Rasisme lingkungan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Grafik yang menjelaskan keterhubungan antara rasisme lingkungan dan keadilan iklim

Rasisme lingkungan adalah istilah yang dikenal dalam Gerakan Keadilan Lingkungan. Gerakan ini muncul di Amerika Serikat pada dekade 1970an dan 1980an.[1] Istilah ini merujuk pada ketidakadilan lingkungan yang terjadi kelompok rasial tertentu melalui suatu kebijakan maupun praktik. Implementasi kebijakan lingkungan pada isu seperti lokasi pembuangan limbah beracun dan polusi yang dipusatkan di daerah tertentu dengan populasi penduduk ras atau etnis tertentu yang disignifikan adalah beberapa wujud rasisme lingkungan.[2]

Rasisme dan ketidakadilan lingkungan tak pernah lepas dari praktik kapitalisme dan penjajahan.[3] Hal ini tercermin dari adanya penetapan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah yang dikorbankan oleh negara. Wilayah yang dikorbankan ini dianggap sebagai wilayah miskin yang susah berkembang. Pabrik-pabrik industri kimia misalnya, dibangun secara khusus di daerah-daerah tempat orang miskin dan orang kulit berwarna tinggal. Mereka ini adalah kelompok yang termarginalkan karena memang negara tak memberikan mereka kesempatan sedari awal.[3] Rasisme lingkungan terbukti dalam praktik-praktik tidak menguntung yang membuat kelompok ras minoritas di Amerika Serikat, serta orang-orang non-kulit putih lainnya di seluruh dunia menanggung beban bahaya lingkungan yang berlebihan dan jauh daripada semestinya.[4]

Definisi[sunting | sunting sumber]

Istilah "rasisme lingkungan" pertama kali dicetuskan di Amerika Serikat. Istilah ini mulai digunakan oleh aktivis dan peneliti lingkungan yang menemukan adanya hubungan antara permasalah lingkungan dan ras. Lebih lanjut, "rasisme lingkungan" mulai dikenal tatkala The Commission for Racial Justice merilis laporan yang mengklaim, "Ras telah menjadi salah satu faktor dalam penempatan sebuah fasilitas limbah berbahaya komersial. Direktur eksekutif komisi, Benjamin Chavis menyimpulkan bahwa pola paparan kelompok-kelompok minoritas terhadap penempatan lokasi limbah yang tidak terkendali serta faslilitas limbah berbahaya komersial adalah bukti nyata adanya rasisme lingkungan."[5]

Latar Belakang[sunting | sunting sumber]

Sebagai salah satu istilah yang dikenal dalam Gerakan Keadilan Lingkungan, konsep rasisme lingkungan lahir dan berakar dari usaha dan kerja keras tokoh-tokoh yang menentang diskriminasi kebijakan publik terkait sampah di Texas. Sebuah penelitian menemukan bahwa antara 1930 hingga 1978, 82% semua sampah yang diproduksi di Houston dibuang ke wilayah permukiman warga Afro-Amerika, walaupun hanya 25% saja populasi kota itu yang merupakan warga Afro-Amerika.[3] Kejadian ini tidak terjadi secara acak, melainkan memang cukup lumrah pada masa tersebut di banyak negara bagian di sebelah selatan. Ketidakadilan ini memicu Robert D. Bullard untuk meneliti hubungan antara lingkungan dan ras pada 1978-1979 dengan cara mengumpulkan data dari tempat pembuangan akhir (TPA) untuk tuntutan hukum hak-hak sipil yang diajukan oleh istrinya di Houston terhadap pemerintah kota dan negara bagian. Robert dan istrinya saat itu kalah di pengadilan, tetapi konsep rasisme lingkungan lahir.[3]

Temuan[sunting | sunting sumber]

Sebuah penelitian tahun 2016 menunjukkan bahwa paparan terhadap polusi dalam jangka waktu yang lama berbanding atau berkorelasi dengan segreasi ras. Ras yang wilayah huniannya lebih tersegregasi biasanya menderita paparan polusi yang lebih parah. Sebuah artikel tahun 2012 dari Environmental Health Perspectives menemukan bahwa secara umum orang kulit berwarna memiliki potensi keterpaparan yang lebih tinggi ketimbang orang kulit putih. Selain itu, orang-orang keturunan Hispania menderita paparan klorida dua kali lebih banyak daripada masyarakat berkulit putih.[6]

