Pulingaw Puyuma

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Pulingaw dikenal sebagai dukun untuk masyarakat adat Taiwan, Puyuma dan Paiwan, yang pada umumnya akan memiliki peran yang sama sebagai pulingaw suku Puyuma dengan beberapa perbedaan. Pulingaw diklaim terpilih oleh leluhur mereka yang bertugas memilih, yang disebut kinitalian, yang seringkali ternyata adalah leluhur pulingaw sendiri, yang juga merupakan bentuk entitas rohani yang disebut birua. Kinitalian dapat memilih siapapun yang mereka inginkan sebagai pulingaw selanjutnya di antara anggota keluarganya sendiri atau keluarga samping. Meskipun perempuan yang sering dipilih untuk melanjutkan garis shamanisme, tidak semua pulingaw perempuan, ada kejadian-kejadian langka saat laki-laki yang dipilih untuk mengambil peran itu.[1] Namun, isu gender pulingaw masih merupakan perdebatan karena sumber-sumber tertentu bersikeras hanya perempuan yang menjadi pulingaw.[2] Pulingaw dianggap sebagai dokter, yang bertanggung jawab memediasi dan membawa kedamaian pada kekacauan sosial dan biologis. Mereka juga bertanggung jawab untuk berbagai ritual yang merentang dari upacara perburuan, eksorsisme, hingga upacara pemakaman.[3]

Peran[sunting | sunting sumber]

Pulingaw dianggap berada di atas dokter arus utama dan mereka memiiki status sosial sendiri yang signifikan di dalam komunitas Puyuma. Mereka memberi peran mengalihkan dan menyembuhkan penyakit-penyakit biologis dan sosiologis dan pada saat yang sama membuat roh pilihan mereka, kinitalian, senang.[4]

Pulingaw tidak menerima pelatihan sebelumnya. Mereka diharapkan mempelajari keahlian dengan mengikuti dan meniru apa yang dilakukan oleh pulingaw senior mereka.[4] Pekerjaan mereka meliputi mengunjungi rumah-rumah penerima jasa mereka ketika diminta dan memberi mereka proses penyembuhan rohani. Pulingaw juga diharapkan berpartisipasi dalam sebuah ritual tahunan, yang dikenal dengan pualasakan, yang terjadi di hari ketiga bulan ketiga. Ritualnya berlangsung selama delapan hari, dan dalam masa itu, pulingaw bernyanyi, menggunakan air, menyingkirkan tempat perlindungan racun mereka, dan pada malam terakhir pualasakan, pulingaw akan melantunkan 'kata-kata persembahan' dan berada dalam tahap yaulas, tahap ilahiah yang memperkenankan pulingaw berhubungan dengan biruas leluhur mereka. Ritual pualasakan juga melibatkan individu lain yang berurusan dengan hal gaib, yang dikenal sebagai benabulu, seringkali seorang laki-laki.[5]

Pulingaw yang berbeda entah kenapa memiliki praktik-praktik dan bahasa yang sama.[6] Mereka juga menjalankan ritual yaulas di mana mereka melakukan adat yaulas dan penjelmaan birua untuk berurusan dengan peristiwa-peristiwa biologis maupun sosiologis. Penanganan seperti ini mungkin memberi dampak netral, berguna atau bahkan merusak. Misalnya, untuk peristiwa biologis, jika tinabawan (salah satu dari tiga jiwa individu) seseorang dipengaruhi oleh birua leluhur mereka, yang kemungkinan besar tersinggung atau jengkel oleh sikap maupun tindakan seseorang, pulingaw akan berusaha memanggil birua dan memperbaiki situasinya. Selama ritual seperti itu berlangsung, buah pinang dan butiran tanah liat yang dibakar seringkali dipergunakan untuk memanggil birua atau bahkan untuk maksud mengusir roh jahat. Buah pinang juga digunakan sebagai penangkis roh yang mendendam, baik binatang maupun birua yang mengalami kehidupan tidak menyenangkan sebelum kematian mereka atau membawa dendam mereka saat kematian.[5]

Alasan utama kenapa sebagian besar individu yang terpilih menolak menjadi pulingaw adalah kebutuhan untuk menguasai kehidupan ganda. Karena sebagian besar pulingaw perempuan perlu menjalankan peran-peran yang diharapkan dari mereka, seperti memasak dan mengasuh anak. Karena mereka telah dianugerahi takdir itu, mereka juga harus mendatangi pasien, yang tidak dapat ditolak kecuali mereka sakit atau terluka parah. Kondisi sulit mereka ini merintangi mereka melakukan perjalanan pulang pergi ke lokasi-lokasi lainnya. Ada saat-saat pulingaw dibutuhkan untuk meninggalkan rumah mereka sendiri untuk mendatangi panggilan di siang hari, dan mereka tidak akan bisa pulang sampai keesokan paginya.[1]

