Pukul Manyapu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Pukul Manyapu atau Baku Pukul Manyapu, adalah salah satu atraksi budaya khas Maluku Tengah yang diselenggarakan oleh dua negeru bertetangga di Jazirah Leihitu, Pulau Ambon bagian utara, yaitu Mamala dan Morella, Kecamatan Leihitu, Maluku Tengah. Berlangsung setiap 7 syawal (penanggalan Islam) di mana telah berlangsung dari abad XVII yang diciptakan seorang tokoh agama Islam dari Maluku bernama Imam Tuni. Tradisi ini dipertunjukkan sebagai perayaan keberhasilan pembangunan masjid yang selesai dibagun pada 7 syawal setelah Idul Fitri.

Kirab Budaya Pembukaan Perayaan 7 Syawal Di Desa Morella

Tradisi ini juga dikaitkan dengan w sejarah masyarakat setempat yaitu perjuangan Kapiten Tulukabessy beserta pasukannya pada masa penjajahan Portugis dan VOC pada abad ke-16 di tanah Maluku. Pasukan Tulukabessy bertempur untuk mempertahankan Benteng Kapapaha dari serbuan penjajah meskipun perjuangan mereka gagal dan Benteng Kapapaha tetap jatuh juga. Untuk menandai kekalahan tersebut, pasukan Tulukabessy mengambil lidi enau dan saling mencambuk hingga berdarah.

Tradisi Pukul Manyapu dipandang sebagai alat untuk mempererat tali persaudaraan masyarakat di Negeri Morella maupun Mamala. Dipertunjukan oleh pemuda yang dibagi dalam dua kelompok di mana setiap kelompoknya berjumlah 20 orang. Kedua kelompok dengan seragam berbeda itu akan bertarung satu sama lain. Kelompok satu menggunakan celana berwarna merah sedangkan kelompok lainnya menggunakan celana berwarna hijau. Pesertanya juga diwajibkan menggunakan ikat kepala untuk menutupi telinga agar terhindar dari sabetan lidi. Alat pukul dalam tarian ini adalah sapu lidi dari pohon enau dengan panjang 1,5 meter. Bagian tubuh yang boleh dipukul adalah dari dada hingga perut.

Jalannya Atraksi[sunting | sunting sumber]

Ketika atraksi dimulai, kedua kelompok akan saling berhadapan dengan memegang sapu lidi di kedua tangan. Ketika suara suling mulai ditiup sebagai aba-aba pertandingan dimulai kemudian kedua kelompok ini secara bergantian saling pukul menggunakan sapu lidi. Dimulai dengan kelompok bercelana merah memukul kelompok bercelana hijau atau sebaliknya. Ketika dimulai maka suara cambukan lidi di badan peserta akan terdengar dan darah pun keluar akibat sabetan lidi. Suasana ini akan membuat tubuh Anda bergidik.

Kehebatan dari tradisi pukul manyapu ini adalah bagaimana pesertanya seakan tidak merasa kesakitan walaupun tubuh mereka mengelurkan darah akibat dari sabetan lidi. Akan tetapi, jangan kaitkan itu dengan kekuatan mistis atau gaib, karena para peserta sebenarnya sudah melebur dalam semangat yang telah membenamkan rasa sakit.

Ketika pertempuran selesai, pemuda kedua desa tersebut menggobati lukanya dengan menggunakan getah pohon jarak. Ada juga yang mengoleskan minyak nyualaing matetu (minyak tasala) di mana mujarab untuk mengobati patah tulang dan luka memar. Dalam beberapa minggu luka-luka ini akan sembuh tanpa berbekas.

Potensi Wisata[sunting | sunting sumber]

Tradisi pukul manyapu merupakan perayaan yang ditunggu-tunggu warga dan wisatawan setiap tahunnya. Desa ini akan padat bahkan di pagi hari sebelum acara di mulai (karena acara biasanya dilangsungkan pada sore hari). Anda dapat melihat proses pembuatan pohon enau menjadi sebuah lidi dan juga pengolahan minyak kelapa untuk pengobatan selepas tradisi ini. Selain itu, tradisi ini juga diramaikan dengan permainan rebana, karnaval budaya, dan pertunjukan tari lokal seperti tari putri, tari mahina, dan tari perang. Dikabarkan, desa Mamala dan desa Morella meraup untung dari kedatangan wisatawan baik lokal, regional maupun internasional terutama dari Belanda.

Referensi[sunting | sunting sumber]