Perubahan iklim dan perikanan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Perubahan iklim isu global dan diakui sebagai salah satu tantangan terbesar manusia saat ini.[1] Fenomena ini membuat produksi pangan menjadi sangat rentan. Hasil studi FAO menunjukkan bahwa perubaha iklim secara langsung maupun tidak akan membawa perubahan besar dalam ketersediaan ikan di alam. Hal ini akan membawa konsekuensi penting secara ekonomi maupun geopolitik, terutama bagi negara-negara yang bergantung pada sektor ini. Perubahan dalam ketersediaan ikan di alam merupakan suatu kekhawatiran karena ikan dan produk sejenis telah menjadi salah satu sumber pangan utama umat manusia saat ini. Produk perikanan menyediakan 20% dari total kebutuhan protein dunia. Di kawasan pesisir di negara-negara berkembang, produk perikanan menyumbang sebanyak 50% konsumsi protein keseluruhan.[2]

Perikanan tangkap saat ini kelihatannya sudah memasuki ambang batas maksimum penangkapan. Perikanan kolam dan tambak digadang-gadang sebagai solusi semakin terbatasnya jumlah ikan di alam. Namun, perkembangan sektor ini ke depannya masih belum jelas, terutama berkenaan dengan perubahan-perubahan lingkungan yang ekstrem. Pertumbuhan penduduk yang pesat mengharuskan umat manusia untuk menemukan solusi dan sumber-sumber protein baru untuk mencegah kelaparan dan kelangkaan pangan.

Laut dan Perubahan Iklim[sunting | sunting sumber]

Pemanasan global secara umum meningkatkan suhu bumi beberapa derajat yang berimbas pada mencairnya cadangan-cadangan es di wilayah lintang tinggi. Hal ini menyebabkan kenaikan paras muka air laut.[3] Dalam 10 tahun terakhir, paras laut meningkat setinggi 0,1 hingga 0,3 meter. Diprediksi ke depannya pemanasan global akan meningkatkan laju peningkatan paras laut antara 03,-0,5 meter sehingga dapat menutupi area di pesisir seluas 1 juta km2.[4] Bila tidak dicegah, hal ini dapat menyebabkan hutan bakau serta rawa yang ada di kawasan pesisir akan semakin berkurang luasnya. Dampak dari berkurangnya luas habitat ekosistem pesisir ini adalah menurunya produktivitas perairan sekitar serta mengancam kehidupan biota laut pada ekosistem yang dimaksud.[5]

Hutan bakau di Muara Angke, Jakarta (2007)

Selain itu, turut memicu munculnya fenomena El Niño dan La Niña yang mempengaruhi samudera-samudera dunia. Fenomena mengakibatkan kenaikan suhu permukaan air laut sehingga mempengaruhi pola kehidupan ikan. Perubahan suhu akan mempengaruhi zona tempat mencari makan ikan yang dapat menyebabkan tidak hanya penurunan, tetapi juga pergeseran populasi spesies ikan ke laut yang lebih dingin atau panas.[6] Dampak kenaikan suhu air laut memberi pengaruh yang kompleks terhadap berbagai aspek kelautan, termasuk perikanan. Dampak tersebut terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Efeknya muncul dalam waktu yang berbeda-beda. Bahkan, kadang dampak tidak terdeteksi pada awal perubahan sehingga baru disadari setelah ada pihak yang merasa dirugikan.[5]

Penelitian menunjukkan bahwa El Niño dan La Niña mempengaruhi intensitas badan di wilayah Afrika Barat yang berbatasan dengan Samudera Atlantik. Intensitas badai cenderung meningkat bersamaan dengan terjadinya El Niño dan La Niña yang kemudian mengubah sirkulasi lautan dan secara langsung mempengaruhi habitat laut. Peningkatan suhu air laut akan membatasi produksi primer, meningkatkan pemutihan karang dan mengurangi keanekaragaman hayati beberapa ekosistem. Terdapat laporan dari Taiwan yang menyebutkan bahwa terdapat banyak kematian ikan di Kepulauan Penghu yang disebabkan oleh perubahan suhu air laut yang ekstrim.[6]