Disebutkan bahwa masyarakat Afro-Amerika terpapar 1,5 kali lebih tinggi dibanding masyarakat berkulit putih, sedangkan kelompok masyarakat Hispania menderita paparan polusi 1,2 kali lebih dibanding kelompok berkulit putih non-Hispania.[6] Kelompok masyarakat miskin dan menengah ke bawah berisiko terpapar polusi 1,3 kali dibanding kelompok yang memiliki penghasilan cukup.[6]

Penyangkalan[sunting | sunting sumber]

Ada beberapa penulis yang tidak percaya dengan adanya "rasisme lingkungan" sebagaimana diklaim oleh sebagian orang.[7] Sudut pandang para penulis ini sebenarnya secara substansi tidak menolak realitas rasisme terinstitusi. Hal yang lebih mereka tekankan adalah di negara yang sebagian besar penduduknya mendapatkan pelayanan kesehatan dasar dan memiliki sumber air bersih, isu rasisme lingkungan ini hanya merupakan isu kecil yang tidak signifikan bila dibandingkan dengan isu-isu lain mengenai rasisme secara umum. Menurut mereka, ada permasalahan dan ketidakadilan yang lebih besar yang seharusnya diperhatikan seperti permasalahan pendidikan, pekerjaan, dan perumahan.[7]

Praktik yang saat ini merugikan minoritas dan kelompok yang secara ekonomi lebih lemah dianggap sebagian pihak sebagai sesuatu yang sah dan tidak perlu dipertanyakan secara moral. Mereka berargumen bahwa pembebanan masalah sampah dan limbah kepada kelompok "minoritas" adalah perkara ekonomis, bukan rasis. Dalam hal ini, praktik yang ada dipandang sudah cukup netral secara rasial.[8] Permasalahan yang timbul dari dekatnya kehidupan masyarakat kelompok minoritas dengan limbah-limbah berbahaya adalah persoalan kemiskinan. Hanya orang-orang miskinlah yang tetap bertahan di area seperti itu karena mereka tak cukup mampu untuk berpindah ke tempat yang lebih layak.[4] Usaha untuk mempertahankan praktik diskriminatif ini muncul karena rasisme adalah ilegal di Amerika Serikat. Sementara diskriminasi berdasarkan kekayaan terlepas orang-orang tersebut berasal dari ras mana saja diperbolehkan.[8]

Dampak terhadap kesehatan[sunting | sunting sumber]

Rasisme lingkungan berdampak pada kesehatan masyarakat yang tinggal dan bersinggungan langsung dengan lingkungan tercemar. Berbagai faktor yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan antara lain paparan racun kimia berbahaya di tempat pembuangan sampah dan sungai.[9] Paparan racun ini juga dapat melemahkan atau memperlambat pertumbuhan otak.[10] Bahaya ini juga memengaruhi kesehatan individu yang tinggal di komunitas ini, menunjukkan betapa pentingnya menjaga kualitas kesehatan lingkungan untuk memastikan bahwa populasi yang paling rentan pun mampu berdampingan dengan lingkungan dimana mereka menggantungkan hidup padanya.[11]

Salah satu organisasi perlindungan hewan asal Amerika Serikat, yakni 'In Defense of Animals', mengklaim bahwa peternakan intensif secara negatif mempengaruhi kualitas kesehatan warga sekitar. Mereka percaya bahwa tempat penampungan manure berkaitan dalam menghasilkan hidrogen sulfida dan mencemari persediaan air setempat, yang menyebabkan tingkat keguguran, cacat lahir, dan merebaknya wabah penyakit yang lebih tinggi di masyarakat. Peternakan ini ditempatkan secara tidak proporsional di daerah berpenghasilan rendah dan komunitas kulit berwarna. Risiko lainnya termasuk dalam hal ini paparan pestisida, aliran bahan kimia, dan zat partikel polusi di udara.[12] Kebersihan yang buruk di fasilitasagrikultur serta paparan bahan kimia juga dapat memengaruhi para pekerja di sektor pertanian, yang seringkali adalah orang kulit berwarna.[13]

Kasus Rasisme Lingkungan di Berbagai Negara[sunting | sunting sumber]

Amerika Serikat[sunting | sunting sumber]

Ada banyak sekali banyak kasus rasisme lingkungan di negara ini. Salah satunya terjadi di Chester, Pennsylvania. Kisah dari Chester ini terbilang klasik. Chester adalah kota dengan penduduk mayoritas Afro-Amerika di Kabupaten Delaware. Di antara kota-kota lain di Delaware, Chester termasuk yang paling miskin. Tekanan secara sosial, politik, dan ekonomi membuat daerah ini menjadi tempat pembuangan air. Chester menjadi tuan rumah bagi lima dari enam fasilitas pembuangan akhir sampah di Delaware. Ini menunjukkan bahwa terjadi diskriminasi dalam praktik lingkungN dengan penjatuhan beban yang lebih berat kepada area dengan penduduk orang kulit berwarna yang signifikan atau yang wilayahnya tergolong miskin. Praktik yang rasis ini akhirnyq menyadarkan kelompok masyarakat yang diberi beban berlebih untuk membentuk bangkit dan menyalurkan energi dan aktivisme mereka menentang ketidakadilan lingkungan yang terjadi.[14]

