Salima Sultan Begum
Salima Sultan Begum | |
---|---|
Khadija-uz-Zamani | |
Kelahiran | 23 Februari 1539 |
Kematian | 15 Desember 1612 (umur 73) Delhi, India |
Pemakaman | Mandarkar Garden, Agra |
Pasangan |
|
Keturunan | Murad Mirza (adopsi) |
Wangsa | Naqshbandi (kelahiran) Timurid (pernikahan) |
Ayah | Khwaja Nur-ud-din Muhammad Mirza |
Ibu | Shahzadi Gulrukh Begum |
Agama | Islam |
Salima Sultan Begum (23 Februari 1539 – 15 Desember 1612) adalah Ratu Kekaisaran Mughal sebagai istri Kaisar Akbar. Salima sebelumnya telah menikah dengan Bairam Khan dan setelah pembunuhan di 1561, ia kemudian menikah dengan sepupu pertamanya, Kaisar Akbar.[1]
Latar Belakang
[sunting | sunting sumber]Salima adalah putri Nurruddin Muhammad Mirza dan Gulrukh Begum (terkadang disebut Gulbarg Begum atau Gulrang Begum). Ayahnya adalah keturunan Khwaja Hasan Naqshbandi dari klan sufi terkemuka, Naqshbandi yang menjabat sebagai Raja Muda Kannauj. Ia juga berkerabat dengan Sultan Abu Sa'id Mirza (kaisar keempat Timurid) melalui putranya, Sultan Mahmud Mirza.
Sementara Gulrukh Begum adalah putri Babur, pendiri Kekaisaran Mughal. Identitas ibunya masih dipertanyakan apakah Saliha Sultan Begum atau Dildar Begum, atau mungkin Saliha Sultan adalah sebutan lain Dildar.
Seperti keluarga kerajaan lainnya, Salima mendapat pendidikan yang baik. Ia mahir berbahasa Persia dan berbakat dalam sastra. Namanya muncul dalam sejarah sebagai pembaca, penyair, yang menulis dengan nama samaran Makhfi (مخفی, "Hidden One") yang kemudian diadopsi sebagai nama pena oleh Putri Zebun Nissa.
Pernikahan
[sunting | sunting sumber]Salima menikah pada usia 18 tahun dengan Bairam Khan yang berusia lima puluhan. Bairam adalah pejabat militer terkemuka Mughal yang menikahi Salima sebagai istri kedua. Selepas kematian Bairam Khan pada tahun 1561, Salima merawat putra tirinya, Abdul Rahim.
Akbar menikah dengannya pada tahun yang sama, menjadikannya istri ketiga yang berusia sekitar tiga setengah tahun lebih tua. Selain kepala ratu Ruqaiyya yang memiliki garis keturunan Babur dari pihak ayah, Salima juga istri Akbar yang memiliki garis keturunan mulia sebagai cucu Babur dari pihak ibu. Ini menjadikannya menempati kedudukan tinggi diantara istri-istri Akbar yang lain. Sama seperti pernikahan pertamanya, pernikahan kedua Salima tidak menghasilkan keturunan. Ia mengadopsi Murad Mirza, putra Akbar yang lahir dari pelayan istana.
Politik
[sunting | sunting sumber]Salima Begum adalah wanita dengan posisi senior di harem kekaisaran. Karena itu, dia memegang pengaruh politik utama di Pengadilan Istana dan di Kekaisaran.[2] Pangeran Salim mendapat pengampunan dari Akbar dari pemberontakan yang dilancarkannya tahun 1603 atas upaya ibu tirinya, Salima dan neneknya, Hamida. Setelah kematian Akbar, Pangeran Salim naik takhta sebagai Sultan Jahangir. Salima bersama ibu Jahangir, Mariam-uz-Zamani dan saudari tirinya, Shakrun Nissa Begum memohon ampunan untuk Khusrau Mirza, putra sulung Jahangir. Salima kembali menggunakan pengaruhnya untuk memohon ampunan bagi Mirza Aziz Koka, saudara sepersusuan Akbar yang membantu Khusrau Mirza dalam pemberontakan melawan ayahnya.
Kematian
[sunting | sunting sumber]Salima terserang penyakit dan akhirnya meninggal tahun 1613 di Agra. Jahangir sangat menghormatinya dan memerintahkan pemakaman mayat Salima di Taman Mandarkar, Agra.
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-07-06. Diakses tanggal 2014-12-11.
- ^ Eraly, Abraham (2000). Emperors of the Peacock Throne : the Saga of the Great Mughals (edisi ke-[Rev. ed.].). Penguin Books. hlm. 225. ISBN 9780141001432.
Bibliografi
[sunting | sunting sumber]- Begum, Gulbadan (1902). The History of Humayun (Humayun-Nama). Royal Asiatic Society. ISBN 81-87570-99-7.