Niwatakawaca

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
(Dialihkan dari Prabu Niwatakawaca)
Niwatakawaca
निवतकवच
Lukisan gaya Bali yang menggambarkan Prabu Niwatakawaca bersama bidadari Supraba, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kakawin Arjunawiwaha. Lukisan karya Ida Made Tlaga, sekitar tahun 1920-an, kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Lukisan gaya Bali yang menggambarkan Prabu Niwatakawaca bersama bidadari Supraba, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kakawin Arjunawiwaha. Lukisan karya Ida Made Tlaga, sekitar tahun 1920-an, kini disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Tokoh dalam mitologi Hindu
NamaNiwatakawaca
Ejaan Dewanagariनिवतकवच
Ejaan IASTNivatakavaca
Kitab referensiRamayana, Mahabharata
KediamanKota Manimati di dasar samudra
Golonganasura
Klandetya

Dalam mitologi Hindu, Niwatakawaca (Dewanagari: निवतकवच; ,IASTNivatakavaca, निवतकवच) adalah kelompok asura (sejenis makhluk supranatural), keturunan Diti.[1] Mereka tinggal di dasar samudra. Istilah Niwatakawaca sendiri berarti "baju zirah yang kebal".[2]

Dikisahkan bahwa mereka termasuk kaum detya karena merupakan keturunan Diti. Mereka ahli dalam sihir dan peperangan, memiliki senjata-senjata mematikan, dan bertindak semena-mena, tetapi juga berjaya dan masyhur. Mereka kerap berseteru dengan para dewa yang dipimpin oleh Indra. Makhluk ini dibinasakan oleh Arjuna, kesatria dalam wiracarita Mahabharata, atas permintaan Indra.

Dalam kisah yang diadaptasi ke dalam pewayangan dan kakawin, Niwatakawaca adalah seorang raja raksasa yang berseteru dengan Dewa Indra. Sebagaimana kisah Mahabharata, ia dikalahkan oleh Arjuna. Kisah wayang dan kakawin menambahkan tokoh sisipan bernama Supraba yang berperan penting dalam alur cerita tersebut.

Dalam sastra Hindu[sunting | sunting sumber]

Ramayana[sunting | sunting sumber]

Dalam kitab Ramayana dikisahkan bahwa para Niwatakawaca adalah makhluk yang meneror dunia, bertempat tinggal di dasar samudra, dan mendirikan kota Manimati setelah mendapatkan anugerah dari Dewa Brahma. Menurut Ramayana, raja raksasa Rahwana beserta putranya Meganada (Indrajit) dan Atikaya mengerahkan pasukan mereka untuk menaklukkan para Niwatakawaca, tetapi tidak berhasil. Setelah peperangan berlangsung selama berabad-abad, kedua belah pihak akhirnya didamaikan oleh Dewa Brahma. Sejak saat itu kaum raksasa bersekutu dengan para Niwatakawaca.[3]

Mahabharata[sunting | sunting sumber]

Kisah pertempuran antara Arjuna melawan Niwatakawaca tercatat dalam bentuk cerita berbingkai, dalam naskah Mahabharata ketiga, yaitu Wanaparwa. Dalam Wanaparwa disebutkan bahwa jumlah Niwatakawaca sekitar 30 juta. Mereka dibinasakan oleh kesatria Arjuna, yang ditugaskan oleh Indra, pemimpin para dewata. Indra memberikan dukungan kepada Arjuna berupa kereta perang, lengkap dengan kusirnya yang bernama Matali.

Saat Arjuna menggempur kota mereka, ia mengerahkan senjata astra-nya ke arah para Niwatakawaca yang mendekat. Sementara itu, para danawa yang menyebarkan sihir mereka sehingga kusir kereta Arjuna menjadi tidak sadar diri. Arjuna membangunkannya dan menghalau sihir tersebut dengan senjata sakti. Akhirnya, Arjuna mengeluarkan senjata pamungkas dewa Indra, yaitu bajra.

Setelah kembali dari medan pertempuran, Arjuna menceritakan kota para Niwatakawaca yang melayang di angkasa. Ia menyatakan bahwa kota tersebut lebih megah daripada kediaman para dewa yang pernah ia saksikan sebelumnya.[4]

Dalam budaya Indonesia[sunting | sunting sumber]

Kitab Mahabharata dari India telah menyebar ke Nusantara pada masa perkembangan kerajaan Hindu-Buddha (c. abad ke-5 hingga ke-7 M). Sebagian dari kumpulan kitab tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Kuno dan diadaptasi menjadi pertunjukkan wayang kulit. Dalam lakon wayang yang mengadaptasi kisah Mahabharata, Niwatakawaca adalah nama seorang tokoh, bukan merujuk kepada suatu kaum. Tokoh tambahan bernama Dewi Supraba disisipkan ke dalam adaptasi tersebut, dan berperan sebagai tokoh penting yang menentukan alur cerita. Kisah sisipan itu tercatat dalam suatu karya sastra Jawa Kuno berjudul Kakawin Arjunawiwaha.