Kanada[sunting | sunting sumber]

Salah satu kasus rasisme lingkungan yang paling menonjol di Kanada terjadi di Halifax, Nova Scotia. Terdapat sebuah komunitas Afro yang tinggal di Halifax yang bernama Africville. Ppopulasinya kecil, tetapi komunitas ini cukup berkembang. Hambatan yang dihadapi kelompok ini datang dari kebijakan lingkungan yang sangat rasis. Walaupun membayar pajak, komunitas ini tidak diperhatikan oleh pemerintah khususnya pada pelayanan jasa tingkat dasar seperti akses terhadap air bersih, pembuangan limbah rumah tangga, dan manajemen pengelolaan sampah. Lokasi komunitas ini yang dekat dengan rumah sakit khusus penyakit, penjara, dan TPA menambah kesulitan hidup warganya.[2]

Pemerintah Halifax bahkan melakukan pemindahan paksa yang disertai dengan pembongkaran rumah secara paksa. Seringkali warga mendapatkan barang-barang pribadi mereka telah dimasukkan ke truk-truk sampah untuk dipindahkan ke tempat yang baru. Pemindahan secara paksa ini memisahkan masyarakat dari rumah dan kenangan masa kecil mereka serta dari tempat mereka bekerja. Dampaknya adalah terjadi penurunan pemasukan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat Afro.[2] Hambatan lain yang menghantui masyarakat Afro adalah peluang untuk maju di tempat kerja yang sulit serta mereka dan keluarga mereka masih terpapar pada kondisi berbahaya dan sering kali mengancam mereka dan komunitas mereka.[15]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Melosi, Martin (1995). "Equity, eco-racism and environmental history". Environmental History Review. 19 (3): 1–16. DOI:10.2307/3984909. JSTOR 3984909.
  2. ^ a b c "Why Canada's unions are highlighting environmental racism during Black History Month". The Canadian Labour Congress. 
  3. ^ a b c d "'Racism dictates who gets dumped on': how environmental injustice divides the world". The Guardian. 
  4. ^ a b Westra, Laura (2001). Faces of Environmental Racism: Confronting Issues of Global Justice. Rowman & Littlefield Publisher, Inc. hlm. 57. ISBN 0742512495. 
  5. ^ Hamilton, James T. (1995). "Testing for Environmental Racism: Prejudice, Profits, Political Power?". Journal of Policy Analysis and Management. Wiley (Association for Public Policy Analysis and Management). 10/1: 107–132. doi:10.2307/3325435. 
  6. ^ a b c "Trump's EPA Concludes Environmental Racism Is Real". The Atlantic. 
  7. ^ a b Cunningham, Anne C. (2018). Environmental Racism and Classism. Greenhaven Publishing, LLC. hlm. 8. ISBN 9781534500402. 
  8. ^ a b Westra, Laura (2001). Faces of Environmental Racism: Confronting Issues of Global Justice. Rowman & Littlefield Publisher, Inc. hlm. 58. ISBN 0742512495. 
  9. ^ The Lancet Planetary Health (2018-11). "Environmental racism: time to tackle social injustice". The Lancet Planetary Health (dalam bahasa Inggris). 2 (11): e462. doi:10.1016/S2542-5196(18)30219-5. 
  10. ^ Stange, Meta (2020-12-23). "Created Equal: Harriet Washington Unpacks Environmental Racism". WDET 101.9 FM (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-15. 
  11. ^ "The Effects of Noise on Health". hms.harvard.edu (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-15. 
  12. ^ "Animal Agriculture and Environmental Racism". IDA USA (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-05-15. 
  13. ^ "The Industrialization of Agriculture and Environmental Racism: A Deadly Combination Affecting Neighborhoods and the Dinner Table". www.iatp.org. Diakses tanggal 2023-05-15. 
  14. ^ Cole, Luke W. (2001). From the Ground Up: Environmental Racism and the Rise of the Environmental Justice Movement. New York University Press. hlm. 34. ISBN 0814715370. 
  15. ^ Waldron, Inggrid (2018). There's Something in the Water: Environmental Racism in Indigenous and Black Communities. Fernwood Publishing. ISBN 1773630571.