Seleksi seksual manusia

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seorang pria Pejuang Zulu dan istri-istrinya yang dipoligami

Seleksi seksual manusia menyangkut konsep seleksi seksual, yang diperkenalkan oleh Charles Darwin sebagai elemen dari teorinya tentang seleksi alam,[1] dan bagaimana konsep tersebut mempengaruhi manusia.

Seleksi seksual adalah strategi biologis masing-masing jenis kelamin untuk memilih pasangannya demi keberhasilan reproduksi terbaik. Kebanyakan individu harus bersaing dengan orang lain dari jenis kelamin yang sama untuk memperoleh pasangan terbaik untuk menyumbangkan genom mereka bagi generasi mendatang. Prinsip ini telah membentuk evolusi manusia sejah kemunculannya, tetapi alasan mengapa manusia memilih pasangannya sulit dipahami. Seleksi seksual sangat berbeda pada hewan non-manusia daripada manusia, karena hewan-hewan lain merasakan lebih banyak tekanan evolusioner untuk bereproduksi dan dapat dengan mudah menolak pasangan.[2]

Peran seleksi seksual dalam evolusi manusia belum ditetapkan secara tegas, meskipun neoteni telah dikutip sebagai akibat dari seleksi seksual manusia.[3] Seleksi seksual berperan dalam evolusi otak manusia modern secara anatomis, yaitu struktur yang bertanggung jawab atas kecerdasan sosial, yang menjalani seleksi positif sebagai ornamen seksual untuk digunakan dalam pacaran daripada untuk bertahan hidup.[4]

Anatomi seksual[sunting | sunting sumber]

Teori seleksi seksual telah digunakan untuk menjelaskan sejumlah fitur anatomi manusia. Termasuk payudara yang membulat, rambut wajah, rambut kemaluan dan ukuran penis. Payudara primata umumnya lebih rata, tetapi mampu menghasilkan susu yang cukup untuk memberi makan anaknya. Namun, payudara wanita manusia yang tidak menyusui diisi dengan jaringan lemak dan bukan susu. Oleh karena itu, payudara wanita yang bulat dianggap sebagai sinyal kesuburan.[5] Richard Dawkins berspekulasi bahwa hilangnya tulang penis pada manusia (yang ditemui pada primata lain) mungkin disebabkan oleh seleksi seksual betina yang mencari ciri kesehatan yang baik pada calon pasangannya. Karena ereksi manusia bergantung pada sistem pemompaan hidrolik, kegagalan ereksi merupakan peringatan dini yang sensitif terhadap adanya jenis penyakit fisik dan mental tertentu.[6]

Homo memiliki penis yang lebih tebal daripada kera besar lainnya, meskipun rata-rata tidak lebih panjang dari simpanse.[7] Evolusi penis manusia menuju ukuran yang lebih besar adalah hasil dari pilihan wanita, dan bukan akibat kompetisi sperma, yang umumnya menyukai testis berukuran besar. Namun, ukuran penis mungkin telah menjadi subjek seleksi alam, bukan seleksi seksual, karena efisiensi penis yang lebih besar dalam menggantikan sperma laki-laki saingan selama hubungan seksual. Sebuah studi model menunjukkan bahwa perpindahan semen berbanding lurus dengan kedalaman dorongan panggul, hal ini menjadikan penis yang besar lebih efisien untuk menggantikan sperma laki-laki pesaing.[8]

Preferensi seleksi pada wanita[sunting | sunting sumber]

Beberapa faktor yang mempengaruhi cara betina memilih calon pasangannya untuk bereproduksi misalnya nada suara, bentuk wajah, penampilan berotot, dan tinggi badan.[9][10] Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar hormon dan pemilihan pasangan di antara manusia. Dalam sebuah penelitian yang mengukur ketertarikan wanita pada pria dengan berbagai tingkat maskulinitas, ditetapkan bahwa wanita memiliki preferensi maskulinitas umum untuk suara pria, dan preferensi untuk maskulinitas lebih besar pada fase subur dari siklus menstruasi daripada saat fase non-fertil.[10] Ada bukti lebih lanjut dari penelitian yang sama bahwa pada tahap subur dari siklus menstruasi, wanita juga memiliki preferensi untuk ciri-ciri maskulin lainnya seperti ukuran tubuh, bentuk wajah, dan perilaku dominan, yang merupakan indikator kesuburan dan kesehatan.[10] Studi ini tidak mengecualikan laki-laki dengan sifat-sifat feminin dari yang dipilih, karena sifat-sifat feminin pada laki-laki menunjukkan kemungkinan yang lebih tinggi dari komitmen hubungan jangka panjang,[10] dan mungkin merupakan salah satu dari beberapa strategi bertahan hidup.[11] Penelitian lebih lanjut juga mendukung gagasan bahwa sifat fenotipik adalah sarana untuk menilai kebugaran pasangan potensial untuk berreproduksi serta menilai apakah pasangan memiliki kualitas genetik yang tinggi.[12]

