Sejarah Penerbitan Literatur Feminisme di Indonesia
Feminisme, sebagai teori dalam gerakan sosial, memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Feminisme di Indonesia baru dikenal sejak awal 1970-an di Indonesia, terutama sejak tulisan-tulisan ilmiah tentang feminisme bermunculan dalam buku, jurnal-jurnal dan surat kabar. Penerbitan karya-karya feminis telah menjadi sarana penting dalam menyuarakan gagasan, membangun kesadaran, dan mendorong perubahan sosial. Artikel ini akan menelusuri sejarah penerbitan literatur feminisme di Indonesia, mulai dari masa kolonial hingga era modern.[1]
Awal Pergerakan Feminisme di Indonesia Pada Masa Kolonial
[sunting | sunting sumber]Feminisme di Indonesia mulai mencuat setelah terbitnya buku kompilasi surat-surat Kartini dengan sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Ny. Abendanon, Stella, dan Ny. Ovink-Soer, yang berjudul Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini kemudian semakin dikenal ketika Armin Pane, sastrawan angkatan Balai Pustaka, menerjemahkannya dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, yang ditertibkan pada tahun 1911. Karya tersebut menjadi sumber inspirasi bagi perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak dan martabat mereka agar setara dengan laki-laki.
Pada awal abad ke-20, surat kabar Poetri Hindia hadir sebagai wadah bagi perempuan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Media ini memberikan peluang bagi banyak perempuan untuk terlibat dalam dunia jurnalistik, meskipun kiprah mereka sering kali kurang terdokumentasikan dalam sejarah. Dua tahun setelah berdirinya Poetri Hindia, muncul surat kabar lain bernama Soenting Melayu. Soenting Melayu, yang digagas oleh dua perempuan luar biasa, Roehanna Koeddoes dan Ratna Djuwita, menjadi pencapaian bersejarah dalam dunia pers Indonesia sebagai surat kabar pertama yang sepenuhnya ditujukan untuk perempuan. Kehadiran surat kabar ini lahir sebagai tanggapan atas minimnya media yang secara khusus membahas isu-isu perempuan pada masa itu, seperti kesetaraan hak, akses terhadap pendidikan, kesehatan, serta hak sosial dan politik.[2]
Perkembangan Feminisme Indonesia Pasca Kemerdekaan
[sunting | sunting sumber]Setelah proklamasi kemerdekaan, perempuan mulai aktif berperan dalam berbagai kegiatan dan politik yang dijalankan oleh negara. Partisipasi mereka semakin nyata dengan dijaminnya hak-hak politik, yang tecermin dalam Pemilu 1955, di mana perempuan Indonesia memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Kesetaraan hak politik antara laki-laki dan perempuan semakin diperkuat dengan lahirnya UU No. 80 Tahun 1958, yang menjamin prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama tanpa adanya perbedaan gender dalam sistem penggajian. Selain itu, kiprah perempuan dalam pemerintahan juga terlihat dengan terpilihnya Maria Ulfa sebagai Menteri Sosial dalam Kabinet Syahrir II (1946) serta S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin (1947–1948).
Perkembangan Feminisme Indonesia Pada Masa Orde Baru
[sunting | sunting sumber]Pada masa Orde Baru, kebijakan pemerintah menargetkan peran perempuan dalam pembangunan ekonomi dan politik sebagai refleksi dari kebijakan era Orde Lama yang lebih berfokus pada ideologi dan politik. Perempuan mulai dipandang sebagai mitra dalam pembangunan, yang menandakan pengakuan akan pentingnya peran mereka dalam pemerintahan dan pembangunan nasional. Hal ini ditegaskan dalam GBHN 1998, yang menyatakan bahwa perempuan memiliki hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Pemerintah Orde Baru membentuk kementerian khusus urusan perempuan dan mengoordinasikan organisasi seperti Dharma Wanita, yang dipimpin langsung oleh istri presiden dan wakil presiden sebagai penasihat utama, serta PKK yang berada di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Orde Baru membangun fondasi politik gender yang membatasi partisipasi perempuan dalam politik, dengan menanamkan ideologi ibuisme, yang menempatkan perempuan terutama dalam peran domestik dan ekonomi sebagai bagian dari tugas mereka sebagai ibu. Politik gender ini tecermin dalam berbagai dokumen negara seperti GBHN, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dan Panca Dharma Wanita. Untuk memperkuat ideologi ini, pemerintah mengelompokkan organisasi perempuan sesuai dengan status suami mereka, seperti Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri, Dharma Pertiwi untuk istri anggota militer dan kepolisian, serta PKK untuk perempuan di pedesaan. Melalui organisasi-organisasi ini, pemerintah mengontrol peran perempuan dalam masyarakat. Namun, pada era 1990-an, perspektif feminisme mulai berkembang di kalangan aktivis perempuan yang bernaung dalam LSM, serta melalui berdirinya Pusat Studi Wanita di berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta. Wacana tentang teori feminisme pun semakin dikenal dengan istilah "gender". Akibatnya, terjadi pergeseran dalam gerakan perempuan di Indonesia, dari sekadar perjuangan emansipasi menuju kesetaraan gender dalam kerangka ideologi feminisme.
Perkembangan Feminisme Indonesia pada Masa Reformasi
[sunting | sunting sumber]Gerakan perempuan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari reformasi menuju demokrasi. Salah satu pencapaian penting dalam gerakan ini adalah terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden perempuan pertama Indonesia pada tahun 2001. Selain itu, pengesahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 menetapkan kuota 30% keterwakilan perempuan di lembaga legislatif (Pasal 65 Ayat 1). Penetapan kuota ini menjadi langkah strategis bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, turut serta dalam proses pengambilan keputusan, serta menyuarakan aspirasi yang selama ini kurang mendapat perhatian. Selain itu, kebijakan ini juga diharapkan dapat mendorong perubahan sosial menuju masyarakat yang lebih inklusif, setara, dan demokratis.[3]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ Krisbiyantoro, Puji Lestari (February 2016). "FEMINISME SEBAGAI TEORI DAN GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA". ResearchGate. Diakses tanggal 8 Maret 2025.
- ^ "Sejarah Singkat Perjalanan Jurnalis Perempuan di Indonesia". kumparan. Diakses tanggal 2025-03-08.
- ^ "Fathurrosi", "Fathurrosi" (2018). "SEJARAH PERKEMBANGAN POLITIK PEREMPUAN DI INDONESIA (Analisis Masa Orde Lama-Reformasi dan Perspektif Al-Qur`an)". Jurnal Studi Gender dan Anak. 5 (1): 113–126.