Sekolah pintar

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sekolah pintar (Inggris: Smart school) merupakan suatu konsep sekolah yang berbasis teknologi yang digunakan dalam proses belajar-mengajar di kelas. Penggunaan teknologi pendidikan mencakup suatu sistem terintegrasi yang membantu komunitas pendidikan dalam menjalankan fungsinya masing-masing dengan tujuan mengembangkan potensi peserta didik. Pada dasarnya, penggunaan teknologi dalam bidang pendidikan adalah untuk membantu proses belajar dan meningkatkan kinerja dengan membuat, menggunakan, dan mengelola proses dan sumber teknologi yang memadai. Sedangkan tujuan utama teknologi dalam pembelajaran adalah (1) untuk memecahkan masalah belajar atau memfasilitasi pembelajaran; dan (2) untuk meningkatkan kinerja.[1] Penggunaan teknologi berbasis internet dalam bidang pendidikan ini membantu interaksi antara komunitas sekolah, siswa dan guru misalnya semakin lebih mudah.

Aplikasi sekolah pintar di Indonesia[sunting | sunting sumber]

Penggunaan teknologi dalam konsep sekolah pintar dapat terlihat dari beberapa hal. Dari sisi guru, pengelolaan administrasi lebih mudah dilakukan. Misalnya, penulisan, penyusunan maupun perencanaan rencana pembelajaran dapat dibandingkan dengan rencana pembelajaran guru-guru lain yang tergabung dalam komunitas pendidikan. Memasukan nilai siswa juga bisa dilakukan secara online dan data tiap guru dapat disimpan di server sekolah dengan menggunakan jaringan LAN. Teknologi berbasis internet juga dapat digunakan dalam membangun media komunikasi sekolah. Informasi dan sosialisasi program sekolah ke pihak orang tua dapat dilakukan lewat website. Begitu juga dengan agenda online siswa yang dapat diakses melalui multi platform. Komunikasi antar guru dan siswa juga semakin mudah dengan adanya sosial media, seperti Facebook, Line dan WhatsApp yang menghubungkan guru dengan siswa tanpa mengenal waktu dan tempat. Selain itu manfaat penggunaan teknologi ini juga bertujuan untuk menghemat pemakaian kertas (paperless), penyampaian informasi lebih cepat dan lebih mudah didapat, ketrampilan menggunakan teknologi terasah dan kinerja sekolah dan individu lebih baik. Sekolah Bintang Mulia di kawasan Mekar Wangi, Bandung, merupakan contoh sekolah yang mengembangkan pendidikan berbasis teknologi informasi. Pihak sekolah memberikan dukungan dengan memberikan pelatihan kepada para guru dan siswa untuk dapat menggunakan tablet dalam mengerjakan administrasi dan tugas-tugas sekolah [2]

Tantangan[sunting | sunting sumber]

Generasi tua menolak dengan alasan tidak paham/sulit/tidak mau belajar, belum semua sekolah difasilitasi koneksi internet atau belum terbiasa dengan sistem e-learning dan e-assessment adalah contoh tantangan dalam membangun konsep sekolah pintar ini. Menurut Marwan & Sweeney, berhasil tidaknya integrasi teknologi pendidikan dalam kegiatan belajar - mengajar dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu perencanaan strategis, rasa memiliki, sumberdaya yang ada dan pengembangan profesional.[3] Beberapa faktor yang mempengaruhi individu dalam menyikapi penggunaan teknologi yaitu keterbukaan terhadap teknologi, sikap guru, pengetahuan dan ketrampilan, dan waktu dan beban kerja guru. Jika salah satu faktor ini tidak mendukung atau tidak berjalan dengan baik maka berpotensi menghambat integrasi pembelajaran. (Abubakar et al., 2008; Marwan & Sweeney,2010). Selain itu, berhasil atau tidaknya implementasi penggunaan teknologi di sekolah juga berhubungan dengan perencanaan strategis, rasa memiliki, sumberdaya yang ada dan pengembangan profesional. Sebagai contoh, program ‘‘Smart School’‘ di Malaysia perlu waktu untuk diimplementasikan sehubungan dengan proses sosialisasi di kalangan birokrasi dan perencanaan strategis departemen yang bersangkutan (Bajunid, 2008 ). Karakteristik lain yang menentukan suksesnya program Smart School di Malaysia adalah faktor kepala sekolah yang berkualitas (Puteh dan Vicziany, 2004) Kendala utama dalam aplikasi sekolah pintar di Indonesia terletak pada pembangunan dan penyediaan infrastruktur internet. Istilah Digital divide merujuk pada satu istilah yang menggambarkan adanya kesenjangan penggunaan teknologi internet antara si kaya dan si miskin, antara kulit putih dan kaum minoritas (Straubhaar et al, Media Now, 2012:12). Istilah ini juga menciptakan jurang kelas baru – yang terjadi pada masyarakat kelas bawah, yang tidak dapat menikmati akses dan layanan internet. Di seluruh dunia, digital divide dapat dilihat di negara berkembang. Penduduk pedesaan, kelompok minoritas dan kelompok penduduk yang memiliki pendapatan rendah adalah mereka yang paling minim mendapat exposure teknologi ini.[4] Daya jangkauan telepon seluler di Indonesia mencapai 90% dari teritori Indonesia pada tahun 2010 (Jakarta Globe, 6 Januari 2012). Pasar yang potensial ini bisa menjadi jembatan atau penghubung yang dapat dilakukan pemerintah dalam mengatasi kesenjangan digital. Digital divide di Indonesia dapat dilihat dari terkonsentrasinya penggunaan teknologi berbasis internet di pulau Jawa, terutama di kota-kota besar. Daerah tertinggal atau pulau-pulau yang jauh, sayangnya, belum mendapatkan akses internet. Berdasarkan data 2007, penduduk Indonesia yang memiliki akses internet hanya 2% dari jumlah populasi. Bandingkan misalnya dengan Singapura, yang berada di kisaran 76%.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia memiliki rencana yang dikenal dengan dengan program MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia). Salah satu yang menjadi prioritas adalah dengan membangun interconnectivity antara enam koridor ekonomi, yang salah satunya adalah investasi infrastruktur di bidang informasi dan teknologi komunikasi.

