroga & Modvig 2020, hlm. 418–419.
  130. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 421–422.
  131. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 423.
  132. ^ Einolf 2007, hlm. 103–104.
  133. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 426–427.
  134. ^ Pérez-Sales 2020, hlm. 114.
  135. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 424–425.
  136. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 415–416.
  137. ^ Hajjar 2013, hlm. 52.
  138. ^ Pérez-Sales 2020, hlm. 86–88.
  139. ^ a b Pérez-Sales 2016, hlm. 274.
  140. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 60–61.
  141. ^ Wisnewski 2010, hlm. 73.
  142. ^ Hajjar 2013, hlm. 51.
  143. ^ Wisnewski 2010, hlm. 121–122.
  144. ^ Hamid et al. 2019, hlm. 3.
  145. ^ Williams & Hughes 2020, hlm. 133–134, 137.
  146. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 428.
  147. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 412.
  148. ^ Quiroga & Modvig 2020, hlm. 422.
  149. ^ Williams & Hughes 2020, hlm. 133–134.
  150. ^ Williams & Hughes 2020, hlm. 136.
  151. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 134–135.
  152. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 124–125.
  153. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 135–136.
  154. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 130.
  155. ^ "Rehabilitation of Torture Victims". International Rehabilitation Council for Torture Victims. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-03-26. Diakses tanggal 18 February 2022. 
  156. ^ Williams & Hughes 2020, hlm. 135.
  157. ^ Hamid et al. 2019, hlm. 10.
  158. ^ Hamid et al. 2019, hlm. 11.
  159. ^ Hajjar 2013, hlm. 53–55.
  160. ^ Rejali 2020, hlm. 90–91.
  161. ^ Hassner 2020, hlm. 23.
  162. ^ Saul & Flanagan 2020, hlm. 370.
  163. ^ Hassner 2020, hlm. 21.
  164. ^ Rejali 2020, hlm. 81.
  165. ^ Houck & Repke 2017, hlm. 279.
  166. ^ Hatz 2021, hlm. 683.
  167. ^ Hatz 2021, hlm. 689.
  168. ^ Houck & Repke 2017, hlm. 276–277.
  169. ^ Hatz 2021, hlm. 688.
  170. ^ Rejali 2020, hlm. 81–82.
  171. ^ Celermajer 2018, hlm. 161–162.
  172. ^ a b Wisnewski 2010, hlm. 50.
  173. ^ Hassner 2020, hlm. 29.
  174. ^ Barnes 2017, hlm. 14, 42.
  175. ^ Barnes 2017, hlm. 48–49.
  176. ^ Kelly et al. 2020, hlm. 64.
  177. ^ Barnes 2017, hlm. 57.
  178. ^ Wisnewski 2010, hlm. 42–43.
  179. ^ Hajjar 2013, hlm. 41.
  180. ^ Barnes 2017, hlm. 121.
  181. ^ Barnes 2017, hlm. 108–109.
  182. ^ Collard 2018, hlm. 162.
  183. ^ Kelly 2019, hlm. 1.
  184. ^ Evans 2020, Introduction.
  185. ^ Pérez-Sales 2016, hlm. 82.
  186. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 13.
  187. ^ Saul & Flanagan 2020, hlm. 356.
  188. ^ Thomson & Bernath 2020, hlm. 474–475.
  189. ^ Nowak 2014, hlm. 387, 401.
  190. ^ Barnes 2017, hlm. 60, 70.
  191. ^ Nowak 2014, hlm. 398.
  192. ^ Nowak 2014, hlm. 397–398.
  193. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 13–14.
  194. ^ a b Rejali 2020, hlm. 102.
  195. ^ Thomson & Bernath 2020, hlm. 472.
  196. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 67–68.
  197. ^ Thomson & Bernath 2020, hlm. 482–483.
  198. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 52.
  199. ^ Rejali 2020, hlm. 101.
  200. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 69–70.
  201. ^ Thomson & Bernath 2020, hlm. 488.
  202. ^ Carver & Handley 2016, hlm. 80.


Daftar pustaka[sunting | sunting sumber]

Buku[sunting | sunting sumber]

Bab buku[sunting | sunting sumber]

  • Beam, Sara (2020). "Violence and Justice in Europe: Punishment, Torture and Execution". The Cambridge World History of Violence: Volume 3: AD 1500–AD 1800. Cambridge University Press. hlm. 389–407. ISBN 978-1-107-11911-6. 
  • Evans, Rebecca (2020). "The Ethics of Torture: Definitions, History, and Institutions". Oxford Research Encyclopedia of International Studies (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. doi:10.1093/acrefore/9780190846626.013.326. ISBN 978-0-19-084662-6. 
  • Frahm, Eckart (2006). "Images of Assyria in 19th and 20th Century Scholarship". Orientalism, Assyriology and the Bible (dalam bahasa Inggris). Sheffield Phoenix Press. hlm. 74–94. ISBN 978-1-905048-37-3. 
  • Kelly, Tobias; Jensen, Steffen; Andersen, Morten Koch (2020). "Fragility, states and torture". Research Handbook on Torture: Legal and Medical Perspectives on Prohibition and Prevention. Edward Elgar Publishing. hlm. 63–79. ISBN 978-1-78811-396-0. 
  • Nowak, Manfred (2014). "Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment". The Oxford Handbook of International Law in Armed Conflict (dalam bahasa Inggris). Oxford University Press. hlm. 387–409. ISBN 978-0-19-163269-3. 
  • Pérez-Sales, Pau (2020). "Psychological torture". Research Handbook on Torture: Legal and Medical Perspectives on Prohibition and Prevention. Edward Elgar Publishing. hlm. 432–454. ISBN 978-1-78811-396-0. 
  • Quiroga, José; Modvig, Jens (2020). "Torture methods and their health impact". Research Handbook on Torture: Legal and Medical Perspectives on Prohibition and Prevention. Edward Elgar Publishing. hlm. 410–431. ISBN 978-1-78811-396-0. 
  • Rejali, Darius (2020). "The Field of Torture Today: Ten Years On from Torture and Democracy". Interrogation and Torture: Integrating Efficacy with Law and Morality. Oxford University Press. hlm. 71–106. ISBN 978-0-19-009752-3. 
  • Saul, Ben; Flanagan, Mary (2020). "Torture and counter-terrorism". Research Handbook on International Law and Terrorism (dalam bahasa Inggris). Edward Elgar Publishing. hlm. 354–370. ISBN 978-1-78897-222-2. 
  • Shue, Henry (2015). "Torture". The Routledge Handbook of Global Ethics. Routledge. hlm. 113–126. ISBN 978-1-315-74452-0. 
  • Thomson, Mark; Bernath, Barbara (2020). "Preventing Torture: What Works?". Interrogation and Torture: Integrating Efficacy with Law and Morality. Oxford University Press. hlm. 471–492. ISBN 978-0-19-009752-3. 
  • Wolfendale, Jessica (2019). "The Making of a Torturer". The Routledge International Handbook of Perpetrator Studies. Routledge. hlm. 84–94. ISBN 978-1-315-10288-7. 

Artikel jurnal[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]