Revolusi Industri 4.0

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Revolusi Industri 4.0 merupakan transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional menurut Angela Merkel (2014).[1] sedangkan menurut Schlechtendahl dkk (2015) revolusi industri 4.0 menekankan definisi kepada unsur kecepatan dari ketersediaan informasi, yaitu sebuah lingkungan industri di mana seluruh entitasnya selalu terhubung dan mampu berbagi informasi satu dengan yang lain. Pengertian yang lebih teknis disampaikan oleh Kagermann dkk (2013) bahwa Industri 4.0 adalah integrasi dari Cyber Physical System (CPS) dan Internet of Things and Services (IoT dan IoS) ke dalam proses industri meliputi manufaktur dan logistik serta proses lainnya.

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Revolusi Industri[2] adalah kondisi yang mempengaruhi banyak aspek kehidupan oleh perubahan global. Proses produksi atau jasa yang awalnya sulit, butuh waktu dan proses yang lama, butuh biaya atau modal yang mahal untuk menjadi lebih mudah, lebih cepat, dan lebih murah dalam prosesnya. Jauh sebelum terjadi Revolusi Industri, manusia memproduksi barang atau jasa dengan mengandalkan tenaga otot, tenaga air, dan tenaga angin. Hal ini memiliki kendala yang sangat besar, karena tenaga - tenaga tersebut sangat terbatas oleh jumlah dan usia. Sebagai contoh tenaga otot yang digunakan untuk mengangkat barang berat akan membutuhkan waktu beristirahat secara berkala bahkan meskipun telah menggunakan katrol sebagai bentuk efisiensi waktu dan tenaga tetapi ternyata hal tersebut tidak dapat membantu proses pekerjaan itu. Keterbatasan tenaga otot tersebut akhirnya digantikan oleh tenaga air atau tenaga angin sebagai sumber energi dalam proses penggilingan. Tetapi tenaga uap dan anginpun terkendala dengan lokasi. Tenaga tersebut hanya dapat diperoleh di daerah yang dekat dengan ar terjun dan di daerah yang berangin.

Revolusi Industri 1.0[sunting | sunting sumber]

Revolusi ini dimulai pada tahun 1776 yaitu dengan ditemukannya mesin uap oleh James Watt. Mesin uap yang ditemukan oleh James Watt itu memiliki efesiensi yang jauh lebih murah dibandingkan mesin uap sebelum tahun 1776. Mesin uap ini menggunakan energi dari kayu dan batu bara. Sebagai bukti efisensinya, mesin uap tersebut mampu menggerakan kapal - kapal selama 24 jam penuh. Sejak ditemukan mesin uap tersebut , Negara - negara Imperialis di Eropa mulai melakukan ekspansi atau penjajahan di kerajaan - kerajaan Afrika dan Asia. Selain dampak penjajahan, dampak yang lain mulai terjadi pencemaran lingkungan yang dihasilkan dari penggunaan mesin - mesin uap tersebut sebagai penghasil berbagai produk.

Revolusi Industri 2.0[sunting | sunting sumber]

Revolusi Industri Kedua terjadi pada awal abad ke-20. Revolusi industri ini ditandai dengan penemuan listrik oleh Thomas Alfa Edison.[3] Tenaga otot dan mesin uap sudah tergantikan oleh tenaga listrik. Walaupun begitu, masih ada beberapa kendala yang menghambat proses produksi di pabrik, yaitu masalah transportasi. Untuk mengatasi kendala tersebut maka di akhir 1800-an, mulai dikenal mobil dan mulai diproduksi secara massal. Produksi massal ini membutuhkan proses yang lama dalam penyelesaiannya karena pada proses perakitan mobil dibutuhkan banyak orang, artinya untuk proses perakitan masih membutuhkan tenaga manusia.

Seiring dengan perkembangan, mulai ditemukan dan sekaligus digunakan "ban berjalan" atau conveyor belt pada 1913. Ban berjalan mengakibatkan proses produksi berubah total karena untuk menyelesaikan satu mobil, tidak diperlukan satu orang untuk merakit dari awal hingga akhir. Setiap orang akan menjadi spesialis yang mengurus satu bagian saja. Para perakit tersebut juga dibantu oleh alat-alat yang menggunakan tenaga listrik, sehingga pekerjaan tersebut jauh lebih mudah dan murah daripada tenaga uap.