Namun, pulingaw mengharapkan suatu bentuk pembayaran dari pasien-pasien mereka karena birua mereka telah memberitahu bahwa mereka tidak akan menyetujui melakukan pekerjaan yang 'tidak dibayar'. Jika tidak menerima pembayaran, pulingaw lah yang akan menderita hukuman dari birua karena, seperti yang disebutkan dalam paragraf sebelumnya, birua seringkali dipanggil untuk mengurus siksaan atau penderitaan individu. Pembayarannya biasanya dalam bentuk beberapa koin atau buah pinang, karena biayanya dibayarkan sesuai dengan kebijaksanaan pelanggan mereka. Jadi pembayaran dapat diterima dalam berbagai bentuk, bahkan hadiah. Sepanjang ada pembayaran, birua akan tetap senang.[1]

Asal mula[sunting | sunting sumber]

Ada klaim bahwa semula hanya ada satu dukun, yang bernama Samguan, seorang lelaki bersifat feminin, dan dialah yang merumuskan perdukunan di dalam suku Puyuma. Birua pemilih Samguan sangat mencintainya sehingga dia tidak menderita seperti yang dialami dukun-dukun berikutnya sebelum pentahbisannya. Proses pentahbisannya, dalam kenyataannya, sangat menarik. Dia mengklain ketika sedang membajak ladang, biruanya menjatuhkan satu tas (yang kemudian dia gunakan sebagai bagian dari ritual yaulasnya) dari langit dan mendarat dekat kakinya. Karenanya dia menerima peran sebagai pulingaw saat memungut tas itu. Di masa kini, pulingaw membawa tiruan tas ini (yang juga dikenal sebagai aliut) ke manapun mereka pergi.[1]

Katanya sebelum keberadaan Samguan, hanya ada miapali, yang dikenal sebagai orang-orang 'dengan mata yang jahat'. Orang-orang ini seringkali ditakuti dan diharapkan mengurung dan mengisolasi diri secara sosial dari masyarakat sekitarnya, untuk mencegah bentuk kontak apapun (terutama visual). Meskipun orang-orang yang mengasosiasikan diri mereka dengan hal gaib seperti miapali telah ada sejak lama, cukup mengejutkan untuk dicatat bahwa praktisi ritualistik yang dirumuskan sebagai pulingaw tidak ada sampai abad ke-19, karena Samguan baru berusia 25 tahun ketika bangsa Jepang tiba di Taiwan pada tahun 1895. Klaim ini, sampai jarak tertentu, menyebabkan sejumlah perdebatan di antara para dukun di masa lalu, karena sebagian pulingaw mempercayai dan mengklaim bahwa pulingaw lain, yang bernama Udekaw, yang seharusnya dianggap sebagai dukun pertama.[1]

Alasan di balik status Samguan yang diperoleh dengan baik kemungkinan besar karena sumbangannya dalam mencegah pemerintahan Jepang di Taiwan sepenuhnya memusnahkan dukun-dukun suku dan praktik-praktik mereka. Turun tangannya mungkin tidak langsung dilakukan terhadap pemerintahan Jepang dalam bentuk perang konfrontatif, tapi dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan dan kelas-kelas rahasia. Melalui berbagai perkumpulan dan kelas inilah Samguan menyampaikan pengetahuannya pada generasi pulingaw berikutnya. untuk menyesuaikan praktik-praktik mereka pada konteks lingkungan saat itu, pulingaw harus selalu menyadari situasi sekitar dan menghindari ditangkap oleh Jepang. Misalnya, untuk menghindari ditangkap Jepang, ritual-ritual seperti pualasakan hanya akan berlangsung satu kali setahun kapanpun. Tapi sebelumnya, ritual-ritual ini berlangsung kapanpun atau di manapun ada isu-isu kecil seperti penyakit.[1]

Pemilihan[sunting | sunting sumber]

Para leluhur pemilih (kinitalian) dikatakan mengunjungi kandidat-kandidat terpilih melalui berbagai cara dan akhirnya meminta para kandidat ini melalui pentahbisan yang membuat mereka menjadi pulingaw resmi. Leluhur pemilih dalam beberapa kejadian akan memilih individu berdasarkan pilihan pribadi tapi para individu ini harus keturunan leluhur pemilih. Setelah terpilih (sebelum menerima peran itu), para kandidat ini seringkali mengalah pada berbagai pengalaman mulai dari rasa sakit fisik yang ekstrem, yang tak dapat disembuhkan melalui cara pengobatan modern. Yang lainnya juga mengeluhkan sakit kepala yang parah dan untuk perempuan pulingaw, sebagian mengeluhkan kinitalian mereka tak punya belas kasihan sehingga kemarahan (kinitalian) mereka menyebabkan para perempuan ini mengalami keguguran. Masalah-masalah ini dalam beberapa kasus mungkin juga menimpa keluarga para kandidat, terutama jika biruanya merasa jengkel atau marah pada kandidat karena menolak takdir mereka. Dengan demikian, dalam kata lain, kadidat pulingaw terpilih tidak dapat menolak panggilan mereka dan harus mengungkap panggilan birua mereka.[4]