Dampak terhadap Produksi Ikan[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim menurunkan stok ikan laut sehingga bisa menyebabkan anjloknya produksi perikanan hingga 35%. Antara tahun 1930 hingga 2010, produksi ikan global turun 4,1%. Fenomena ini menjadi ancaman serius karena karena ikan laut merupakan sumber protein utama dunia dan menopang pekerjaan bagi 56 juta orang.[7]

Tuna yang tengah dipotong di Pasar Tsukiji

Perikanan Tangkap[sunting | sunting sumber]

Diperkirakan potensi penangkapan maksimum di zona ekonomi ekslusif di seluruh dunia akan berkurang antar 2,8% hingga 5,3% pada tahun 2050 berdasarkan skenario emisi gas rumah kaca RCP2.6, dan antara 7,0% hingga 12,1% berdasarkan skenario emisi gas rumah kaca RCP8.5 pada tahun yang sama.[8]

Efek gas rumah kaca pada potensi penangkapan ikan berbeda-beda antara daerah yang satu dengan yang lainnya. Diperkirakan bahwa daerah-daerah tropis, terutama kawasan Pasifik Selatan akan menjadi daerah yang potensi penangkapan ikannya berkurang secara drastis.[8] Sementara itu, potensi penangkapan masih cukup tinggi di wilayah lintang tinggi. Sekali pun ada wilayah yang potensi penangkapannya berkurang, hal itu tidak sebesar yang terjadi di daerah-daerah tropis. Proyeksi ini semata-mata menekankan pada perubahan dalam kemampuan laut untuk memproduksi ikan.[8]

Perikanan Budidaya[sunting | sunting sumber]

Dampak perubahan iklim terhadap perikanan kolam dan tambak dalam jangka waktu singkat adalah kerugian yang dialami dari kegagalan produksi dan kerusakan infrastruktur yang disebabkan oleh banjir, meningkatnya risiko penyakit, parasit, serta ledakan populasi alga yang membahayakan populasi ikan. Sedangkan dampak jangka panjangnya meliputi berkurangnya benih ikan di alam bebas serta curah hujan yang berkurang drastis akan meningkatkan persaingan dalam memperebutkan air tawar.[8]

Vietnam, Bangladesh, Laos, dan Tiongkok akan menjadi negara Asia yang paling rentan terhadap dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim terhadap perikanan air tawar, sementara Belize, Honduras, Kostarika. dan Ekuador akan menjadi negara yang paling rentan terdampak di wilayah Amerika. Dampak yang tidak begitu parah bagi perikanan air tawar diprediksi akan ditemukan di Uganda, Nigeria, dan Mesir. Ada pun Thailand, Mesir, dan Vietnam, ketiganya menjadi negara terdampak paling parah pada sektor perikanan air payau.[8] Cile dan Norwegia akan menjadi dua negara yang paling terdampak pada sektor perikanan laut budidaya karena produksi mereka yang tinggi serta kontribusi perikanan yang cukup besar dalam perekonomian mereka. Tiongkok, Vietnam, Madagaskar, dan Filipina juga terbilang sangat rentan.[8]

Dampak terhadap Komunitas Nelayan[sunting | sunting sumber]

Perahu nelayan di Pantai Pelabuhan Ratu, Kota Pelabuhan Ratu, Jawa Barat
Nelayan sedang menjala

Sektor perikanan memiliki peran penting secara sosial dan ekonomi. Sektor ini terpengaruh oleh berbagai perubahan kondisi alam yang kini terus menekan hasil tangkapan ikan di laut. Berbagai faktor seperti ketidakpastian cuaca, kondisi cuaca ekstrem, kenaikan suhu permukaan laut, naik turunnya harga bahan bakar serta perubahan arah angin, menurunkan tingkat produktivitas nelayan. Kenaikan harga bahan bakar akan memengaruhi kesempatan nelayan untuk menangkap ikan seiring dengan pergeseran penyebaran ikan yang terus berubah akibat perubahan iklim.[9]

Nelayan adalah salah satu kelompok yang paling dirugikan oleh dampak perubahan iklim.[3] Perubahan iklim yang signifikan membuat cuaca esktrim dan tidak dapat diprediksi. Selain itu, terjadi perubahan pola migrasi ikan, distribusi, penyebaran, dan daerah tangkapan. Hal ini membuat nelayan perlu melaut lebih jauh untuk mendapatkan ikan. Perubahan iklim menambah tekanan yang dihadapi kelompok ini yang sebelumnya sudah dipengaruhi oleh pemanfaatan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak bertanggung jawab.[3]