Revolusi industri 2.0 ini juga berdampak pada kondisi militer pada perang dunia II. Ribuan tank, pesawat, dan senjata diciptakan dari pabrik-pabrik yang menggunakan lini produksi dan ban berjalan. Hal ini mempermudah terjadinya produksi massal. Perubahan lain yang terjadi adalah masyarakat agraris menjadi masyarakat industri boleh dibilang menjadi komplet.

Revolusi Industri 3.0[sunting | sunting sumber]

Revolusi Industri 2.0, manusia masih diberi peran yang sangat vital dalam proses produksi berbagai macam jenis barang. Tetapi, pada Revolusi Industri 3.0, manusia tidak lagi memegang peranan penting karena peran manusia sudah digantikan oleh mesin bergerak yang mampu berpikir secara otomatis, yaitu komputer dan robot. Salah satu komputer pertama digunakan perang dunia II[4] yaitu mesin komputer Colossus yang mampu memecahkan kode buatan Nazi Jerman. Komputer tersebut berupa mesin raksasa berukuran sebesar ruang tidur yang tidak memiliki RAM sehingga tidak bisa diprogram untuk menerima perintah dari manusia melalui keyboard. Komputer tersebut hanya mampu menerima perintah melalui pita kertas dengan daya listrik sangat besar, yaitu 8.500 watt.

Seiring berjalannya waktu, kemajuan teknologi komputer berkembang sangat pesat setelah selesainya perang dunia kedua. Penemuan transistor, semikonduktor dan dilanjutkan dengan penemuan integrated chip (IC) membuat ukuran komputer semakin kecil sehingga energi listrik yang dbutuhkan juga semakin kecil, serta kemampuan berhitungnya juga semakin canggih.

Semakin kecilnya ukuran komputer tersebut menyebabkan komputer - komputer tersebut dapat dipasang di mesin-mesin pengoperasian produk tertentu. Keberadaan komputer ini telah mengganti peran manusia baik sebagai operator maupun sebagai pengendali produksi industri. Mengecilnya ukuran membuat komputer bisa dipasang di mesin-mesin yang mengoperasikan lini produksi.

Revolusi Industri 4.0[sunting | sunting sumber]

Revolusi yang sedang dihadapi saat ini. Meski masih dalam tahap proses pembenahan, tetapi dampaknya sudah dirasakan. Industri 4.0 adalah tren utama di dunia industri yang menggabungkan teknologi otomatisasi dengan teknologi siber. Jerman merupakan negara pencetus Industri 4.0 yang ditandai dengan strategi teknologi canggih pemerintah yang mengutamakan komputerisasi pabrik. Pada revolusi industri ini, tenaga manufaktur sudah menjadi tren otomasi dan pertukaran data meliputi sistem siber-fisik, cognitive computing dan lain-lain.

Tren tersebut telah mengubah pola pikir dan kehidupan manusia di berbagai bidang, termasuk dunia kerja, pendidikan bahkan gaya hidup masyarakatnya. Singkatnya, revolusi industri 4.0 menjadikan teknologi cerdas atau robot[5] sebagai pusat utama untuk menghubungkan berbagai bidang kehidupan manusia.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Merkel, Angela (2014). The Chancellor and Her World. Alma Books. hlm. 300. ISBN 9781846883187. 
  2. ^ Hamdan, Hamdan (2018). "INDUSTRI 4.0: PENGARUH REVOLUSI INDUSTRI PADA KEWIRAUSAHAAN DEMI KEMANDIRIAN EKONOMI". Nusamba. 3 (2): 1–8. doi:10.29407/nusamba.v3i2.12142. Diarsipkan dari [file:///C:/Users/DELL/Downloads/12142-Article%20Text-5939-1-10-20181021.pdf versi asli] Periksa nilai |url= (bantuan) (PDF) tanggal 2013-08-12. Diakses tanggal 2021-03-05.  line feed character di |title= pada posisi 41 (bantuan)
  3. ^ Nihar Awani, Wahyu Indra Permana (2015). Thomas alva edison saja juga pernah gagal / Wahyu Indra Permana. Yogyakarta: FlashBooks. hlm. 228. ISBN 978-602-296-109-3. 
  4. ^ Subiakto, Ari (2015). Kronik Perang Dunia II 1939-1945. Jakarta: Matapadi pressindo. ISBN 9786021634134. 
  5. ^ Arifin, M. Agus Syamsul (2017). "Rancang Bangun Prototype Robot Lengan Menggunakan Flex Sensor dan Accelerometer Sensor pada Lab Mikrokontroler STMIK Musirawas". ILKOM Jurnal Ilmiah. 9 (3): 255.