Perspektif Payung Grant[sunting | sunting sumber]

Perspektif payung Grant dapat menjelaskan konsep sekolah pintar ini dimana penggunaan software dan hardware komputer oleh pengguna pribadi membentuk kelompok individu yang melayani kepentingan masyarakat. Sekolah, sebagai salah satu institusi sosial, juga terpengaruh oleh perkembangan teknologi dan informasi. Organisasi ini kemudian yang membentuk sistem informasi dan komunikasi di masyarakat. Perspektif ini merupakan sintesis dari Rogers (1986) yang mendefinisikan teknologi komunikasi sebagai struktur organisasi dan kumpulan nilai-nilai masyarakat berbasis perangkat keras di mana individu saling mengumpulkan, memproses dan menukar informasi. Beberapa faktor yang menentukan penerapan teknologi komunikasi adalah faktor enabling, faktor limiting, faktor motivating dan faktor inhibiting.[5]

Teori Computer Mediated Communication[sunting | sunting sumber]

Stephens (2007) menekankan pada pendekatan informasi dan teknologi ‘‘(ICTs)’‘ dalam teorinya bahwa pengiriman pesan dapat dilakukan melalui saluran komunikasi yang beragam. Pendekatan ICT ini dapat digunakan dalam bentuk yang berbeda, seprti media tradisional maupun saluran tatap muka. Kombinasi dari penggunaan saluran yang beragam dapat meningkatkan efektivitas komunikasi dalam organisasi, termasuk sekolah. Ia juga menekankan bahwa pengulangan pesan melalui lebih dari satu saluran komunikasi – untuk beberapa tugas tertentu – menyebabkan efektivitas dan efisiensi proses komunikasi. Misalnya, pesan yang disampaikan dalam sebuah pertemuan tatap muka dan kemudian dikirimkan melalui email, atau sebaliknya, akan jauh lebih efektif dibanding pesan yang dikirimkan melalui satu medium saja. Artinya, komunikator dapat mengirimkan pesan lebih dari satu kali. Pendekatan ini juga mengklasifikasikan saluran dalam beberapa bentuk: tatap muka, media massa, media oral maupun textual.[6]

--Nino Kemal Ahmad (bicara) 6 Oktober 2014 03.20 (UTC)Nino Kemal Ahmad

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Lilik Gani, Peran Teknologi Pendidikan dalam Meningkatkan Akses, Mutu dan Relevansi Pendidikan di Indonesia. Bandung. Disampaikan pada Seminar Nasional dan Kolokium Teknologi Pendidikan di Bandung (04-05 Desember 2008)
  2. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-10-06. Diakses tanggal 2014-10-06. 
  3. ^ Marwan & Sweeney, Asia Pacific Journal of Education Volume 30, Issue 4, 2010, page 463-476
  4. ^ Schaefer, Sociology, 2012. hal.168
  5. ^ Grant, A. E. & Meadows, J. H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press:
  6. ^ Stephens, K. K., & Rains, S. A. (2011). Information and communication technology sequences and mes¬sage repetition in interpersonal interaction. Communication Research, 38, 101–122.