Peternakan bulu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peternakan Cerpelai yang berada di Amerika Serikat
Peternakan cerpelai yang berada di Polandia

Peternakan bulu atau rambut hewan adalah praktik memelihara hewan spesies tertentu dengan tujuan untuk dimanfaatkan rambutnya sebagai bahan-bahan industri.[1] Beberapa spesies hewan yang paling sering dieksploitasi dalam perdagangan rambut yaitu cerpelai, chinchilla, kelinci, rubah, dan juga koyote.[2][3]

Rambut yang berasal dari hewan alam liar tidak dianggap sebagai rambut hewan yang dibudayakan, malah sebaliknya dikenal sebagai "rambut hewan liar". Sebagian besar rambut hewan yang digunakan oleh berbagai penjuru dunia dihasilkan oleh para peternak bulu Eropa.[4][5]

Sejarah[sunting | sunting sumber]

Pada zaman Batu, orang biasanya menguliti hewan untuk diambil rambutnya dan digunakan sebagai alat pelindung diri, karena ketika itu mereka tidak memiliki kain. Selain itu, sebagian besar kulit hewan yang mereka gunakan tersebut berasal dari hewan yang telah mereka bunuh untuk dijadikan sebagai makanan dan keperluan lainnya. Tujuan mereka mengambil rambut hewan tersebut adalah untuk dijadikan pelindung diri ketika musim dingin, sehingga mereka dapat terhindar dari penyakit hipotermia.[6]

Sementara praktik peternakan rambut yang sering terjadi saat ini menggunakan hewan yang bahkan masih tergolong muda untuk dibunuh dan diambil rambutnya. Bahkan dalam beberapa kasus, hewan yang telah dibunuh dikirim ke kebun binatang untuk dijadikan sebagai makanan.[5]

Spesies hewan[sunting | sunting sumber]

Rambut kucing

Cerpelai dan rubah merupakan spesies hewan yang paling sering diternakkan untuk diambil rambutnya.[7][8] Selain cerpelai dan rubah, ada juga spesies hewan lain yang dapat diambil rambutnya, seperti chinchilla, kelinci, dan koyote. Dalam beberapa kasus, chincilia dan kucing bahkan dikawin silangkan agar dapat menghasilkan warna bulu baru yang memuaskan bagi konsumen. Bahkan dalam beberapa kasus yang terjadi di Tiongkok, spesies anjing dan kucing juga dipelihara untuk dimanfaatkan rambutnya.[9] Hewan-hewan tersebut sering disiksa dan dipukuli hingga mereka akhirnya dibunuh hanya untuk diambil rambutnya.[10]

Rakun, berang-berang, anjing laut dan beruang juga termasuk hewan yang di eksploitasi untuk diambil rambut atau bulunya. Hewan yang memiliki ukuran tubuh yang lebih besar cenderung memiliki rambut yang lebih banyak. Rambut yang lebih banyak tersebut tentu akan memberikan lebih banyak keuntungan juga bagi para peternak rambut. Akan tetapi rambut yang didapatkan dari hewan seperti beruang lebih sering disebut "rambut liar", karena hewan-hewan tersebut tidak dibudidayakan, melainkan diburu.

Dampak terhadap lingkungan[sunting | sunting sumber]

Pencemaran lingkungan sekitar[sunting | sunting sumber]

Peternakan bulu intensif pada umumnya menghasilkan kotoran atau limbah ternak dalam jumlah yang sangat banyak, yang secara tidak langsung menjadi sumber penghasil emisi gas rumah kaca, aliran nutrisi, kehilangan keanekaragaman hayati dan masalah lingkungan lain. Selain itu limpasan dari limbah peternakan bulu juga dapat mencemari kualitas tanah dan saluran air.[11]

Pencemaran air[sunting | sunting sumber]

Nutrisi yang berada dalam limpasan kotoran ternak yang berasal dari peternakan rambut hewan dapat memicu pertumbuhan ganggang beracun di saluran air, sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Masalah tersebut juga berdampak pada kualitas air danau yang tidak bisa digunakan ikan untuk berenang. Terlebih lagi, ganggang beracun tersebut juga dapat membatasi jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh spesies hewan air.[12]