Faktor lain yang mempengaruhi proses seleksi seksual adalah lingkungan tempat orang tersebut tinggal. Dalam istilah biologis, kondisi lingkungan tertentu dapat menyebabkan tuntutan atau pengabaian sifat-sifat tertentu. Salah satu contohnya adalah preferensi untuk laki-laki yang struktur wajahnya menunjukkan rasio hormonal tertentu, seperti kadar testosteron-kortisol (hormon seks dan stres). Penelitian menunjukkan bahwa, misalnya, di negara-negara dengan tingkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berbeda, perempuannya juga memiliki preferensi yang berbeda mengenai rasio hormon stres dan hormon seks, seperti yang diekspresikan di wajah laki-laki. Sebuah penelitian Royal Society menunjukkan korelasi yang signifikan antara ukuran perkembangan masyarakat dan preferensi untuk indikasi tingkat testosteron yang lebih rendah, seperti yang dimanifestasikan dalam fitur wajah, dan interaksi antara preferensi untuk testosteron dan kortisol.[13] Dari berbagai penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa faktor ekologi tingkat masyarakat mempengaruhi penilaian sifat dengan kombinasi hormon seks dan hormon stres.[13]

Sebuah studi pada tahun 2020 melaporkan bahwa wanita cenderung menganggap pria lebih menarik jika hubungan pria sebelumnya berakhir dengan kesepakatan bersama, dan kurang menarik jika pria tersebut diputus oleh wanita lain.[14]

Kontroversi dan kritik[sunting | sunting sumber]

Peran seleksi seksual dalam evolusi manusia dianggap kontroversial sejak penerbitan buku Darwin tentang seleksi seksual (1871). Beberapa di antara para pengkritknya juga merupakan pendukung Darwin, seperti Alfred Wallace, seorang penganut spiritualisme dan asal mula non-material pikiran manusia. Wallace berpendapat bahwa hewan dan burung tidak memilih pasangan berdasarkan seleksi seksual, dan bahwa kemampuan artistik pada manusia termasuk dalam sifat spiritualnya dan oleh karena itu tidak dapat dihubungkan dengan seleksi alam, yang hanya mempengaruhi sifat binatang.[15] Darwin dianggap terlalu memandang evolusi nenek moyang manusia purba melalui kaca mata kode moral era Victoria abad ke-19.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Vogt, Yngve (29 January 2014). "Large testicles are linked to infidelity". Phys.org. Diakses tanggal 31 January 2014. 
  2. ^ Miller G. (2000). The mating mind: how sexual choice shaped the evolution of human nature, London, Heineman, ISBN 0-434-00741-2 (also Doubleday, ISBN 0-385-49516-1).
  3. ^ Neoteny and Two-Way Sexual Selection in Human Evolution: A Paleo-Anthropological Speculation on the Origins of Secondary-Sexual Traits, Male Nurturing and the Child as a Sexual Image
  4. ^ Sexual Selection and the Mind
  5. ^ Morris, Desmond (2007). "Breasts". The Naked Woman. ISBN 978-0-312-33853-4. 
  6. ^ Dawkins, Richard (2006) [First published 1976]. The Selfish Gene (edisi ke-30th anniversary). hlm. 158 endnote. It is not implausible that, with natural selection refining their diagnostic skills, females could glean all sorts of clues about a male's health, and the robustness of his ability to cope with stress, from the tone and bearing of his penis. 
  7. ^ Dixson, A. F. (2009). Sexual selection and the origins of human mating systems. Oxford University Press. hlm. 61–65. ISBN 9780191569739. 
  8. ^ In a theoretical paper Diarsipkan 2008-08-20 di Wayback Machine. published in the journal Evolutionary Psychology in 2004, Gallup and coauthor, Rebecca Burch, conjecture that, "A longer penis would not only have been an advantage for leaving semen in a less-accessible part of the vagina, but by filling and expanding the vagina, it also would aid and abet the displacement of semen left by other males as a means of maximizing the likelihood of paternity." – "Secrets of the Phallus: Why Is the Penis Shaped Like That?", ScientificAmerican.com.
  9. ^ Buss, David (2019). "Women's Long-Term Mating Strategies". Evolutionary Psychology: The New Science of the Mind (edisi ke-Sixth). Routledge. ISBN 9780429590061. 
  10. ^ a b c d Feinberg, D. R.; Jones, B. C.; Law Smith, M. J.; Moore, F. R.; DeBruine, L. M.; Cornwell, R. E.; Hillier, S. G.; Perrett, D. I. (1 February 2006). "Menstrual cycle, trait estrogen level, and masculinity preferences in the human voice". Hormones and Behavior. 49 (2): 215–222. doi:10.1016/j.yhbeh.2005.07.004. PMID 16055126. 
  11. ^ "Strategies for Animal Survival 2 (Animal Studies Series)". Chip Taylor Communications. 
  12. ^ Shaw, Fionna (2009). "Influence of female 2D:4D ratio on attractiveness of male vocal and facial masculinity" (Dissertation). hdl:1842/3604. 
  13. ^ a b Moore, F. R.; Coetzee, V.; Contreras-Garduño, J.; Debruine, L. M.; Kleisner, K.; Krams, I.; Marcinkowska, U.; Nord, A.; Perrett, D. I. (23 June 2013). "Cross-cultural variation in women's preferences for cues to sex- and stress-hormones in the male face". Biology Letters. 9 (3): 20130050. doi:10.1098/rsbl.2013.0050. ISSN 1744-9561. PMC 3645036alt=Dapat diakses gratis. PMID 23536442. 
  14. ^ Scammell, Emily; Anderson, Ryan C. (2020). "Female Mate Copying: Measuring the Effect of Mate-Relevant Information Provided by Former Partners". Evolutionary Psychological Science. 6 (4): 319–327. doi:10.1007/s40806-020-00239-9alt=Dapat diakses gratis. 
  15. ^ Fisher, R. A. (1915). "The evolution of sexual preference". Eugenics Review. 7 (3): 184–92. PMC 2987134alt=Dapat diakses gratis. PMID 21259607. 

Bacaan lanjutan[sunting | sunting sumber]