Perubahan iklim di Uni Eropa

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perubahan iklim di Uni Eropa merupakan pemanasan yang cepat dan tengah gencar dibicarakan di berbagai halaman berita, pasalnya perubahan iklim tersebut telah tercatat sebagai intensifikasi yang paling kuat dari gelombang panas yang berada di dunia, dalam hitungan 70 tahun terakhir. Dan musim panas yang terasa pada masa sekarang adalah naik 2.3 ° Celsius, atau dianggap lebih panas daripada sebelumnya[1] Pada tahun 2023 di Bulan Juni, Eropa mengalami suhu global paling panas dibandingkan beberapa dekade lalu. Perubahan iklim memiliki implikasi di berbagai wilayah Eropa, dengan tingkat dan sifat yang bervariasi di seluruh dunia.[2]

Dampak pada negara-negara Eropa yakni cuaca menjadi hangat dan meningkatnya frekuensi serta intensitas cahaya yang ekstrem seperti gelombang panas, hal ini akan merusak kesehatan dan ekosistem. Padahal, beberapa negara di Eropa adalah kontributor utama gas rumah kaca global, meskipun Uni Eropa dan pemerintah di beberapa negara telah merencanakan untuk menerapkan mitigasi perubahan iklim dan transisi energi di abad ke-21 serta menetralisir iklim pada tahun 2050 yang dinamai dengan Kesepakatan Hijau Eropa.

Upaya menanggulangi permasalahan perubahan iklim tengah diupayakan dengan berbagai proyek. Uni Eropa juga telah menyiapkan dana, bahkan juga menyediakan dana bagi mitra-mitranya seperti Indonesia.

Dampak Terhadap Lingkungan Alam[sunting | sunting sumber]

Jika di eropa tidak terjadi perubahan iklim, maka gelombang panas ekstrem di Eropa diperkirakan akan terjadi hanya sekali per beberapa ratus tahun.

Keadaan Iklim 2021 Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan bahwa suhu di Eropa meningkat lebih dari dua kali lipat rata-rata global selama 30 tahun – peningkatan tertinggi dibandingkan benua mana pun di dunia.[30] Badan Lingkungan Hidup Eropa menyatakan bahwa sejak masa pra-industri, suhu daratan Eropa telah meningkat sebesar 1,94–1,99 °C, lebih cepat dibandingkan kenaikan rata-rata global sebesar 1,11–1,14 °C.[3]

Es laut Arktik berkurang 33.000 km2 terjadi di antara tahun 1979 dan 2020 per tahun selama musim dingin dan 79.000 km2 per tahun selama musim panas dalam periode waktu yang sama. Jika suhu dijaga di bawah 1,5 °C, maka musim panas di Arktik bebas es akan jarang terjadi, namun hal ini akan sering terjadi jika terjadi pemanasan sebesar 2 °C.[4]

Di Laut Baltik pencairan es telah terlihat sejak tahun 1800 dan percepatannya terjadi sejak tahun 1980 an. Es laut berada pada rekor terendah pada musim dingin 2019-2020.[4]

Perubahan cuaca ekstrem ini dapat meningkatkan penyakit pada hewan dan juga manusia. Gelombang panas akan meningkatkan jumlah kebakaran hutan. Para ahli telah memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat meningkatkan jumlah pengungsi iklim global dari 150 juta pada tahun 2008 menjadi 800 juta di masa depan. Perjanjian pengungsi internasional tidak mengakui pengungsi perubahan iklim. Dari tahun 2012 hingga 2022, menurut Badan Lingkungan Eropa, cuaca ekstrem menyebabkan kerugian ekonomi lebih dari €145 miliar di Eropa. Kerugian ekonomi akibat perubahan iklim meningkat sekitar 2% setiap tahun dalam kurun waktu yang sama.[5][6][7]

Sebuah studi tentang perubahan dampak banjir, gelombang panas, dan kekeringan di masa depan di 571 kota di Eropa, dengan menggunakan model iklim yang dijalankan dari proyek inter comparison model berpasangan Fase 5 (CMIP5) menemukan bahwa hari-hari gelombang panas meningkat hampir di semua kota, terutama di wilayah selatan Eropa, sementara peningkatan suhu gelombang panas terbesar diperkirakan terjadi di kota-kota di Eropa tengah. Untuk skenario dampak rendah, kondisi kekeringan semakin parah di kota-kota di Eropa bagian selatan, sementara banjir sungai semakin parah di kota-kota di Eropa bagian utara. Namun, skenario dampak tinggi memproyeksikan bahwa sebagian besar kota di Eropa akan mengalami peningkatan risiko kekeringan dan banjir sungai. Lebih dari 100 kota sangat rentan terhadap dua atau lebih dampak iklim.[8]

Dampak Terhadap Hewan[sunting | sunting sumber]

Setelah tragedi gelombang panas tahun 2003, para peneliti mencatat bagaimana ekosistem pegunungan Italia terkena dampaknya. Yakni, gelombang panas "memicu perluasan pesat spesies tumbuhan berpembuluh dan mengorbankan lumut di lahan gambut".[9] Lahan gambut dikenal sebagai lingkungan penyimpan karbon terbesar,[10]sehingga perubahan yang disebabkan oleh perubahan iklim antropogenik menimbulkan ancaman terhadap stabilitas iklim jangka panjang.

Dampak Terhadap Manusia[sunting | sunting sumber]

Referensi[sunting | sunting sumber]