Berdasarkan laporan dari Universitas Acadia yang dirilis oleh Departemen Lingkungan provinsi pada 2012, peternakan rambut hewan (Mink) kemungkinan besar menjadi sumber utama penyebab masalah kualitas air yang ada di sembilan danau Nova Scotia bagian barat, Kanada.[13][14] Menurut laporan oleh Mike Brylinsky dari Acadia Center for Estuarine Research, survei kualitas air yang dilakukan antara 2008 dan 2012 menunjukkan danau di DAS mengalami degradasi serius.[12]

Hilangnya keanekaragaman hayati[sunting | sunting sumber]

Perdagangan rambut atau bulu hewan memiliki dampak parah terhadap keanekaragaman hayati dan dapat mengakibatkan spesies hewan menjadi langka atau bahkan punah.[15][16]

Risiko kesehatan bagi manusia[sunting | sunting sumber]

Setelah seekor hewan dikuliti (diambil rambutnya), kulit tersebut harus dirawat dengan dengan prosedur yang benar untuk mencegahnya membusuk.[17] Cara perawatan kulit hewan pada umumnya menggunakan bahan-bahan kimia, termasuk penggunaan formaldehyde, kromium, dan amonia untuk mencegah rambut hewan mengalami biodegradasi.[18][19]

Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam proses perawatan rambut atau kulit hewan dapat berdampak buruk bagi kesehatan konsumen yang memakai produk dan para pekerja yang ada di pabrik pengolahan rambut hewan. Laboratorium independen di Cina, Italia, Belanda dan Jerman menemukan bahwa tingkat racun berbahaya yang ada pada produk jadi dapat menyebabkan alergi, ketidakseimbangan hormon, bahkan kanker.[20][21][22]

Lihat pula[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ "Fur Farming - Animal Welfare Problems". Fur Free Alliance (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-02. 
  2. ^ "Fur". www.animalsaustralia.org (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  3. ^ Davies, Ella. "The furriest animal in the world". www.bbc.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  4. ^ "Why foxes have fur, horses hair". Grammarphobia (dalam bahasa Inggris). 2019-04-12. Diakses tanggal 2020-08-04. 
  5. ^ a b Lingel, Grant (2018-12-14). "Fur Farming: The Barbaric Practice They Want to Keep Hidden" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-03. 
  6. ^ "Wayback Machine" (PDF). web.archive.org. 2011-07-13. Archived from the original on 2011-07-13. Diakses tanggal 2020-08-02. 
  7. ^ "Fur Farms Still Unfashionably Cruel, Critics Say". National Geographic News (dalam bahasa Inggris). 2016-08-17. Diakses tanggal 2020-08-04. 
  8. ^ "WHAT IS WRONG WITH FUR FARMING?". thefurbearers.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-01-21. Diakses tanggal 04-08-2020. 
  9. ^ "The Chinese Fur Industry". PETA (dalam bahasa Inggris). 2010-06-21. Diakses tanggal 2020-08-04. 
  10. ^ Ingall, Julia. "Buying Fur: Which Variety Is Worth the Most?". Investopedia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  11. ^ "ENVIRONMENTAL IMPACT FROM FUR FARMS". thefurbearers.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-11-18. Diakses tanggal 04-08-2020. 
  12. ^ a b "Local pollution". Fur Free Alliance (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  13. ^ "Mink farms likely polluted lakes, study finds". www.cbc.ca. Diakses tanggal 04-08-2020. 
  14. ^ "The impacts of the mink industry on freshwater lakes in Nova Scotia : An overview of concerns" (PDF). www.furfreealliance.com. Diakses tanggal 04-08-2020. 
  15. ^ "Impact on biodiversity". Fur Free Alliance (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  16. ^ "IMPACT ON BIODIVERSITY" (PDF). www.furfreealliance.com. Diakses tanggal 04-08-2020. 
  17. ^ "Toxic fur". Fur Free Alliance (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  18. ^ "Formaldehyde and Cancer Risk - National Cancer Institute". www.cancer.gov (dalam bahasa Inggris). 2011-06-10. Diakses tanggal 2020-08-04. 
  19. ^ "Fur is biodegradable". Fur is green (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-08-04. 
  20. ^ "Toxic Fur: A Global Issue Research in China" (PDF). www.furfreealliance.com. Diakses tanggal 04-08-2020. 
  21. ^ "Fur on children's wear full of toxics". Fur Free Alliance (dalam bahasa Inggris). 2016-01-11. Diakses tanggal 2020-08-04. 
  22. ^ "Poison in Furs" (PDF). www.furfreealliance.com. Diakses tanggal 04-08-2020. 

Pranala luar[sunting | sunting sumber]

Video[sunting | sunting sumber]