Pewayangan Jawa[sunting | sunting sumber]

Prabu Niwatakawaca sebagai tokoh pewayangan Jawa.

Menurut pewayangan Jawa, Niwatakawaca adalah raksasa penguasa Negeri Imaimantaka, yang terletak di selatan wilayah Atas Angin. Penduduk di Negeri Imaimantaka adalah bangsa kasatmata sejenis gandarwa. Prabu Niwatakawaca berwatak temperamental, mudah marah dan gampang tersinggung meskipun tidak begitu luas wawasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya. Ia mencita-citakan mempersatukan seluruh dunia wayang, tetapi dengan menggunakan upaya-upaya penaklukan, ancaman kekuatan dan kekerasan.

Kehancuran Prabu Niwatakawaca terjadi setelah ia sesumbar untuk menaklukkan Negeri Jonggring Saloka, tempat bermukim bangsa dewa, karena merasa tersaingi dengan negeri Amarta yang dipimpin oleh Prabu Yudistira. Niwatakawaca melihat bahwa negeri Amarta yang baru berdiri beberapa tahun sudah mampu mendirikan istana yang begitu megah dan mengundang jamuan makan selama 40 hari bagi semua raja dan punggawa di seluruh dunia wayang.

Rencana penyerangannya diketahui oleh Raden Arjuna. Dengan meminta pertolongan pada Raden Gatotkaca, Arjuna menghadang pasukan gandarwa yang dipimpin oleh Niwatakawaca. Pertempuran berlangsung di langit Saloka hingga ke pelataran padepokan milik Batara Indra. Di situlah Prabu Niwatakawaca menemui ajalnya setelah Arjuna menyarangkan satu anak panah Sarotama ke kerongkongannya.

Kakawin Arjunawiwaha[sunting | sunting sumber]

Lukisan Bali yang disimpan di Universitas Leiden, Belanda, menggambarkan Arjuna menaiki kereta perang yang dikemudikan Matali, melesatkan panah ke mulut Prabu Niwatakawaca.

Dalam kisah Arjunawiwāha, Arjuna mendapatkan sepucuk panah mahasakti bernama Pasupati dari Batara Guru sendiri atas keunggulannya dalam laku tapa di puncak Gunung Indrakila. Namun sebuah tugas berat mesti dipikulnya. Arjuna harus menghancurkan kekuatan Prabu Niwatakawaca yang mengancam dan menyebarkan ketakutan di dunia manusia dan para dewa, dan hanya dapat dihancurkan oleh manusia sakti yang mampu menahan semua nafsu duniawinya.

Dewi Supraba menjadi duta para dewa untuk mendampingi Arjuna ke kerajaan Manimantaka untuk mencari rahasia kematian Prabu Niwatakawaca dengan berpura-pura bersedia menjadi istrinya. Kali ini usaha Dewi Supraba berhasil karena ia berhasil membuat Prabu Niwatakawaca menyebutkan rongga mulutnya sebagai rahasia kematian. Arjuna, yang selama percakapan antara sang bidadari dengan sang asura menyembunyikan diri dengan membuat dirinya tak terlihat, kemudian bertindak mengalihkan perhatian Prabu Niwatakawaca dengan menghancurkan gerbang istana sehingga menimbulkan kegaduhan.

Prabu Niwatakawaca meninggalkan Dewi Supraba dalam kamar seorang diri untuk memeriksa sumber keributan itu. Kesempatan ini digunakan oleh sang bidadari untuk terbang meninggalkan istana menyusul Arjuna. Setelah mengetahui rahasia kematian sang asura, Arjuna memimpin pasukan kahyangan menghancurkan kekuatan Manimantaka dan menewaskan Prabu Niwatakawaca dengan panah sakti Pasupati.

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ Vyasa, Krishna-Dwaipayana (1883–1896). "Book 3 Sections 168". The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa Translated into English Prose. Calcutta: Bharata Press. 
  2. ^ Dowson, John (1888). A Classical Dictionary of Hindu Mythology and Religion, Geography, History, and Literature (dalam bahasa Inggris). London: Trübner. hlm. 269. 
  3. ^ Mani, Vettam (1975). Purāṇic Encyclopaedia. Delhi: Motilal Banarsidass. ISBN 0842608222. 
  4. ^ Vyasa, Krishna-Dwaipayana (1883–1896). "Book 3 Sections 167-173". The Mahabharata of Krishna-Dwaipayana Vyasa Translated into English Prose. Calcutta: Bharata Press.