Rumah Gadang Baanjuang Tanjung Raya

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Rumah Gadang Baanjuang (Nur Sutan Iskandar)
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Cagar budaya Indonesia
KategoriBangunan
No. RegnasCB.615
Lokasi
keberadaan
Agam, Sumatera Barat
No. SKPM.86/PW.007/MKP/2011
Tanggal SK17 Oktober 2011
Tingkat SKMenteri
PemilikKeluarga Besar Rumah Gadang Baanjuang
PengelolaBPCB Batusangkar
Koordinat0°21′04″S 100°13′10″E / 0.3511915°S 100.2194123°E / -0.3511915; 100.2194123
Rumah Gadang Baanjuang Tanjung Raya di Sumatera Barat
Rumah Gadang Baanjuang Tanjung Raya
Rumah Gadang Baanjuang Tanjung Raya
Lokasi Rumah Gadang Baanjuang di Kabupaten Agam

Rumah Gadang Baanjuang adalah salah satu objek wisata berupa bangunan Rumah Gadang, rumah adat suku Minangkabau yang terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Bangunan ini juga dikenal dengan nama Rumah Gadang Baanjuang Nur Sutan Iskandar karena rumah ini merupakan milik keluarga sastrawan Nur Sutan Iskandar, seorang sastrawan Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka. Rumah ini sekarang dipelihara oleh ahli warisnya yang bernama Ibu Romlah, adik bungsu Sutan Iskandar dari lain ibu. Bangunan ini telah dimasukkan ke dalam situs cagar budaya Indonesia dengan SK Menteri NoPM.86/PW.007/MKP/2011 kategori Benda Cagar Budaya tahun 2011 dengan nomor Registrasi Nasional RNCB.20111017.02.000615, dan saat ini dikelola oleh BP3 Batusangkar.

Lokasi[sunting | sunting sumber]

Rumah Gadang Baanjuang ini terletak di komplek pasar Nagari Sungai Batang, Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lokasinya sendiri tidak begitu jauh dari lokasi situs cagar budaya lainnya yaitu Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka, rumah kelahiran Buya Hamka. Di sebelah Rumah Gadang Baanjuang, terdapat pula Rumah Baca Nur Sutan Iskandar, bangunan yang didirikan oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Agam pada tahun 2006 yang menyimpan beberapa karya populer Balai Pustaka, utamanya karya dari Nur Sutan Iskandar.[1][2]

Karakteristik[sunting | sunting sumber]

Dilihat dari sisi arsitekturnya, rumah gadang ini cukup unik karena memiliki perbedaan yang agak mencolok bentuk rumah gadang pada umumnya. Biasanya bagian samping kanan dan kiri dari rumah gadang berbentuk lurus, tetapi Rumah Gadang Baanjuang ini pada bagian samping kanan dan kirinya melebar seolah-olah membentuk teras samping, di mana teras samping inilah yang merupakan anjuang. Selain itu, biasanya lantai bagian anjuang lebih tinggi, tetapi rumah gadang ini lantainya rata atau permukaannya sama dengan lantai pada bagian utama.[3]

Rumah ini terbagi menjadi dua ruangan, yaitu ruangan utama dan ruangan tidur. Ruangan utama merupakan ruangan terbuka yang berukuran 5 x 12,6 m, jadi segala kegiatan yang dilakukan selain di kamar tidur akan terlihat ketika memasuki ruang utama. Sementara ruangan tidur, sesuai namanya adalah ruangan yang fungsi utamanya sebagai kamar tidur, di mana kamar pertama merupakan kamar untuk keluarga inti sementara kamar lainnya merupakan kamar tamu untuk kerabat yang datang dari luar daerah.[3]

Kondisi terkini[sunting | sunting sumber]

Meskipun menjadi salah satu benda cagar budaya, daya tarik Rumah Gadang Baanjuang ini masih kalah dibandingkan dengan objek wisata lain seperti Danau Maninjau dan Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka. Ini dikarenakan pengelolaan serta perawatan yang kurang mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat setempat.[1]

Biasanya, komplek cagar budaya Nur Sutan Iskandar, terutama Rumah Baca ramai dikunjungi pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah, karena kaya bahan bacaan. Namun beberapa tahun belakangan, pelajar semakin sedikit mengunjungi Rumah Baca peninggalan penulis dan pujangga nasional asal Danau Maninjau tersebut.[1]

Salah satu pengelola rumah baca sekaligus keponakan dari almarhum Nur Sutan Iskandar, Jusni menyebutkan bahwa ia sangat prihatin atas minimnya minat baca pelajar saat ini. Seharusnya, untuk mendapatkan ilmu, dibutuhkan bahan bacaan sebagai referensi dan wawasan. Padahal perpustakaan tersebut menyediakan buku bacaan yang sangat kaya dengan ilmu pengetahuan. Bahkan ada buku karangan sastrawan asal Belanda dan Inggris yang juga menjadi koleksi yang langka.[1]

Jusni juga berharap kepada pemerintah daerah untuk menambah buku-buku lainnya, sehingga bahan bacaan semakin menari minat baca generasi penerus, khususnya di Kecamatan Tanjung Raya Maninjau. Tidak hanya itu, ia juga berharap agar komplek dari mendiang pamannya tersebut kembali diminati serta mampu menarik pengunjung untuk datang bukan sekadar untuk membaca. Menurutnya saat ini bahan bacaan semakin menipis karena banyak pengunjung yang meminjam dan sering dibawa tanpa sepengetahuan penjaga atau pengelola. Dan untuk mengatasi hal tersebut, pengelola akan memperketat pengunjung, terutama yang suka meminjam dan membawa buku keluar dari Rumah Baca. Mereka juga berharap kepada Pemerintah Daerah maupun donator lainnya untuk menambahkan buku-buku terbaru yang dapat menarik pelajar membaca buku di Rumah Baca Nur Sutan Iskandar.[1]

Baik Rumah Baca maupun Rumah Gadang Baanjuang yang berada dalam satu komplek ini butuh perhatian lebih dari masyarakat sekitar, agar bisa menjadi salah satu objek wisata yang juga diperhatikan mengingat potensi yang diberikan oleh situs cagar budaya ini masih layak untuk dikembangkan lebih baik lagi.

Referensi[sunting | sunting sumber]

Pranala luar[sunting | sunting sumber]