Ketika para kandidat ini telah menerima takdir menjadi pulingaw, kehidupan sebagian besar pulingaw seringkali dikatakan menjadi lebih baik, karena kinitalian mereka tidak lagi mengganggu mereka. Kemalangan semacam ini seringkali diasosiasikan dengan keengganan pulingaw untuk sepenuhnya mengabdikan diri pada panggilan pulingaw dengan meninggalkan keyakinan mereka atau yang lebih penting, menolak mengambil bagian dalam ritual pualasakan tahunan. Akibatnya, mereka dihukum oleh kinitalian melalui serangkaian malapetaka.[1]

Stereotipe laki-laki pulingaw[sunting | sunting sumber]

Sebelum kedatangan bangsa Jepang, suku Puyuma memiliki budaya berburu yang kuat dan menjadi bagian dari aktivitas berburu seringkali dilihat sebagai peran maskulin yang sebagian besar laki-laki diharapkan mengambil bagian di dalamnya. Namun, laki-laki yang feminin, juga dikenal sebagai fortiori, yang tidak mengambil bagian di dalam aktivitas berburu seringkali menjadi pulingaw. Laki-laki feminin pulingaw ini mirip dengan konsep Samoa untuk fa'afafine, dan sebagian dari mereka dalam kenyataannya memiliki anak. Konsep homoseksualitas tidak pernah ada dalam komunitas Puyuma dan laki-laki pulingaw masih dilihat sebagai laki-laki yang akan memenuhi peran gender yang sesuai dalam hal berhubungan seksual dengan orang lain, yaitu perempuan.[7]

Menimbang fakta bahwa konsep pulingaws cukup baru, laki-laki feminin sebelumnya mungkin diklasifikasi sebagai miapali karena mereka tidak cocok dengan ekspektasi sosial. Mungkin mereka juga dianggap sebagai mialigu, yang memiliki tenaga untuk menjadi atau bahkan membuat hal-hal di sekeliling mereka menjadi tak terlihat. Karenanya, baik miapali maupun mialigu dipercaya menjadi bagian dari konsep sosial yang biasa ditolak oleh tradisi orang Puyuma, karena tampaknya tidak menemui ekspektasi sosial dipengaruhi peran gender Puyuma.[1] Namun, hal ini akan membutuhkan lebih banyak kajian untuk mengonfirmasi pertanyaan yang ada mengenai klaim-klaim seperti itu.

Ada penjelasan lain yang mungkin untuk praktik-praktik pulingaw yang didominasi perempuan. Puyuma sebelumnya adalah masyarakat perburuan-perdukunan dan laki-laki yang bertanggung jawab untuk ritual dukun dan perburuan. Akhirnya, laki-laki Puyuma lebih terfokus pada praktik-praktik pertanian (dianggap sebagai praktik memalukan untuk laki-laki), mereka meninggalkan praktik-praktik perdukunan sebagian besar pada perempuan. Perubahan demografis sosial ini akhirnya menjadi permanen selama pemerintahan Jepang ketika perburuan dilarang.[1]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b c d e f g h i Cauquelin, J. (2004) The Aborigines of Taiwan; The Puyuma: from headhunting to the modern world. RoutledgeCurzon, London.
  2. ^ http://140.133.6.46/ETD-db/ETD-search/view_etd?URN=etd-0723110-171901[pranala nonaktif permanen]
  3. ^ http://www.ipcf.org.tw/ipcf/associate/tribe/tribeDetail.htmlCID=1FE45C38A00FAC61&sn=AEB8BBC40B9D7837143331A7531EBAF5[pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b c "Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2013-06-16. Diakses tanggal 2013-04-17. 
  5. ^ a b Cauquelin, J. (2004) The Aborigines of Taiwan; The Puyuma: from headhunting to the modern world. RoutledgeCurzon, London
  6. ^ Cauquelin, J. (2008) Ritual Texts of the Last Traditional Practitioners of Nanwang Puyuma. Institute of Linguistics, Academia Sinica, Taipei.
  7. ^ Cauquelin, J. (2004) The Aborigines of Taiwan; The Puyuma: from headhunting to the modern world. RoutledgeCurzon, London