Adaptasi dan Mitigasi[sunting | sunting sumber]

Untuk mengurangi kerentanan budidaya perikanan dari dampak perubahan iklim sangat diperlukan adaptasi dan mitigasi. Adaptasi dan mitigasi pada skala yang sesuai pada tingkat individu, keluarga, institusi pemerintah, baik lokal, nasional dan global, dengan menetapkan rencana penanganan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.[1]

Adaptasi[sunting | sunting sumber]

Salah satu jawaban terhadap proyeksi berkurangnya potensi tangkapan global di masa mendatang adalah dengan mengembangkan perikanan budidaya.[2] Di banyak daerah, perikanan budidaya telah menjadi bisnis yang menguntungkan serta membawa manfaat besar. Kemajuan teknis dalam sistem penetasan, peningkatan kualitas pakan dan sistem pengiriman pakan, serta manajemen penyakit yang lebih baik semuanya dapat meningkatkan produksi. Keuntungan di masa depan mungkin juga datang dari pemilihan bibit yang lebih baik, teknologi produksi skala besar, budidaya beragam spesies, serta pengembangan usaha perikanan nontangkap ini ke daerah-daerah yang lebih luas. Perikanan nontangkap bukannya tanpa risiko. Perikanan budidaya dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan melalui pelepasan air limbah organik atau bahan kimia yang digunakan untuk perawatan penyakit dan sterilisasi. Namun, perkembangan teknologi ke depannya diharapkan mampu meminimalisasi risiko ini.[2]

Mitigasi[sunting | sunting sumber]

Perubahan iklim merupakan fenomena yang tak dapat dihindari. Namun, perubahan iklim bukan satu-satunya faktor yang membahayakan kelangsungan sektor perikanan. Penangkapan ikan yang berlebihan turut memperparah dampak perubahan iklim. Penangkapan yang berlebihan menghabiskan stok atau ketersediaan ikan di alam liar, sementara pemanasan menghambat pemulihan populasi. Tindakan mitigasi yang dapat diambil adalah dengan menghindari penangkapan ikan yang berlebihan sehingga memberikan ruang atau kesempatan bagi populasi ikan untuk pulih dan berkembang.[10]

Referensi[sunting | sunting sumber]

  1. ^ a b Mendesak, Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim terhadap Budidaya Perikanan, Universitas Gadjah Mada, 2011, diakses tanggal 14 November 2019 .
  2. ^ a b c Godfray, H. J. C (2010). "Food security: The challenge of feeding 9 billion peopl". Science. 327: 812–818. 
  3. ^ a b c Perikanan Berbasis Ekosistem, Oseanografi LIPI, diakses tanggal 14 November 2019 .
  4. ^ Roessig, J. M. (2004). "Effects of Global Climate Change on Marine and Estuarine Fishes and Fisheries". Reviews in Fish Biology and Fisheries. 14: 251–275. 
  5. ^ a b Syahailatua, Augy (2018). "Dampak Perubahan Iklim terhadap Perikanan". Oseana. Jakarta: Oseanografi LIPI. 33 (2): 25–32. ISSN 0216-1877. 
  6. ^ a b Moegni, Nurtjahja (2014). "Adaptasi Nelayan Perikanan Laut Tangkap dalam Menghadapi Perubahan Iklim". Ekonomi dan Studi Pembangunan. Universitas Airlangga. 15 (2): 182–189. 
  7. ^ Perubahan Iklim Menurunkan Produksi Ikan Dunia, 2011, diakses tanggal 14 November 2019 .
  8. ^ a b c d e f FAO (2018) [http://www.fao.org/3/i9705en/i9705en.pdf Impacts of climate change on fisheries and aquaculture. Synthesis of current knowledge, adaptation and mitigation options|date=2018 |bot= |fix-attempted=yes }} Roma, Italia. FAO Fisheries and Aquaculture Technical Paper No. 627.
  9. ^ Penelitian: Perubahan Iklim Berdampak Serius Terhadap Sektor Perikanan Indonesia, 8 Juli 2013, diakses tanggal 14 November 2019 .
  10. ^ Perubahan Iklim dan Global Warming Turunkan Populasi Ikan, 4 Maret 2019, diakses tanggal 14 November 2019